nogososro sabukinten (29 / tamat)

I.

Berita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan dapat menikmati hari-hari seterusnya, apabila disadarinya betapa pedih hati Arya Salaka dan orang-orang lain di Banyubiru. Orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan yang seakan-akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis pahit bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang berprihatin.

Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di Gunungkidul merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar. Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak pernah mereka sangka-sangka akan terjadi.

Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran. “Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri benar-benar hilang?”

“Ya. Semua orang menganggap demikian.” sahut Bantaran.

“Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi.

“Ada juga dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata tidak. Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan seorang laki-laki yang tak dikenal telah menculiknya di belumbang selagi Widuri sedang hendak mencuci pakaiannya.”

“Bukan main” desis Mahesa Jenar. “Widuri adalah seorang gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.”

Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata serupa pernah juga didengarnya di Banyubiru.

Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi. Masing-masing hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan terasa dada Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan wajahnya yang muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia sedang berpikir dan berduka karena hilangnya Widuri ataukah ia sedang mencemaskan dirinya, bahwa kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya itu akan mengalami gangguan pula.

Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran kemudian menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya Salaka itu sudah pasti mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya. Arya Salaka adalah muridnya. Pada saat nyawa anak itu terancam oleh bahaya maut dari setiap penjuru. Pada saat anak itu ditinggalkan oleh ayahnya yang dikasihinya.

Lima enam tahun ia mengolah anak itu supaya ia dapat memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak yang kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang mendorongnya menempa Arya Salaka, tetapi rasa keadilannya memang menuntut demikian. Kini, setelah pekerjaan itu selesai, apakah ia tega melihat anak itu berduka karena sebuah persoalan yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa depan.

Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di dalam hati muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat diketemukan, maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian dari masa depannya pula.

Demikianlah, ketika kemudian Bantaran itu beristirahat bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon, Mahesa Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa Jenar ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu, dan ia mengharap mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui dan mengertinya pula.

Namun karena itulah maka ia menjadi gelisah. Apalagi ketika dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan wajahnya yang suram. Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada Mahesa Jenar. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya Salaka menyesali peristiwa itu sepanjang hidupnya?

Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata pula. “Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas berita yang dibawa oleh Bantaran?”

Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar ketika Rara Wilis sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Namun meskipun demikian gadis itu menjawab, “Kasihan anak itu.”

“Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.  Rara Wilis hanya menganggukkan kepalanya. Dan ia tidak lagi berkata apa-apa.

Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang. Dengan hati-hati dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang dikehendaki, katanya, “Tetapi bagaimana pun juga anak itu harus diketemukan.”

“Ya” sahut Rara Wilis.

Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh peristiwa itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah dapat dilupakan. Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam rongga matanya. Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanakannya yang jujur kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu dengan anak itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah maka mau tidak mau terbersit pula suatu perasaan yang dalam di dalam hatinya.

Tetapi ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang sangat penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang diharapkannya akan segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu, terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan segera datang.

Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam.

Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus dikatakannya. Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari kejaran perasaan tentang hilangnya Endang Widuri.

Karena itu, maka dengan susah payah ia pun berkata. “Wilis, apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari anak yang hilang itu?”

Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar akan berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan meninggalkan lagi untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.  Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya, namun hatinya berdesir juga mendengar pertanyaan itu diucapkan. Dan sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang dinantikannya itu seakan-akan menjadi semakin jauh daripadanya. Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari yang dinantikan itu telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu tiba-tiba tertutup kembali.

Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapa-siapa. Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia mengenal laki-laki itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada tanggungjawab atas kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan daripada keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat mengertinya. Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia telah menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan sama sekali bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya Mahesa Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora, dan Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami ketakutan dan kecemasan selama ia berada di tangan orang yang tidak dikenal itu. Lalu siapa? Orang yang menculiknya itu? Orang itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan Mahesa Jenar. Tetapi itulah penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang yang sakti. Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa ia tidak mampu menemukannya? Apalagi Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis itu. Meskipun di usahakannya untuk membayangkan pergolakan itu, namun wajahnya yang mendung adalah pernyataan yang tidak dapat disembunyikan.

“Rara Wilis” desis Mahesa Jenar kemudian, “Aku harap kau dapat mengerti.”

Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga dengan demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan tajamnya dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya, “Apakah aku tidak dapat mengerti persoalan yang sedang kau hadapi kakang?”

Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata dirinya sendirilah yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis itu. Karena itu maka segera ia berkata, “Maaf Wilis. Maksudku, apakah kau menyetujuinya?”

Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Hilangnya Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya.

Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab. “Kakang, aku sama sekali tidak akan bermaksud menghalangi pekerjaan kakang. Tetapi aku berkata demikian kakang, bukan perasaanku. Kalau aku berkata demikian kakang, bukan berarti aku tidak menyetujui kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang. Aku pun merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap kepedihan ini karena aku terlalu mementingkan diriku sendiri.”

Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di dalam mata yang buram. Dan ia tidak tahan melihatnya. Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu yang tidak terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang disentuh angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti sebuah lagu yang rawan.

Sesaat mereka berdiam diri dalam keheningan. Tetapi Mahesa Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak. Perlahan-lahan ia berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk dalam sikapnya. Tetapi ia tidak menangis.

Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata, “Wilis. Aku dapat mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati ketentraman hidup dalam keluarga yang wajar. Tetapi baru saja kau menikmati ketenangan ini setelah bertahan-tahun lamanya kau terguncang-guncang oleh arus yang tak kau ketahui ujung pangkalnya, maka kembali kau diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan masa depan sendiri. Tetapi aku berjanji Wilis, bahwa kali ini adalah kali terakhir.”

“Jangan berjanji kakang”, potong Rara Wilis. “Aku tidak ingin mendengar janji apapun daripadamu. Marilah kita jalani jalan kita dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji bukanlah satu-satunya tempat untuk menyangkutkan harapan. Tetapi apa yang akan kita lakukan akan mengatakan kepada kita masing-masing, janji yang tersimpan di dalam hati itu.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah orang yang mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati. Ia tidak pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu dipenuhinya. Janji yang disimpannya di dalam dadanya. Dan kini ia telah mengucapkan janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji pribadi.

Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran. Keputusan yang sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan hatinya. Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri. Kepentingan yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi ia mengorbankan perasaan seorang gadis yang dicintainya. Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi ia kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup. Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga yang diimpikan.

Ki Ageng Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam hati cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti kekecewaan Rara Wilis sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat keturunannya tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia akan keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada cucunya dan kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa Jenar bermohon diri kepadanya, maka katanya serta merta, “Aku turut dengan angger ke Banyubiru.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Juga Rara Wilis terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata pula dengan wajah yang suram. “Wilis, aku akan berbuat untukmu. Aku tidak tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan berguna, namun aku ingin membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti usahaku, tetapi aku percaya semakin banyak orang yang berusaha mencari, maka semakin cepatlah cucu Widuri itu akan diketemukan. Dengan demikian, maka angger Mahesa Jenar pun akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”

Kata-kata itu berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih karena keadaan. Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian itu, tidak saja hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat penyelesaian.

Karena itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata. “Aku juga ikut kakang.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar permintaan itu. Karena itu maka dengan serta merta ia berkata, “Jangan. Jangan Wilis.”

“Aku tidak akan dapat menunggu dalam kesepian di Gunungkidul ini.”

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia menyerahkan setiap persoalan kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun menundukkan wajahnya.

Ketika kemudian mereka berdiam diri, maka ruangan itu pun menjadi sunyi. Mereka mengangkat wajah-wajah mereka ketika terdengar suara di belakang. “Kakang Demang, kuda kakang telah disiapkan.”

“Baik” sahut suara yang lain, suara Demang Sarayuda. “Aku akan pergi ke banjar sebentar.”

Kemudian terdengarlah langkah keduanya lewat disebelah dinding dan hilang ke pendapa.

Dada Rara Wilis berdentang mendengar langkah itu, mendengar suara Rati dan mendengar suara Sarayuda. Mereka telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga yang bahagia. Kalau ia tinggal sendiri di kademangan itu, maka setiap kali ia melihat kebahagiaan itu, maka hatinya akan menjadi semakin kesepian. “Apakah aku menjadi cemburu.” katanya di dalam hati. “atau iri hati?”

Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula. “Kakang, aku akan ikut ke Banyubiru.”

Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang telah banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan. Tidak saja sebagai seorang pengembara yang harus bertempur dengan lawan-lawannya, dengan penjahat-penjahat dan dengan penyamun-penyamun, namun ia pernah juga merasakan duka derita hidup kekeluargaan. Orang tua itu pernah melihat anaknya menjadi korban yang menyedihkan. Ia melihat betapa seorang perempuan yang hidupnya penuh kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh suaminya yang dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar, seorang laki-laki yang jalan hidupnya dihancurkannya sendiri, karena ia merasa kehilangan isterinya. Meskipun kemudian ternyata bahwa ia hanya berprasangka, seperti Lawa Ijo.

Karena itu, orang tua itu mengerti perasaan yang tersimpan di dalam hati Rara Wilis. Sehingga kemudian ia menjawab, “Angger Mahesa Jenar. Bila berkenan di hati angger, biarlah Wilis ikut serta ke Banyubiru.”

“Hem” desah Mahesa Jenar di dalam hatinya. “Apakah arti perjalanan ke Gunungkidul ini?”

Pertanyaan itu pun terdengar pula di dalam hati Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Namun mereka mempunyai jawabannya. “Ternyata Mahesa Jenar masih sanggup mengorbankan kepentingan pribadinya untuk panggilan rasa keadilannya yang tersentuh. Penculikan atas Endang Widuri adalah kejahatan. Dan Mahesa Jenar ingin melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam batas-batas kemampuan yang ada padanya.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian terpaksa menerima permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian menganggap kedatangannya ke Gunungkidul sebagai suatu kunjungan yang menyenangkan untuk mempersiapkan masa-masa yang dinanti-nantikannya bersama Rara Wilis.

Demikianlah maka di suatu pagi yang cerah, bersiaplah sebuah rombongan di halaman Kademangan Gunungkidul. Meskipun Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan itu menjadi kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan rombongan itu pergi. Beberapa orang telah mendengar pula, apa yang terjadi di Banyubiru. Bahkan Sarayuda menyesal pula, kenapa Widuri itu dahulu tidak dibawanya sekali sehingga dengan demikian, maka tidak ada kemungkinan untuk menculiknya. Tetapi beberapa orang yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya seorang gadis di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai pertanyaan di dalam hati mereka.

Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki Ageng Pandan Alas ikut juga dalam rombongan itu, dengan berkelakar berkata, “Ki Sentanu, hati-hatilah. Jangan sampai terjadi bahwa kuda itu nanti yang menaikimu.”

Ki Ageng Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu itu tertawa. “Mudah- mudahan,” jawabnya.

Pagi itu Mahesa Jenar beserta rombongan meninggalkan Gunungkidul dengan hati yang bimbang. Kehadirannya di daerah yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti sebuah mimpi saja. Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Bahwa suatu ketika ia akan dapat mengulangi mimpi yang pasti akan lebih indah lagi.

Ketika mereka sampai di alun-alun kecil di muka rumah Kademangan itu maka sekali mereka berpaling, dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir karenanya. Mereka melihat Demang Sarayuda dalam pakaian yang indah berdiri disamping Rati isterinya. Mereka melambaikan tangan mereka sambil tersenyum. Tetapi senyum itu seakan-akan sama sekali tidak ditujukan kepada mereka. Senyum itu adalah senyum kebahagiaan mereka sendiri.

Rati yang berdiri disamping Sarayuda itu tampak kepucat-pucatan. Ia tidak tahan berdiri terlalu lama, karena itu, maka segera ia masuk kembali ke halaman.

Mahesa Jenar yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa, masuk kembali berkata tanpa sesadarnya, “Apakah Nyai Demang itu sakit?”

Rara Wilis menundukkan wajahnya sambil menggeleng.

“Ia tidak sakit,” jawabnya.

“Tetapi ia terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada dipembaringannya.”

“Anak itu sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga bulan.”

“Oh” Mahesa Jenar tidak bertanya lagi. Tanpa disengaja ia telah menyentuh hati Rara Wilis pula. Karena itu sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya wajahnya, memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang keras kemerah-merahan karena tanah yang liat. Dikejauhan dilihatnya bukit-bukit kapur yang kering. Namun di arah yang lain tampaklah sawah-sawah yang menghijau segar. Gunungkidul adalah suatu daerah yang bercampur baur.

Ketika kemudian mereka telah melintasi perbatasan induk Kademangan, maka kuda- kuda itu mulai dipacu. Ki Sentanu kini bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk di atas punggung kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi bersungguh-sungguh dan katanya perlahan-lahan. “Marilah, mumpung masih pagi.”

Bantaran yang berkuda dipaling depan, mempercepat kudanya pula. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak di atas tanah yang kering. Debu yang putih mengepul tinggi di udara, menakbiri daerah yang mereka tinggalkan. Daerah yang meskipun hanya sekelumit, namun telah menyentuh hati Mahesa Jenar sedemikian dalamnya.

Kini mereka menghadapi jalan yang terbentang memanjang. Seperti sebuah jalur- jalur yang tak terkira panjangnya, membelit lereng-lereng bukit, menghujam lurah-lurah dan mendaki tebing. Sekali-kali menghilang dibalik puntuk-puntuk yang menjorok dihadapan mereka, untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan dari dalam tanah. Jalan-jalan itulah yang akan mereka lalui. Jalan-jalan yang dilalui beberapa hari yang lampau dalam arah yang berlawanan. Namun alangkah jauh bedanya perasaan mereka. Pada saat mereka datang dan pada saat mereka meninggalkan daerah yang baru sebentar saja disinggahi sepanjang hidupnya.

Betapa pun panjang jalan yang harus ditempuh itu, namun setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti sebuah benang yang digulung disebelah ujungnya, maka kuda-kuda itu akhirnya akan sampai juga ke ujung yang lain, setelah dilampauinya jurang dan ngarai, ditembusnya hutan-hutan yang lebat pepat, padang-padang rumput dan dilampauinya jarak yang memisahkan Gunungkidul dan Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu pendek.

Setelah mereka menempuh jarak yang panjang itu, setelah mereka melampaui jalan yang jauh, maka mereka kemudian melihat, tanah perdikan Banyubiru yang seakan- akan terbentang di lereng bukit Telamaya itu pun muncul di hadapan mereka.

Demikian Mahesa Jenar melihat daerah itu, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Daerah itu adalah daerah yang sudah dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku- liku jalan-jalan kota Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak penduduknya. Penduduk yang rajin bekerja tanpa banyak berteriak-teriak tentang kemampuan diri sendiri. Namun dengan demikian, mereka dapat menikmati hasil usaha mereka itu. Dan mereka akan dapat mewariskan hasil jerih payahnya kepada anak cucu mereka.

Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa asing baginya. Baru beberapa hari ia berada di Gunungkidul, namun kedatangannya di Banyubiru kali ini seolah-olah benar-benar seperti orang baru. Terasa Banyubiru itu tidak seperti Banyubiru yang ditinggalkannya beberapa hari yang lampau. Sepi dan penuh rahasia. Banyubiru bagi Mahesa Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang tidak wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng bukit, tampaknya sebagai sebuah takbir yang membayangi daerah di lereng bukit itu, sebagai sebuah tabir yang menyimpan berbagai persoalan.

Ketika Mahesa Jenar melampaui daerah-daerah perbatasan kota, dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga. Gardu-gardu perondan kini telah dipenuhi lagi oleh orang-orang yang sedang bertugas seperti dalam saat-saat Banyubiru sedang berperang. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi kemungkinan orang yang menculik Widuri lolos dari Banyubiru atau sengaja membawa Widuri keluar untuk disembunyikan. Namun penjaga-penjaga itu seakan-akan sama sekali tidak berarti. Widuri masih belum diketemukan, seperti lenyap ditelan lereng-lereng bukit.

Kepada para penjaga itu Bantaran bertanya, “Apakah kau sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?”

Penjaga Itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Masih belum ada tanda-tanda apa pun tentang gadis itu.”

Bantaran tidak berkata lagi. Mereka berpacu semakin kencang, seakan-akan takut terlambat. Namun dalam pada itu Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran. “Bagaimana?”

“Gelap,” sahut Bantaran.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia dapat berbuat sesuatu yang dapat menyingkap takbir kegelapan itu, sedang Kebo Kanigara sendiri tidak? Apakah yang dapat dilakukannya, seorang diri atau berdua, dan bahkan bertiga dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis di antara ratusan orang Banyubiru sendiri, termasuk orang-orang seperti Ki Ageng Gajah Sora, Lembu Sora, mungkin Ki Ageng Sora Dipayana pula, Arya Salaka dan lain-lainnya. Mungkin mereka tidak dapat bertempur setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih mengenal daerah Banyubiru seperti mereka mengenal semua ruang di dalam rumah mereka sendiri, seperti mereka mengenal halaman mereka sendiri. Mereka mengenal setiap penduduk Banyubiru seperti mereka mengenal istri dan anak-anak mereka sendiri.

Dan ternyata mereka itu tidak berhasil menemukan Endang Widuri. Lalu apakah kedatangannya akan berarti. Tetapi betapa ia menjadi bimbang akan usahanya, namun ia tidak akan dapat berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia harus berbuat, apakah berhasil apakah tidak berhasil, adalah masalah yang tak dapat dipecahkannya. Tetapi ia tidak boleh berputus asa, apalagi sebelum ia berbuat sesuatu.

Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan kesan yang menggores dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya dan dirabanya.

Rombongan itu pun meluncur di antara sawah-sawah dan ladang di dataran yang terbentang di hadapan bukit Telamaya itu. Namun terasa pula, seakan-akan batang- batang padi yang tumbuh di sawah, serta palawija yang menghijau di ladang-ladang memandangi rombongan itu dengan penuh prasangka. Seakan-akan mereka sama sekali membisu atas kedatangan itu. Bahkan seakan-akan batang-batang padi dan palawija itu telah menyembunyikan rahasia yang tak boleh diketahui oleh Mahesa Jenar dan rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang Widuri yang hilang itu telah disembunyikan pula disana.

Tetapi rombongan itu berpacu terus. Beberapa orang petani memandangi mereka dengan wajah yang kosong. Hanya satu-satu di antara mereka berbisik. “Mahesa Jenar telah datang pula untuk menemukan gadis yang hilang itu.” Tetapi kembali mulut-mulut mereka terkatup rapat-rapat kala rombongan itu lewat dihadapan mereka.

Beberapa orang yang melihat rombongan itu merayapi tebing bukit Telamaya segera menyampaikan kepada Ki Ageng Gajah Sora. Arya yang mendengar pula laporan itu bertanya dengan serta merta. “Bantaran telah kembali?”

“Ya”, jawab orang itu.

“Sendiri?”

“Tidak. Beberapa orang itu bersamanya.”

“Paman Mahesa Jenar” desis Arya Salaka. Karena itu segera ia menyiapkan diri untuk menjemput gurunya itu. Tiba-tiba timbullah kembali harapan di dalam dadanya. Harapan yang selama ini hampir padam. Tetapi sebelum Arya Sempat meloncat ke punggung kudanya, maka derap kuda rombongan yang datang itu sudah sedemikian dekatnya, sehingga sesaat kemudian, mereka melihat rombongan itu masuk ke halaman.

Ketika kuda-kuda itu berhenti, maka para penunggangnya segera berloncatan turun. Arya Salaka yang melihat Mahesa Jenar, tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia berlari kepadanya dan seperti seorang anak yang menyambut kedatangan ayahnya, Arya itu pun segera menyambut tangan gurunya sambil berdesis. “Selamat datang paman. Aku menjadi sangat gelisah, seandainya paman tidak datang ke Banyubiru.”

Mahesa Jenar menepuk punggung Arya Salaka sambil berkata, “Aku ikut prihatin Arya.”

“Terima kasih paman. Aku percaya bahwa paman pasti akan datang.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa disambut langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dan bahkan Ki Ageng Soradipayana pun ada pula di pendapa itu. Di antara mereka berdiri dengan pandangan yang kosong Kebo Kanigara.

Mereka menyambut kedatangan Mahesa Jenar dengan penuh gairah. Seakan-akan mereka, orang-orang yang menentukan jalan perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan harapan mereka kepada Mahesa Jenar. Wajah-wajah yang ramah dan penuh harapan memenuhi pendapa itu. Ucapan selamat datang yang tulus dan sapa atas keselamatannya dengan penuh kesungguhan, seakan-akan mereka telah bertahun- tahun berpisah.

Dan sambutan itulah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya. Seakan-akan Mahesa Jenar melihat suatu daerah yang ketakutan karena berbagai ancaman. Ia merasa bahwa saat itu dirinya telah menjadi pusat perhatian dan bahkan seakan-akan menjadi tempat untuk mengadukan nasib mereka.

Tetapi dada Mahesa Jenar itu pun berdesir karenanya, ketika ia melihat wajah Rara Wilis yang muram. Gadis itu menundukkan wajahnya sembil bermain-main dengan ujung kainnya. Dalam kegairahan orang-orang Banyubiru menyambut kedatangan Mahesa Jenar itu terasa betapa kesepian telah melanda dada Rara Wilis. Sebagai seorang gadis ia merasa, bahwa kali ini ia sama sekali tidak diperlukan.Seolah-olah tak seorang pun lagi yang ingat bahwa ia hadir pula di pendapa itu selain beberapa sapa dan subasita, mempersilahkannya duduk. Namun kemudian perhatian mereka terampas oleh persoalan-persoalan yang telah menggemparkan Banyubiru itu. Tak seorang pun lagi yang menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali ke Banyubiru. Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang ditunggu-tunggu itu akan datang. Tidak. Tidak ada yang menanyakan itu kepadanya. Mahesa Jenar pun tidak lagi ingat akan kehadirannya.

Tetapi gadis itu tiba-tiba menggeleng lemah. Dicobanya mengatasi gelora di dalam hatinya itu. “Ach, aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Disini, Banyubiru kini, sedang dihadapkan pada suatu persoalan yang harus mendapat pemecahan. Kenapa aku tidak sanggup untuk melupakan persoalanku sendiri seperti masa-masa yang telah lampau? Kenapa kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?”

Dengan susah payah akhirnya Rara Wilis berhasil mengatasi kesepian itu. Namun terasa ia menjadi pening. Ia sama sekali tidak dapat turut bercakap-cakap dengan orang-orang lain seperti masa-masa yang lampau. Bahkan dengan Mahesa Jenar pun seakan-akan tak ada persoalan yang dapat dipecahkan meskipun hanya untuk berpantas-pantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi mengeluh, bahwa percakapan mereka hanya semata-mata berkisar kepada persoalan Widuri yang hilang itu.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak dapat melupakan kesan itu. Kesan kesepian yang memancar dari wajah Rara Wilis. Sehingga kemudian terloncatlah pertanyaannya kepada Ki Ageng Gajah Sora. “Ki Ageng, apakah Nyai ada di rumah.”

“Oh, ada. Ada” sahut Gajah Sora terbata-bata. Ia tidak segera mengerti maksud pertanyaan itu. Sehingga Mahesa Jenar itu pun berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, ternyata Nyai Ageng ada pula di belakang. Barangkali kau akan dapat membantunya.”

“Oh. Tidak perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk saja disini.”

Rara Wilis menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata Mahesa Jenar masih juga mengingat dirinya.

Karena itu segera ia menyahut. “Baiklah kakang. Lebih baik aku kebelakang.”

Rara Wilis tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia bergeser, dan turun ke halaman, membebaskan dirinya dari kesepian di dalam keriuhan persoalan hilangnya Widuri, meskipun ternyata di sudut terpendam rasa rindunya terhadap gadis yang nakal itu. “Gadis itu harus diketemukan”, desisnya seorang diri.

———-oOo———-

II

Di hari pertama itu Mahesa Jenar mendapat banyak bahan yang didengarnya mengenai hilangnya Widuri. Arya Salaka berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu. Di dengarnya pula dari mulut gadis yang melihat hilangnya Widuri, bagaimana seorang laki-laki telah mencukungnya menghilang ke dalam semak-semak.

Persoalan itu menjadi semakin rumit di dalam hati Mahesa Jenar. Arya Salaka ternyata lebih mencemaskan nasib Endang Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar pun dapat mengerti pula, kenapa demikian. Tetapi yang mengherankan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara sendiri tampaknya tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mencari anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa hari Endang Widuri tidak dapat diketemukan, namun Kebo Kanigara itu masih saja berada di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hanya kadang-kadang ia pergi untuk mencoba mencari Widuri namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadang-kadang malam hari ia pergi, namun di pagi harinya Kebo Kanigara telah berada di biliknya pula.

Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat menanyakannya langsung kepada Kebo Kanigara. Meskipun kadang-kadang pertanyaan itu sedemikian mengganggunya, namun ia selalu berusaha untuk menekannya rapat-rapat di dalam lubuk hatinya.

Namun tiba-tiba kembali Banyubiru menjadi gempar.

Ketika hampir semua orang berputus asa, maka terjadilah suatu peristiwa yang membakar kemarahan rakyat Banyubiru. Ternyata hilangnya Widuri akan membawa akibat yang berkepanjangan.

Dua hari setelah Mahesa Jenar berada di Banyubiru, maka tiba-tiba salah sebuah gardu peronda pada malam hari melihat sesosok tubuh yang menimbulkan kecurigaan mereka. Ketika orang itu disapa oleh para peronda, maka tiba-tiba orang itu cepat-cepat berjalan menjauh. Sudah tentu, para peronda tidak akan membiarkannya pergi, sebelum didapatnya penjelasan siapakah orang itu dan apakah keperluannya. Namun orang itu benar-benar tidak mau mendekat, bahkan ketika beberapa orang berusaha mendekatinya, orang itu pun mencoba berlari.

Dengan sigapnya para peronda itu mengejarnya. Beberapa orang mendahuluinya dan mencegahnya, sehingga orang yang mencurigakan itu segera terkepung rapat-rapat.

“Siapakah kau?” desak penjaga itu.

Sesaat orang itu tidak menjawab. Dipandanginya orang-orang yang berdiri mengelilinginya. Lima orang.

”Siapa” desak penjaga itu.

Jawaban orang itu benar-benar mengejutkan. Katanya, “Apakah kepentinganmu dengan namaku?”

Para penjaga itu benar-benar keheranan sehingga sesaat mereka berdiam. Namun kemudian salah seorang diantaranya bertanya pula. “Ki Sanak. Kami adalah para peronda dari Banyubiru. Kami mempunyai wewenang untuk mengetahui, setiap orang yang berada didalam wilayah perondaan kami. Karena itu, maka katakanlah siapakah Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak.”

Kembali para penjaga itu terkejut. Orang yang tak mereka kenal itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Baiklah kalau kau ingin mengenal namaku. Orang memanggil aku, Mas Karebet.”

Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Nama itu asing bagi mereka. Karena itu maka salah seorang bertanya pula. “Darimanakah asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak di malam hari begini?”

“Tidak apa-apa”, jawab orang yang ternyata bernama Karebet itu.

“Aneh. Tetapi biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?”

“Aku berasal dari jauh. Apa pedulimu?”

Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Sehingga kemudian salah seorang daripadanya membentak. “Jangan mempersulit pekerjaan kami. Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau berkunjung ke salah seorang penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau kunjungi itu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertolak pinggang dan berkata lantang. “Jangan ganggu aku. Biarlah aku berbuat sesuka hatiku.”

“Tidak mungkin Ki Sanak. Tidak mungkin seseorang akan dapat berbuat sekehendak sendiri. Di tanah perdikan ini ada peraturan-peraturan yang harus ditaati.”

“Taatilah siapa yang mau mentaati. Aku tidak.”

“Jangan berkeras kepala, Karebet” bentak seorang penjaga yang kehilangan kesabaran. “Kau mencoba memancing kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu.”

“Jangan bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir.”

“Jangan berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan kami. Kami adalah alat-alat untuk menegakkan peraturan itu.”

“Tidak ada peraturan yang dapat mengikat aku,” sahut Karebet lantang. “Peraturan bagiku adalah ikatan-ikatan yang tak berarti. Aturan bagiku adalah keduabelah tangan dan keduabelah kakiku, pedang dilambungku dan taruhannya adalah nyawaku.”

Para penjaga itu benar-benar menjadi heran. Apakah orang itu orang gila ataukah orang yang tak waras. Namun menilik sikapnya, maka orang itu benar-benar berbahaya bagi mereka, sehingga karena itu maka mereka segera mempersiapkan diri.

Karebet yang melihat para penjaga itu bersiap, berkata pula. “He, apakah yang akan kalian lakukan?”

“Kami hanya sekadar melakukan kewajiban kami, Ki Sanak harus menyebutkan nama yang sebenarnya, keperluan yang sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang sebenarnya. Kalau tidak, kami terpaksa menangkapmu dan membawa kerumah Kepala Daerah Tanah Perdikan ini.”

Karebet itu tiba-tiba tertawa. Jawabnya, “Apakah kalian berkata sebenarnya?”

“Tentu”

“Bagus. Cobalah tangkap aku. Sudah aku katakan, bahwa peraturan bagiku adalah keduabelah tangan dan kakiku serta pedang dilambungku.”

Para penjaga itu serentak bergerak maju. Tetapi Karebetpun sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba ia telah mulai dengan sebuah serangan yang benar-benar tidak disangka-sangka. Tangannya bergerak dengan cepatnya menyambar salah seorang dari kelima penjaga itu, sehingga tiba-tiba orang itu terdorong beberapa langkah dan terbanting jatuh. Terdengar ia mengerang kesakitan dan berusaha dengan tertatih-tatih tegak kembali. Namun terasa punggungnya menjadi sakit, sehingga karena itu, maka tenaganya sudah jauh berkurang.

Keempat kawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Segera mereka menyerang bersama-sama. Tetapi, ternyata mereka berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak yang aneh dan mengagumkan. Karena itulah maka mereka tidak dapat berbuat banyak. Mas Karebet itu mampu bergerak secepat burung sikatan, dan menyambar-nyambar dengan garangnya, seperti burung rajawali. Benar-benar suatu gabungan kecakapan yang tiada taranya.

Tetapi keempat orang laskar Banyubiru dan seorang lagi yang telah hampir tak berdaya itu pun sama sekali bukan pengecut. Meskipun mereka terkejut melihat lawannya mampu bergerak dengan cepatnya, bahkan di luar dugaan mereka, namun mereka kini sedang melakukan tugas mereka, sehingga bagaimana pun juga, mereka berjuang sekuat-kuat tangan dan kaki mereka, maka mereka pun pasti masih akan tetap bertempur.

Sehingga dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin seru. Seorang diantara mereka berusaha untuk meninggalkan perkelahian itu untuk memberitahukannya kepada mereka yang masih berada di gardu penjagaan. Namun tiba-tiba Mas Karebet itu meloncat seperti seekor kijang, dan orang itu pun terpelanting pula beberapa langkah sehingga kemudian jatuh berguling di tanah.

Alangkah marahnya para peronda itu. Namun tidak banyaklah yang dapat mereka lakukan selain mencoba bertahan atas serangan-serangan Karebet yang sedemikian lincahnya.

Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan mereka. Satu demi satu mereka jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk bangun kembali.Punggung-punggung mereka terasa menjadi nyeri, dan dada mereka menjadi serasa sesak. Betapa pun mereka berusaha, namun tenaga mereka benar-benar terbatas jauh di bawah kemampuan Mas Karebet itu.

Akhirnya para peronda itu menjadi benar-benar hampir tidak berdaya. Meskipun mereka masih berusaha untuk berdiri, namun mereka sudah tidak mampu lagi untuk tegak ditempatnya. Sekali-kali mereka terhuyung-huyung dan bahkan hampir-hampir mereka tidak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri.

Karebet itu berdiri bertolak pinggang. Ditatapnya wajah para peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar ia tertawa nyaring. Katanya disela-sela suara tertawanya, “He, katakan sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus mentaati peraturanmu?”

Jawab peronda itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat namun penuh ketegasan. “Ya”

Tetapi kembali terdengar suara Karebet itu tertawa berkepanjangan. Katanya pula, “Sekarang kau lihat, bahwa peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku adalah tenagaku. Kalau kalian mampu mengalahkan aku, barulah aku akan tunduk kepada kalian.”

“Mungkin kau mampu mengalahkan kami” sahut salah seorang peronda itu, “Tetapi kau tak akan mampu menghapus peraturan yang berlaku di daerah ini. Mungkin kau kali ini dapat menghindarkan diri atas berlakunya peraturan itu. Namun tidak untuk selamanya. Kau pasti akan dihadapkan pada satu pilihan, mentaati peraturan yang berlaku di Banyubiru atau pergi meninggalkan Banyubiru.”

“Omong kosong” sahut Karebet. “Kau tidak mau mengakui kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari kebanggaan pada persoalan yang lain. Lebih baik kalian mengaku atas kekalahan ini. Hati kalian akan menjadi lapang. Dan kalian akan segera melupakannya.”

“Tidak” sahut peronda yang lain. “Kami tidak akan dapat melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat meloloskan diri dari keharusan yang berlaku, tetapi di lain kali tidak akan terulang kembali.”

Karebet itu pun tertawa pula. “Kalian adalah laskar yang baik” katanya, “Selagi kalian berhadapan dengan maut pun kalian masih tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus. Karena itu maka Banyubiru menjadi kuat.”

“Jangan terlalu sombong.”

“Aku tidak sombong. Aku berkata sebenarnya. Dan kau pun berkata sebenarnya. Aku orang yang tidak mempunyai tempat tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak terikat pada peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan berbuat apa saja yang aku kehendaki. Termasuk gadis yang hilang itu.”

“He” para peronda itu terkejut seperti disengat labah-labah biru. Betapa pun mereka menjadi lemah, namun mereka melangkah pula maju sambil berkata. “Apakah yang kau katakan tadi. Gadis yang hilang beberapa hari yang lampau yang kau maksudkan?”

“Ya” sahut Karebet. “Gadis yang hilang itu telah aku ambil.”

“Setan” terdengar salah seorang peronda itu mengumpat. “Sekarang kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini.”

“Apakah kau ingin bertempur lagi?”

“Kami belum benar-benar kau lumpuhkan” sahut peronda itu. Dan tiba-tiba terdengar gemerincing pedangnya. Dan pedang itu pun kini telah berada di dalam genggamannya. Kawan-kawannya pun segera menarik senjata-senjata mereka pula. Berkata pula peronda itu. “Kami tidak bisa mempergunakan senjata kami apabila tidak terpaksa. Kini kami melihat, bahwa seandainya kami melukai dan bahkan apabila terpaksa membunuhmu, bukan salah kami. Kami tidak biasa berbuat demikian dalam keadaan yang damai seperti sekarang. Namun keadaan ini pun keadaan yang tidak bisa pula.”

Karebet mundur selangkah. Katanya, “Jangan menjadi gila karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan senjata. Siapa yang bermain-main dengan pedang, maka ia akan sampai pada kemungkinan dilukai dengan pedang pula.”

“Kami berpijak pada kewajiban kami.”

“Bagus. Sudah aku katakan, kalian adalah laskar Banyubiru yang baik. Tapi bagaimanakah kalau kita hindarkan pertempuran ini?”

“Hanya ada satu kemungkinan” sahut peronda itu. “Serahkan Endang Widuri.”

“Syaratmu terlalu berat”

“Tidak ada syarat yang lain”

“Kalau begitu, baiklah aku melawan dengan pedang pula.”

Sebelum para peronda itu menjawab, maka Karebet itu pun telah menggenggam sebilah pedang pula. Pedang yang tidak terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan hati para peronda itu. Apalagi ketika Karebet itu berkata. “Kalian sudah tidak dapat berdiri tegak lagi. Apakah kalian masih mampu mengayunkan pedang?”

Para peronda itu tidak menjawab. Kembali mereka mendesak maju. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka melihat tiba-tiba saja Karebet telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dalam satu gerakan yang sangat cepat dan berganda, maka dengan getar kemarahan yang meluap-luap di dalam dada, mereka melihat duabilah pedang dari kelima pedang itu telah terlempar jatuh.

“Kenapa kau letakkan pedang-pedang itu?” ejek Karebet.

Mereka menjadi semakin marah. Dengan serta mereka ketiga kawannya menyerang bersama-sama. Tetapi Karebet tidak melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata, “Kalian terlalu payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa melawan sekali pun, maka kalian akan jatuh dan mati kelelahan. Nah, apakah yang akan kalian lakukan kemudian?”

Para peronda itu menggeram. Namun kata-kata itu dapat dimengertinya. Mereka tidak akan mampu lagi berlari-larian mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di antara batu padas di lereng bukit Telamaya itu.

Akhirnya, para peronda itupun berhenti dengans endirinya. Meskipun kelimanya kini menggenggam pedang di tangannya, namun mereka benar-benar menjadi bingung melawan seorang anak muda yang aneh itu.

“He para peronda yang baik” berkata Karebet itu kemudian. “Jangan mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan menjadi pingsan karenanya. Lebih baik kalian kembali ke rumah Daerah Tanah Perdikan Banyubiru. Katakanlah kepadanya, bahwa Endang Widuri yang hilang itu telah aku bawa. Namaku Karebet, berasal dari daerah Pengging. Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku sembunyikan. Nanti beberapa hari lagi, apabila purnama naik, maka Baginda Sultan Trenggana akan berburu di hutan Prawata. Pada saat itulah gadis itu akan aku serahkan kepada Baginda untuk puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya Salaka tidak merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan itu. Suruhlah ia datang dengan pasukan segelar sapapan. Maka kedatangannya akan aku sambut dengan gembira. Sebenarnya aku adalah Lurah Wira Tamtama yang terpercaya. Pasukanku telah sedia untuk mengamankan perbuatanku ini.”

Para peronda mendengar kata-kata itu dengan tubuh yang gemetar. Gemetar karena marah, heran, dendam dan kecewa. Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa mereka tidak mampu melawan anak muda yang bernama Karebet itu, sebab ia adalah Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka menjadi heran dan kecewa, apakah kekuatan itu sudah seharusnya dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Apakah dengan demikian, maka Karebet benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Wira Tamtama?

Tetapi para peronda itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu melihat Karebet itu kemudian meloncat diatas sebuah batu padas sambil menengadahkan dadanya. “Inilah Karebet yang teguh timbul. He para peronda, sampaikanlah kata-kataku kepada Arya Salaka yang berbangga hati memiliki Sasra Birawa. Nah, selamat malam, aku tunggu anak muda itu di hutan Prawata nanti pada saat purnama naik. Sebagai Kebo-Danu Banyubiru yang perkasa.”

Bukan main marah para peronda itu, sehingga salah seorang dari padanya yang tidak tahan lagi mendengar kesombongan Karebet itu dengan serta merta melontarkan pedangnya. Tetapi dengan tawa yang menyakitkan hati, pedang itu disentuh oleh Mas Karebet dengan pedangnya pula. Suara gemerincing di lereng bukit itu, memberitahukan bahwa pedang yang dilontarkan itu terlempar jatuh ke dalam lereng yang terjal.

“Lihatlah bulan yang hampir bulat di langit. Meskipun bulan itu sudah hampir tenggelam. Itu adalah pertanda bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi.”

Sebelum para peronda itu berbuat sesuatu, maka bayangan anak muda yang berdiri di atas batu karang itu seakan-akan melayang yang hilang di balik batu itu. Para peronda itu masih berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka sudah tidak menemukan lagi. Jejaknya pun tidak.

Berbagai perasaan bergolak di dalam dada para peronda itu. Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang hilang. Dan sudah sekian lama mereka tidak dapat menemukan jejaknya. Kini tiba-tiba mereka mendengar langsung, bahwa gadis itu telah dilarikan oleh anak muda yang bernama Karebet. Dengan suara parau peronda itu berkata, “Pantas. Kalau bukan anak muda itu, maka sudah pasti Endang Widuri tidak akan berhasil dikalahkannya. Bukankah anak gadis itu sendiri mampu bertempur melampaui kita masing-masing. Bahkan kita berlima sekaligus.”

Yang lain-lain menganggukkan kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat tinggal diam dengan penuh kekaguman. Tiba-tiba mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan mereka dengar itu harus mereka sampaikan kepada Kepala Daerah Perdikan mereka. Karena itulah maka dengan tergesa-gesa mereka berjalan kembali ke gardu mereka. Menceriterakan kepada kawan-kawan mereka yang mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman.

“Kami akan pergi ke rumah Ki Ageng” berkata peronda itu.

“Kenapa kalian tidak memberi tahukan kepada kami? Mungkin kami akan dapat membantu menangkap orang itu, apabila kami datang bersama-sama.”

“Sudah kami usahakan, tetapi kami tidak sempat melakukan.”

Kelima orang itu pun segera meninggalkan gardu mereka, dan dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora.

Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Para penjaga di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula. Dengan serta merta mereka bertanya, “Ada apa digardumu?”

“Penting sekali” jawab yang ditanya. “Kami menghadap Ki Ageng.”

“Malam-malam begini? tidak besok pagi?”

“Terlalu penting.”

“Soal apa?”

“Gadis yang hilang itu.”

“He” penjaga itu terkejut. “Kau menemukannya.”

“Akan aku beritahukan kepada Ki Ageng.”

“Ya. Tetapi apakah sudah kau ketemukan?”

“Berilah kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesa-gesa sekali.”

“Oh” penjaga itu pun sadar, bahwa ia harus membangunkan Ki Ageng. Karena itu, maka cepat-cepat ia pergi ke samping rumah dan perlahan-lahan mengetuk dinding ditentang pembaringan Ki Ageng.

“Siapa?” terdengar sapa dari dalam.

“Kami, para penjaga Ki Ageng.”

“Ada apa?”

“Seseorang peronda melaporkan tentang gadis yang hilang itu.”

“He” Ki Ageng Gajah Sora terkejut sehingga ia terloncat dari pembaringannya. Penjaga yang membangunkan itu mendengar pembaringan Ki Ageng berderak dan didengarnya langkah tergesa-gesa keluar dari dalam biliknya.

Sesaat kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka, dan Ki Ageng muncul di ambang pintu.

“Siapa yang membangunkan aku?”

Penjaga itu telah berdiri disamping tangga pendapa. Sehingga dari sana ia menjawab, “Aku Ki Ageng.”

“Kemari. Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui tentang gadis itu.”

Penjaga-penjaga itu pun membawa kelima orang peronda yang bertemu dengan Karebet, naik ke pendapa. Ki Ageng Gajah Sora pun segera menerima mereka.

“Penting sekali?” bertanya Ki Ageng.

“Ya, Ki Ageng” jawab salah seorang dari mereka.

“Apakah kalian menemukan jejaknya,” bertanya Ki Ageng.

“Ya” jawab peronda itu.

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Kemudian berkatalah ia kepada penjaga rumahnya, “Bangunkan tamu-tamu kita. Mereka sebaiknya mendengar juga tentang hal ini.”

Para penjaga itu pun segera membangunkan tamu-tamu Ki Ageng Gajah Sora yang berada di dalam gandok-gandok rumah itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan Arya Salaka. Sehingga sesaat kemudian pendapa Banyubiru itu telah terjadi suatu pertemuan yang lengkap. Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Kebo Kanigara beserta beberapa orang lain. Mahesa Jenar duduk dengan dada berdebar-debar. Hampir tidak sabar Arya Salaka bertanya dengan suara parau sambil mengusap matanya yang masih agak kemerah-merahan. “Cepat, katakan, apa yang kau lihat.”

Peronda itu menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar pula setelah ia duduk bersama dengan orang-orang yang dikaguminya itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa orang. Bagaimanakah seandainya mereka bersama-sama maju bertempur. Di kenangnya kata-kata Mas Karebet itu. “Suruhlah ia datang segelar sapapan.”

Tiba-tiba dada peronda itu seakan-akan mengembang. Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang tidak kalah saktinya dengan Mas Karebet.

“He. Kenapa kau malah tertidur.” bentak Arya Salaka.

Orang itu terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata, “Tidak. Aku tidak tertidur.”

“Katakanlah”

Salah seorang dari peronda itu pun kemudian mulai dengan ceritanya. Ditemuinya seorang yang mencurigakan. Dan diketahui kemudian apa yang telah dilakukan. Orang itulah yang menculik Endang Widuri.

“Hem” geram Arya Salaka. “Kalian berlima tidak dapat menangkapnya.”

“Tidak” jawabnya.

“Apakah kau dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri orang itu?” desak Arya tidak sabar.

“Orang itu menyebut namanya”

“He” bukan main terkejut Arya Salaka, dan bahkan semua yang ada di pendapa itu “Orang itu berani menyebut namanya,” suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan tiada taranya. Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti seorang yang perkasa. Bahkan ia menyadari pula bahwa orang itu pasti terlalu percaya kepada diri sendiri. “Siapakah nama orang itu?”

Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Apakah nama itu nama sebenarnya? Kalau tidak, maka akan sia-sialah laporannya ini. Atau kalau nama itu nama sebenarnya sekalipun, apakah orang-orang yang berada di pendapa ini telah pernah mengenalnya?

Karena ia tidak segera menjawab, maka Arya Salaka menjadi jengkel, sehingga ia berteriak. “Siapa namanya he?”

Kembali peronda itu terkejut, dan dengan serta merta pula ia mengucapkan nama itu, katanya. “Ia menyebut namanya sendiri Karebet.”

“Karebet” tanpa disengaja Arya Salaka mengulangi nama itu dengan kerasnya. Bahkan sekali ia bergeser maju dan mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak. “Karebet kau bilang.”

Peronda itu mengangguk. “Ya”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan seisi pendapa. Benar-benar tak mereka sangka bahwa yang mengambil Endang Widuri adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang belum pernah mendengar nama itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa pun. Tetapi Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak berpaling ke arah Kebo Kanigara. Dan terdengar Mahesa Jenar menggeram perlahan. “Karebet.”

“Paman” tiba-tiba Arya Salaka itu berteriak. “Paman Kebo Kanigara. Bagaimanakah itu? Kenapa yang berbuat curang itu justru Karebet. Kenapa?”

Mahesa Jenar terpaksa bergeser pula maju. dengan sabarnya ia berkata. “Arya. Tenanglah. Tenanglah sedikit. Marilah kita berbicara dengan hati yang lapang.”

“Tetapi bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo Kanigara?”

“Ya. Karebet itu memang kemanakan pamanmu Kebo Kanigara,” sahut Mahesa Jenar, masih setenang semula. “Tetapi ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu pula.”

“Oh” Arya Salaka menekan dadanya. Dada itu serasa akan pecah karenanya. Tetapi kini ia menundukkan wajahnya. Endang Widuri adalah puteri Kebo Kanigara. Sehingga dengan demikian, maka seharusnya Kebo Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah daripada dirinya.

Kebo Kanigara menjadi gelisah pula karenanya. dengan wajah yang suram ia berkata, “Ya. Karebet adalah kemenakanku.”

Sesaat pendapa itu menjadi sepi. Angin yang dingin telah menyentuh tubuh-tubuh mereka yang hangat karena hati mereka yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini.

Dalam keheningan itu kembali terdengar Suara Arya Salaka gemetar. “Sekarang dimanakah Karebet itu?”

“Anak muda itu telah menghilang.”

“Hem” Arya Salaka menggeram penuh kemarahan. “Apakah kita akan dapat menemukannya?”

“Ya” sahut peronda itu.

  “He. Apakah yang kau katakan” Arya Salaka menjadi semakin gelisah. “Kau katakan bahwa ada kemungkinan untuk menemukannya?”

“Ya” sahut orang itu. “Bahkan orang itu mengharap kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru.”

“Gila” teriak Arya. “Atau kaukah yang gila itu?”

“Tidak. Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama naik, Baginda Sultan Tranggana akan berburu ke hutan Prawata.”

“Gila. Kau yang benar-benar telah gila. Aku bertanya tentang Karebet. Bukan tentang Sultan Tranggana,”

“Ini adalah kelanjutan dari peristiwa itu” sahut orang itu. “Nanti pada saat purnama naik, Baginda akan pergi berburu.”

“Itu sudah kau katakan.”

“Ya. ya,” peronda itu menjadi gugup. Dan karenanya maka kata-katanya menjadi kurang teratur. “Diperburuan itu, maka Karebet akan menyerahkan Endang Widuri kepada Baginda untuk puteranda Pangeran Timur.”

“Kau berkata sebenarnya?” potong Arya tergagap.

“Ya. Dan dikatakan oleh Karebet itu, bahwa seandainya Arya Salaka yang membanggakan Sasra Birawa itu tidak merelakannya, maka dipersilakan ia datang dengan pasukan segelar sapapan. Karebet yang katanya lurah Wira Tamtama akan menyambutnya dengan senang hati.”

“Begitu katanya?” teriak Arya.

“Ya”

Kembali Arya Salaka kehilangan pengamatan diri. Sambil mengguncangkan tubuh peronda itu ia berteriak. “Dimana kau temui Karebet itu?”

“Diperbatasan, di Sendang Muncul.”

Arya Salaka tidak menjawab. Tiba-tiba ia meloncat berlari ke belakang. Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun Mahesa Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal tabiat anak itu, segera mengetahui, bahwa Arya Salaka berlari untuk mengambil kudanya. Karena itu maka keduanya hampir bersamaan memanggilnya. “Arya. Arya Salaka.”

Tetapi Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus ke kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya pelana kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor kuda berlari seperti angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai hati melepas Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet yang aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka benar-benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan.

Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk membeku dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang kemerah-merahan bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo di halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah tarian yang pedih.

Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah membayang di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia menarik nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan matanya. Sesuatu yang maha berat sedang menghimpit hatinya, namun hatinya itu berdoa kepada Yang Maha Agung, semoga semuanya dapat selesai dengan sebaik-baiknya.

Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap itu, benar-benar seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya yang dapat menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir jalan atau apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada dikepalanya hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet, seorang yang pernah dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul dengan rapatnya sebagai dua orang sahabat yang akrab.

“Kenapa kakang Karebet itu sampai hati berbuat demikian” desah Arya Salaka didalam hatinya. “Tetapi, apapun yang pernah terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang Karang Tunggal tidak saja berkata terus terang dan membicarakannya dengan orang tua-tua.”

Semakin diangan-angankannya, maka darah Arya semakin meluap-luap. Arya Salaka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu sampai di perbatasan arah Sendang Muncul.

Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat yang sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang berserak-serakan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran disana-sini.

Arya Salaka yang marah itu menghentikan kudanya. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung hitam diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya gerumbul-gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah pekuburan yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas dengan tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati yang melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu. Disasaknya gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya kegelapan malam di sela-sela batu karang. Tetapi yang dicarinya tidak diketemukannya.

Arya Salaka itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan kesadaran diri .Tiba-tiba ia meloncat naik ke atas batu karang sambil berteriak keras-keras. “He Karebet. Jangan menunggu Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita selesaikan persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan perbuatan terkutuk itu. He. Karebet. Karebet………”

Suara Arya Salaka menggeletar memukul tebing-tebing pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar tanpa arti. Tak seorang pun yang menyahut.

Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali lagi ia berteriak. “Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau akan diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita berhadapan sebagai jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan segelar sapapan. Karebet……”

Suara itu pun menggelepar di kesunyian malam. Gemerisik angin pegunungan membawa udara yang dingin sejuk. Helai-helai daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang lembab oleh embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan angin.

Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka itu adalah orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin orang lain. Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung pepohonan. Sinarnya telah memerah dan hampir tenggelam. Namun cahayanya yang dipantulkan oleh wajah Rawa Pening, masih tampak kuning kemerahan, berkilat-kilat.

“Arya” terdengar suara lembut dari bawah batu karang itu.

Arya yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih juga mendengar suara itu. Suara yang telah dikenalnya baik-baik, melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah suara gurunya. Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas batu karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya belum juga dapat ditenangkannya.

“Arya” suara itu didengarnya kembali. Betapa ia dihanyutkan oleh kemarahannya, namun suara itu benar-benar berpengaruh padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling. Dilihatnya di dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas punggung kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.

“Arya” kali ini ia mendengar suara ayahnya. “Turunlah.”

Arya masih berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir lenyap di balik pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba ia berkata nyaring. “Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera bersiap untuk menyambut Karebet di hutan Prawata.”

“Sabarlah Arya” desis Mahesa Jenar. “Turunlah, marilah kita bicarakan soalmu ini.”

Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu karang itu tidak ditemuinya Karebet dan juga akan ditemuinya gadis yang hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun.

“Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa Jenar.

Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya yang duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di dalam malam yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan dalam wajah itu. Selain, tegang.

“Marilah kita pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar.

Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang tempat-tempat yang gelap disekelilingnya.

“Anak itu sudah pergi,” desis ayahnya.

Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia menuju kekudanya.

“Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,” berkata ayahnya mendesak.

Arya Salaka itu kemudian menjadi seakan-akan kehilangan segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas, marah dan tanggapan yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan hati yang kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan lesunya ia mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya. Rumah yang seakan-akan menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari tempat ini.

Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke rumah Gajah Sora. Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan melarikannya. Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam malam yang semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam. Tetapi dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga kalinya.

Arya Salaka menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga ia tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia mempercepat langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda dibelakangnya, tak sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka. Mereka seakan-akan onggokan benda-benda mati yang terikat erat-erat di atas punggung kuda.

———-oOo———–

III

Ketika matahari mulai melemparkan cahayanya yang pertama, menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa Jenar telah dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman. Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya. “Akan kemanakah Ki Ageng sepagi ini?”

“Aku akan kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora.

“Oh” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam kesibukan yang semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu Sora akan kembali ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula. “Apakah ada sesuatu keperluan yang mendesak?”

KI Ageng Lembu Sora lah yang kini memandang Mahesa Jenar dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia menjawab juga. “Saat purnama naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak akan dapat tinggal diam. Pasukan Pamingit akan membantu Arya Salaka menghadapi Karebet di hutan Prawata.”

“He” Mahesa Jenar benar-benar terkejut seperti disambar petir melesat. Jadi Arya Salaka telah mengambil keputusan yang berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi gemetar karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa. Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh-sungguh itu. Baru kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan berkata, “Ki Ageng apakah itu merupakan keputusan Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana pula?”

“Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan pula? Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan Pangrantunan lama termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan Pamingit dari genggaman orang-orang golongan hitam beberapa waktu lampau. Apakah sekarang, aku harus membiarkan kehormatan Arya Salaka diinjak-injak orang lain?”

“Hem” Mahesa Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu Sora masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama, meskipun dalam persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan dan nafsu untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini Ki Ageng Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang dahulu pernah dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban untuk membalas kebaikan hati Arya Salaka. Karena itu maka Mahesa Jenar itu pun berkata, “Baiklah aku mencoba menemui kakang Gajah Sora”.

Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa Jenar dengan pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan Karebet? Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Kembali ia mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang yang paling dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata nanti pada saat purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka sebelumnya pasukannya harus siap pula di Banyubiru.

Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng Gajah Sora yang duduk diserambi belakang rumahnya bersama-sama dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak merah membara sedang tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh.

Ketika mereka melihat Mahesa Jenar mendatangi mereka, maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya duduk bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah gurunya yang tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat. Tanpa disengaja ia menundukkan wajahnya.

“Kakang” berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora. “Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.”

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya pendek.

“Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segala-galanya tentang keputusan Arya Salaka.”

Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.

Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung. Ditatapnya pohon-pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Sekali-kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya matahari yang bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula.

Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Namun kemudian terdengar suaranya serak. “Ya. Apa boleh buat.”

Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak beberapa kerut-kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata, “Sudahkah kakang mempertimbangkannya masak-masak.”

Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh pertanyaan. Apakah gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu?”

Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya. Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan jantungnya. “Ya, apakah keputusan itu sudah sebaik-baiknya?” Pertanyaan itu timbul pula didalam hatinya. Tetapi ketika dipandanginya wajah anaknya yang merah padam, timbul pula kasihan di dalam dirinya. Anak satu-satunya yang dengan gigih telah berjuang untuk kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia dibawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri?

Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab, maka Mahesa Jenar itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka, katanya, “Arya. Apakah kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira dapat terjadi dengan keputusan itu?”

Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di dalam hatinya memaksakan menjawab. “Tak ada pilihan lain paman.”

Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya, “Apakah kau telah mencobanya?”

Arya mengerutkan alisnya. Desisnya, “Apa yang dapat dicoba?”

“Arya” berkata Mahesa Jenar. “Dalam persoalan ini masih harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas kehendak sendiri untuk mendapatkan hadiah atau pangkat atau apapun, maka akan ternyata bahwa kau terlalu tergesa-gesa. Mungkin Baginda sendiri akan menolak persembahan itu. Dan masih ada seribu satu macam kemungkinan yang lain.”

“Tidak paman”, jawab Arya tegas. Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap demikian kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus. “Sudah jelas dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk Pangeran Timur. Kalau perintah itu tidak turun dari istana, apakah Karebet berani mempersembahkan seorang yang hanya diambilnya dari pegunungan? Apakah itu bukan merupakan penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri? Tetapi hal itu pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman, seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak akan merasa dihinakan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia berkata, bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya karena penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa Karebet itu sengaja memancing kemarahan Arya Salaka?

Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya. Disadarinya bahwa hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa Jenar pun dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian, ketika ia kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang lalu. Seorang yang tidak tahu sebab musababnya, Sagotra, hampir-hampir dicekiknya sampai mati. Namun kini Arya Salaka menghadapi persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya pada saat itu. Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang.

Mahesa Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak dapat mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia tidak ingin kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab hampir pasti, bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah tentu bahwa hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus menyaksikan pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan Demak. Beberapa tahun yang lampau ia berusaha mati-matian untuk menghindarkan pertentangan itu. Pertentangan yang timbul karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman saja. Kini soal itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi Arya Salaka persoalan ini adalah persoalan harga diri, kehormatan dan yang lebih penting adalah gairah bagi masa depannya.

Mahesa Jenar itu pun kemudian meninggalkan serambi belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun kemudian pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk menyiapkan laskarnya.

Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih duduk merenung ditempatnya. Terbayanglah apa yang pernah dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat dirinya akan ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat tuduhan menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Pada saat itu ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat kibaran panji-panji Gula Kelapa diantara sepasukan Manggala pati. Bendera yang melambangkan kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan anaknya melawan Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu. Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba menjadi hancur. Hancur seperti yang pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ia kini tidak mampu mencegah anaknya berbuat demikian.

Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk kembali ke Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya Salaka memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya, mengambil Endang Widuri untuk puteranya.

Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya melanjutkan niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng Gajah Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana. Namun Arya Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri dengan segala akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-olah Arya Salakalah yang telah mempertahankan kedudukannya di Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun dari tangan golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk mempergunakan kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian dalam kemarahan Arya Salaka itu.

Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus asa. Dibiarkannya Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan laskarnya dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia masih berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu. Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya setiap persoalan dan setiap sikap dari orang-orang yang berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu sikap, betapa pun berat hatinya untuk melakukannya. Menemui Kebo Kanigara seorang diri.

Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.

Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.

“Terima kasih kakang”, sahut Mahesa Jenar sambil duduk dipembaringan Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam waktu yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan bercakap-cakap. Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah yang paling ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan yang sama. Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber kekuatan Ki Ageng Pengging Sepuh.

Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah canggungnya. Mereka berdua tidak segera menyadari apakah sebabnya dari kecanggungan itu, namun terasa ada sesuatu yang diantara mereka yang kurang sewajarnya.

Setelah mencobanya menenangkan hatinya, maka Mahesa Jenar mencoba mulai dengan persoalannya. Katanya, “Kakang. Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang akan membantu kakang mengambil kembali Widuri dari tangan Karebet?”

Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya keheningan malam di luar pintu biliknya. Di samping dinding didengarnya jengkerik seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang tak akan dapat dijumpainya.

Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya Salaka, Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Semua berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang tinggi. Mereka berniat mempertahankan kehormatan nama kakang Kebo Kanigara dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan segera datang dan membantu Arya Salaka pula.”

Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan punggungnya menjadi basah oleh keringat.

“Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah bersedia mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu, apakah Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka bahwa Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat demikian sehingga Baginda tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Namun menilik kata-kata Karebet, maka Baginda pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan mungkin kesatuan-kesatuan yang lain”.

Kebo Kanigara masih berdiam diri. Keringatnya semakin banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar Mahesa Jenar berkata, “Kakang, kalau terjadi pertempuran antara kedua pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau Baginda telah siap menghadapi Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan tumpas. Beratus-ratus orang Banyubiru dan Pamingit akan menjadi korban. Tetapi kalau Baginda tidak mempersiapkan dirinya, maka laskar Demaklah yang akan binasa. Baginda akan terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan Arya Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang baik, yang telah berhasil membunuh rajanya sendiri.”

“Sudahlah Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Suaranya perlahan-lahan dan parau. “Aku sudah menyangka bahwa hal-hal yang demikian dapat terjadi.”

“Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang sudah dapat membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang? Apakah sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi tegang.

Yang mula-mula berkata di antara mereka adalah Mahesa Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata. “Bagaimanakah sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan itu?”

“Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara “aku sedang bersedih karena kehilangan Widuri. Karena itu, aku tidak dapat berpikir, jalan manakah yang sebaiknya aku tempuh untuk menemukannya. Apabila kemudian kita ketahui bahwa anak itu dibawa oleh Karebet dan akan dibawanya ke Hutan Prawata, maka bagiku tidak ada pilihan lain dari pada datang merebutnya.”­

”Dengan kekerasan?”

”Kalau itu kemungkinan satu-satunya.”

“Kakang” berkata Mahesa Jenar ber-sungguh-sungguh, “kakang masih mempunyai kesempatan untuk menghindar­kan pertumpahan darah itu. Bukankah kakang Kebo Kanigara putera Pangeran Handayaningrat. Bukankah kakang Kebo Kanigara dapat menghadap Baginda dan menjelaskan per­soalannya kepada Baginda? Dan bukankah kakang berhak untuk mengambil puteri kakang itu sendiri?

“Mahesa Jenar. Sultan Trenggana adalah seorang yang keras hati. Kalau sudah terkandung maksud oleh Baginda, maka tak seorang pun akan dapat merubahnya.”

“Tetapi Karebet itu adalah kemanakan kakang. Kare­bet sedemikian takutnya kepada kakang Kebo Kanigara. Apakah kakang tidak dapat memaksanya untuk menyerahkan Widuri itu kepada kakang?”

”Karebet memang takut kepadaku, Mahesa Jenar. Namun ternyata bahwa di belakangnya kini berada satu ke­kuatan yanq akan dapat melawan aku. Mungkin karena itulah ia berani berbuat sedemikian atas Widuri itu.”

“Tetapi, bukankah Karebet itu dapat berbuat lain dari yang dilakukannya itu? Mungkin ia dapat datang kepada kakang Kebo Kanigara dan minta kepada kakang untuk menghadap Baginda, sedang Baginda akan dapat langsung mengambil Widuri dari kakang Kebo Kanigara. Dan apakah keuntungan Karebet dengan menghinakan Arya Salaka dan menantangnya untuk mengambil Widuri di hutan Prawata nanti pada saat Purnama naik?”

Kebo Kanigara itu pun terdiam. Dan kembali Mahesa Jenar berkata “Apakah karena Karebet ingin melihat pertumpahan darah di antara sesama rakyat Demak atau barangkali Karebet ingin menunjukkan kejantanannya di ­hadapan Sultan Trenggana? Atau apa?”­

“Jangan menambah aku menjadi bingung Mahesa Jenar.”

“Kakang,  baiklah aku berterus terang. Apakah kakang cukup berduka atas hilangnya Widuri, satu-satunya anak yang kakang kasihi selama ini? Apakah kakang cukup menun­jukkan usaha untuk menemukannya sampai saat ini ? Kakang, sekali lagi, baiklah aku berterus terang, supaya tidak terjadi salah tangkap dari segala perbuatan kakang itu. Apakah kakang telah berusaha melepaskan Widuri dari kemungkinarn hubungan yang lebih erat dengan Arya Salaka dengan alat Karebet itu?”­

“Mahesa Jenar.” potong Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ya menundukkan wajahnya. Diluar malam menjadi semakin kelam. Dan malam yang kelam itu benar-benar mendebarkan.

Di antara gemerisik angin malam, kembali terdengar suara Mahesa Jenar yang berat “Kakang. Maafkanlah. aku kakang, tetapi sebaiknya aku tidak menyirnpan pertanyaan-pertanyaan itu di hatiku. Lebih daripada yang telah aku katakan, kakang. Sebenarnya aku tidak dapat mengerti, kenapa kakang masih saja bersikap acuh tak acuh atas hilangnya Widuri.”

Kebo Kanigara mengangkat wajahnya. Wajah yang tiba-tiba menjadi sedemikian tegangnya. Perlahan-lahan terdengar ia bergumam, “Mahesa Jenar, apakah kau berprasanqka buruk terhadapku?”

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Bahkan ter­jadilah beberapa persoalan di dalam dirinya. Menurut kata-kata Kebo Kanigara, maka betapa Kebo Kanigara itu menjadi sedemikian bingungnya sehingga ia sudah tidak dapat lagi berpikir wajar. Namun apakah seorang Kebo Kanigara dapat menjadi sedemikian kehilangan segala macam pertimbangan? Betapa ia menyayangi anaknya itu, namun sudah pasti bahwa Kebo Kanigara akan tetap dalam keseimbangan. Ia pasti akan berusaha mencari anaknya. lebih dari yang telah dilakukannya sekarang. Tidaklah mungkin kalau Kebo Kani­gara hanya akan sekedar menunggu bantuan Arya Salaka dengan laskarnya. Bahkan membiarkan pertentangan yang akan semakin memuncak antara Banyu Biru dan Demak karena anak puterinya yang hilang dibawa oleh Karebet, “Aneh” gumam Mahesa Jenar di dalam dirinya. Sehingga karena itulah maka ia menjawab pertanyaan Kebo Kanigara “Kakang, sebenarnyalah aku menjadi sangat heran. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang telah kakang lakukan. Namun dalam tangkapan perasaanku, kakang telah berbuat diluar kewajaran.”

“Hem” Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. “apakah yang seharusnya aku lakukan, Mahesa Jenar?”

“Menyelesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah. Tanpa memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa memungkinkan kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.”

“Apakah aku mampu berbuat demikian?”

“Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Kakang tentu mampu. Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar-benar dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka kakang dapat menjelaskan persoalannya.”

“Sulit bagiku Mahesa Jenar.”

“Kakang,” wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula. “Maafkan aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari Arya Salaka? Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca antara Arya Salaka dan Pangeran Timur. Namun, kakang tidak sampai hati memberitahukannya kepada keluarga Arya Salaka?”

“Mahesa Jenar” potong Kebo Kanigara. “Jangan kau katakan itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan dapat berpikir sebaik-baiknya.”

“Tetapi apa yang kakang lakukan benar-benar menimbul-kan berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah kakang sengaja memancing pertentangan dan membinasakan Arya Salaka untuk menyelesaikan persoalan ini.”

“Cukup. Cukup Mahesa Jenar.”

“Beri aku penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya aku dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang Kebo Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk membinasakan Sultan Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga kakang dan lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat, apalagi dengan terusirnya Karebet dari istana Demak?”

Wajah Kebo Kanigara itu tiba-tiba menjadi suram. Demikian suramnya sehingga Mahesa Jenar terhenti dengan sendirinya. Ia mengharap Kebo Kanigara membela diri dan menyatakan alasan-alasan yang sebenarnya. Tetapi Kebo Kanigara itu berkata. “Sampai hati kau menuduh aku demikian Mahesa Jenar?”

Mahesa Jenar pun kini terdiam sesaat. Hatinya menjadi sedemikian risaunya sehingga terpaksa ia mengeluh pula. “Alangkah rumitnya persoalan kali ini. Kakang, jadi kakang telah bertekad dan membiarkan Arya membuat penyelesaian menurut caranya?”

Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya. Terasa benar pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam hatinya. Hati yang selama ini selalu tenang dan tenteram. Namun hati itu kini bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang dahsyat.

Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab. “Untuk sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang lain.”

Mahesa Jenar menarik nafas. Ia tidak akan berhasil untuk mengubah pendirian Kebo Kanigara yang aneh dan tidak dapat dimengertinya. Tetapi ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Namun betapapun juga alasannya, apakah ia akan dapat melihat bentrokan yang terjadi antara Banyubiru dan Demak di hutan Prawata nanti? Apakah ia akan dapat melihat laskar Banyubiru binasa? Laskar yang telah berhasil melepaskan diri dari satu ujian yang maha berat, membebaskan diri merekadari orang-orang golongan hitam. Dankini mereka akan terperosok ke dalam kehancuran yang mutlak? Sedang apabila Sultan tidak berprasangka akan datangnya bahaya itu, apakah ia juga akan dapat melihat bagian kecil dari laskar Demak dan mungkin Sultan sendiri binasa?

Mahesa Jenar itu menggeram. Dadanya serasa benar-benar akan pecah. Namun sementara itu, ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka dengan nada yang dalam ia minta diri kepada Kebo Kanigara itu, katanya “Baiklah kakang. Biarkan kakang beristirahat malam ini. Mungkin pekerjaan kakang akan menjadi semakin banyak besok.”

Kebo Kanigara menggigit bibirnya. Jawabnya lemah. “Baiklah Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian segera meninggalkan bilik Kebo Kanigara. Dihalaman ia mendengar kentongan dikejauhan dalam nada dara muluk.

“Tengah malam” gumamnya. Dan sesaat kemudian para penjaga di halaman itu pun memukul kentongannya pula dalam nada yang sama. Ketika Mahesa Jenar kemudian menengarahkan wajahnya, maka dadanya berdesir. Dilihatnya bulan yang hampir bulat mengapung di langit dengan tenangnya. Sehelai-helai awan yang tipis terbang menyapu wajah bulan itu. Di langit yang biru, kelelawar berterbangan berkejar-kejaran seperti sedang bergurau.

Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak tertarik pada kelelawar, pada awan dan bintang-bintang di langit. Yang sangat menarik perhatiannya adalah bulan yang hampir penuh itu. Sehingga perlahan-lahan ia bergumam sendiri. “Empat hari lagi purnama penuh akan naik. Pada saat itu, Sultan Trenggana akan membuat perkemahan di hutan Prawata. Pada saat itu Arya Salaka akan mengepungnya dan menuntut Widuri kembali. Kalau mereka tidak menemukan kata sepakat, maka keduanya akan bertempur dan akan saling membinasakan.”

 Kembali Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Udara yang dingin menyentuh dadanya dan terdengar ia berdesah perlahan-lahan. Telah terbayang dimatanya, mayat yang bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Bukan. Sama sekali bukan lawan. Keduanya adalah kawan. Sebab keduanya adalah isi dari kerajaan yang seharusnya berada dalam persatuan dan kesatuan yang bulat. Tetapi sudah hampir pasti bahwa mereka tidak akan pernah menemukan kata sepakat. Seandainya benar Baginda menerima Endang Widuri, maka Baginda sudah tentu tidak akan bersedia menyerahkan apabila dihadapannya telah mengancam sepasukan laskar. Tetapi mungkin Baginda akan bersedia apabila ayah gadis itu sendiri datang kepadanya dan menjelaskan persoalannya dengan baik. Tetapi Kebo Kanigara tetap dalam pendiriannya. “Aneh” sekali lagi ia bergumam. “Aneh, dan tidak wajar.”

Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada Mahesa Jenar itu. Ia dengan tiba-tiba saja teringat, bahwa masih ada seorang yang dapat mempengaruhi pendapat Kebo Kanigara. Kalau orang itu dapat mengerti persoalannya, dan bersedia memanggil Kebo Kanigara, maka persoalannya masih mungkin dipecahkan. Karena itu, maka timbullah kembali harapan di dalam dada Mahesa Jenar. Dengan langkah yang tetap ia kemudian masuk ke dalam biliknya untuk beristirahat. Mudah-mudahan ia akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Tetapi malam itu Mahesa Jenar tidak dapat beristirahat sama sekali. Kalau ia sesaat dapat memejamkan matanya dan lupa diri, maka seakan-akan sesuatu yang berat menghimpit dadanya, sehingga tergagap ia bangun kembali. Berulang-ulang dan bahkan kadang-kadang tubuhnya serasa menjadi kejang. Meskipun ia menyadari dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi, namun untuk beberapa lama ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya.

“Hem” Mahesa Jenar itu menggeram. Sebagai seorang yang terlatih, maka ia mampu menguasai tubuhnya dengan sebaik-baiknya. Namun dalam kerisauan ini, Mahesa Jenar seakan-akan benar-benar menjadi terganggu lahir dan batinnya.

Ketika ia bangkit dari pembaringannya di pagi-pagi benar, maka dilihatnya Rara Wilis sedang membantu Nyai Ageng menghidangkan minuman kepada mereka yang berada di dalam rumah itu, kepada Ki Ageng Gajah Sora sendiri dan tamu-tamunya. Ketika Rara Wilis itu masuk ke dalam bilik Mahesa Jenar, tampaklah gadis itu terkejut. Dan tanpa sesadarnya ia menyapa. “Kakang, apakah kakang sedang sakit?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tidak Wilis. Aku tidak sedang sakit. Kenapa?”

“Kakang pucat sekali.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin benar kata Rara Wilis, bahwa ia pucat sekali. Sambil menggosok wajahnya Mahesa Jenar itu berkata, “Wilis duduklah sebentar. Ada yang ingin aku katakan kepadamu.”

Rara Wilis itu pun segera duduk di samping Mahesa Jenar. Wajahnya pun memancarkan berbagai pertanyaan. Karena itu tidak hampir sabar ia menunggu Mahesa Jenar berkata, “Wilis. Nanti aku antar kau pulang ke Gunungkidul”.

Rara Wilis terkejut bukan kepalang. Sesaat ia terbungkam dan wajahnya menjadi pucat. Ia sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.

“Jangan terkejut Wilis,” sambung Mahesa Jenar. “Aku tidak berkata sebenarnya. Tetapi aku hanya ingin kau membantuku menyelesaikan persoalan ini.”

“Oh” Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. “Kakang mengejutkan aku.”

“Tetapi kau harus menjawab demikian kepada siapa pun juga, bahwa aku hari ini akan mengantarkan kau pulang ke Gunungkidul.”

Rara Wilis itu mengangguk kosong. Namun sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.

“Pergilah ke Ki Ageng Pandan Alas. Kau harus mohon diri pula kepada semua orang disini. Katakan bahwa kau ingin sekali segera kembali.”

Sekali lagi Rara Wilis itu mengangguk. Dan setelah Mahesa Jenar memberinya beberapa pesan, maka mulailah Rara Wilis menyampaikan maksud itu kepada Nyai Ageng Gajah Sora beserta keluarganya.

Tentu saja semuanya yang mendengar keinginan itu terkejut bukan kepalang. Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka dan orang-orang lain. Bahkan Kebo Kanigara hampir tak dapat berkata apapun mendengar maksud itu. Dengan penuh harapan mereka mencegah maksudnya itu. Namun, Rara Wilis dan Mahesa Jenar tidak dapat diminta untuk menunda kepergian itu. Bahkan Arya Salaka yang dengan penuh permintaan mengharap gurunya mengurungkan niatnya, namun Mahesa Jenar tetap pada pendiriannya.

Katanya kepada Arya Salaka. “Aku dapat menempuh perjalanan itu empat hari pulang-balik. Aku akan kembali tepat pada saat Purnama naik, atau bahkan sebelumnya. Aku akan ikut ke hutan Prawata dan aku akan menyaksikan apa yang terjadi”.

Ki Ageng Pandan Alas yang tenang-tenang saja melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi. Rara Wilis telah mengatakan apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar. Namun bahwa orang tua itu tidak ikut serta, adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh orang-orang Banyubiru.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis pagi itu benar-benar pergi meninggalkan Banyubiru. Mereka sama sekali tidak membawa bekal apapun selain senjata-senjata mereka, busur dan beberapa anak panah untuk berburu di perjalanan.

Di regol halaman, Kebo Kanigara berbisik perlahan kepada Mahesa Jenar, “Mahesa Jenar, apakah sebenarnya yang akan kau lakukan?”

“Aku benar-benar akan mengantar Rara Wilis kakang,” sahut Mahesa Jenar lemah.

“Aku menjadi ragu-ragu atas kepergianmu ini,” berkata Kebo Kanigara pula.

“Jangan ragu-ragu kakang. Aku sedang mengungsikan Rara Wilis, supaya seandainya Sultan benar-benar marah kepada Arya Salaka, dan menyerang Banyubiru, gadis ini sudah aku selamatkan.”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa sindiran itu tepat mengenai jantungnya. Namun ia berkata pula, “Adakah sesuatu yang tersembunyi?”

“Dada kita kini sudah tidak terbuka lagi, kakang ada yang tersembunyi di dalam dada kakang Kebo Kanigara, dan ada yang tersembunyi di dalam dadaku.”

“Hem,” Kebo Kanigara itu pun berdesah. Dan mereka, yang tinggal di halaman itu terpaksa melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi meninggalkan Banyubiru dengan beribu-ribu pertanyaan mengiringi kepergian itu.

Sepasang kuda yang dinaiki oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis berpacu dengan kencangnya, berderap-derap di jalan yang berbatu-batu. Debu yang putih melontar di belakang kaki-kaki kuda itu, namun sebentar kemudian lenyap disapu angin pagi yang berhembus dari pegunungan.

Ketika mereka telah melampaui batas kota Banyubiru, maka Rara Wilis sudah tidak dapat lagi menyimpan pertanyaan dihatinya. Karena itu maka dengan ragu-ragu ia bertanya. “Kakang, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan?”

Mahesa Jenar berpaling. Dilihatnya wajah Rara Wilis yang gelisah. Karena itu maka segera ia memperlambat kudanya sambil menjawab, “Kita pergi bertamasya Wilis.”

“He?”

Mahesa Jenar tersenyum. Dan karena itu Rara Wilis menjadi semakin heran. Dalam kesibukan yang hampir-hampir tidak memberikan kesempatan beristirahat kepada Mahesa Jenar itu, tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tersenyum sambil berkata kepadanya, bahwa mereka sedang bertamasya.

Mahesa Jenar melihat kebimbangan di hati Rara Wilis. Karena itu, maka ia tidak mau membingungkan gadis itu lebih lama lagi. Maka jawabnya, “Aku akan pergi ke Karang Tumaritis, menghadap Panembahan Ismaya.”

“Oh” Rara Wilis menarik nafas. “Apakah Panembahan akan kakang minta turut menyelesaikan persoalan ini?”

“Ya. Panembahan mempunyai pengaruh yang kuat atas kakang Kebo Kanigara. Mudah-mudahan Panembahan dapat memberinya beberapa petunjuk, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang pahit akan dapat dihindarkan.”

Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Ia sudah melihat persiapan yang tergesa-gesa di Banyubiru dan ia juga mendengar bahwa Lembu Sora telah kembali ke Pamingit untuk mengambil pasukannya.

Sepeninggalan Mahesa Jenar dan Rara Wilis, Kebo Kanigara benar-benar menjadi gelisah. Disadarinya bahwa Mahesa Jenar bukanlah anak-anak lagi seperti Arya Salaka, atau seorang ayah yang sangat merasa berhutang budi kepada anaknya seperti Ki Ageng Gajah Sora dan pamannya Ki Ageng Lembu Sora, sehingga hampir-hampir mereka sendiri tidak sempat berpikir. Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berotak tenang.

Kebo Kanigara itu pun kemudian mencoba menemui Ki Ageng Pandan Alas. Dengan hati-hati dicobanya bertanya, “Ki Ageng, kemanakah Mahesa Jenar itu sebenarnya akan pergi?”

Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Jawabnya sambil tersenyum, ”Bukankah sudah dikatakan, bahwa Mahesa Jenar akan  mengantarkan Wilis pulang ke Gunungkidul?

”Kenapa Ki Ageng tidak ikut serta ?” bertanya Kebo Kanigara.

“Aku sudah tua. Aku akan terlalu payah untuk pergi berkuda kesana kemari. Lebih baik aku beristirahat disini sambil menunggu Mahesa Jenar kembali.”

“Kenapa bukan Ki Ageng saja yang mengantarkannya?”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Kebo Kanigara agaknya benar-benar gelisah, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibirnya terlalu sederhana dan tergesa-gesa. Meskipun demikian Ki Ageng itu menjawab. “Ah. Pertanyaan yang aneh. Wilis pasti lebih senang diantar oleh Mahesa Jenar daripada aku antarkan.”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Jawaban itu dapat dimengertinya. Namun persoalannya yang belum dapat juga dimengerti. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi. Kebo Kanigara itu kembali ke dalam biliknya. Dicobanya mengotak-atik, namun pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya tidak juga dapat dijawabnya.

———-oOo———-

IV

PANEMBAHAN Ismaya terkejut ketika seorang cantrik datang kepadanya, menyampaikan kabar, bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis datang ke bukit itu. Dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu menyambut sendiri kedatangan tamunya.

Sambil membungkuk hormat Mahesa Jenar dan Rara Wilis melangkah masuk ke Pondok Panembahan Ismaya. Pondok yang dikenalnya baik-baik. Pondok yang masih juga seperti dahulu. Sejuk dan tenang. Beberapa buah topeng masih juga tergantung pada tiang-tiang dan dinding. Mereka terkejut ketika mereka melihat sebuah topeng yang jelek dan kasar tergantung di antara beberapa buah topeng yang lain. Apakah topeng itu sudah tidak pernah dipakai lagi oleh Panembahan tua itu? Tetapi Mahesa Jenar tidak ingin menanyakannya.

Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu mempersilakan tamu-tamunya duduk dan dengan ramahnya maka Panembahan tua itu menyapa keselamatan mereka.

“Demikianlah Panembahan” jawab Mahesa Jenar. “Tuhan melindungi hamba dan keselamatan. Mudah-mudahan Panembahan pun demikian pula hendaknya.”

“Syukurlah ngger.” sahut Panembahan Ismaya.

Sehingga sesaat kemudian maka pembicaraan mereka menjadi semakin akrab. Panembahan Ismaya bertanya dari satu soal ke soal lain, dari satu masalah ke masalah yang lain. Sehingga akhirnya Panembahan itu berkata, “Aku menjadi berdebar-debar akan kedatangan angger berdua. Aku merasa mempunyai hutang kepada kalian. Bukankah aku sanggup datang ke Gunungkidul untuk mewakili orang tua Mahesa Jenar. Nah, sekarang kalian telah datang untuk menagih janji. Tentu akan segera aku penuhi. Kapan saja aku akan berangkat bersama angger berdua ke Gunungkidul.”

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Sedang wajah Rara Wiils menjadi merah padam. Namun terdengar Mahesa Jenar menjawab. “Terima kasih Panembahan. Memang yang pertama kali, kedatanganku sengaja mengingatkan Panembahan akan hal itu.”

“Aku tidak pernah lupa ngger.” sahut Panembahan.

“Maksudku, aku ingin mempercepat waktu.”

“Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak lambat berbuat sesuatu.”

Mahesa Jenar itu menjadi gelisah ketika ia sampai pada maksud kedatangannya. Karena itu dengan hati-hati ia ingin berkisar dari pembicaraan tentang dirinya kepada persoalan yang sebenarnya dibawanya. Katanya, “Panembahan, sebenarnya disamping persoalanku pribadi itu, aku membawa persoalan lain, yang aku kira cukup penting untuk aku sampaikan kepada Panembahan.”

Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ah, apakah masih ada persoalan penting bagiku selain persoalan angger berdua? Aku kira tidak. Aku tidak akan mampu untuk memikirkan persoalan-persoalan lain.”

“Panembahan” berkata Mahesa Jenar, “Kali ini tidak ada orang lain yang dapat memecahkannya selain Panembahan.”

Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia berkata, “Baiklah ngger. Baiklah kau simpan dahulu persoalan-persoalan itu. Sekarang beristirahatlah. Bukankah masih ada waktu nanti, besok atau lusa?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika ia ingin berkata lagi, dilihatnya beberapa orang cantrik masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa hidangan. Sehingga karena itu, maka ia menjadi terdiam.

Yang berkata kemudian adalah Panembahan Ismaya. “Marilah ngger. Mungkin angger sudah lama tidak merasakan makanan pegunungan. Air daun sere, nasi jagung dan sambal wijen.”

Sebenarnyalah bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang lapar. Karena itu, maka mereka tidak berkeberatan ketika Panembahan itu membawa mereka, menikmati hidangan para cantrik itu.

Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi kecewa. Meskipun kemudian mereka telah selesai makan, namun Panembahan itu masih saja berkata. “Jangan tergesa-gesa. Beristirahatlah. Pondok sebelah barat sampai kini masih kosong. Kebo Kanigara belum juga pulang sejak saat mereka pergi bersama Widuri ke Banyubiru bersama angger berdua.”

Mahesa Jenar benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk segera mengatakan maksudnya. Karena itu, maka dengan kecewa mereka beristirahat di pondok sebelah barat. Pondok yang dahulu pernah di tempatinya pula. Pondok itu masih juga seperti dahulu. Dari ruangannya mereka dapat melihat pohon-pohon yang rindang. Kebun bunga-bunga yang subur dan jauh dihadapannya mereka terbentang sebuah ngarai yang subur pula, dimana para cantrik bercocok tanam.

 Mahesa Jenar berdesir, ketika tiba-tiba saja teringat pula olehnya bahwa kebun bunga itu pernah dirusaknya oleh Sawung Sariti dan kemudian oleh Sima Rodra betina dari Gunung Tidar. Bulu-bulu kuduknya berdiri ketika dikenangnya, dibawah bukit itu pernah terjadi suatu malam yang mengerikan.  Dimana janda Sima Rodra mengadakan semacam upacara untuk menyatakan kegembiraan mereka setelah mereka berhasil menangkap Rara Wilis. Kebiadaban yang pernah terjadi antara orang-orang dari golongan hitam itu.

Tiba-tiba tanpa disengaja Mahesa Jenar berpaling kepada Rara Wilis yang agaknya benar-benar merasa penat setelah perjalanan yang berat itu.

“Wilis” katanya, “Kau ingat daerah ini? Daerah yang pernah merayakan kehadiranmu di antara mereka? Kau ingat?”

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah itu pernah terjadi?”

“Ah, seharusnya kau tidak akan dapat melupakan. Bukankah di bawah bukit ini kau mendapat sambutan yang sangat meriah? Kau ingat tentu. Di bawah bukit ini menunggu ibu tirimu yang akan mencarikan buat kau seorang menantu dari Nusa Kambangan.”

“Ah,” tiba-tiba Rara Wilis bangkit dan dengan kedua tangannya ia mencubit Mahesa Jenar sekeras-kerasnya.

Mahesa Jenar menyeringai kesakitan. Katanya, “Wilis, apakah kau sedang mengetrapkan aji Cunda Manik.”

Rara Wilis mencubit semakin keras, dan Mahesa Jenar itu terpaksa berkata, “Sudahlah. Sudah. Aku bertobat sekarang.”

“Kalau kakang menyebutnya sekali lagi,” jawab Rara Wilis. “Maka aku benar-benar akan mengetrapkan aji Cunda Manik. Aku tidak takut seandainya kakang melawan dengan Sasra Birawa.”

“Akulah yang takut,” sahut Mahesa Jenar.

Rara Wilis itu pun duduk kembali. Namun kengerian benar-benar telah merayapi dadanya. Sehingga karena itu, maka tiba-tiba ia merenung.

Ruangan itu kemudian menjadi sunyi. Angin pegunungan berhembus perlahan-lahan menggoyang-goyangkan perdu di halaman. Terasa silirnya angin mengusap tubuh-tubuh mereka, sehingga terasa betapa sejuknya udara pegunungan itu.

Namun Mahesa Jenar masih saja digelisahkan oleh persoalan yang dibawanya ke bukit ini. Ia tidak mengerti, kenapa Panembahan tidak segera mau menerima persoalan itu. Sehingga kemudian Mahesa Jenar itu menjadi berbimbang hati. Apakah Panembahan benar-benar belum mendengar persoalan ini? Karena kebimbangan itu, maka dada Mahesa Jenar justru menjadi berdebar-debar. Dan karena itulah maka seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu.

Desakan di dalam dadanya itu menjadi sedemikian kuatnya sehingga dengan serta merta ia berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, kenapa Panembahan tidak mau mendengar persoalan ini segera?”

Wilis terkejut. Ketika ia berpikir dilihatnya wajah Mahesa Jenar menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Wilis merasakannya pula, bahwa kali ini Mahesa Jenar tidak bergurau lagi.

“Aku menjadi ragu-ragu Wilis,” berkata Mahesa Jenar. “Apakah Panembahan sengaja menghindarinya?”

Tiba-tiba Mahesa Jenar itu berdiri. Dan dengan serta merta ia berkata, “Marilah kita menghadap sekarang.”

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apakah Panembahan tidak menjadi gusar karenanya?”

“Kita katakan, bahwa kita akan segera kembali.”

Rara Wilis tidak menjawab. Diikutinya saja kemana Mahesa Jenar pergi. Kepada seorang cantrik Mahesa Jenar menyatakan keinginannya untuk bertemu Panembahan.

“Sampaikan kepada Panembahan. Aku berdua akan mohon diri.”

Sekali lagi Panembahan terkejut. Sekali lagi dengan tergopoh-gopoh ditemui Mahesa Jenar. Katanya, “Kenapa angger sedemikian tergesa-gesa?”

“Panembahan,” sahut Mahesa Jenar. “Sudah aku katakan, bahwa kedatanganku membawa persoalan yang perlu segera aku sampaikan kepada Panembahan, Banyubiru sekarang sedang mempersiapkan perang.”

“Perang,” Panembahan itu terkejut sekali, sehingga sesaat ia berdiam diri memandangi Mahesa Jenar dengan tanpa berkedip.

“Ya” sahut Mahesa Jenar. “Apakah Panembahan belum mendengar bahwa Widuri telah hilang?”

“Oh,” Panembahan itu semakin terkejut. “Widuri anak Kebo Kanigara maksudmu?”

“Ya Panembahan?”

“Bagaimana mungkin anak itu hilang?”

“Widuri hilang karena pokal Karang Tunggal. Tegasnya Widuri diculik oleh Karang Tunggal itu.”

Tampaklah wajah Panembahan Ismaya itu berubah. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam. “Anak itu tidak juga menjadi jera.”

Mahesa Jenar itu pun segera menceriterakan serba singkat apa yang diketahuinya tentang hilangnya Widuri. Dan akhirnya ia berkata, “Panembahan, apakah kemungkinan pertumpahan darah itu tidak akan dapat dihindari?”

Panembahan Ismaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Kenapa Sultan Trenggana itu tidak saja menghendaki gadis yang lain?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin heran mendengar tanggapan Panembahan Ismaya itu. Panembahan Ismaya sama sekali tidak menyesalkan tindakan Karebet atau ketergesa-gesaan Kebo Kanigara, tetapi yang mula-mula disesalkan adalah Sultan Trenggana. Apalagi ketika Panembahan itu berkata, “Adalah wajar sekali kalau Kebo Kanigara menjadi marah.”

“Tetapi kemarahan kakang Kebo Kanigara berlebih-lebihan Panembahan. Apakah kakang Kebo Kanigara tidak dapat mengambil cara lain, sehingga pertumpahan darah itu tidak terjadi. Arya Salaka yang merasa kehilangan pula, mungkin akan dapat reda, apabila Kakang Kebo Kanigara mencoba menempuh cara yang lain.”

Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Sekali lagi jawabnya mengejutkan Mahesa Jenar. “Mungkin Kebo Kanigara dan Arya Salaka memperhitungkan juga harga diri mereka, sehingga mereka tidak akan dapat datang kepada Trenggana dan mohon belas kasihan kepada Sultan itu.”

Mahesa Jenar kini benar-benar menjadi bingung. Apakah dirinya sendirilah yang kini telah kehilangan kejantanannya sehingga ia memandang persoalan itu sebagai persoalan yang harus diselesaikan tanpa pertumpahan darah? Ataukah karena ia sudah terdorong kepada suatu keinginan untuk berumah tangga, sehingga penyelesaian yang diangankannya itu benar-benar sebagai suatu tindakan yang terlalu lemah dan bahkan telah mengorbankan harga dirinya? “Apakah aku telah berubah?” pertanyaan itu timbul didalam hatinya. Meskipun demikian maka ia mencoba berkata pula. “Panembahan, mungkin kakang Kebo Kanigara tidak mau mengorbankan harga dirinya, mungkin pula karena sebab-sebab lain, sebab-sebab yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi bagaimanakah kalau permohonan itu dilakukan oleh orang lain? Oleh Panembahan misalnya. Bahkan Pangeran Buntara masih juga mempunyai sangkut paut yang dekat dengan Sultan Trenggana?”

“Jangan sebut nama itu lagi Mahesa Jenar,” sahut Panembahan itu. “Pangeran Buntara telah tidak ada lagi. Yang ada sekarang Panembahan Ismaya.”

“Apakah Pasingsingan yang sakti juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk meredakan pertentangan ini? Misalnya dengan mengambil Karebet dan dengan pengaruhnya memaksa Karebet menyerahkan Widuri kembali?”

“Dengan demikian soalnya juga tidak akan selesai, Mahesa Jenar. Seandainya Karebet dapat menyerahkan Widuri kembali, sedang Sultan Trenggana masih menghendakinya, maka kau juga akan dapat membayangkan akibatnya.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak dapat mengerti keadaan itu. Hampir saja Mahesa Jenar melihat kesalahan itu pada dirinya sendiri. Pada keruntuhan yang dialami. Hampir-hampir ia mengambil kesimpulan, bahwa ia tidak dapat mengerti sikap Kebo Kanigara dan Arya Salaka karena ia telah kehilangan kejantanannya. Namun berkali-kali terngiang di dalam hatinya. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan pertumpahan darah itu terjadi.”

Karena itu maka tiba-tiba Mahesa Jenar itu memberanikan diri berkata, “Panembahan. Baiklah aku mencoba sekali lagi. Kalau kakang Kebo Kanigara dan Panembahan ternyata berpendapat bahwa Sultan Trenggana yang bersalah, karena menghendaki Endang Widuri itu, maka biarlah aku mencoba. Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana pada suatu pilihan. Mudah-mudahan dengan demikian terhindarlah segala bencana.”

“Apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Panembahan Ismaya.

“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian dengan takzimnya. “Bukan maksudku untuk menjual jasa. Baik kepada Sultan Trenggana maupun kepada siapa pun juga. Maafkan aku, kalau ternyata kemudian tidak berkenan di hati Panembahan. Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana kepada suatu pilihan. Keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang sampai sekarang belum kembali ke istana, atau Endang Widuri.”

“Mahesa Jenar,” potong Panembahan Ismaya. Wajahnya sesaat menjadi tegang. Namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali. Perlahan-lahan Panembahan itu berkata, “Apakah maksudmu?”

“Panembahan. Kalau berkenan di hati Panembahan, maka apakah Panembahan sendiri, apakah kakang Kebo Kanigara apakah Arya Salaka, biarlah salah seorang daripadanya menghadap Sultan, memohon untuk menukar Endang Widuri dengan pusaka-pusaka itu.”

“Mahesa Jenar,” berkata Panembahan. “Kedua pusaka itu adalah hakmu. Biarlah kau miliki hak itu. Kau akan mendapat tempat tersendiri dengan mengembalikan keris-keris itu ke istana. Kalau keris-keris itu diserahkan untuk keperluan yang lain, maka kau akan kehilangan hak itu. Keris itu akan kembali, dan Endang Widuri akan kembali pula. Seakan-akan telah terjadi jual beli di antara mereka, sehingga usahamu selama ini akan tidak mendapat penghargaan apapun juga. Sebab tukar menukar itu telah berlangsung.”

“Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Aku sama sekali tidak memimpikan penghargaan apapun juga. Biarlah seandainya dengan demikian aku tidak mendapat apapun. Memang aku tidak mengharapkan apapun itu. Namun dengan demikian, maka terhindarlah kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan. Apakah artinya jasa yang dapat aku persembahkan kepada Demak, apabila Demak akan mengalami bencana? Apakah artinya penghargaan yang akan aku terima, kalau Demak mengalami cidera. Panembahan, biarlah aku dilupakan, tetapi Demak akan tetap dalam keadaannya sekarang. Mudah-mudahan justru karena itu, Demak akan menjadi semakin jaya. Karena itu, biarlah kedua keris itu, Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten kembali ke istana, kembali ke gedung perbendaharaan. Tidak perlu Mahesa Jenar yang menyerahkannya. Tidak perlu Mahesa Jenar yang dianggap berjasa menemukannya.”

Panembahan Ismaya menundukkan wajahnya. Tampaklah wajah itu berkerut-kerut. Terasa betapa Panembahan tua itu menahan perasaan yang meluap-luap di dalam dadanya. Sekali ia mengangkat wajahnya, namun kembali wajah itu ditundukkannya.

Sesaat ruangan itu menjadi sepi. Mahesa Jenar menunggu dengan hati yang sangat berdebar-debar, apakah Panembahan Ismaya akan mengijinkannya. Karena keris-keris itu sekarang berada di tangan Panembahan itulah, maka Mahesa Jenar menggantungkan keadaan kepadanya.

Tetapi alangkah kecewanya Mahesa Jenar itu. Alangkah pahitnya perasaannya ketika ia melihat Panembahan Ismaya itu menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih. “Jangan Mahesa Jenar. Jangan. Biarlah orang lain menyelesaikan persoalannya sendiri. Biarlah kau nanti membawa persoalanmu sendiri pula.”

“Panembahan,” suara Mahesa Jenar menjadi parau karena hatinya yang pedih. “Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang akan menimpa Demak di saat-saat terakhir ini. Aku telah mencoba menghubungi Kakang Kebo Kanigara, namun aku tidak mendapat tanggapan yang sewajarnya. Kini aku mencoba menghadap Panembahan dan bahkan aku ingin mencoba mempergunakan kedua pusaka-pusaka Istana itu. Namun aku menjumpai pendirian yang sama sekali tidak dapat aku mengerti Panembahan, apakah benar-benar aku telah berubah menjadi seorang pengecut yang takut melihat darah tertumpah. Apakah aku kini sudah tidak pantas lagi ikut serta mempersoalkan perkara-perkara yang rumit seperti sekarang? Kalau demikian Panembahan, maka biarlah aku menyingkir. Meskipun umurku belum terlalu tua, tetapi pendiriankulah yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kini.”

Dada Panembahan Ismaya itu benar-benar bergelora. Tetapi tak dapat ia berbuat lain. Sehingga karena itu, maka tampaklah alangkah ia menjadi gelisah.

“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian, “Apabila demikian keadaannya, maka baiklah aku mohon diri. Aku tidak melihat peristiwa itu terjadi. Biarlah aku langsung menunju ke Gunungkidul. Biarlah aku kini menjadi seorang yang tidak berarti apa-apa lagi. Dan apabila sampai saatnya pun aku tidak akan bersedia menyerahkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Biarlah orang lain melakukannya.”

“Jangan. Jangan Mahesa Jenar. Aku dapat merasakan betapa hatimu seakan-akan terpecah karenanya. Tetapi jangan mengasingkan dirimu seperti itu. Mungkin aku dapat memberi kau petunjuk dalam persoalan yang kau hadapi sekarang. Meskipun sebenarnya tidak seharusnya aku katakan. Tetapi aku tidak sampai hati melihat kau menjadi kehilangan kepercayaan pada dirimu dan pendirianmu. Usahamu menghindarkan pertumpahan darah seharusnya dihargai. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jangan bertanya lagi kepadaku dan kepada Kebo Kanigara. Pergilah ke Banyubiru kembali. Temuilah Ki Buyut Banyubiru. Ki Lemah Telasih. Mungkin kau akan mendapat sedikit penjelasan yang kau perlukan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melihat lebih jelas lagi. Bahwa sebenarnya ia berada dalam suatu lingkaran yang sangat asing baginya. Ternyata bahwa jalur-jalur yang dipasang oleh Kebo Kanigara dalam menghadapi persoalan puterinya telah sampai ke Karang Tumaritis. Sekarang, barulah diingatnya bahwa sebenarnya Panembahan Ismaya telah pula terlibat dalam persiapan yang dilakukan oleh Kebo Kanigara. Tetapi yang masih gelap baginya, apakah sebenarnya yang akan terjadi? Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Lemah Telasih. Ia harus pergi kepada orang itu. Apa pun yang akan dilakukan, maka usaha itu masih belum dilepaskannya.

Saat itu pula Mahesa Jenar dan Rara Wilis mohon diri kepada Panembahan Ismaya. Meskipun Panembahan Ismaya minta mereka berdua untuk bermalam, namun Mahesa Jenar terpaksa tidak dapat memenuhinya.

“Nanti Panembahan. Pada saat Purnama naik, aku akan menghadap Panembahan.”

Panembahan itu berpikir sejenak. Tampak ia menjadi ragu-ragu. Katanya bertanya, “Bukankah pada saat Purnama naik Banyubiru akan mengalami ketegangan?”

“Ya Panembahan,” sahut Mahesa Jenar.

“Kenapa kau akan meninggalkan tempat itu untuk datang kemari?”

“Lebih baik aku tidak menyaksikan peristiwa itu. Biarlah aku disini menenangkan hati bersama Panembahan.”

Panembahan tua itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya. “Sejak dahulu aku sudah mengatakan kepadamu Mahesa Jenar, bahwa wawasanmu benar-benar tajam. Biarlah aku katakan terus terang, bahwa nanti pada saat purnama naik aku tidak ada di Padepokan ini. Bukankah itu yang akan kau katakan kepadaku? Ternyata kau benar. Dan sebahagiaan dari dugaan-dugaanmu yang lain pun aku kira benar pula.”

Mahesa Jenar tidak dapat menanyakan lagi, atau memancingnya dengan persoalan-persoalan lain. Sehingga karena itu, maka ia pun segera bermohon diri untuk meninggalkan Padepokan itu.

Ketika Mahesa Jenar menuntun kudanya meninggalkan pondok itu, dilihatnya Panembahan Ismaya benar-benar menjadi gelisah. Terasa ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun ditahannya kuat-kuat. Sehingga Mahesa Jenar pun merasakan ketegangan di dalam dada Panembahan Ismaya. Tetapi ketegangan itu langsung mempengaruhinya pula, sehingga dadanya pun menjadi tegang. Namun Mahesa Jenar berjalan terus menuntun kudanya bersama Rara Wilis. Demikian mereka melampaui pagar halaman, segera mereka berdua itu pun berlari menuruni tebing bukit Telamaya.

Beberapa lama Panembahan Ismaya masih tegak di ambang pintu. Wajahnya yang tua tampaknya menjadi semakin tua. Perlahan-lahan dianggukkannya kepalanya dan terdengar ia bergumam. “Kalian masih seperti dahulu. Kalian masih dalam pengabdian yang luhur.”

Tiba-tiba Panembahan itu pun segera masuk ke dalam pondoknya. Dipanggilnya seorang cantrik dan kemudian katanya. “Aku akan berada di dalam sanggar. Jangan bangunkan aku sampai tiga hari setelah purnama naik.”

“Baik Panembahan,” sahut cantrik itu.

Panembahan itu pun segera mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam sanggarnya.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis yang meninggalkan bukit Karang Tumaritis berkuda dengan kecepatan sedang. Sekali-kali Rara Wilis menanyakan beberapa soal kepada Mahesa Jenar, namun Mahesa Jenar sendiri masih belum mampu mengambil kesimpulan apa-apa.

 ———-oOo———-

V

Semalam sebelum purnama naik, hutan Prawata telah sibuk dengan persiapan perkemahan yang akan dipakai oleh Baginda. Besok pagi-pagi Baginda akan sampai di hutan itu untuk suatu masa perburuan yang akan memakan waktu sepekan sampai sepuluh hari.

Beberapa orang yang mendahului Baginda telah mendapat tugas membangun beberapa buah perkemahan untuk para pengikut Baginda. Namun agaknya kali ini Baginda tidak membawa banyak pengikut. Beberapa perwira Wira Tamtama, akan beberapa orang lagi dari kesatuan-kesatuan lain, di bawah pengawalan kesatuan Nara Manggala.

Hutan yang sepi itu tiba-tiba menjadi ramai dan riuh. Di malam hari sebelum Purnama naik, lampu-lampu obor telah menyala bertebaran di sekitar perkemahan, yang di bangun di sebuah lapangan rumput yang agak luas di tengah-tengah hutan itu.

Sementara itu, Banyubiru pun menjadi ramah. Namun penuh dengan ketegangan. Laskar dari Pamingit telah siap pula di alun-aun Banyubiru, sedang laskar Banyubiru sendiri dengan penuh tekad telah menggenggam senjata masing-masing di tangan mereka.

Arya Salaka telah memerintahkan kepada mereka, bahwa apabila nanti saatnya matahari tenggelam, laskar itu harus mulai bergerak. Malam itu mereka akan merayap mendekati hutan Prawata dan besok malam pada saat Purnama naik, mereka harus sudah mengepung perkemahan Baginda. Arya Salaka sendiri akan memimpin seluruh laskar Banyubiru dan Pamingit.

Telah bulat tekad di dalam dadanya. Kalau Baginda menerima Endang Widuri dari Karebet, maka apapun yang akan terjadi. Widuri akan direbutnya dengan kekerasan. Kalau tidak dan Karebet sendiri ingin bertahan dengan pasukan Wira Tamtama yang dipimpinnya, maka Arya Salaka akan sanggup menghancurkannya, seandainya Karebet tidak bersedia menyerahkan Widuri. Laskar yang dibawanya pasti akan berpengaruh atas tuntutannya. Kalau ia datang tanpa kekuatan, maka ia pasti akan diabaikan. Tetapi dengan kekuatan dibelakangnya, maka mau tidak mau permintaannya untuk menerima kembali Widuri pasti akan dipertimbangkan.

Dengan gelisahnya Arya Salaka menunggu matahari terbenam di kaki langit. Sekali-kali ia berjalan mondar-mandir di halaman rumahnya. Sekali-kali dilayangkan pandangannya ke pada laskar yang sudah bersedia sepenuhnya di alun-alun. Dipendapa rumahnya dilihatnya telah siap dalam kesigapan tempur, pamannya, Lembu Sora, Kebo Kanigara, dan ayahnya. Namun tampaklah Ki Ageng Sora menjadi pucat dan gemetar. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Ia sendiri tidak mampu bertempur melawan laskar Demak yang memadai Gula Kelapa. Apalagi kini. Di antara mereka terdapat Baginda sendiri.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis duduk pula di pendapa itu bersama Ki Ageng Pandan Alas. Meskipun dilambung Wilis tergantung sebilah pedang, namun kebimbangan yang besar tampak membayang di wajahnya.

Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Tampaklah mulutnya bergerak- gerak. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sedang Mahesa Jenar duduk termenung memandang langit dikejauhan yang semakin lama menjadi semakin suram. Sesuram hati Arya Salaka.

Arya Salaka yang kemudian duduk pula di tangga pendapa itu, menunggu dengan dada yang bergolak. Terbayang di dalam angan-angannya, apakah kira-kira yang telah terjadi dengan Endang Widuri. Kenapa seorang gadis yang memiliki ilmu tata bela diri itu tidak sempat membebaskan dirinya dari Karebet? Dan sebenarnyalah Endang Widuri telah berusaha sekuat-kuat tenaganya. Tanpa dilihat oleh seorang pun maka Widuri itu telah bertempur dengan gigihnya.

Pagi itu Widuri sedang mencuci pakaiannya di belumbang, ketika tiba-tiba saja Karebet muncul disampingnya. Gadis itu terkejut bukan buatan. Tetapi ketika dilihatnya yang datang itu Karebet ,, maka ia menjadi gembira.

Namun kembali Widuri itu terkejut, ketika Karebet tiba-tiba mengajaknya pergi ke Demak.

“Kenapa ke Demak?” bertanya Widuri.

Karebet memandangi wajah Widuri dengan pandangan yang aneh. Katanya sambil tersenyum-senyum. “Buat apa kau tinggal di pedukuhan yang sepi ini? Ikutlah aku ke Demak. Kau akan mukti disana.”

“Apakah kau sudah menjadi gila, kakang” bentak Widuri.

Namun Karebet masih juga tersenyum-senyum, sehingga Widuri itu pun menjadi takut pula karenanya. Tetapi Widuri tidak sempat berbuat apa-apa. Meskipun kemudian Widuri berusaha membela diri, namun Karebet bukanlah lawannya. Widuri tidak dapat bertahan, sehingga akhirnya dapat dilumpuhkan. Dalam keadaan pingsan maka gadis itu dibawa menghilang, masuk ke dalam semak-semak.

Kini Arya Salaka sudah siap untuk merebutnya dengan segenap kekuatan yang mungkin dikerahkannya.

Demikianlah, maka ketika matahari telah hilang dibalik cakrawala, maka segera Arya Salaka bersiap. Dengan langkah yang tetap ia berjalan ke alun-alun dihadapan rumahnya. Diberikannya beberapa perintah, dan para pemimpin laskar Banyubiru dan Pamingit segera memahaminya. Laskar Banyubiru berada di bawah pimpinan Bantaran sedang laskar Pamingit berada di bawah pimpinan Wulungan. Dibelakang Arya Salaka berdiri beberapa orang yang akan menjadi kekuatan laskar Banyubiru dan Pamingit itu. Gajah Sora, Lembu Sora, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis. Namun tak seorang pun yang tahu di antara mereka, apakah yang tersimpan di dalam dada masing-masing. Meskipun mereka berdiri berjajar dalam barisan yang sama, namun barisan Arya Salaka kali ini adalah barisan yang penuh menyimpan berbagai persoalan di setiap dada mereka. Persoalan yang satu sama lain berbeda-beda dan satu sama lain bertolak dari kepentingan yang berbeda pula.

Tetapi yang tampak, yang kasat mata, mereka kemudian berjalan beriringan di belakang laskar Banyubiru dan Pamingit yang dengan tekad yang menyala di dalam dada mereka, pergi menuju ke hutan Prawata.

Tepat pada saat purnama naik, maka hutan Prawata benar-benar menjadi sangat ramainya. Di dalam setiap barak kini sudah terpancang obor-obor dan di hampir setiap sudut-sudutnya pun diterangi dengan nyala-nyala lampu obor pula. Di pinggir lapangan rumput dibuat orang sebuah perapian yang besar. Nyalanya seakan-akan menggelepar menggapai daun-daun pepohonan yang berjuntai di atasnya. Cahaya yang kemerah-merahan terlempar jauh menusuk ke dalam sela-sela daun-daun yang tidak begitu rimbun.

Baginda kini telah berada di dalam barak yang terbesar di tengah-tengah barak- barak yang lain. Sebagai seorang pemburu, maka Baginda dapat hidup di dalam lingkungan yang sangat sederhana. Barak dari batang ilalang dan dedaunan. Pembaringan yang dibuat dari kulit-kulit kayu dan bambu, serta segala macam peralatan yang sederhana. Hidup yang sedemikian merupakan selingan yang menggembirakan bagi Baginda yang kadang-kadang menjadi terlalu jemu dengan isi istana. Di dinding-dinding barak itu, kini tergantung busur dan anak panah. Pedang, tombak dan segala macam senjata. Bukan saja senjata-senjata untuk berburu, namun juga senjata-senjata untuk berperang dari para pengawal Baginda.

Malam yang demikian akan menjadi sangat menyenangkan bagi para prajurit dan Baginda sendiri. Biasanya Baginda mulai berburu pada malam pertama. Pada malam bulan sedang bulat sebulat-bulatnya. Seperti malam itu, dimana langit bersih dan bintang-bintang bertaburan. Sinar bulan yang cemerlang menyusup ke dalam rimba yang tidak begitu pepat, menari-nari di atas tanah yang lembab.

Tetapi malam ini keadaan Baginda tidak sedemikian gembira seperti biasanya. Tampaklah Baginda menjadi muram dan gelisah. Sekali-kali Baginda memandangi busur-busur yang tergantung di dinding barak. Serta pusakanya, sebilah keris, tidak juga dilepaskannya. Terasa sesuatu yang selalu membayangi kegembiraan Baginda.

Ketika seorang perwira masuk ke dalam biliknya beserta seorang prajurit, maka segera Baginda memanggilnya duduk dekat-dekat di hadapannya.

“Jangan hiraukan lagi subasita. Kita sekarang sama-sama seorang pemburu.”

“Tidak Baginda,” perwira itu menyembah. “Ternyata kita belum sempat untuk berburu malam ini atau malam besok.”

“Bagaimana dengan kabar itu?”

“Hamba telah menyaksikan sendiri. Perkemahan ini telah dikepung rapat-rapat.”

Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada perwira itu. “Paningron. Apakah kau dapat menduga kekuatannya?”

“Tidak secara cepat Baginda. Tetapi kira-kira dua tiga kali lipat kekuatan kita disini.”

Baginda terdiam sesaat. Perwira itu, yang tidak lain adalah Paningron, menunggu apakah yang harus dikerjakannya. Pasukan yang ikut serta dengan Baginda memang tidak begitu banyak, sebab Baginda hanya sekadar ingin berburu. Namun tiba-tiba kini Baginda Sultan telah berhadapan dengan sepasukan laskar yang sedemikian kuatnya, sehingga Baginda harus berhati-hati menghadapinya.

Sejenak kemudian baginda itu pun berdiri. Dilepaskannya baju keprajuritan yang dikenakannya. Kemudian kepada prajurit yang duduk disampingnya Baginda berkata. “Berikan bajumu.”

Prajurit itu menjadi terheran-heran. Namun sekali lagi Baginda itu berkata, “Berikan baju dan kelengkapanmu.”

Prajurit itu menjadi terheran-heran. Dibukanya bajunya dan diserahkannya kepada Sultan, yang segera dipakainya.

“Terlalu kecil,” gumam Sultan.

“Ya” sahut Paningron yang segera dapat mengetahui maksud Sultan.

“Apakah baju ini tidak pernah kau cuci?” bertanya Baginda sambil tersenyum. “Baju itu hamba pakai sejak hamba mempersiapkan diri semalam Baginda,” sahut prajurit itu.

“Pantas?”

”Apanya Baginda”

“Baunya,” jawab Baginda sambil tersenyum Prajurit itu tersenyum pula. Tetapi ia tidak dapat tersenyum lagi ketika Baginda berkata, “Kau tinggal di dalam barak ini. Kalau ada orang yang ingin masuk, jangan kau beri kesempatan. Jawabnya seperti aku menjawab,“ Jangan ganggu aku.”

“Tetapi suara hamba Baginda,” jawab prajurit itu.

Baginda berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baik, kalau begitu tutup pintu. Jangan kau bukakan apabila aku tidak memanggil namamu.”

“Hamba Baginda.” Baginda dan Paningron segera meninggalkan bilik itu yang kemudian segera ditutupnya. Penjaga yang melihat mereka keluar dalam keremangan bulan Purnama, tidak menyangka bahwa orang itu adalah Baginda sendiri.

Ternyata Baginda membawa Paningron untuk melihat sendiri kekuatan orang-orang yang telah mengepung mereka dengan rapatnya. Hampir di setiap pohon bersandar seorang yang bersenjata. Di sela-sela pepohonan Baginda melihat cahaya perapian yang menyala-nyala. Dan karena itulah maka Baginda kadang-kadang dapat melihat bayangan orang yang berjalan hilir mudik.

“Kau benar Paningron,” berkata Baginda. “Kekuatan itu benar-bebar tidak dapat diabaikan.”

“Hamba telah meneliti tuanku.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan mengendap-endap Baginda itu berkata, “Siapakah yang memimpinnya?”

“Hamba kurang tahu Baginda. Tetapi sudah hamba saksikan sendiri di Pamingit, kekuatan Banyubiru benar-benar mengagumkan. Apalagi kini mereka telah bergabung bersama kekuatan-kekuatan dari Pamingit.”

“Apakah Rangga Tohjaya masih di Banyubiru?”

“Hamba tuanku.”

“Apakah ia ikut dalam barisan itu?”

“Belum hamba ketahui.”

Baginda menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa apabila laskar Banyubiru itu lengkap dengan segenap pimpinannya, maka kekuatan Banyubiru benar-benar mengagumkan.

Paningron yang melihat Baginda kemudian termenung, segera berkata, “Baginda, apakah hamba dapat mengirim seseorang untuk memanggil pasukan yang cukup untuk mengusir orang-orang Banyubiru.”

Baginda diam sesaat. Dipandangnya nyala api yang melonjak-lonjak di sela-sela pepohonan. Nyala api dari perapian orang-orang Banyubiru. Namun perlahan-lahan Baginda menggelengkan kepalanya. “Jangan Paningron. Orang itu tidak akan dapat menembus kepungan orang-orang Banyubiru.”

“Hamba sendiri sanggup melakukan Baginda. Hamba dapat melampauinya dengan kuda yang berpacu kencang-kencang.”

“Akan sama saja bahayanya, Paningron.”

Paningron tidak lagi berkata-kata. Diikutinya saja kemudian Baginda berjalan berkeliling. Tiba-tiba di sudut lapangan rumput itu Baginda berhenti. Digesernya pusakanya dan dengan serta merta dirabanya hulu pusaka itu. Paningron pun segera melihat, sebuah bayangan yang berdiri tegak dihadapan mereka.

“Siapa?” bertanya Paningron perlahan-lahan.

“Apakah aku berhadapan dengan Baginda?” desis bayangan itu.

“Oh” sahut Baginda.

“Eyang ternyata benar-benar datang.”

“Tentu cucunda Baginda” sahut bayangan itu.

“Hamba sudah berjanji.”

“Nah. Bagaimana dengan orang-orang itu, eyang?”

“Sudah hamba katakan Baginda, itulah yang dapat hamba sampaikan kepada Baginda malam ini. Seperti yang pernah hamba sampaikan sebelumnya.”

“Hem. Apakah nilai nama Sultan Trenggana dapat dipakai untuk kepentingan seorang Karebet.”

“Jangan Baginda menilai Karebet kini. Tetapi Karebet pada masa datang akan mempunyai nilai tersendiri dalam hati Baginda. Dan bukankah Baginda juga seorang ayah yang baik.”

“Persetan dengan anak itu.”

“Tetapi puteri Baginda akan dapat menderita seumur hidupnya. Dan bahkan mungkin mengancam jiwanya.”

Baginda itu pun kemudian termenung sesaat. Ternyata Baginda tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa puteri Baginda telah mencoba untuk membunuh dirinya. Untunglah maksud itu dapat di urungkan. Entah karena malu, entah karena Karebet yang hilang. Namun untuk seterusnya tak dapat memandang hari-hari yang dilampauinya dengan gairah. Apalagi sebenarnya Sultan sendiri tidak terlalu membeci Karebet. Justru Baginda sendiri pernah melihat kelebihan-kelebihan yang ada pada anak itu.

“Bagaimana Baginda?” bertanya bayangan itu.

“Hem. Eyang telah membingungkan aku. Kalau aku membiarkan pemberontakan ini, maka peristiwa yang serupa akan dapat terjadi dihari-hari yang akan datang.”

“Mereka sama sekali tidak memberontak terhadap Baginda. Mereka datang untuk mencari Karebet.”

Sekali lagi Baginda termenung. Dan didengarnya bayangan itu berkata, “Selain dari itu Baginda, bukankah hamba telah menolong Baginda mencarikan jalan untuk mencari kemungkinan memanggil kembali anak itu, dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.”

“Aku merendahkan harga diriku. Trenggana adalah Sultan yang disegani lawan dan kawan. Apakah aku tidak dapat memusnahkan mereka?”

“Tentu Baginda. Sebab mereka tidak akan berani melawan Baginda seandainya Baginda sendiri keluar di medan pertempuran. Apalagi salah seorang pengawal Baginda di panji-panji Gula Kelapa. Maka Gajah Sora pasti akan mati ketakutan melihat panji-panji itu.”

“Jadi bagaimana?” bertanya Baginda.

“Hamba adalah orang tua, Baginda. Orang tua yang telah tidak mempunyai pamrih apa-apa lagi. Berpuluh-puluh tahun hamba menghilang. Sekarang hamba ingin melihat Demak menjadi bertambah baik menilik persoalan-persoalan yang terpendam di dalamnya.”

“Jangan sebut lagi, keturunan Kakangmas Sekar Seda Lepen.”

“Tidak. Aku tidak akan menyebutnya, tetapi hal itu tidak akan dapat menghapus kenyataan itu.”

“Ya. Eyang benar. Anak itu ada disini pula sekarang.”

“Penangsang?”

“Ya”

Sesaat mereka terdiam. Paningron menjadi bingung mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia tidak berani bertanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Sultan. “Lalu bagaimana eyang?”

“Tergantung pada Baginda.”

“Baiklah, besok pagi-pagi pasukanku akan bersiap menyongsong mereka menurut rencana yang telah eyang buat. Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”

Bayangan itu pun kemudian mengangguk-angguk dalam-dalam. Perlahan-lahan terdengar ia berkata. “Baginda ternyata telah berbuat sesuatu yang mengagumkan hamba. Orang tua yang sama sekali sudah tidak berarti lagi. Besok hamba tidak akan lagi bersembunyi. Namun hamba akan mengabdikan diri dibawah duh Baginda.”

“Ah. Eyang terlalu merendahkan diri.”

“Sekarang Cucunda Baginda, biarlah aku pergi.”

“Jangan eyang. Eyang harus berada disini. Kalau ada sesuatu kesalahan, maka eyang akan dapat membetulkannya”.

“Atau untuk menjadi tanggungan?”

“Tidak.”

“Baiklah. Aku ikut Baginda.”

Bayangan itu pun kemudian berjalan mengikuti Baginda disamping Paningron. Namun mereka yang berjaga-jaga dimuka barak, sama sekali tidak memperhatikan siapakah yang lewat dihadapan mereka. Ketika mereka melihat Paningron, meka yang lain sama sekali tidak penting bagi mereka sebab mereka tahu, bahwa Paningron adalah seorang perwira dari jabatan rahasia di Demak.

Bulan yang bulat mengapung di langit dengan sangat lambatnya. Namun pasukan-pasukan pengawal Baginda tiba-tiba menjadi ribut. Mereka segera berlari-lari kedalam barak masing-masing untuk mengambil senjata mereka. Paningron telah menjatuhkan perintah, supaya mereka bersedia menghadapi setiap kemungkinan. “Kekuatan mereka jauh lebih besar dari kekuatan kita,” berkata Paningron kepada para pemimpin Demak.

Tetapi seorang perwira Wira Tamtama menanggapinya dengan sebuah senyum. Katanya di dalam hati, “Apakah yang dapat dilakukan oleh orang-orang pedesaan?” Orang itu sama sekali tidak mau memikirkannya lagi. “Besok mereka akan aku musnahkan,” katanya. Orang itu adalah Tumenggung Prabasemi. Seorang perwira Wira Tamtama yang terlalu menyadari kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya.

Malam itu semua prajurit siap ditempatnya. Beberapa penjaga selalu mondar-mandir mengawasi keadaan. Sedang yang lain beristirahat untuk menanti, apakah tugas yang akan mereka lakukan besok pagi. Namun senjata-senjata mereka telah melekat di tangan.

Ketika matahari mulai membayang di pagi dini hari, maka mulai membayang pulalah ketegangan di wajah para prajurit Demak dan setiap orang dalam laskar Banyubiru. Arya Salaka dengan pisau belati yang kuning berkilat-kilat dipinggangnya, segera memimpin laskarnya maju mendekati perkemahan Baginda. Beberapa orang yang mendampinginya menjadi berdebar-debar pula. Lebih-lebih Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora sendiri. Sedang di antara mereka tidak terdapat Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu lebih baik tinggal di Banyubiru. Berdoa di dalam hati bersama-sama Wanamerta, semoga semuanya dihindarkan dari bencana.

Semakin dekat mereka dengan perkemahan Baginda, maka semakin berdebar-debar pula hati setiap laskar di dalam pasukan Arya Salaka. Meskipun mereka telah mengalami pertempuran yang dahsyat melawan orang-orang dari golongan hitam, namun hati mereka masih juga terpengaruh melihat pasukan Demak yang telah bersiaga pula disekeliling perkemahan.

Mereka melihat betapa pasukan Demak telah menanti kedatangan mereka. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan dengan laskar Banyubiru dan Pamingit, tetapi karena mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran, maka tampaklah betapa tangguhnya pasukan yang kecil itu.

Di luar sekali tampaklah sepasukan Wira Tamtama di bawah panji-panji Tunggul Dahana. Mereka berdiri berjajar dengan tenangnya. Di tangan masing-masing tergenggam sebilah pedang, dan di tangan yang lain sebilah perisai. Dengan dada tengadah mereka memandangi laskar Banyubiru yang semakin lama menjadi semakin dekat.

 Di dalam lingkungan Wira Tamtama tampaklah sebuah panji-panji lain. Tunggul Mega. Panji-panji dari pasukan Manggala Sraja. Pasukan ini tidak begitu banyak jumlahnya, namun ketegangan wajah mereka menunjukkan ketegangan hati mereka pula. Dengan penuh perhatian mereka menyaksikan laskar Banyubiru yang sedang mendekati mereka.

Yang paling dalam meskipun jumlahnya terlalu sedikit, namun pasukan inilah yang menggoncangkan hati Mahesa Jenar. Perasaannya menjadi sedemikian gelisahnya sehingga hampir-hampir ia tidak dapat melangkah maju lagi. Perasaan yang demikian pernah dialami pada saat laskar Banyubiru berhadap-hadapan dengan laskar Demak lima enam tahun yang lampau di Banyubiru. “Kenapa peristiwa-peristiwa semacam ini masih harus terulang?” desah di dalam hati. Di lingkaran yang paling dalam dilihatnya sepasukan kecil Nara Manggala. Wira Jala Pati dalam satu lapis dengan pasukan Manggala Pati. Di atas mereka itu terpancang panji-panji Garuda Rekta, Sura Pati dan yang paling mendebarkan adalah Panji lambang keperkasaan Demak, Gula Kelapa.

Mahesa Jenar mengelus dadanya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Kebo Kanigara menundukkan wajahnya, sedang Ki Ageng Gajah Sora menggigit bibirnya.

“Hem,” Mahesa Jenar berdesah di dalam hati, “Mudah-mudahan semuanya berlangsung baik.”

Namun bagaimana pun juga, laskar Pajang dalam gelar Gedong Minep itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Ia tahu benar, bahwa meskipun laskar Demak itu tidak begitu banyak, apalagi mereka tidak sengaja pergi berperang, sehingga kelengkapan mereka pun bukan kelengkapan perang secara sempurna, namun pasukan Demak adalah pasukan yang telah masak.

Tetapi laskar Banyubiru itu maju terus. Arya Salaka yang sedang bermata gelap itu hampir-hampir tidak melihat apa saja yang terpancang dihadapannya. Dengan gigi gemeretak ia memandangi lapangan di muka barak itu. Katanya di dalam hati, “Manakah anak muda yang bernama Karebet itu?”

Dengan tidak memperdulikan apa saja Arya berjalan terus sehingga mereka menjadi semakin dekat dengan perkemahan Baginda Sultan Trenggana.

Arya Salaka memegang pimpinan, tiba-tiba melihat seorang yang berkuda datang ke arahnya. Seorang dari pasukan Nara Manggala. Orang itu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, kemudian datang lebih mendekat lagi.

“Terimalah Arya,” bisik Mahesa Jenar.

Arya Salaka segera maju beberapa langkah ke depan. Diterimanya sehelai rontal yang diberikan oleh orang berkuda itu.

Arya Salaka menggeretakkan giginya. Kemudian katanya kepada ayahnya. “Ayah, Baginda sudah tahu maksud kedatangan kita. Baginda tahu bahwa kita mencari kakang Karebet disini. Dan Baginda tidak akan menyerahkan Karebet itu kepada kita.”

Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipalingkannya wajahnya, menatap Mahesa Jenar yang menundukkan kepalanya.

“Bagaimana adi? “ bertanya Gajah Sora.

Mahesa Jenar kemudian melambaikan tangannya kepada Arya Salaka untuk melihat rontal ditangannya. Kemudian wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata, “Terimalah Arya. Sebaiknya kau menerima tawaran itu. Dengan demikian kau akan mengurangi korban yang bakal jatuh dalam perang brubuh.”

Kebo Kanigara yang mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu berpaling. Kemudian kembali ia memandang kekejauhan. Sekali-kali tampak bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulutnya.

Sesaat Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata, “Hasrat yang paling besar untuk menemukan Endang Widuri justru datang daripadamu Arya. Bukan dari pamanmu Kebo Kanigara. Karena itu, wajarlah apabila kau yang akan tampil kedepan melawan seseorang yang akan dikirim oleh Baginda di lapangan itu. Demikianlah sikap seorang jantan.”

Arya mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo Kanigara terkejut mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu sehingga dahinya berkerut-kerut. Namun sekali lagi Kebo Kanigara itu tidak berkata apapun juga.

Namun kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar telah membakar dada Arya Salaka. Karena itu, maka kemudian ia melangkah kembali dan menghadap kepada orang yang berkuda itu dengan dada tengadah. “Aku terima tawaran itu. Aku, Arya Salakalah yang akan datang ke gelandang.”

Suasana ditengah-tengah lapangan rumput itu benar-benar menjadi tegang. Ketika matahari telah sepenggalah, terdengarlah sebuah tengara, sangkalala yang mendengung di udara. Setiap orang yang mendengar sangkalala itu menjadi berdebar-debar. Hampir semua orang di kedua belah pihak telah mengetahui, bahwa untuk menyelesaikan persoalan antara pimpinan Banyubiru dan Baginda, telah disepakati untuk mengadakan perang tanding. Meskipun hampir semua orang dari pasukan Demak tidak tahu, apakah sebenarnya tuntutan Arya Salaka itu.

Arya Salaka segera membenahi pakaiannya. Ia kini membawa tombak Kiai Bancak, tetapi ia lebih senang membawa Kiai Suluh, pusaka yang diterimanya secara tidak langsung dari Pasingsingan.

Ketika Arya Salaka melihat seseorang berjalan maju ke lapangan rumput itu dari perkemahan laskar Demak, maka Arya Salaka pun bersiap pula. Sekali ia berputar menghadap ayah dan gurunya sambil berbisik. “Ayah dan paman-paman. Restuilah aku, semoga aku akan berhasil.”

“Hati-hatilah Arya,” hampir bersamaan orang-orang yang mendampinginya menyahut. Ayahnya, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Lembu Sora dan Bantaran. Sedang Rara Wilis pun tidak kalah tegangnya melihat apa yang bakal terjadi.

Dengan langkah tetap Arya Salaka berjalan pula ke tengah lapangan itu. Ditatapnya wajah yang datang dari perkemahan Baginda. Seorang yang bertubuh tegap kekar, berkumis melintang, berjalan sambil tersenyum-senyum. Ketika terlihat olehnya seorang anak muda datang menghampirinya, orang itu mengerutkan keningnya. Anak inikah yang bernama Arya Salaka. Prajurit yang mengenakan pakaian seorang pemburu itu menjadi kecewa. “Hanya seorang anak-anak,” desisnya.

Tetapi ketika ia melihat ketenangan dan pancaran wajah anak itu, maka hatinya berdebar-debar juga.

Ketika mereka kemudian bertemu di tengah-tengah lapangan itu, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa orang prajurit Demak segera mendekati mereka, dan dengan sebuah lambaian mereka memanggil wakil-wakil dari Banyubiru untuk menjadi saksi.

Gajah Sora menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu maka segera ia bertanya kepada Mahesa Jenar. “Siapakah yang akan datang ke arena?”

Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi mereka untuk sesaat saling berdiam diri.

“Apakah adi Mahesa Jenar?” bertanya Gajah Sora.

Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Jangan kakang. Jangan aku. Mungkin Kakang Kebo Kanigara lebih baik. Kakang Kanigara mempunyai kepentingan langsung dalam peristiwa ini.”

“Hem” Kebo Kanigara bergumam sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Jangan aku. Orang-orang Demak telah menyangka aku tak akan mereka jumpai lagi.”

“Lalu siapa?” desah Mahesa Jenar. “Kakang Gajah Sora sendiri barangkali?”

Gajah Sora itu pun menggelengkan kepalanya. “Tidak” katanya. “Aku tidak sanggup.”

Kembali mereka berdiam diri sambil berpandangan. Tiba-tiba mata Mahesa Jenar menyambar wajah Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiam seperti tonggak. Sekali ia menarik nafas panjang dan kemudian katanya. “Apakah kau dapat mewakili kami Wilis? Hanya menyaksikan perkelahian itu, supaya tidak terjadi kecurangan. Barangkali paman Pandan Alas akan sudi mendengarkanmu.”

Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kami bukan orang Banyubiru.”

“Itu tidak penting. Yang diperlukan adalah mereka yang dapat menilai perkelahian itu supaya berlangsung dengan jujur”.

“Baiklah,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Tetapi biarlah salah seorang dari Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger Bantaran atau yang lain?”

“Aku bersedia pergi, “ tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.

“Bagus” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Marilah kita pergi dengan Bantaran.”

Mereka berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-tengah lapangan. Seorang tua yang bernama Pandan Alas, seorang yang gagah, tinggi besar, Ki Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin laskar Banyubiru yang berani, Bantaran dan seorang gadis ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.

Keempat orang itu benar-benar menarik perhatian segenap prajurit Demak. Langkah mereka yang tetap dan tenang, benar-benar mengagumkan. Prajurit Demak yang berpakaian pemburu, dan yang sudah berdiri berhadapan dengan Arya Salaka mengerutkan keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang dapat dibanggakan seperti Lembu Sora. Tetapi karena yang maju ke dalam arena itu seorang anak muda saja. Kenapa bukan orang yang tinggi, besar dan berkumis tebal setebal kumisnya sendiri.

Tetapi ini adalah urusan Banyubiru sendiri.

Ketika keempat orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari dua orang yang akan bertempur itu bersama enam orang prajurit Demak, maka perang tanding itu segera akan dimulai. Seorang prajurit Demak yang tidak lain adalah Paningron, maju selangkah. Dengan penuh hormat ia mengangguk kepada Ki Ageng Pandan Alas, yang dianggapnya wakil tertua dari Banyubiru, sambil berkata. “Ki Ageng perang tanding akan segera dimulai.”

Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Prajurit itu pernah dilihatnya di Pamingit dan Paningron pun ternyata tidak lupa pula kepadanya. “Silakan,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.

“Atas nama Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak adalah adi Tumenggung Prabasemi. Salah seorang perwira Wira Tamtama. Sedang yang mewakili Banyubiru adalah Arya Salaka. Begitu?”

“Ya” sahut Pandan Alas.

Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong. “Kenapa bukan Karebet sendiri maju ke gelanggang?”

Paningron menarik alisnya. Jawabnya. “Perintah Baginda telah jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu menyebut-nyebut nama Karebet. Apakah Karebet telah berbuat sesuatu yang menjadikan rakyat Banyubiru marah, dan sekarang ia harus mewakilinya?

“Persetan,” berkata Prabasemi di dalam hatinya. “Aku harus menunjukkan kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang mampu menyelesaikan persoalan.”

Paningron kemudian melanjutkan kata-katanya. “Ki Ageng Pandan Alas, apabila tidak berkeberatan, baiklah kita taati peraturan yang telah ditulis Baginda di dalam rontal yang sudah disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding akan berhenti setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan, supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi. Lawan yang kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh tinutuh, sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke arena menurut pertimbangan-pertimbangan masing-masing.”

Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua itu benar-benar melihat, seakan-akan sesuatu sedang direncanakan. Meskipun ia tidak tahu benar, namun orang tua itu sama sekali tidak menjadi gelisah melihat perkembangan keadaan.

“Baiklah” berkata Paningron. “Perang tanding akan segera dimulai.”

Paningron itu pun kemudian melangkah surut. Kemudian diberinya kesempatan kedua orang yang telah berhadapan itu mulai dengan tugas mereka mewakili laskar masing-masing dalam perang tanding itu.

Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari kejauhan ia segera mengenal Paningron yang pasti sudah mengenal pula kelebihan Arya Salaka. Sedang perwira Wira Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum begitu dikenalnya. Namun pernah ia dahulu melihatnya. Baru setelah beberapa saat Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa orang itu adalah Prabasemi yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama.

Arya Salaka yang didorong oleh ketegangan, kemarahan dan tuntutan keadilannya yang bergolak di dalam dadanya, tidak berkata apa pun lagi. Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan perang tanding itu.

Prabasemi dengan tenangnya menghadapi anak muda yang gelisah itu. Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum. Anak dari Banyubiru itu benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak menjadi cemas atau bahkan ketakutan melihat dirinya. “Hem” desahnya. “Anak ini adalah anak yang sombong.”

Sedang Arya Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi lawannya bertubuh kokoh kuat itu. Ia menyadari, seandainya orang itu bukan seorang yang pilih tanding, pasti ia tidak akan diangkat menjadi seorang perwira dan harus mewakili Demak dalam arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya pada waktu gurunya masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan mungkin lebih. Karena itu Arya Salaka sama sekali tidak berani melengahkan waktu.

Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun mulai bergerak. Perlahan-lahan, masih dengan tersenyum-senyum. Arya menjadi semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis.

Ketika tangan Prabasemi bergerak menyambar wajahnya, Arya bergeser surut. Kembali dadanya berguncang ketika ia melihat Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap seekor harimau menghadapi seekor anjing sakit-sakitan.

Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri lagi. Ia mendengar peraturan yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki. Kalau ia menang, maka ia masih akan menghadapi orang-orang lain yang akan ditunjuk oleh Baginda. Namun kalau ia kalah, apakah ada orang lain yang menggantikannya. Gurunya, ayahnya atau Kebo Kanigara? Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika ia tidak melihat ayahnya, atau gurunya berada disampingnya. Karena itu, maka ia merasa agaknya gurunya serta ayahnya ingin menyerahkan setiap persoalan kepadanya sendiri.

“Aku akan berjuang sekuat tenagaku,” katanya didalam hati.

Karena itu, ketika ia masih melihat Prabasemi tersenyum-senyum saja tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya menyentuh dada lawannya. Meskipun dengan demikian ia hanya ingin memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan sungguh-sungguh, namun akibatnya benar-benar mengherankan. Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu, sehingga ia benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia ingin mundur selangkah untuk mengurangi tekanan tangan Arya Salaka. Tetapi tangan Arya telah mempercepat gerak surutnya, sehingga tampaknya Prabasemi benar-benar terdorong beberapa langkah.

Wajah perwira Wira Tamtama itu menjadi merah membara. Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di sekeliling arena itu. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, ia mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya. “Setan,” desisnya. Apalagi ketika matanya bertemu pandang dengan Rara Wilis yang menyandang pedang dilambungnya. Maka dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar segenap urat syarafnya. Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan dengan penuh dendam ia memandang Arya Salaka yang belum pernah dikenal sebelumnya. Ia harus mengembalikan namanya yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh seorang anak-anak. Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat ia melumpuhkan Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula namanya sebagai seorang Wira Tamtama. Karena itu, maka dengan garangnya segera ia menyerang. Kedua tangannya bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar bersama-sama. Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan cepatnya ia bergeser ke samping menghindari sambaran tangan kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan yang luar biasa tangan kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali ini Arya tidak sempat menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia harus melawan serangan itu. Dengan sekuat tenagannya, karena ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan lawannya, maka tangan Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya.

Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang marah itu pun ternyata telah mengerahkan sebagian besar tenaganya. Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua belah tangannya, maka benturan itu benar-benar menggoncangkan jantungnya. Tangan Arya Salaka benar seperti sepotong besi gligen yang menghantam tangannya. Perasaan nyeri menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian seakan-akan merembet kesegenap tubuhnya.

Prabasemi menyeringai. Meskipun mereka bersama-sama terdorong beberapa langkah surut, namun alangkah marahnya ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu sama sekali tidak menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang dirasakannya.

Wajah Prabasemi yang marah itu benar-benar menjadi membara karenanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dan sekali lagi hatinya terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis. Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa gadis itu pasti dapat menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi ketika ia melihat wajah Paningron. Wajah itu sedemikian kecewanya memandanginya. “Gila,” desahnya. “Anak itu harus segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, sama sekali bukan salahku, sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin saja terjadi.”

Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang dihadapan Baginda. Meskipun Baginda tidak nampak di luar baraknya, namun ia yakin bahwa Baginda pasti akan mengetahui apakah yang akan terjadi. Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan lawannya. Secepat-cepatnya. Karena itu, maka Prabasemi itu pun kemudian melontar surut beberapa langkah. Dijulurkannya kedua tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang menyentak ditariknya kedua sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua tangannya menelentang ke belakang mengepal di lambungnya. Sedang tubuhnya direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya Aji Sapu Angin.

Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup, meskipun dalam umurnya yang muda, maka segera ia mengetahuinya bahwa ia berhadapan dengan Aji rangkapan dari lawannya itu. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas, dilihatnya orang tua itu mengangguk. Maka dengan tidak berpikir panjang, Arya Salaka itu pun segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit, tangannya yang lain bersilang didada, sedang satu kakinya diangkatnya serta ditekuknya ke depan. Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya Sasra Birawa.

Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut melihat sikap itu. Segera ia meloncat ke depan untuk melerai mereka, namun ia terlambat. Prabasemi telah meloncat maju. Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah kekepala Arya Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya berdesir. Apakah yang dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun menyadari. Arya Salaka telah berusaha melindungi dirinya dengan kekuatan tertinggi yang dimilikinya.

Sesaat kemudian terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah. “Arya,” namun suara itu tidak didengarnya.

Benturan kedua Aji itu benar-benar mengejutkannya. Arya berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun kemudian dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap menguasai kesadarannya. Betapa tubuhnya serasa kejang- kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk bangkit kembali. Dan dengan terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua kakinya. Meskipun kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat melihat keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan dilihatnya dihadapannya, Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah. Sekali ia menggeliat, tetapi kemudian betapa ia berusaha dengan susah payah. Namun Prabasemi tidak berhasil mengangkat tubuhnya. Sekali ia mengangkat kepalanya pada kedua tangannya yang bertelekan tanah, namun kemudian ia terjatuh kembali. Bibirnya yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan lawannya, bahkan dirinya sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya. Betapa hatinya terbakar oleh luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat dilakukannya?

Beberapa orang kemudian mendekatinya untuk membawanya menepi. Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak. “Pergi. Pergi. Tak seorang pun dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan kepalanya. Pergi.”

Namun sekali lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka, dan Tumenggung Prabasemi itu pun diangkat menepi, meskipun ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya.

Peristiwa itu telah benar-benar menggemparkan para prajurit Demak. Mau tidak mau mereka telah memuji di dalam hati. Ternyata anak Banyubiru itu telah mampu mengalahkan Prabasemi.

Arya Salaka masih berdiri tegak di atas kedua kakinya yang terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti membeku. Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya menjadi semakin segar pula.

Paningron yang mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam baraknya segera kembali ke arena. dengan sareh ia bertanya kepada Ki Ageng Pandan Alas. “Ki Ageng, lawan yang pertama telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang kedua seperti yang dijanjikan.”

Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya anak itu masih terlalu letih. Tetapi terdengar Arya yang sedang marah itu menjawab lantang. “Aku masih tetap berdiri disini sebelum Karebet diserahkan kepada kami dengan segala akibatnya.”

Para prajurit Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak tahu kenapa Baginda memilih cara ini untuk menyelesaikan persengketaan itu. Di dalam rombongan berburu ini, tidak banyak orang yang dapat diketengahkan untuk melakukan perang tanding seorang melawan seorang. Perwira yang dapat dibanggakan adalah Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah dikalahkan. Apabila serta maka Gajah Alit, atau Panji Danapati, Arya Palindih, atau beberapa orang lain pasti akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Namun mereka tidak beserta Baginda. Yang ada disini hanyalah selain Tumenggung Prabasemi adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat memenangkan segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?

Para prajurit Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak dibiarkan saja laskar Banyubiru menyerbu? Dengan pengalaman dan kematangan prajurit Demak dalam olah perang dan gelar-gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak laskar lawannya, mesikipun jumlahnya tidak seimbang.

Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu maka pasti akan diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap prajurit Demak menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah kemudian yang akan masuk ke arena. Dirinya? Adalah mungkin sekali setiap orang akan ditunjuk oleh Baginda. Karena itu, maka mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh ketegangan.

Paningron menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan tangannya, dan kembali terdengar sangkalala bergema. Dari dalam barak keluarlah beberapa orang yang mengantarkan orang kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua mata terpancang kepada orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak beberapa saat lampau. Diantara desah pembicaraan orang-orang itu, terdengar Paningron berkata lantang. “Kali ini Karebet akan masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila ia menang dalam perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari Baginda atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh seorang calon Wira Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun Karebet tidak berhasil, maka nasibnya akan diserahkan kepada orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang telah membawa persoalan itu kemari.”

Di sekitar lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para prajurit Demak, maupun laskar Banyubiru. Mereka kini melihat Karebet, ia berjalan ke arena, mendekati Arya Salaka yang masih tegak di atas kedua kakinya. Bagaimana mungkin Karebet itu tiba-tiba berada di situ. Sedangkan ia masih harus menjalani hukumannya.

Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi gemetar. Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan dadanya, bahkan seakan-akan dada itu akan meledak. Karena itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih lemah itu menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat. Kekuatan yang selama ini pernah dimilikinya. Dengan gigi gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri. “Karebet. Karebet. Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri.”

Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya Salaka. Wajahnya masih saja mengulum senyum dan bahkan dengan kata-kata yang akrab ia menyapa. “Selamat bertemu kembali adi Arya Salaka.”

Arya Salaka bergumam. Jawabnya. “Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita tentukan siapakah yang akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau telah sengaja mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan pengampunan atas kesalahanmu itu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Dilayangkannya pandangan matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun tidak jelas namun ia pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara. Tetapi dadanya berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada disana. Apalagi Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain, ada juga di sekitarnya.

Dalam pada itu kembali terdengar Arya Salaka berkata. “Nah, Karebet yang perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu Sekilan. Apakah kau membanggakan kesaktianmu sehingga kau bertindak dengan sekehendak hatimu?”

Sekali lagi Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia sempat menjawab, maka terdengar Arya berkata terus. “Kau telah memancing kekeruhan dan menantang aku untuk datang sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah, Karebet yang sakti. Ini Arya Salaka telah datang.”

Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum lagi. Ditatapnya saja wajah Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat tampak ia menjadi ragu-ragu. Namun setelah ia menelan ludahnya beberapa kali barulah ia berkata. “Terpaksa aku lakukan adi.”

“Omong kosong” bantah Arya Salaka. “Ternyata kau sampai hati menjual adik sepupumu itu?”

Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-kata Arya Salaka. Tampaklah Karebet itupun menjadi gelisah dan Arya Salaka berkata terus. “Sekarang aku datang memenuhi tantanganmu.”

Sesaat Karebet memandang berkeliling. Beberapa orang di sekitarnya memandangnya dengan penuh keheranan. Karena itulah maka Karebet itupun tiba-tiba berkata lantang. “Marilah adi. Kita mulai permainan yang tidak menyenangkan ini.”

Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang dadanya serasa menyala itu telah meloncatinya dengan sebuah serangan yang dahsyat. Karebet pun segera menghindarkan dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya maka ia pun membuka serangan pula.

Maka terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit. Masing-masing mencoba untuk melawan dengan sebaik-baiknya. Mengerahkan segenap ilmunya dan mencoba untuk menjatuhkan lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang perkasa. Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap seakan-akan benar-benar menemukan tenaga tambahan yang tak pernah diduganya. Sedang Karebet yang masih segar, benar-benar seorang pemuda yang lincah dan tangkas. Karena itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan hati. Pertempuran itu ternyata jauh berbeda sifatnya dari pertempuran yang pertama. Prabasemi yang selalu bernafsu menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong perkelahian itu cepat kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu benar-benar mirip dengan sepasang garuda yang berlaga di udara.

Sambar menyambar, terkam menerkam. Beberapa orang yang mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah surut. Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak dengan cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang panjang. Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya. Gerakannya dibatasi. Namun setiap gerakan yang dilakukannya, benar-benar melontarkan bahaya yang bernada maut.

Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing adalah anak-anak muda yang perkasa, sehingga mereka berdua kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu pusaran yang membingungkan.

Di dalam barak, di samping barak yang dipergunakan oleh Baginda, seorang yang bertubuh besar dan kokoh mengumpat-umpat di dalam hati. Nafasnya masih terasa menyekat di dalam rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat. “Gila. Kenapa Karebet itu telah berada di tempat ini pula”.

Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan malu karena kekalahannya, tetapi hatinya menjadi terguncang ketika dilihatnya, tiba-tiba saja Karebet telah berada dilingkungan mereka tanpa mereka ketahui.

Di samping Prabasemi, berdiri seorang anak muda pula yang bertubuh kokoh kuat sebagai seekor harimau jantan di tengah rimba belantara. Sepasang matanya yang tajam memandang perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh. Namun ketajaman matanya itu segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur itu, adalah anak-anak muda yang perkasa pula. Namun keperkasaan kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam hatinya. “Kenapa pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk maju ke arena,” desisnya.

Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya Penangsang. “Hem,” desahnya. “Seharusnya tuanlah yang maju ke arena.”

“Pamanda Baginda tidak menunjuk aku,” jawabnya. Kemudian katanya pula. “Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?”

Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya, “Tangan anak itu benar-benar seberat batu hitam yang menggempur dadaku.”

Arya Penangsang tersenyum. Katanya, “Aku tahu benar. Anak muda itu mempergunakan Aji Sasra Birawa”.

“He?,” Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan wajahnya. Di dalam hati ia berdoa semoga Karebet itu akan dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.

“Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa,” gumam Arya Penangsang.

Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke dalam baraknya sambil berpegangan dinding. “Persetan.”

Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun perkelahian itu kini menjadi semakin kendor.

Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin karena telah kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya telah terluka. Namun sebenarnyalah dalam pertempuran itu terdengar Karebet berbisik. “Maafkan aku adi.”

Arya Salaka terkejut. “Kenapa? Tak ada jalan yang harus aku maafkan. Aku telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita selesaikan perkelahian ini.”

“Adi,” berbisik Karebet itu pula. “Dengarkanlah ceriteraku. Aku berkata sebenarnya.”

Arya Salaka mula-mula sama sekali tak memperhatikannya. Namun kemudian ia mendengar Karebet itu berkata. “Kali ini tak ada orang lain yang dapat menolongku, selain adi Arya Salaka.”

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Dan tanpa menunggu lagi, Karebet mulai dengan ceriteranya. Karena itulah maka perkelahian diantara mereka menjadi bertambah surut.

Ketika Karebet selesai dengan ceriteranya, maka terdengar Arya Salaka berkata. “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Ya. Aku berkata sebenarnya.”

“Kenapa kakang tidak berkata sebelumnya?”

“Aku memerlukan kau datang dalam kesiagaan yang benar-benar.”

“Hem,” Arya Salaka menggeram. Tampaklah keragu-raguan membayang diwajahnya. Dipertimbangkannya masak-masak kata-kata Karebet itu dan dikupasnya sejauh-jauhnya. Ketika ia melihat wajah Karebet yang bersungguh-sungguh itu, maka tiba-tiba ia tersenyum meskipun dicobanya untuk menyembunyikan dalam-dalam. “Gila. Kau benar-benar bermain api kakang. Apakah aku harus bersimpuh menyembahmu?”

“Jangan. Lepaskan Sasra Birawa itu.”

“He?,” Arya Salaka terkejut. “Apakah sebenarnya maksudmu?”

“Ya. Lepaskan Sasra Birawa. Aku tidak akan melawan. Tetapi aku akan bertahan dengan Lembu Sekilan. Mungkin aku dan adi akan terlempar beberapa langkah. Mudah-mudahan tidak berbahaya, meskipun tubuh kita akan kesakitan.”

Arya Salaka tidak sempat berpikir lebih lama. Menilik wajah dan kata-kata Karebet, maka Karebet telah berkata sebenarnya. Tetapi seandainya Karebet itu berbohong, bukankah Sasra Birawa itu adalah kekuatannya yang tertinggi? Seandainya Sasra Birawa itu tidak mampu mengalahkan Karebet, maka ia sudah tidak memiliki kekuatan lain yang akan dipergunakan. Karena itu apapun yang dilakukan oleh Karebet, maka sudahlah pasti ia akan mempergunakan kekuatan tertinggi itu.

Arya Salaka yang sedang menimbang-nimbang itu pun terkejut ketika ia melihat Karebet melontar menyerangnya. Ketika ia mengelak ia mendengar Karebet berbisik. “Mulailah.”

Arya Salaka itu tidak dapat berbuat lain daripada memenuhi permintaan itu. Sekali ia meloncat surut. Diangkatnya sebelah tangannya tinggi-tinggi, dan disilangkannya tangannya yang lain di dadanya. Satu kakinya diangkatnya ke depan dan dengan menggenggam Arya Salaka meloncat melontarkan Aji Sasra Birawa.

Dalam pada itu, Karebet yang melihat Arya Salaka telah siap, segera mempersiapkan dirinya pula. Direnggangkannya kakinya dan kedua tangannya segera bersiap dimuka dadanya. Wajahnya segera menjadi tegang. Dan diterapkannya Aji Lembu Sekilan sejauh-jauhnya yang dimilikinya.

Pukulan Arya Salaka benar-benar dahsyat. Seakan-akan sebuah gunung runtuh menimpa dada Karebet. Namun Karebet telah mapan dalam Aji Lembu Sekilan, sehingga pukulan itu tidak menggugurkan isi dadanya. Meskipun demikian ia terlontar beberapa langkah surut dan jatuh berguling beberapa kali ditanah. Namun sesaat kemudian ia telah melenting berdiri tegak di atas kedua kakinya.

Arya Salaka yang mempergunakan Ajinya terasa seakan-akan membentur benteng baja. Pukulan itu seakan-akan telah menghantam dirinya sendiri, sehingga ia pun terlempar beberapa langkah. Dengan kerasnya ia terbanting ditanah. Sesaat matanya menjadi berkunang-kunang. Seakan-akan langit akan runtuh menimpanya. Karena itu ia segera memejamkan matanya dan mengumpulkan segenap kekuatan yang ada padanya. Sebenarnyalah bahwa tubuh Arya Salaka adalah tubuh yang luar biasa, sehingga dengan demikian, ia tidak mengalami cidera. Namun untuk sesaat ia tidak dapat bangkit berdiri dengan kekuatan sendiri.

Melihat anaknya terbanting jatuh, dada Gajah Sora seperti akan meledak. Tiba-tiba hilanglah segenap pertimbangannya. Dengan serta merta ia berkata, “Akulah yang akan menjadi orang kedua.”

Kebo Kanigara terkejut mendengar perkataan itu. Karena itu segera ia mencegahnya sambil berkata. “Tunggulah. Apakah yang akan terjadi kemudian.”

“Apa yang harus aku tunggu?”

Kebo Kanigara menjadi bingung. Sejak semula ia telah menyangka, bahwa akan sulitlah untuk mengendalikan Gajah Sora. Apalagi mereka melihat Lembu Sora ditengah lapangan itupun telah menjadi gemetar dan tangannya telah melekat di hulu pedangnya.

Namun sekali lagi wajah Gajah Sora itupun terkulai ketika tiba-tiba ia melihat Sultan Tranggana dikejauhan keluar dari dalam baraknya.

“O. Apakah yang sepantasnya aku lakukan?” terdengar Gajah Sora berdesah. Kedua tangannya tiba-tiba telah menutupi wajahnya. Dalam kebingungan itu ia bergumam. “Kalau saja Sultan tidak ada disana. Kalau saja panji-panji Gula Kepala itu tidak berkibar disana pula.”

“Jangan cemas kakang”, tiba-tiba terdengar suara Mahesa Jenar. “Akupun orang buangan seperti Karebet. Birlah aku maju ke arena. Seandainya aku akan digantung sekalipun, aku tidak akan menyesal.”

“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan.”

“Aku tidak sampai hati melihat Arya Salaka dan aku tidak sampai hati melihat Kakang Kebo Kanigara kehilangan anaknya satu-satunya,” berkata Mahesa Jenar.

“Tetapi,” Kebo Kanigara menjadi gelisah. Ketika ia memandang kelapangan, dilihatnya Baginda berjalan ke arena. Dibelakangnya berjalan seorang tua dalam pakaian kepangeran.

“Kau lihat orang tua itu?” bertanya Kebo Kanigara.

“Ya, aku lihat. Pangeran Buntara, yang bergelar Panembahan Ismaya dan pernah menggemparkan Demak sebagai seorang yang bernama Pasingsingan.”

“Ya,” sahut Kebo Kanigara.

“Apa peduliku.”

“Mahesa Jenar,” Kebo Kanigara menjadi bertambah gelisah.

Tetapi tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tertawa. Aneh sekali. Gajah Sora pun menjadi sangat heran karenanya. Dan mereka mendengar Mahesa Jenar itu berkata, “Aku telah bertemu di Lemah Telasih. Ki Buyut Banyubiru telah mengatakan kepadaku semuanya.”

“Oh,” Kebo Kanigara berdesah. “Kau mencemaskan aku.”

“Kakang pun telah mencemaskan aku pula.”

Gajah Sora memandang mereka dengan penuh pertanyaan. Namun tiba-tiba mereka melihat Paningron melambaikan kepada mereka. “Marilah kakang,” ajak Mahesa Jenar. Kita menghadapi Baginda.”

Baginda pun kemudian melihat mereka datang. Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Dengan tersenyum Baginda menerima mereka, sambil berkata, “Eyang Buntara. Apakah mereka akan kami bahwa masuk ke dalam perkemahan?”

“Ya cucunda Baginda.”

“Bawalah,” perintah Baginda kepada Paningron.

Baginda itu memandang Arya Salaka sesaat. Kemudian dihampirinya anak yang masih menyeraingai itu. Ditepuknya pundaknya sambil berkata, “Kau pun anak luar biasa. Mari, masuklah ke dalam kemahku.”

Terasa sesuatu yang aneh di dalam dada Arya Salaka. Perlahan-lahan ia menyembah, dan kemudian diikutinya Baginda masuk ke dalam perkemahan.

Di dalam perkemahan itu duduk Baginda Sultan Trenggana, Pangeran Buntara dan Paningron, dihadap oleh Karebet, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora, Lembu Sora, Arya Salaka dan Bantaran. Dengan wajah yang terang Baginda itu memberi kesempatan kepada Pangeran Buntara untuk berceritera, apa saja sebenarnya yang telah mereka lakukan.

“Oh,” Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. “Jadi semuanya ini hanyalah sebuah permainan saja? Permainan yang berbahaya.”

“Ya,” jawab Pangeran Buntara. “Namun dengan demikian Baginda akan menjadi tenang menghadapi masa-masa depan. Baginda tidak akan lagi diganggu oleh prajurit yang selalu bersedih hati, dan menyebabkan permaisuri bersedih pula.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepala. Dan Gajah Sora pun berkata. “Wajarlah kalau selama ini Kakang Kebo Kanigara tidak tampak bersungguh-sungguh berduka. Rupa-rupanya Karebet telah mendapat ijin daripadanya.”

Karebet tersenyum. Tetapi ia menjadi ngeri pula kalau dikenangnya cara-cara yang ditempuhnya itu. Apalagi ketika pada suatu malam ia dikejar oleh Arya Salaka ketika ia berusaha menemui Kebo Kanigara di halaman rumah Gajah Sora.

Tetapi bukan itu saja. Tiba-tiba Pangeran Buntara itu pun berkata.”Baginda, hari ini adalah dapat memanggil kembali Karebet, maka Baginda akan mendapatkan kembali pusaka-pusaka Baginda itu. Selain Sangkelat yang telah diserahkan lewat Karebet kemarin, dan Baginda sendiri melihat bahwa keris itu agaknya telah luluh dalam diri Karebet, sehingga meyakinkan Baginda akan berhasilnya cara ini, maka kini perkenankan Mahesa Jenar menyerahkan pula keris-keris yang selama ini dicarinya, Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.”

Alangkah terkejutnya Baginda. Sehingga dengan serta merta Baginda berkata, “Jadi keris-keris itu telah kau ketemukan?”

Mahesa Jenar menyembah dengan takzimnya. Jawabnya penuh haru. “Hamba Baginda.”

“Dimanakah pusaka-pusaka itu kau simpan.”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Pangeran Buntara yang tua itu. Sehingga Pangeran itu pun berkata, “Kedua keris itu aku simpan Baginda.”

“Oh,” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian. “Mahesa Jenar, kecuali Karebet, maka kau pun akan kembali ke istana. Pekerjaan yang kau pilih telah selesai. Sekarang teruskanlah pekerjaanmu yang lama. Tenagamu sangat aku perlukan.”

Mahesa Jenar menyembah dengan penuh hormat. Ia tidak dapat menolak perintah itu. Dan karena itulah maka ia menjawab. “Hamba Baginda. Hamba hanya akan tunduk pada perintah Baginda.”

Baginda itu pun menarik nafas panjang-panjang. Panjang sekali. Seakan-akan semua mendung yang meliputi Demak kini telah terbuka.

Ketika Baginda diperkenalkan satu demi satu dengan orang-orang yang menghadap, maka Baginda berkata. “Jadi gadis ini adalah bakal isterimu Mahesa Jenar?”

“Hamba Baginda,” jawab Mahesa Jenar sambil tersipu-sipu.

“Dengan pedang dilambungnya?”

“Hamba Baginda,” sekali lagi Mahesa Jenar menyahut sambil menyembah.

“Yang ini, kakeknya?”

“Hamba Baginda. Gadis itu telah tidak berayah dan beribu.”

“Oh,” Baginda menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba Baginda itupun berkata. “Ki Ageng Pandan Alas. Biarlah aku melamar cucumu untuk Mahesa Jenar. Kau terima lamaran itu? Sebenarnya aku telah mendengar sebagian dari kisah hubungan Mahesa Jenar dan cucumu yang tertunda-tunda itu. Dan kini pekerjaan Mahesa Jenar itu sudah selesai.”

“Ampun Baginda,” sembah orang tua itu. Betapa ia menjadi sangat gembira. Cucunya telah mendapat sangkutan yang diidamkannya. Karena itu maka matanya pun menjadi basah. Jawabnya, “Bukan main anugerah yang hamba terima.”

“Jangan tunggu umurnya bertambah tua, Mahesa Jenar. Bulan ini biarlah kakek itu merayakan peralatan perkawinannya. Bukankah semalam purnama sedang naik. Masih ada waktu setengah bulan.”

Mereka berpaling ketika mereka mendengar isak Rara Wilis yang tak dapat ditahannya. Hari yang ditunggu-tunggu kini benar-benar telah mambayang di pelupuk matanya. Akhirnya hari itu akan sampai pula kepadanya.

Arya Salaka pun kemudian mendapat pengukuhan kembali atas tanah perdikannya. Dan dengan sebuah senyuman Baginda berkata, “Bagaimanakah tuntutanmu atas gadis putera Kebo Kanigara itu?”

Arya Salaka tidak menjawab. Namun ia masih menyeringai kesakitan. Dadanya masih nyeri karena Ajinya yang membentur Aji Lembu Sekilan.

“Gadis itu tidak berada disini,” berkata Baginda. “Tetapi besok akan segera kau jumpai di Banyubiru.”

Hari itu adalah hari yang menentukan bagi Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Juga hari yang menentukan bagi Karebet. Meskipun para prajurit Demak dan laskar Banyubiru masih bingung melihat perkembangan keadaan, namun mereka menjadi lega, ketika mereka melihat para pemimpin mereka menjadi gembira. Pertentangan itu benar-benar telah berakhir.

Namun dalam pada itu Baginda terkejut melihat Arya Penangsang sudah siap di atas punggung kudanya. Dengan lantang ia berteriak. “Aku akan pergi berburu sendiri paman. Aku dapat berbuat itu tanpa orang lain. Biarlah Karebet menemui paman dan adinda puteri bungsu.”

Baginda terkejut. Tetapi Arya Penangsang telah pergi diiringi oleh Tumenggung Prabasemi.

Angin pegunungan bertiup semakin kencang mengguncang daun-daun rimba. Semua persoalan yang dihadapi Baginda terasa seakan-akan telah dihancurkan pula oleh angin itu. Persoalan-persoalan yang mengganggunya selama ini dalam tugasnya menyatukan tanah tumpah darah.

Tetapi kembali Baginda diganggu oleh sebuah persoalan yang baru saja tumbuh. Agaknya Arya Penangsang, kemanakannya itu tidak senang melihat hubungan Karebet dengan puterinya. “Tentu pokal Prabasemi,” pikir Baginda.

Namun ketika Penangsang kembali, Prabasemi tidak turut serta, Tumenggung itu tiba-tiba menghilang. Disadarinya bahwa Karebet telah merebut kemenangannya, dan ia akan mendapat kesusahan karena itu.

Tetapi persoalan itu tidak akan segera memerlukan tangan Baginda untuk menyelesaikan. Persoalan itu masih akan dapat dirampungkan pada saat-saat mendatang.

Ketika awan yang putih berarak ke utara, maka Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya. Dilihatnya langit cerah secara hatinya. Dan ia menjadi semakin gembira ketika dilihatnya kemudian Arya Salaka dan Karebet bersendaugurau dengan gembiranya. Tetapi lebih-lebih lagi ketika ia melihat seorang gadis yang berpedang dilambungnya tersenyum kepadanya sambil berbisik. “Kakang, hari itu akan segara datang.”

“Ya Wilis. Segara akan datang. Semoga.”

Keduanya pun kemudian menundukkan wajah-wajah mereka. Sedang hati mereka memanjatkan perasaan terima kasih serta do’a kepada Tuhan yang Maha Esa, semoga mereka akan sampai pada saat-saat yang ditunggu-tunggu itu.

———-oOo———-

TAMAT

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (28)

I.

Sebenarnyalah Karebet pada saat itu telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Karena goncangan pada Aji Lembu Sekilan akibat serangan-serangan kedua lawannya bersama-sama, maka hatinya pun serasa diguncang-guncang. Karena itu, maka pada saat terakhir ia tidak mampu menahan kemarahannya. Sehingga bulatlah tekadnya untuk membunuh saja kedua lawannya dengan aji Rog-rog Asem.

Sembada dan Sambirata yang melihat sikap Karebet segera menyadari keadaan mereka. Selagi Karebet belum menggunakan Aji lain daripada Lembu Sekilan, mereka telah menemui banyak kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Apalagi kalau anak muda itu kemudian mempergunakan kekuatan terakhirnya. Karena itu, tanpa saling berjanji mereka meloncat saling mendekat, dan tanpa berjanji mereka menyiapkan kekuatan Aji mereka bersama-sama untuk melawan aji yang akan dilontarkan oleh Karebet itu.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Tidak oleh Karebet, maupun Sembada dan Sambirata. Ketika mereka telah hampir sampai pada puncak ketegangan karena pengerahan Aji masing-masing, maka tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara. Suara itu tidak demikian kerasnya, namun benar-benar langsung mempengaruhi isi dada mereka.

Belum lagi mereka menyadari keadaan mereka masing-masing, tiba-tiba dari balik gerumbulan yang lebat sebuah bayangan meloncat dekat diantara mereka dan dengan sengaja seakan-akan melerai pertempuran.

Yang menjadi sangat terkejut diantara mereka adalah Karebet. Sesaat ia terpaku ditempatnya. Namun kemudian bahkan ia memperkuat getaran yang bergerak didalam tubuhnya. Kembali ia memusatkan segenap kekuatan lahir batin untuk mengetrapkan aji Rog-rog Asem. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram pandangan matanya erat melekat pada orang yang baru datang itu.

Orang itu masih berdiri diam. Tertawanya menjadi lirih. Dan sesaat kemudian terdengar terdengar ia berkata, “Sudahlah Karebet. Lepaskan dulu pemusatan tenaga itu.”

Tetapi Karebet masih tetap dalam sikapnya. Setiap saat ia dapat meloncat sambil melepaskan Aji Rog-Rog Asem. Ia tidak mau menjadi korban dari persoalan yang berbelit-belit itu. Karena itu kembali ia menggeram dan berkata. “Pasingsingan, apakah kau menjadi sraya Tumenggung?

Orang yang datang itu terkejut. Namun kembali ia tertawa lirih, sambil memandangi jubahnya ia berkata, “Yah aku memang mirip dengan Pasingsingan. Aku juga mempunyai ciri-ciri yang serupa.”

Mendengar jawaban itu Karebet menjadi bimbang sesaat. Namun ia tidak mau terpengaruh karenanya. Dengan demikian ia masih tetap dalam sikapnya.

Sedang dua orang yang lain, terkejut pula mendengar Karebet menyebut orang itu Pasingsingan. Nama itu juga pernah mereka dengar, namun seperti sebuah dongengan yang tak mereka pahami. Tetapi yang mereka dengarpun mengatakan bahwa Pasingsingan memang mengenakan jubah berwarna abu-abu dan menggunakan topeng. Kini orang yang berdiri dihadapan mereka mengenakan jubah serta topeng untuk menutupi wajahnya.

Sesaat kemudian kembali terdengar orang itu berkata, “Karebet, jangan segera berprasangka. Aku datang untuk melerai perkelahian yang tak ada gunanya ini.”

Karebet memandang orang ini dengan seksama. Dengan penuh kewaspadaan ia bertanya, “Apa sebabnya kau melerai perkelahian ini?”

Kembali orang itu tertawa, kemudian kepada Sembada ia berkata, “Ki Sanak lepaskan maksudmu untuk membunuh anak muda ini. Sebab dengan demikian, kalian telah melakukan kesalahan yang sangat besar.”

Sesaat Sembada dan sambirata saling berpandangan. Namun kemudian terdengar Sembada berkata, “Siapakah kau sebenarnya?

Namaku dan diriku sama sekali tidak penting bagimu. Namun kau minta, pikirkan sekali lagi. Apakah keuntunganmu dengan membunuh Karebet?

Kembali Sembada dan Sambirata terdiam. Namun seperti Karebet merekapun memandang orang yang tegak dihadapan mereka, dengan jubah yang keabu-abuan itu dengan tidak berkedip. Sehingga, sesaat kemudian, terdengar orang itu berkata “Sekarang pulanglah kalian kerumah masing-masing. Karebet ke Tingkir, dan kalian berdua serta kawan-kawan kalian kembali ke Demak.”

Sembada mengerutkan keningnya. Sekilas terbayang sebuah timang emas bertretes berlian. Kalau ia pulang sebelum berhasil membunuh Karebet, maka timang itu akan lepas dari tangannya. Dan yang dilakukannya bersusah payah ini, tak akan ada artinya sama sekali. Berlari menerobos hutan dan ladang untuk segera dapat mendahului perjalanan Karebet.

Tiba-tiba ketika mereka sudah hampir pada saat yang menentukan seseorang minta kepada mereka untuk pulang saja dengan tangan hampa. Tetapi betapapun juga kehadiran orang itu benar-benar mempengaruhi perasaannya.

Meskipun demikian Sembada berkata pula, “Aku telah menempuh suatu perjalanan yang jauh. Telah kulakukan pula berbagai usaha untuk menyelesaikan pekerjaanku. Kini sesaat sebelum pekerjaanku selesai kau datang mengganggu kami.

Jangan marah Ki Sanak” sahut orang bertopeng itu. “Aku hanya mencegah, janganlah terjadi permusuhan diantara sesama.

Sambirata mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata “Apakah hubunganmu dengan Karebet itu?

Orang itu menggeleng, “Tidak ada” katanya.

Oleh jawaban itu, maka Sambirata berkata pula, “Katamu demikian, biarlah kami menyelesaikan urusan kami masing-masing. Sebaiknya kau jangan mencampuri urusan orang lain yang tak kau ketahui ujung pangkalnya.

Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian terdengarlah suaranya parau dari belakang topengnya. “Kenapa kalian berdua berusaha membunuh Karebet?

Sambirata diam sejenak, kemudian jawabnya, “Itu adalah urusan kami.

Kembali orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian gumamnya, “Aku yakin bahwa kalian mempunyai cukup alasan untuk melakukannya. Kalau tidak, maka perbuatan itu pasti tidak akan kalian lakukan.Tetapi apakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang lain, itulah yang kadang-kadang menjadi persoalan.”

Hem” Sembada yang keras hati itu menggeram. Katanya, “Kalau kau sudah tahu alasan kami, apakah kau tidak akan mengganggu kami?

Tergantung pada alasan itu” sahut orang berjubah itu. “Kalau aku cukup mengerti, maka aku tidak akan mengganggu kalian.”

Jangan terlalu sombong” bentak Sembada yang kasar itu. “Apakah dengan demikian kami akan terpengaruh karenanya? Apakah apabila kau mencoba mengganggu sekalipun, maka kami tidak akan menyelesaikan pekerjaan kami?

Orang berjubah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ki Sanak benar. Meskipun aku mencoba mengganggu sekalipun, namun aku tidak akan dapat berbuat banyak. Tetapi bukankah setidak-tidaknya dengan demikian aku akan memperlambat pekerjaan kalian.”

Bagus. Bagus” teriak Sembada yang tidak sabar. “Kami adalah keluarga Dadungawuk. Anak muda yang terbunuh oleh Karebet itu?

He?” Bukan main terkejut hati Karebet. Ia sama sekali tidak mengenal nama Dadungawuk. Dan ia sama sekali tidak melakukan pembunuhan. Karena itu maka segera ia memotong. “Bohong. Aku tidak pernah mengenal seseorang yang bernama Dadungawuk.”

Aku sudah menyangka bahwa kau akan ingkar” sahut Sembada. “Watakmu yang licik dan sifat-sifatmu yang sombong itu adalah gabungan dari ujud seorang pengecut yang sebenarnya.

Jangan membual” teriak Karebet yang menjadi semakin marah. “Katakan yang sebenarnya. Bukankah kau seraya Tumenggung Prabasemi?

Sambirata tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan. Tak ada gunanya untuk mempersoalkan, apakah sebabnya kami akan membunuh anak muda yang malang itu. Mau tidak mau, salah atau benar. Keputusan kami, akan kami lakukan.

Kata-kata itu benar-benar membakar hati Karebet. Dengan serta merta ia berteriak. “Minggirlah. Kalau kau bukan Pasingsingan, aku tidak tahu, bagaimana aku akan menyebutmu. Tetapi jangan mengganggu perkelahian ini. Aku pun sudah memutuskan pula untuk mengakhiri perkelahian yang memuakkan ini.”

Kata-kata itu benar-benar berkesan dihati Sembada dan Sambirata. Mau tidak mau mereka pun harus berpikir tentang kata-kata itu. Meskipun demikian, mereka telah terlanjur terlibat dalam persoalan itu. Dengan demikian maka mereka tidak akan dapat berhenti ditengah jalan, meskipun lawan mereka benar-benar mempunyai kekuatan yang tak mereka sangka-sangka.

Tetapi orang berjubah itu masih berdiri saja ditempatnya. Bahkan ia masih berkata, “Jangan berusaha saling membunuh. Apakah tidak ada cara-cara lain yang lebih baik daripada saling membunuh?

Tidak ada” sahut Sembada. “Kecuali kalau Karebet mau membunuh dirinya.

Ucapan itu seolah-olah sebuah bara api yang menyentuh telinga mas Karebet. Karena itu, hampir saja ia meloncat, menyerang Sembada, namun tiba-tiba dengan penuh perbawa orang berjubah itu berkata “Karebet, jangan lakukan. Seharusnya kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang masak sebelum kau berbuat sesuatu.

Karebet tertegun mendengar peringatan itu. Namun kemarahannya yang telah membakar seluruh isi dadanya itu, alangkah sukarnya untuk dikendalikan.

Tetapi dalam pada itu orang berjubah itu berkata seterusnya. “Karebet, kau sekarang adalah orang buangan. Aku mendengar hal itu sebelum kau bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi. Karena itu keadaanmu sama sekali tidak menguntungkan setiap perbuatanmu. Kalau sampai terjadi kau membunuh seseorang, dan berita itu terdengar oleh Sultan, maka hukumanmu akan menjadi berlipat ganda, sebab Sultan akan menjadi semakin murka kepadamu. Pada saat kau bertempur melawan Prabasemi pun, hampir-hampir aku mencegahmu. Namun ketika aku tahu bahwa kau sadari keadaanmu, maka niatku itu pun aku urungkan.”

Karebet terkejut mendengar kata-kata itu. Kalau demikian, maka orang berjubah itu telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Demak. Orang itu ternyata melihat, bahwa ia telah bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi, sehingga daripadanya ia mengetahui bahwa kini ia adalah orang buangan. Namun dalam pada itu, peringatan yang diberikan kepadanya benar-benar telah menyentuh hatinya. Peringatan yang sebenarnya sejak semula telah dipikirkannya. Tetapi ketika kemarahannya telah memuncak, serta hidupnya sendiri telah terancam, maka pertimbangan-pertimbangan itu lenyap dari kepalanya. Dan kini, ia mendengarkan dari orang lain. Orang lain yang tidak dikenalnya.

Tetapi peringatan yang diucapkan oleh orang berjubah itu telah menyalakan kemarahan Sembada dan Sambirata. Orang berjubah itu seakan-akan mengatakan, bahwa Karebet itu pasti akan berhasil membunuh mereka berdua. Meskipun mereka datang hanya sekedar untuk mendapatkan timang emas, dan meskipun harga nyawanya jauh lebih mahal dari harga timang emas itu, namun mereka tidak mau pula bahwa harga diri terlalu direndahkan. Karena itu, maka terdengar Sembada menjawab. “He, orang bertopeng. Pergilah. Jangan ribut tentang nyawa kami. Apakah kau sangka bahwa Karebet itu dapat membunuh kami berdua? Kalau kau sudah melihat sejak permulaan dari perkelahian ini, maka kau akan tahu, bahwa umur Karebet sudah melekat diujung rambutnya. Namun sesaat sebelum ia mati, maka kau datang mengganggu kami.”

“Omong Kosong,” potong Karebet yang hatinya telah menjadi panas kembali.

Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada Karebet ia berkata, “Ingat-ingatlah pesanku. Jangan terpancing kedalam keadaan yang akan menyulitkan kedudukanmu. Kau sekarang masih dapat mengharapkan ampunan dari Baginda, namun kalau kau telah melakukan kesalahan lagi, maka ampunan itu jangan kau harapkan sama sekali. Sebab pembunuhan ini akan dapat disebut dalam berbagai macam keadaan. Prabasemi dapat mengatakan apa saja yang dapat menambah kemarahan Baginda. Diantaranya, orang yang terbunuh itu adalah keluarga Dadungawuk seperti yang baru saja dikatakannya.”

Aku tidak mengenal Dadungawuk” potong Karebet.

Itu adalah suatu contoh yang baik dari bentuk-bentuk fitnah yang dapat dilakukan oleh Tumenggung Prabasemi.

Karebet itu pun terdiam, namun segera ia teringat kata-kata Prabasemi dihadapan Baginda Sultan Trenggana, tentang seorang calon Wira Tamtama. Tetapi Sembadalah yang berteriak, “He orang bertopeng. Apakah sebenarnya maksudmu, dan siapakah sebenarnya kau ini?

Orang bertopeng itu menggeleng. Katanya, “Sudah aku katakan bahwa tak ada gunanya kau mengerti siapa aku.”

Bagus” sahut Sembada. “Tetapi jangan ganggu kami.”

Orang bertopeng itu seakan-akan tidak memperhatikan kata-kata itu, bahkan kepada Karebet ia berkata, “Karebet, pikirkan baik-baik.”

Tetapi apakah aku harus berdiam diri saja, seandainya mereka akan membunuhku.”

Pergilah” jawab orang bertopeng itu.

Pergi?” Karebet itu menjadi heran. Kemudian jawabnya, “Apakah kalau aku pergi orang-orang itu tidak akan menyusulku?

Biarkanlah mereka. Menyingkirlah supaya kau terhindar dari bencana yang lebih besar lagi.”

Karebet menjadi bingung. Ia telah mengenal orang itu. Semula ia menyangka bahwa orang bertopeng itu Pasingsingan. Bahkan ia menyangka bahwa Pasingsingan itu pun telah mendapat tugas pula dari Tumenggung Prabasemi. Namun ternyata orang itu memberinya beberapa petunjuk yang dapat dimengertinya. Namun bagaimana ia harus melaksanakannya? Apakah ia harus pergi dan membiarkan orang itu mengejar dan membunuhnya? Atau bagaimana?

Dalam pada itu Sambirata berkata, “Hem. Ki Sanak yang bertopeng. Agaknya kau telah terlalu jauh mencampuri urusan kami. Karebet kau suruh menyingkir dari arena ini. Kalau demikian, maka kau telah bertekad untuk menggantikannya. Begitu?”

Orang bertopeng itu berhenti sesaat. Kemudian jawabnya. “Aku tidak mempunyai cara lain. Aku hanya sekedar bermaksud menyelamatkan kalian dari perbuatan terkutuk. Karebet dan kalian berdua.”

Jangan banyak bicara” teriak Sembada. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa orang itu bukan Pasingsingan yang menakutkan yang pernah didengarnya dari dongeng-dongeng. “Sekarang kau pergi dan membiarkan kami membunuh Karebet. Atau kami harus membunuhmu dulu, baru membunuh Karebet.”

Orang bertopeng itu seakan-akan sama sekali tidak mendengar teriakan itu. Katanya, “Menyingkirlah Karebet. Kalau mungkin, pertumpahan darah harus dihindari.”

Sembada itu kini sudah tidak sabar lagi. dengan marahnya ia menggeram. Selangkah maju sambil berkata, “Kalau kau mati disini pula, jangan menyalahkan aku. Kau terlalu tamak dan sombong.”

Melihat Sembada melangkah maju, Karebet hampir melangkah maju pula. Namun terdengar orang itu berkata, “Ingat, Sultan sedang murka kepadamu. Jangan kau tambah kesalahanmu dengan perbuatan-perbuatan yang tak berarti. Serahkan orang-orang ini kepadaku.” Kata-kata itu benar-benar berpengaruh dihati Karebet. Terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dan terasa bahwa ia tidak akan dapat menolak permintaan itu.

Tetapi Sembada dan Sambirata telah benar-benar sampai kepuncak kemarahan mereka. Karena itu, maka Sembada berteriak, “Bagus. Ternyata aku harus membunuhmu dahulu. Baru anak yang bernama Karebet itu.”

Orang berjubah itu tidak sampai menjawab. Ketika ia hampir mengucapkan beberapa patah kata, maka Sembada yang kasar itu telah menyerangnya langsung dalam kekuatan Ajinya Sapu Angin. Orang bertopeng itupun melihat betapa kekuatan ajinya itu meluncur lewat tangan-tangan Sembara kearahnya. Namun ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

Karebet yang melihat serangan itu terkejut. Tetapi ia berdiri berseberangan dengan Sembada, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berteriak, “Hei, Ki Sanak. Menghindarlah.

Tetapi orang berjubah itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkannya Sembada menghantamnya dengan Aji Sapu Angin. Namun sesaat sebelum tangan sembada menyentuh jubahnya, tampak orang itu menjadi tegang. Dan pada saat itulah Aji Sapu Angin membentur tubuhnya.

Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang berjubah itu masih tegak ditempatnya. Ia hanya bergetar sedikit. Namun kemudian ia berdiri tegak kembali, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tetapi Sembada yang menghantam orang itu dengan kekuatannya, tiba-tiba terpelanting beberapa langkah dan jatuh terguling karena benturan kekuatannya sendiri. Tangannya yang melontarkan Aji Sapu Angin itu terasa membentur benteng baja. Karena itulah maka ia sendirilah yang terlempar mundur.

Sambirata heran melihat peristiwa itu. Tidak saja Sambirata, namun Karebetpun berdiri dengan mulut ternganga. Seakan-akan ia melihat suatu peristiwa dahsyat didalam mimpi. Aji Sapu Angin mampu menggetarkan Aji Lembu Sekilan, meskipun tidak sampai keintinya. Kini ia melihat orang berjubah itu sama sekali tidak bergerak, namun Sembada sendirilah yang terdorong surut, bahkan jatuh bergulingan beberapa kali.

Tetapi lebih dari itu. Ketika Sembada tidak terguling lagi, maka terdengar ia mengeluh pendek. Dengan susah payah ia berusaha bangkit. Namun tiba-tiba ia terduduk kembali dengan lemahnya. Nafasnya serasa sesak, dan seakan-akan bagian dalam dadanya pecah berkeping-keping.

Sambirata menjadi ragu sesaat. Ia melihat kawannya telah jatuh karena pukulannya sendiri. Karena itu apakah ia akan mengulangi kesalahan Sembada. Kini Sambirata memperhitungkan setiap kemungkinan. Seandainya ia mampu mengalahkan orang berjubah dan bertopeng itu, namun dibelakangnya masih berdiri anak yang bernama Karebet. Anak yang belum dapat dikalahkannya meskipun ia berdua dengan Sembada. Apalagi kini Sembada sudah tidak mampu untuk berdiri.

Sesaat Sambirata tegak saja seperti tonggak. Pikirannya berjalan hilir mudik tak menentu. Ketika sekali lagi ia memandang kawannya yang terduduk lemah itu, maka iapun mengeluh didalam hatinya. “Apakah yang datang berjubah ini sebangsa demit atau Hantu Alasan?.”

Sambirata kemudian terperanjat ketika ia mendengar suara orang bertopeng menggeram dari balik topengnya, “hem, apakah kau juga akan coba memukul aku?

Kembali Sambirata menjadi bimbang. Namun akhirnya ia menggeleng. Kini telah ditemukannya jawaban. Ia tidak memperdulikan lagi kawannya yang terluka itu. Juga timang emas yang dijanjikan. Nyawanya lebih berharga dari segala-galanya. Bahkan sampai pada harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka tanpa malu-malu Sambirata menjawab, “Tidak Kiai. Aku tidak akan melawan kehendak Kiai.”

Karebet mengerutkan keningnya ketika mendengar jawaban itu. Bahkan ia mengumpat-umpat didalam hatinya. Alangkah liciknya hati orang itu. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak berkata apapun.

Yang menjawab adalah orang bertopeng, “apakah kau benar-benar tidak akan berbuat sesuatu?

Tentu Kiai,” sambut Sambirata. “Aku pun sebenarnya tidak mempunyai persoalan dengan angger Karebet. Tetapi terbawa oleh kesetiakawanan aku terpaksa membantu orang itu.”

Sembada berdesah mendengar kata Sambirata. Tetapi ia tidak berani berbuat apapun. Kalau ia membantah, maka Sambirata akan dapat berbuat apa saja atasnya. Selagi keadaan wajar, ia tidak akan mampu melawan Sambirata, apalagi kini, tulang-tulangnya seakan remuk.

Orang bertopeng itu memandangi Sambirata dan Sembada berganti-ganti lewat lubang topengnya. Sesaat kemudian ia menarik nafas panjang. Dan kemudian ia berkata, “Kembalilah kalian ke Demak. Katakan bahwa Karebet telah mati. Ia tidak akan kembali ke Demak dalam waktu yang singkat, sebelum Baginda mengampuni kesalahannya.”

Sambirata mengangguk. Kemudian katanya,” Tentu Kiai kami akan kembali ke Demak.”

Tetapi Sembada yang menyeringai kesakitan itu berkata, “Alangkah mudahnya. Tetapi kalau kelak anak itu kembali ke Demak, maka kepalaku akan dipenggal oleh Prabasemi.”

Sambirata tiba-tiba tertawa. Katanya, “Sudahlah adi Sembada. Kalau kau tidak berani menanggung akibat dari perbuatan ini, biarlah timang-timang ini dikembalikan saja.”

Timang?,” tiba-tiba Karebet memotong.

Ya” jawab Sambirata. “Kami harus membunuh angger. Dan kami akan mendapat timang emas.”

Tangan Karebet menjadi gemetar mendengar pengakuan itu. Tetapi sebelum ia menjawab, orang berjubah itu berkata, “Lupakan semuanya. Beruntunglah kalian, bahwa kalian belum menjual diri kalian dengan harga yang sangat murah itu. Apakah artinya timang emas itu? Seandainya kalian mampu membunuh Karebet sekalipun, namun apakah yang dapat kau miliki itu cukup bernilai untuk menebus tanggung jawab yang harus kau berikan pada masa-masa langgeng? Pada masa kau berhadapan dengan Kekuasaan tertinggi. Jauh lebih tinggi dari kekuasaan Prabasemi, bahkan kekuasaan Sultan Trenggana sekalipun?

Orang berjubah itu diam sesaat. Sembada yang masih menahan sakit itupun terdiam, dan Sambirata menundukkan wajahnya. Semula ia mengurungkan niatnya hanya sekedar untuk menyelamatkan hidupnya, maka tiba-tiba tersentuhlah perasaan Sambirata oleh kata-kata orang bertopeng itu. “Ya,” katanya di dalam hati, “Alangkah murahnya harga diriku. Sebuah timang emas. Hem.” Tetapi Sambirata itu tidak berkata sepatah katapun.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata orang berjubah itu. “Seandainya kau berhasil membunuh Karebet, dan mendapatkan timang-timang emas itu, maka apakah kalian dapat memakainya dengan tenang? Setiap kali timang itu melekat di lambung kalian, maka setiap kali kalian akan teringat, bahwa timang itu sebenarnya berlumuran dengan darah seseorang yang tidak bersalah kepada kalian.”

Sambirata semakin menundukkan wajahnya. Sentuhan-sentuhan pada parasaannya semakin terasa. Dan karena itulah tiba-tiba ia merasa menyesal atas perbuatannya itu. Namun justru karena itulah maka ia berdiam diri.

Nah. Pikirkanlah kata-kataku” berkata orang berjubah itu pula. Tiba-tiba Sambirata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan hormat ia menjawab, “Baik Kiai. Akan aku pikirkan baik-baik kata Kiai.”

Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian katanya, ”Sekarang kembalilah ke Demak. Kau dapat menempuh jalan yang wajar. Bukankah kau menempuh jalan yang sulit, jalan yang bukan sewajarnya dilalui orang pada saat kau berangkat kemari? Lewat gerumbul-gerumbul dan memotong diantara hutan-hutan belukar. Itu adalah gambaran dari pengakuanmu atas perbuatan-perbuatan yang tidak wajar pula yang akan kau lakukan. Sebab kalau kau berlaku wajar, maka kau tidak perlu melalui jalan-jalan yang tersembunyi.

Sekali lagi Sambirata mengangguk. Dan kemudian jawabnya, “Ya Kiai. Aku menyadarinya

Tetapi ketika Sambirata itu berpaling kearah Sembada, maka katanya “Apakah kau sudah mampu berjalan Adi?

Sembada mengerang perlahan-lahan. Sekali lagi ia berusaha bangkit. Namun punggungnya masih terasa sakit. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelemahan dirinya. Maka katanya “Bertanyalah kepada murid-muridmu. Apakah mereka sudah mampu berjalan?

Sambirata itupun kemudian menebarkan pandangan matanya kearah murid-muridnya yang masih berserakan disekitarnya. Ada yang sudah mampu duduk dan mencoba berdiri, namun ada juga yang masih terbaring sambil menyeringai. Melihat mereka itu, tergetarlah hati Sambirata. Hampir saja ia mengorbankan orang-orang itu hanya untuk sebuah timang. Dan karena itu, maka timbullah iba didalam hatinya. Iba kepada murid-muridnya yang tidak tahu menahu ujung pangkal dari perbuatannya.

Perlahan-lahan Sambirata itu menghampiri muridnya yang paling parah diantara mereka. Perlahan-lahan ia berbisik. “Maafkan aku.”

Muridnya itu menjadi heran. Apakah yang harus dimaafkannya?

Meskipun demikian muridnya itu tidak bertanya apapun kepada gurunya. Mereka hanya menyeringai menahan sakit dan berkata jujur. “Aku belum dapat berjalan Kiai

Sambirata menarik nafas. Agaknya keadaan muridnya itu benar-benar sulit. Karena itu maka katanya, “Aku tidak tergesa-gesa. Biarlah kalian menjadi baik dahulu. Aku akan menunggu kalian disini.

Orang bertopeng itu mengawasi hampir setiap orang ditempat itu. Sesaat kemudian terdengar ia berkata, “Baiklah kalau kalian masih akan menunggu kawan-kawan kalian sehingga mungkin untuk berjalan kembali. Kini biarlah anak muda ini pergi bersama aku.”

Sambirata mengangguk sambil menjawab, “Silakan Kiai. Aku mengucapkan terima kasih kepada Kiai.

Orang bertopeng itu mengangguk, kemudian katanya kepada Mas Karebet, “Ikuti aku.

Karebet ragu-ragu sejenak. Ia belum mengenal orang itu. Ia pernah mendengar bahwa orang yang berjubah abu-abu adalah Pasingsingan. Kini ia berhadapan dengan orang yang berjubah abu-abu itu. Apakah orang itu bukan Pasingsingan? Sesaat timbullah beberapa prasangka didalam hatinya. Mula-mula ia menyangka bahwa orang itu hanya sekedar merebut korbannya dari Sambirata dan Sembada, supaya Pasingsinganlah yang berhasil membunuhnya untuk mendapat hadiah dari Prabasemi. Tetapi menilik suara dan tingkah lakunya, maka orang bertopeng itu bukanlah seorang yang bernama Pasingsingan.

Akhirnya Karebet tidak mempunyai pilihan lain. Kalau orang itu Pasingsingan, maka dimanapun, orang itu pasti akan dapat membunuhnya. Diketahui atau tidak diketahui oleh orang lain. Karena itu maka ia tidak menolak, dan diikutinya orang berjubah abu-abu itu. Namun selama itu, anak muda yang masih mengetrapkan ilmunya, Aji Lembu Sekilan dan sekaligus ditangannya masih menjing Aji Rog-rog Asem.

Beberapa langkah kemudian, ketika orang-orang yang terbaring dipinggir jalan hutan itu telah tidak nampak lagi, maka orang berjubah abu-abu itu berhenti. Ditatapnya mata Karebet dengan tajamnya. Kemudian dengan sebuah anggukan kepada ia berkata, “Duduklah Karebet.”

Orang itu tidak menunggu jawaban Karebet. Namun segera ia berjalan kebalik gerumbul dan duduk diatas rumput-rumput kering. Karebet kembali menjadi ragu- ragu. Tetapi seolah-olah sebuah pesona telah menariknya untuk kemudian duduk dihadapan orang berjubah abu-abu itu, dibalik gerumbul pula.

Karebet” berkata orang itu. “Hampir kau melakukan sebuah kesalahan lagi. Bukankah kau kini sedang menjalani hukuman?”

Kelunakan dan kesungguhan kata-kata orang itu memberi keyakinan kepada Karebet, bahwa orang itu sebenarnya bukan Pasingsingan. Karena itu maka jawabnya “Ya, Kiai. Aku sedang menjalani sebuah hukuman.”

Apakah sebabnya?” bertanya orang itu.

Karebet sesaat menjadi ragu-ragu. Namun kemudian terluncur pula dari mulutnya, persoalan-persoalan yang menyebabkannya diusir dari istana. “Tetapi Kiai”, berkata kemudian. “Janganlah hal ini didengar orang lain, supaya Sultan tidak semakin marah kepadaku.”

Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Karebet. Aku mengikutimu sejak kau meninggalkan istana, berrjalan bersama-sama dengan Tumenggung Prabasemi. Aku melihat sesuatu yang tidak wajar pada kalian berdua. Karena itu aku mencoba melihat apa saja yang akan terjadi. Ternyata dihutan Santi kalian berdua terlibat dalam suatu perkelahian. Ketika aku melihat Prabasemi jatuh, aku hampir saja mencegahmu. Namun ternyata kau pada waktu itu masih dapat menguasai dirimu. Tetapi yang baru saja terjadi disini, agaknya kau telah benar-benar menjadi mata gelap.”

Karebet mengangguk, “Ya Kiai” jawabnya. “Aku tidak ingin mati ditangan kedua orang itu.”

Aku tidak menyalahkanmu” sahut orang bertopeng itu. “Aku hanya ingin mencegah kesalahan yang mungkin kau lakukan, yang akan dapat mendorongmu semakin jauh dari istana.”

Karebet menundukkan kepalanya. Kini ia pasti, bahwa orang itu sama sekali bukan Pasingsingan. Tetapi siapa?.

Dan tiba-tiba saja ia bertanya. “Tetapi apakah aku boleh mengetahui, siapakah Kiai ini?

Orang itu menggeleng. “Tidak ada gunanya,” jawabnya.

Karebet menarik nafas. Ia tidak bertanya lagi kepada orang itu Sebab sekali ia merahasiakan dirinya, maka betapapun ia mencoba bertanya, namun pasti ia tidak akan mendapat jawaban.

Karebet itu kemudian mengangkat wajahnya ketika orang itu bertanya. “Sekarang, ke manakah kau akan pergi?

Karebet menarik nafas dalam-dalam. Ya, kemana ia akan pergi? Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya, “Aku akan ke Tingkir

Tidak” jawab karebet, ”aku tidak yakin bahwa Prabasemi akan melepaskan maksudnya membunuhku. Mungkin ia akan meminta orang lain lagi untuk melakukan pembunuhan itu. Dalam keadaan yang demikian, mungkin sekali aku kehilangan kesabaran, dan membunuh orang itu sehingga dengan demikian Sultan Trenggana akan semakin murka kepadaku.”

Kau benar” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi kemana?”

Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”

Apakah kau tidak mempunyai sahabat, kawan atau saudara ditempat lain?” bertanya orang bertopeng itu.

Karebet diam sejenak. Tiba-tiba terbayanglah di rongga matanya, sebuah lembah yang luas dengan padi yang hijau subur dikaki pegunungan Telamaya. Suatu daerah yang sangat menarik yang pernah dikunjunginya. Tetapi daerah itu belum menemukan ketentraman karena persoalan antar keluarga sendiri.

Bagaimana?” bertanya orang itu pula.

Karebet menggeleng. Jawabnya, “Aku mempunyai sahabat, saudara dan kawan-kawan. Tetapi mereka sedang sibuk dengan persoalan mereka sendiri. Apakah aku tidak akan menambah keributan mereka, apabila aku datang kepada mereka itu?

Terdengar orang bertopeng itu tertawa pendek. Katanya seolah-olah bergumam saja didalam mulutnya. “Hem. Kau memandang dari sudut yang buram. Cobalah, katakan kepadaku bahwa kau akan datang untuk membantu memecahkan persoalan mereka itu.

Karebet menengadahkan wajahnya. Sesaat terpancarlah sesuatu dari wajahnya. Katanya didalam hati, “Ya, aku adalah seorang laki-laki. Kenapa aku tidak dapat memperingan pekerjaan mereka itu?

Tiba-tiba Karebet itu berkata, “Pendapat Kiai baik sekali. Aku dapat datang kepada mereka untuk membantu mereka. Mungkin tenagaku akan berguna.

Bagus”, orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Topengnya bergerak-gerak seperti kepala hantu-hantuan di sawah untuk menakut-nakuti burung.

Baiklah Kiai”, berkata Karebet pula, “Aku akan pergi kesana.

Kemana?

Karebet berdiam diri sejenak. Namun sesaat kemudian ia berkata lantang. “Banyubiru.

Banyubiru”, orang bertopeng itu mengulang. Kemudian katanya, “Pergilah ke Tingkir. Kemudian pergilah ke Banyubiru.

Baik Kiai” sahut Karebet.

Orang bertopeng itupun kemudian berdiri. Dipandanginya Karebet dengan seksama. Kemudian katanya, “Kita berpisah disini setelah aku mengikutimu sejak dari Demak. Mudah-mudahan aku terhindar dari segala malapetaka. Dan mudah-mudahan kau selalu dapat mengekang dirimu sendiri. Pergilah. Aku akan pergi ke Bergota.

Karebet mengerutkan keningnya, dan dengan serta merta ia bertanya.

Kenapa ke Bergota?

Tidak ada hubungannya dengan kau. Aku akan menemui Arya Palindih” jawab orang itu.

Kembali Karebet menjadi sangat tertarik kepada jawaban itu. Tetapi orang itu berkata, bahwa kepergiannya itu tak ada hubungannya dengan dirinya. Meskipun demikian, ia bertanya-tanya juga didalam hatinya. Bukankah Sultan Trenggana pernah mengatakan kepadanya bahwa ia akan dikirim ke Bergota seandainya Prabasemi tidak mencegahnya? Meskipun demikian Karebet itu tidak bertanya lagi.

Orang bertopeng itupun kemudian minta diri dan perlahan-lahan ia berjalan meninggalkan Karebet. Tetapi, ia tidak berjalan lewat jalan yang terbentang di tengah-tengah hutan itu, namun berjalan menyusup lewat gerumbul-gerumbul di hutan itu. Sebelum orang itu hilang dari pandangan mata Karebet, terdengar ia berkata, “Karebet, aku tadi berkata kepada Sambirata, bahwa ia menempuh jalan yang tidak wajar karena tuduhan yang tidak wajar. Kini akupun menempuh jalan yang tidak wajar karena keadaanku pun tidak wajar dan tujuanku pun tidak wajar. Namun percayalah bahwa aku mempunyai itikad yang baik bagimu dan bagi Demak.

Karebet mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan bahwa didalam hatinya. “Kenapa bagiku dan bagi Demak? Apakah ada hubungan yang erat antara aku dan Demak? Ah” desahnya. “Aku hanya seorang lurah Wira Tamtama.

Tetapi tiba-tiba ia berdesis. “Bukan, Lurah Wira Tamtama pun bukan. Aku adalah orang buangan.

Ketika orang bertopeng itu lenyap dibalik rimbunnya daun-daun rimba yang hijau, maka Karebet itu menjadi bersedih. Dikenangnya dirinya dan disesalinya segenap perbuatannya. Namun semuanya telah berlalu. Dan kini ia tinggal menjalani akibat dari perbuatan-perbuatannya yang salah itu.

Sesaat Karebet itu masih tegak ditempatnya. Sekali-kali diawasinya daun-daun yang hijau tempat orang bertopeng itu melenyapkan dirinya.

 ”Orang Aneh,” gumam Karebet. “Memang di dunia ini selalu ada keanehan-keanehan yang kadang-kadang lucu. Apakah gunanya orang itu menutupi wajahnya dan berjubah. Apakah wajahnya itu terlalu jelek dan kasar, atau seorang buruan yang sedang menyembunyikan diri? Tetapi tidak pantas kalau orang itu menyembunyikan dirinya karena persoalan-persoalan lahiriah. Ia adalah seorang yang sakti, ternyata Aji Sembada sama sekali tidak mampu mendorongnya selangkah pun.”

Karebet itupun kemudian dengan segan melangkah pergi. Kini ia berjalan dengan tujuan yang pasti. Ke Tingkir kemudian ke Banyubiru.

Ketika ia muncul dari balik-balik gerumbul, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk menengok kembali Sembada dan Sambirata. Karena itu ia berjalan menuju ke arah mereka. Dari kejauhan dibalik tikungan Karebet telah melihat mereka masih berada ditempatnya.

Sembada kini sudah duduk menepi, dan beberapa murid Sambirata pun semuanya telah berbaring dan duduk-duduk di rerumputan. Bahkan dilihatnya Sembada dengan lahapnya sedang makan bekal yang dibawanya.

Ketika mereka melihat Karebet datang kepada mereka, maka Sembada dan Sambirata itupun berdesir hatinya. Apakah maksud kedatangan Karebet itu kembali kepada mereka? Apakah setelah orang bertopeng itu pergi, Karebet akan meneruskan maksudnya, bertempur sampai saat-saat terakhir? Tetapi kini Sambirata telah tidak bernafsu lagi untuk bertempur. Di dalam dadanya telah terdengar suara-suara yang belum pernah didengarnya. Dan suara-suara itu telah mendorongnya untuk menghindari bentrokan langsung dengan Karebet itu.

Tetapi wajah Karebet sama sekali tidak menunjukkan ketegangan. Bahkan ketika ia melihat Sembada yang masih saja menyuapi mulutnya itu, ia tersenyum sambil berkata, “Alangkah nikmatnya, makan setelah bekerja keras.”

Makanlah kalau kau mau” berkata Sembada itu tanpa berpaling. Meskipun demikian denyut jantungnya menjadi semakin cepat. Ia masih belum yakin kalau dalam waktu yang sesingkat itu Karebet telah dapat melupakan apa-apa yang baru saja terjadi.

Tetapi Karebet benar-benar anak yang aneh, yang berbuat apa saja menurut keinginannya sesaat-sesaat. Tiba-tiba saja ia duduk di samping Sembada dan berkata, “Aku juga lapar, kakang Sembada.

Sambirata menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kejujuran yang memancar dalam diri Karebet. Kejujuran yang tidak dibuat-buat. Karena itu ia menjadi semakin kecewa atas perbuatannya. Untunglah semuanya belum terlanjur terjadi. Kalau ia berhasil membunuh Karebet, maka dosanya akan selalu mengejarnya apabila ia kelak mengetahui sifat-sifat anak itu. Sedang apabila Karebet yang membunuhnya, maka kasihanlah anak itu. Sebab dengan demikian ia akan mendapat hukuman yang lebih berat dari Baginda.

Dengan penuh penyesalan ia melihat Karebet itu meraih sepotong makanan bekal yang mereka bawa dari Demak. Dan tanpa ragu-ragu disuapkannya makanan itu kedalam mulutnya. “Enak” gumam Karebet itu.

Sifat itu sangat menyenangkan”“ berkata Sambirata di dalam hatinya. Dan dibiarkannya Karebet itu kemudian makan sepuas-puasnya.

Sembada yang sedang makan itupun menjadi heran pula melihat Karebet benar-benar mau makan bersamanya. Karena itu ia menjadi tenang sedikit. Mungkin Karebet itu benar-benar tidak akan meneruskan perkelahian yang pasti tidak akan menguntungkannya.

Hanya beberapa murid Sambirata yang mengumpat-umpat di dalam hatinya. Punggung-punggung mereka masih terasa sakit karena anak muda yang bernama Karebet itu. Dan kini Karebet itu makan bekalnya seenaknya. Bahkan tidak henti-hentinya.

Makanlah angger” Sambirata itu mempersilakan dengan ramahnya.

Aku akan kenyang, paman” sahut Karebet. Dan tiba-tiba pula Karebet itu berdiri.

Sembada lah yang paling terkejut. Ia masih belum dapat menghilangkah kecemasannya apabila Karebet itu tiba-tiba membunuhnya. Tetapi Sembada itu menarik nafas dalam-dalam, ketika dilihatnya Karebet itu menekan punggungnya sambil menggeliat. “Aku sudah terlalu kenyang paman”, katanya kepada Sambirata. “Sekarang biarlah aku meneruskan perjalananku ke Tingkir. Apakah paman masih akan mencegah aku?

Tidak, tidak ngger. Silakan berjalan terus. Aku tidak akan mengganggu angger lagi.” sahut Sambirata.

Tetapi Sembada yang kasar itu menjawab, “Pergilah. Tapi jangan mencoba mengganggu kami.

Karebet itu berpaling. Tetapi kemudian ia tersenyum, jawabnya “Baiklah. Aku tidak sengaja mengganggumu, kakang. Aku lapar, dan dihadapanmu ada makanan.

Bukan soal makanan” bentak Sembada. “Tetapi jangan halangi kami kembali ke Demak, kalau kau ingin selamat.

Sekali lagi Karebet tersenyum. Katanya, “Apakah kakang sudah dapat berjalan dengan baik.

Sembada tidak menjawab. Namun ia mengumpat perlahan-lahan, “Persetan.

Karebet itupun kemudian berjalan meninggalkan mereka. Ditelusurinya jalan sempit ditengah-tengah hutan yang semakin lama semakin tipis. Sehingga sesaat kemudian ia akan sampai ke mulut lorong itu dan meninggalkan daerah hutan yang memberinya kesan tersendiri. Di hutan inilah Prabasemi berusaha merampas nyawanya untuk yang kesekian kalinya. “Hem,” gumamnya, “Orang itu benar-benar berusaha menghilangkan aku karena otaknya yang gila seperti aku. Tetapi aku tidak mengganggu orang lain. Aku mendapatkan kesempatan tanpa aku sangka-sangka. Sedangkan Prabasemi mencari kesempatan dengan segala cara. Bahkan mengorbankan orang lain sekalipun.

Sekali lagi Karebet menarik napas. Kemudian ditatapnya jalan yang terbentang dihadapannya. Kini ia meninggalkan hutanitu. Ketika ia menengadahkan wajahnya dilihatnya langit yang cerah. Awan yang tipis selembar demi selembar mengalir ke Utara, dan burung berterbangan di angkasa seakan menari dengan riangnya.

Karebet mengusap dahinya yang basah. Angin yang lembut perlahan-lahan menyentuh tubuhnya yang kotor.

Ketika Karebet mengangkat wajahnya, hatinya menjadi berdebar-debar. Dihadapannya terbaring seonggok warna hijau ke hitam-hitaman. Padukuhan Tingkir, tempat ia dibesarkan oleh ibu angkatnya Nyi Tingkir.

Langkah Karebetpun tertegun sesaat. Kembali ia berbimbang hati. Tetapi kemudian ia melangkah kembali dengan langkah yang tetap. Pulang ke Tingkir dan kelak terus ke Banyu Biru.

Angin yang lembut sekali lagi mengusap wajah Karebet yang basah oleh keringat. Dan kembali persoalan itu hanyut satu persatu di kepalanya, berlari berurutan seperti kuda yang sedang berpacu. Dan akhirnya sampailah ia ke ujung kenangannya.

———-oOo———-

 

II

Malam itu langit cerah yang ditandai oleh sepotong bulan muda. Ketika Karebet mengangkat wajahnya, yang tampak dihadapannya bukan pedukuhan Tingkir yang hijau kehitam-hitaman, tetapi sebuah dataran yang luas dengan daun-daun padi yang menghijau melapisinya. Warna-warna semburat kuning yang dilemparkan oleh bulan sepotong di langit tampak berkilat-kilat memantul dipermukaan air Rawa Pening.

Karebet kembali kepada keadaanya kini. Dihadapannya duduk pamannya yang disegani. Kebo Kanigara yang mendengarkan ceritanya dengan asyik.

Ketika Karebet itu berhenti berbicara, maka Kebo Kanigara itu menarik napas panjang. Panjang sekali. Dan terdengarlah ia bergumam, “Bukan main. Itulah sebabnya maka sepeninggalmu, timbulah berbagai cerita mengenai dirimu.”

Karebet tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Dan malam menjadi semakin dingin, karena arus angin pegunungan.

Darimana kau tahu sedemikian banyak cerita tentang dirimu, yang kau alami dan tidak kau alami?

Dengan kepala masih tertunduk Karebet menjawab, “Sebagian aku alami langsung, sedangkan sebagian aku dengar dari seorang sahabat yang dapat dipercaya.

Siapakah orang itu?

Sambirata!

He, Sambirata yang kau katakan mencegatmu di hutan dekat Tingkir itu?”

Ya, ternyata ia telah menyesali perbuatannya. Karena itu ia berusaha mencari kebenaran tentang diriku. Aku tidak tahu, apa saja yang sudah dilakukannya, namun ia berhasil mengetahui sebagian besar keadaanku, dan ia pun berhasil mencari aku, ketika aku masih berada di Tingkir.”

Hanya orang itu?” bertanya Kebo Kanigara.

Ya, tetapi paman Sambirata aku minta menghubungi sahabatku yang lain di dalam lingkungan Wira Tamtama. Daripadanya paman Sambirata dapat melengkapi ceritanya.”

Siapakah orang itu?”

Santapati. Kakang Santapati, seorang lurah Wira Tamtama juga.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia berdiam diri, dan Karebet tidak berkata apapun. Karena itu maka keadaan di lereng menjadis epi kembali. Di kejauhan terdengar suara cengkerik sahut menyahut dengan derik belalang. Sesekali terdengar aum harimau di kejauhan, di hutan Gunung Telamaya.

Sesekali Kebo Kanigara memandang wajah kemenakannya yang suram. Dilihatnya penyesalan yang dalam menggores didadanya. Karena itu maka perasaan Kebo Kanigara itupun menjadi iba juga kepadanya. Kepada satu-satunya kemenakannya. Karebet adalah penyambung keturunan Pengging disamping Widura. Karena itulah maka adalah menjadi keinginanya bahwa Karebet kelak mendapat tempat yang baik, sebagai seorang cucu Handayaningrat, maka adalah wajar apabila Karebet apabila Karebet itu tidak saja menjadi seorang buangan dan sekedar Lurah Wira Tamtama.

Hem” geram Kebo Kanigara didalam hatinya.” Trenggana ternyata dapat dipengaruhi oleh orang-orang seperti Prabasemi.”

Tiba-tiba terbersitlah sesuatu di kepala Kebo Kanigara. Karebet adalah kemanakannya. Nasib Karebet dihari kemudian akan menentukan darah keturunan Pengging. Kalau Karebet itu akan hancur menjadi debu di pembuangan, maka darah Pengging akan kering seperti lautan yang kering. Betapapun agungnya lautan itu dihari-hari lampau, namun apabila kemudian telah kering dibakar terik matahari, maka keagungan airnya pasti akan dilupakan orang. Demikianlah kalau Karebet itu benar-benar akan lenyap dari percaturan pemerintah Demak, maka darah Pangeran Handayaningrat untuk selamanya tidak akan dapat mengharapkan Widuri untuk merebut tempat itu, sebab mau tidak mau ia melihat hubungan yang akrab antara putrinya itu dengan Arya Salaka. Meskipun Arya Salaka bukan darah yang tetes dari istana, namun ia bangga atas anak muda itu. Anak muda yang menyadari keadaannya, menyadari tanggung jawabnya. Dan ia puas dengan keadaan putrinya, asalkan kelak ia merasa bahagia. Apalagi putrinya itu sejak kecilnya sama sekali tidak pernah mengenyam kehidupan istana. Karena itu, maka apa yang dicapainya itu benar-benar telah memberinya kebahagiaan.

Baru beberapa waktu kemudian Kebo Kanigara itu berkata, “Karebet. Jangan tinggalkan Banyubiru tanpa ijinku. Mungkin ada beberapa cara yang dapat ditempuh, supaya Sultan Trenggana itu memaafkan kesalahanmu.”

Karebet menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik paman. Aku akan tinggal di Banyubiru sampai paman memerintahkan aku berbuat lain.”

Kembali mereka terlempar dalam kesenyapan. Dan kembali suara jengkerik bersahut-sahutan dengan desir angin di dedaunan. Awan yang putih segumpal hanyut di wajah bulan kuning pucat.

Sesaat kemudian barulah Kebo Kanigara berkata, ”Karebet. Alangkah bodohnya kau. Kenapa kau sampai terpancing dalam pertempuran melawan Sultan Trenggana?”

Aku tidak mengenal paman. Sultan menggunakan tutup wajah dari ikat kepalanya. Dan Sultan sama sekali tidak mempergunakan tanda-tanda kebesarannya.”

Apakah kau tidak mampu melihat ciri-ciri gerak Baginda?

Tidak paman. Aku lebih baik tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda, karena Baginda mempergunakan Aji Welut Putih.”

Kenapa dengan Aji Welut Putih.”

Bukankah Aji itu biasa dipergunakan oleh orang-orang jahat yang berusaha melepaskan diri dari kejaran?

Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Baginda mengenal seribu macam ilmu. Dari yang paling jahat sampai yang paling baik.

Aku kurang menyadari itu paman. Mungkin Baginda sengaja mempergunakan Aji Welut Putih untuk lebih mengaburkan anggapanku terhadap orang yang tertutup wajah itu.”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Jangan kambuh lagi Karebet. Kalau kau meninggalkan Banyubiru tanpa setahuku, aku tidak akan mencampuri lagi segenap persoalanmu.

Baik paman” jawab Karebet.

Kebo Kanigara itupun kemudian bangkit sambil berkata. “Kembalilah kerumah Ki Lemah Telasih. Mudah-mudahan Buyut Banyubiru itu akan memberimu banyak tuntunan yang akan bermanfaat bagi hidupmu.”

Karebet itupun kemudian berdiri pula. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baik paman.”

Ketika pamannya itu kemudian berjalan meninggalkannya, maka Karebet itu pun segera kembali kerumah Ki Buyut Banyubiru.

Sebenarnyalah Karebet, sejak dari Tingkir segera ia pergi ke Banyubiru. Semula ia mengharap bahwa Arya Salaka Telah berhasil kembali ke tanah perdikannya. Namun ternyata ditemuinya tanah itu sedang dicengkram oleh ketegangan. Karena itu, maka untuk sementara ia mencari tempat yang dapat dipakainya untuk menyembunyikan dirinya. Sehingga akhirnya ditemukannya tempat itu. Rumah Ki Buyut Banyubiru, yang baik hati. Ia tinggal di rumah itu bersama-sama dengan beberapa orang murid Ki Lemah Telasih yang lain. Mereka termasuk orang-orang yang lebih mementingkan persoalan-persoalan pengobatan dan ketekunan dalam mencari dan menemukan jenis dedaunan untuk pengobatan daripada olah kanuragan. Disamping itu, Ki Lemah Telasih adalah seorang yang tekun beribadah. Itulah sebabnya Karebet betah tinggal dirumahnya. Ditemuinya persoalan-persoalan dalam hidupnya. Cara-cara pengobatan itu sangat menarik hati anak muda yang aneh itu.

Diperjalanan kembali ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, Kebo Kanigarapun selalu diganggu oleh berbagai pesoalan. Apakah ia akan membiarkan Karebet terbuang dari pergaulan yang telah pernah dicapainya? Kebo Kanigara itupun dapat ikut merasakan kepahitan yang dialami oleh Karebet itu. Kepahitan yang dialami oleh setiap prajurit yang terpaksa disingkirkan dari kedudukannya. Tetapi Kebo Kanigara pun tahu pula, bahwa Baginda masih memiliki kesayangan yang besar kepada anak yang aneh itu.

Meskipun demikian Kebo Kanigara itu pun berkata didalam hatinya, “Biarlah orang-orang tua mencoba membantu menyelesaikan masalah ini.”

Malam itu Kebo Kanigara hampir tak dapat tidur nyenyak. Ia bangun pagi-pagi benar dan tampaklah bahwa perasaannya sedang dibebani oleh persoalan-persoalan yang berat.

Mahesa Jenar yang mengetahui serba sedikit tentang Karebet, segera dapat menduga, bahwa Kebo Kanigara benar-benar sedang dirisaukan oleh kemenakannya yang nakal. Karena itu sebagai seorang sahabat yang dekat, maka Mahesa Jenar menyatakan dirinya untuk membantu memecahkan kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi oleh Kebo Kanigara itu.

Kebo Kanigara yang masih belum tahu apa yang akan dilakukan itu berkata, “Bukan main. Anak itu telah jauh tenggelam kedalam gelora darah mudanya.”

Apakah kesalahan yang telah dilakukannya itu terlampau besar, sehingga tidak akan mungkin mendapat pengampunan kakang,” bertanya Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara merenung sejenak. Kemudian desahnya, “Mudah-mudahan. Tetapi waktu yang diperlukan cukup panjang.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Serba sedikit Kebo Kanigara mengatakan juga apa yang pernah didengarnya dari Karebet. Namun tidak seluruhnya. Ada persoalan-persoalan yang tidak dapat di ketahui oleh orang lain. Meskipun orang lain itu adalah Mahesa Jenar sendiri, yang selama ini selalu berbuat bersama-sama, berjuang bersama-sama dan bahkan hidup mati mereka berdua seakan-akan telah dipertaruhkan bersama. Tetapi masalah yang dihadapi oleh Kebo Kanigara sebagian adalah masalah yang berhubungan dengan keluarganya. Berhubungan dengan saluran darah Majapahit yang mengalir ditubuhnya dan ditubuh Karebet, namun juga ditubuh Sultan Tranggana.

Karena ada beberapa persoalan yang tidak dapat dikatakannya kepada Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar pun tidak segera dapat melihat, apa yang dapat dilakukannya untuk membantu memecahkan persoalan itu.

Mahesa Jenar” berkata Kebo Kanigara kemudian, “Jangan kau ikut serta dirisaukan oleh persoalan-persoalan yang dibuat oleh Karebet. Lupakanlah persoalan itu. Selesaikan persoalanmu yang telah lama kau tunda-tunda. Bukankah waktu itu kini telah datang?”

Mahesa Jenar tersenyum. Segera ia tahu maksud Kebo Kanigara. Karena itu Mahesa Jenar menjawab, “Baiklah kakang. Meskipun demikian apabila pada suatu saat kakang memerlukan aku, maka aku selalu menyiapkan diri untuk itu.”

Terima kasih, Mahesa Jenar. Pada saatnya aku akan memberitahukannya kepadamu.“ Namun dalam pada itu, sesuatu tersimpan didalam hati Kebo Kanigara. Sesuatu yang tidak dapat segera dikatakan kepada Mahesa Jenar, meskipun pada suatu saat pasti akan menyangkut perasaannya. “Hem” gumam Kebo Kanigara didalam hatinya, “Biarlah Mahesa Jenar menikmati masa-masa yang paling baik dalam hidupnya.”

Sejak itu Kebo Kanigara berusaha untuk menghilangkan kesan-kesannya yang menggelisahkan karena pokal kemenakannya. Meskipun beberapa kali ia masih menemui Karebet, tetapi ia tidak pernah menyebut-nyebutnya lagi kepada Mahesa Jenar.  Dibiarkannya Mahesa Jenar sibuk dengan persoalan sendiri.

Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mendengar dari Kebo Kanigara bahwa Karebet telah pergi ke Karang Tumaritis dan telah kembali ke Banyubiru.

Dalam pada itu, maka Ki Ageng Pandan Alas merasa bahwa ia telah cukup lama berada di Banyubiru. Karena itu maka ia pun minta diri kepada Ki Ageng Gajah Sora, kepada Kebo Kanigara, kepada Mahesa Jenar dan kepada cucunya Rara Wilis.

Kenapa Ki Ageng tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru?” bertanya Gajah Sora.

Aku sudah cukup lama tinggal di sini angger. Karena itu aku ingin sekali-kali melihat tanah kelahiranku. Aku ingin pulang ke Gunungkidul, menyampaikan kabar yang sebaik-baiknya bagi sanak kadang dan handai taulan di sana. Sudah tentu kami akan mengharap Wilis sekali-kali juga mengunjungi kampung halaman. Dan sudah tentu kami akan mengharap bahwa kami dapat menyaksikan hari yang paling baik bagi hidupnya di kampung halaman sendiri. Apapun yang kemudian akan dilakukan, dan kemana pun kemudian Wilis akan pergi, bukanlah soal bagi kami.”

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Sebenarnya Banyubiru akan sangat berterima kasih kalau kesempatan itu tidak kami terima di sini, sebagai tanah yang telah menerima limpahan pengabdiannya yang tanpa pamrih itu.”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Terima kasih. Terima kasih.” sahutnya, “Tetapi biarlah kami pada suatu ketika membawanya dahulu kembali. Kami ingin memperkenalkan angger Mahesa Jenar kepada sanak kadang serta sahabat-sahabat kami.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ki Ageng, kami akan datang setiap saat. Aku akan bergembira untuk melihat tanah tempat kelahiran Wilis. Dan aku akan bergembira untuk dapat mengenal sanak kadang di tanah itu.”

Bagus. Biarlah kelak seseorang datang menjemput kalian di sini. Begitu aku sampai di Gunung Kidul, begitu aku minta seseorang menjemput kalian supaya kalian tidak usah mencari-cari jalan. Meskipun seandainya kalian tidak melewati hutan Mentaok, kalian sudah tidak akan bertemu lagi dengan Lawa Ijo, ataupun Pasingsingan yang satu itu. Seandainya demikian pun maka angger Mahesa Jenar sudah pasti tidak akan takut. Dan aku tidak perlu menebang pohon di hutan itu dan kemudian berdendang Dandang Gula.”

Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepalanya. Suatu kenangan yang mengesankan. Dihutan itu pula ia pertama-tama bertemu dengan seorang gadis yang bernama Rara Wilis. Di hutan itu pula ia hampir binasa karena Pasingsingan. Namun didesa itu pula ia diselamatkan oleh Ki Ageng Pandan Alas dengan suara kapaknya dan kemudian disusul dengan tembang Dandang Gula yang melontarkan ciri kehadirannya.

Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Ageng Pandan Alas itu pula. “Sungguh tidak sedap berlagu di tengah-tengah hutan yang lebat. Setiap kali aku membuka mulut, setiap kali beberapa ekor nyamuk masuk bersama-sama. Tetapi aku tidak dapat berhenti sebab dengan demikian aku tidak akan berhasil mencegah Pasingsingan berbuat menurut caranya.”

Kembali Mahesa Jenar mengenangkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Betapa ia hampir menjadi gila karena tiba-tiba Rara Wilis hilang. “Hem” desahnya di dalam hati. Sebuah tarikan nafas yang panjang telah menggerakkan dadanya.

Ki Ageng Pandan Alas melihat perasaan yang melintas di hati Mahesa Jenar. Karena itu ia tersenyum. Namun ketika ia menatap wajah Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas itu mengerutkan keningnya. Tampaklah mata gadis itu berkilat-kilat. Selapis air telah membasahi pelupuk matanya. Karena itu maka orang tua yang jenaka itu tidak lagi berkata tentang masa-masa lampau. Katanya kemudian, “Kalau aku akan mengirim orang untuk menjemput kalian, maka aku hanya ingin supaya kalian tidak usah mencari jalan. Aku tidak yakin apakah Rara Wilis masih dapat mengingat jalan itu dengan baik, atau apakah kalian akan dapat mencari jalan dalam waktu singkat. Perjalanan kalian kali ini adalah perjalanan yang jauh berbeda dengan setiap perjalanan yang pernah kalian tempuh. Kalian dapat berjalan menyusup hutan belantara mencari sesuatu yang belum pasti tempat dan keadaannya. Sedang Gunungkidul adalah suatu daerah yang tidak akan dapat berpindah-pindah. Namun akan lebih baik bagi kalian, apabila kalian tidak usah bersusah payah untuk mencari jalan itu sendiri.”

Terima kasih, Ki Ageng” jawab Mahesa Jenar, “Kami akan menunggu dengan senang hati.”

Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Tersenyum karena ia melihat masa depan satu-satunya cucunya menjadi cerah, secerah matahari pagi.

Demikianlah, akhirnya Ki Ageng Pandan Alas meninggalkan Banyu Biru. Meninggalkan cucunya dan meninggalkan kesan yang membekas di hati yang ditinggalkannya. Namun, orang tua itu pun membawa kesan yang cerah pula di dalam hatinya.

Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang pejalan. Ia dapat berjalan ke mana saja ia kehendaki. Namun perjalanannya ini terasa sangat lambatnya. Ia ingin segera ke Gunungkidul dan menyuruh beberapa orang untuk menjemput cucunya. Sengaja ia tidak membawa cucunya itu berjalan bersama-sama, karena ia ingin menghormati cucunya serta bakal suaminya dengan suatu jemputan yang cukup baik. Ia sendiri tidak memiliki apapun di Gunungkidul. Namun muridnya yang sekarang sudah menjadi Demang, pasti akan mau membantunya.

 Sepeninggalan Ki Ageng Pandan Alas, maka timbullah beberapa keragu-raguan dihati Mahesa Jenar. Kalau ia harus menetap di Gunungkidul, maka persoalannya menjadi agak sulit baginya. Selama ini Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten belum kembali ke Demak. Meskipun ia percaya sepenuhnya kepada Panembahan Ismaya, namun tanpa diketahui sebabnya ia selalu ingin tinggal didekatnya untuk sementara sebelum keris-keris itu kembali. Tetapi ia sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menolak permintaan Ki Ageng Pandan Alas. Ia tahu bahwa Rara Wilis menjadi bergembira karenanya. Gembira bahwa ia akan segera melihat kampung halaman, dan bergembira bahwa ia akan dapat berada didalam lingkungannya semasa kanak-kanak.

Tetapi Rara Wilis pun pernah berkata kepadanya, bahwa ia mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan ialah yang menentukan.

Tetapi Mahesa Jenar tidak mau mengecewakan Rara Wilis. Nanti apabila sampai saatnya persoalan itu dapat dibicarakannya dengan baik. Dan ia yakin bahwa Wilispun pasti akan dapat mengertinya.

Demikianlah maka mereka menunggu di Banyubiru.

Selama itu banyaklah yang sudah mereka kerjakan diantara rakyat Banyubiru, membangun tanah perdikan itu. Memperbaiki tanggul yang telah dijebol oleh Arya Salaka dan memperbaiki jalur-jalur saluran air dan menanami kembali lereng bukit yang gundul karena api yang dinyalakan oleh Jaka Soka.

Tak ada seorang pun yang sempat duduk bertopang dagu. Arya Salaka telah bekerja mati-matian untuk tanah yang dibelanja selama ini. Bahkan Endang Widuri pun dengan gembiranya ikut membantunya. Ia telah hampir lupa kepada padepokan Karang Tumaritis, dan ia kerasan tinggal di Banyubiru.

Kebo Kanigara yang semula sudah siap kembali ke Karang Tumaritis, tiba-tiba terhambat juga oleh kemenakannya. Ada sesuatu yang masih harus diselesaikan di Banyubiru karena kehadiran Karebet. Sehingga karena itu, maka ia pun menunda keberangkatannya. Tentu saja Widuri menjadi sangat bergembira karenanya. Ia lebih senang tinggal di Banyubiru. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa ayahnya selama ini telah disibukkan oleh saudara sepupunya, Karebet. Bahkan ia tidak menyadari pula, bahwa keadaan itu bukan sekedar kesibukan-kesibukan pikiran dan perasaan. Namun karena Kebo Kanigara sudah bertekad untuk membantu kemenakannya itu kembali ke Istana, maka akan banyaklah persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Tetapi Kebo Kanigara tidak mau menyulitkan orang lain. Karena itu semuanya disimpan didalam dadanya. Hanya sekali-kali ia menyuruh Karebet pergi ke Karang Tumaritis, minta nasehat dan pertimbangan Panembahan Ismaya dan memberitahukan kepada Panembahan itu bahwa Kebo Kanigara menjadi agak lambat lagi.

Dengan demikian, meskipun mereka bersama-sama masih tetap tinggal di Banyubiru, dan meskipun mereka tampaknya dalam kesibukan yang sama sehari-harinya, namun didalam hati mereka, mereka mempunyai alasan yang berbeda-beda.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis sekedar menunggu jemputan dari Gunungkidul, Endang Widuri karena sesuatu telah mengikatnya di Banyubiru, sesuatu yang tidak dapat dikatakan, sedang Kebo Kanigara terikat oleh kemenakannya dengan segenap persoalannya.

———-oOo———-

III

Demikianlah pada suatu hari, Banyubiru diributkan oleh kedatangan sebuah rombongan orang-orang berkuda. Rombongan itu berpacu dari arah Barat. Bukan hanya sekedar sepuluh orang, namun lebih banyak lagi. Suara derap kakinya menggeletar, memecah kesepian tanah yang damai itu.

Seseorang yang sedang bekerja disawah melihat rombongan itu merayap-rayap menyelusur jalan-jalan dilembah, mendaki Bukit Telamaya. Terasa sesuatu berdesir didalam dadanya. Rombongan itu sama sekali bukan rombongan dari Pamingit. Dipaling depan tampaklah seorang dalam pakaian yang mewah, beludru berkilat-kilat. Sebuah pedang panjang tersangkut dilambungnya. Pedang dengan sebuah wrangka yang putih berkilau. Pedang yang jarang-jarang dimiliki oleh orang biasa.

Orang itu sama sekali bukan Ki Ageng Lembu Sora. Dan para pengiringnya sama sekali bukan orang Pamingit.

Petani itu berpikir didalam hatinya. Masih terbayang apa saja yang telah terjadi beberapa waktu yang lampau. Terbayangllah laskar-laskar dari golongan hitam yang bersama-sama menyerang Banyubiru, kemudian terbayang pula kekacauan yang timbul didaerah perdikan itu setelah laskar Pamingit mendudukinya.

Tetapi petani itu tidak tahu, apa yang akan dilakukan untuk mengetahui siapakah para pendatang itu. Karena itu maka segera ia berlari pulang, dan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada anaknya.

Bapak melihat rombongan itu sebenarnya?”

Ya, aku melihat dan mataku masih cukup baik.”

Anaknya yang sudah cukup dewasa berpikir sejenak. Kemudian katanya kepada ayahnya, “Biarlah aku sampaikan kepada kakang Bantaran.

Anaknya tidak menunggu jawaban ayahnya. Cepat-cepat ia berlari kekandang, melepaskan kudanya dan dipacunya kerumah Bantaran.
Mendengar laporan itu, Bantaran mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah tidak ada tanda-tanda pada mereka itu?”

Aku tidak tahu”, jawab anak muda itu.

Marilah ikut aku”, sahut Bantaran.

Keduanya kemudian memacu kuda mereka, mendaki tebing yang menghadap ke Barat. Sebenarnyalah, mereka melihat serombongan orang-orang berkuda sudah semakin dekat. Serombongan orang-orang berkuda yang lengkap dengan senjata-senjata mereka.

Dua puluh orang kira-kira”, gumam Bantaran.

Apakah maksud mereka?” bertanya anak petani itu.

Bantaran menggelang. Jawabnya, “Apapun maksud mereka, tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat kerusuhan disini. Mereka datang disiang hari, lewat jalan yang sewajarnya dan hanya dua puluh orang. Meskipun demikian, datanglah ke gardu penjagaan pertama. Beritahukan bahwa ada serombongan orang berkuda akan lewat. Sebentar lagi aku akan datang ke gardu itu.”

Anak petani itu tidak menjawab. Segera ia melarikan kudanya ke gardu pertama memberitahukan apa yang telah dilihatnya.

Pemimpin gardu itu menghela nafasnya. Kemudian kata-katanya, “Kedatangan kakang Bantaran kami tunggu.”

Anak petani itupun kemudian kembali ke tempat Bantaran mengawasi orang-orang berkuda itu. Mereka sudah tampak lebih jelas lagi. Tetapi karena jalan melingkar-lingkar, maka jarak yang harus dilaluinya masih cukup panjang.

Kemudian Bantaran itupun berkata kepada anak petani itu. “Kembalilah, sampaikan pesan ini kepada kakang Penjawi, bahwa berita tentang kedatangan orang-orang berkuda itu supaya dilaporkan kepada paman Wanamerta.”

Sepeninggalan anak petani itu, segera Bantaran pergi ke gardu pertama. Gardu yang masih ditempati oleh beberapa orang penjaga. Meskipun Banyubiru seakan-akan sudah tenang, namun peperangan yang baru saja terjadi masih mengharuskan mereka berhati-hati.

Di gardu penjagaan itu, Bantaran melihat beberapa orang telah bersiaga. Namun kemudian Bantaran berkata “Jangan terlalu berprasangka. Orang-orang itu pasti tidak akan berbuat jahat.”

Meskipun demikian, beberapa orang di gardu itu telah menggantungkan pedang-pedang mereka dilambung, dan yang lain menyandarkan tombak-tombak mereka disamping mereka berdiri.

Sesaat kemudian gemeretak kaki kuda itu telah terdengar. “Ha, itulah mereka” gumam Bantaran.

Tetapi mereka masih menunggu cukup lama. Jalan yang melingkar dan berbelit-belit itu agaknya telah memperpanjang jarak perjalanan orang-orang berkuda itu.

Meskipun demikian, akhirnya muncullah dari tikungan beberapa orang berkuda. Sebenarnyalah bahwa yang paling depan dari mereka adalah seorang yang berpakaian sangat bagus. Baju beludru, kain lurik yang berwarna kemerah-merahan. Sebuah pedang yang bagus berjuntai disisi kudanya.

Orang itu terkejut ketika dilihatnya beberapa orang yang berdiri dipinggir jalan berseberangan. Segera orang itu menyadari, bahwa kedatangannya telah mengejutkan beberapa orang penjaga. Karena itu maka segera orang-orang berkuda itu memperlambat kuda-kuda mereka, dan berhenti beberapa langkah dari Bantaran.

Wanamerta yang telah mendengar laporan Penjawi, menjadi gelisah juga. Segera ia pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, dan memberitahukan tentang apa yang didengarnya dari Penjawi. Namun seperti apa yang didengarnya, maka katanya, “Tetapi menurut Bantaran, orang-orang itu pasti tidak akan berbuat huru-hara disini, sebab mereka hanya kira-kira duapuluh orang.”

Meskipun demikian berita itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di hati mereka yang sedang duduk dipendapa itu. Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri. Mereka mencoba menerka, siapakah kira-kira yang datang dalam rombongan itu. Namun mereka tidak dapat menemukan jawaban.

Kemudian terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya, “Dimanakah Penjawi sekarang?

Penjawi sedang pergi menyusul Bantaran. Anak itu tidak dapat membiarkan seandainya orang-orang itu berbuat sesuatu. Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa diantara mereka.”

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dan sebelum mereka dapat berbuat apapun, maka terdengarlah seseorang penjaga berkata, “Sebuah rombongan berkuda.”

Salah seorang dari mereka segera memberitahukannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil mengangguk-angguk Ki Ageng berkata, “Baik. Kembalilah ketempatmu.”

Orang itu pun segera berjalan ke gardunya, sedang beberapa orang yang lain, segera berdiri pula sambil berjaga-jaga.

Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri segera turun ke halaman. Mereka berusaha menjemput orang-orang berkuda itu sebelum mereka memasuki regol halaman.

Tetapi langkah mereka segera tertegun. Yang mula-mula masuk ke halaman justru adalah Bantaran dan Penjawi. Karena itu maka Ki Ageng Gajah Sora itu segera bertanya. “Siapakah mereka?

Sebelum Bantaran menjawab, maka muncullah orang yang pertama. Seorang yang gagah tampan dengan baju beludru dan sebuah pedang yang indah di lambungnya. Demikian orang itu melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera ia berseru. “Mahesa Jenar, aku datang menjemputmu.”

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Endang Widuri terkejut melihat orang itu. Lebih-lebih adalah Rara Wilis. Karena itu sesaat mereka diam mematung. Sehingga terdengar kembali orang itu berkata. “Apakah kau lupa kepadaku?

Mahesa Jenar seakan-akan tersadar dari mimpinya yang aneh. Karena cepat-cepat ia menjawab. “Tidak. Aku tidak melupakan kau, Sarayuda.”

Sarayuda, orang yang baru datang itu tertawa, wajahnya cerah secerah warna pakaiannya. Sambil meloncat turun dari kudanya ia berkata. “Aku datang atas perintah Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput kalian berdua.”

Wajah Rara Wilis segera menjadi kemerah-merahan. Ia tidak dapat melupakan, apakah yang telah terjadi antara mereka bertiga, Mahesa Jenar, Sarayuda dan dirinya. Karena itu, maka segera ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.

Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar, “Terima kasih Sarayuda. Tetapi marilah, perkenalkanlah dahulu dengan Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, Ki Ageng Gajah Sora.”

Sarayuda tersadar akan kehadirannya di Banyubiru. Karena itu maka segera ia berkata. “O, maafkan. Aku terlalu bernafsu untuk menyampaikan maksud kedatanganku, sehingga aku lupa suba-sita.

Marilah Ki Sanak”, Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan, “Marilah, aku mempersilakan kalian untuk naik kependapa.

Maka seluruh rombongan itu pun kemudian memperkenalkan diri. Sarayuda adalah Demang yang kaya raya, yang menguasai suatu daerah yang luas di daerah Pegunungan Kidul. Sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang Kepala Daerah Tanah Perdikan yang kuat dan subur dilereng bukit Telamaya. Keduanya adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas wilayahnya dan akan rakyatnya. Karena itu, maka segera mereka dapat menyesuaikan dirinya dalam perkenalan yang akrab, meskipun ada beberapa perbedaan sifat diantara mereka. Sarayuda adalah seorang yang menyadari kekayaannya, meskipun tidak berlebih-lebihan, sehingga caranya berpakaian pun telah menunjukkan keadaannya, sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang yang sederhana.

Segera pembicaraan mereka berkisar kepada maksud kedatangan Sarayuda. Berkata Demang itu kemudian, “Kakang Gajah Sora, kedatanganku kemari adalah karena perintah guruku, Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar berita itu. Berita tentang akan kehadiran Rangga Tohjaya didaerah mereka. Karena itu, maka Gunungkidul sedang dihinggapi oleh perasaan yang melonjak-lonjak, mengharap agar orang yang ditunggu-tunggu itu segera datang. Rara Wilis adalah seorang gadis yang cukup mereka kenal, karena daerah itu adalah daerah masa kanak-kanaknya. Banyak kawan-kawannya bermain ingin melihat mereka, seorang anak gadis dari daerah mereka yang pernah memakai nama Pudak Wangi dan telah berhasil membinasakan seorang perempuan yang dahulu pernah menggemparkan daerah itu, yang kemudian bernama Nyai Sima Rodra.

Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu, sedang Rara Wilis semakin menundukkan wajahnya. Pipinya menjadi kemerah-merahan dan karena itulah maka sepatah kata pun dapat diucapkan. Widuri yang mendengar kata-kata itu dengan seksama, tersenyum-senyum kecil. Dengan nakalnya ia berkata. “Ah. Apakah paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu paman Demang Sarayuda?

Ya tentu” jawab Sarayuda, “Aku dan rakyatku akan menyambutnya.

Bukan main. Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu Agung.” sahut Widuri. “Apakah aku boleh ikut serta?

Tentu” jawab Sarayuda. “Aku dan setiap orang yang hadir di dalam pendapa ini untuk pergi ke Gunungkidul. Menyaksikan bukit-bukit gundul dan bukit-bukit kapur diantara lembah-lembah hijau. Sangat berbeda dengan pemandangan di Bukit Telamaya ini.

Wajah Endang Widuri itu pun kemudian menjadi cerah. Dengan serta merta ia berkata, “Bagus sekali. Aku akan ikut dengan Bibi Wilis. Boleh bukan bibi?

Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Sekali dipandangnya wajah Kebo Kanigara. Ia tidak dapat berkata apapun tentang gadis itu sebelum ayahnya memberikan persetujuan.

Widuri melihat keragu-raguan Rara Wilis. Karena itu segera ia berkata kepada ayahnya. “Ayah, bukankah kita akan ikut ke Gunungkidul.”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan. “Sayang Widuri kita tidak dapat ikut serta.”

Kecerahan wajah Widuri segera larut, seperti bulan disaput awan yang sedemikian kelam. “Kenapa?

Ada sesuatu yang harus kita kerjakan disini.

Apakah yang harus dikerjakan?

Aku Widuri. Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini. Dan agaknya kita telah terlalu lama tidak kembali ke Karang Tumaritis.

Aku tidak mau. Aku tidak mau.” berkata Widuri itu.

Kebo Kanigara tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda itu berkata. “Sayang adi. Sungguh sayang. Sebenarnya aku juga ingin mengantarkan Widuri ikut serta mengunjungi daerah adi. Namun ternyata ada persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan. Dan aku harus segera kembali ke Karang Tumaritis.

Sarayuda menarik nafas. “Ya sayang.”

Yang menyahut kemudian adalah Endang Widuri, “Kalau ayah mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis, biarlah aku ikut bersama Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah selesai, biarlah ayah menjemput aku.

 Kebo Kanigara itu tersenyum pula. Namun senyumnya membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba. Katanya, “Tidak Widuri. Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai waktunya, biarlah kau aku antarkan kesana. Kalau sampai saatnya Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan mengarungi hidup baru mereka.”

Emoh” seru gadis itu. “Aku akan pergi bersama bibi Wilis.

Bukankah sama saja bagimu Widuri”, berkata ayahnya. “Besok atau sekarang.

Tidak” sahut Widuri. “Aku ingin melihat, bagaimana rakyat Gunungkidul menyambut paman Mahesa Jenar.

Tetapi kau tidak akan melihat, bagaimana pamanmu dan bibi Wilis dipersandingan.

Biar. Aku akan ikut bersama bibi Wilis.”

Rara Wilis menjadi iba melihat Endang Widuri. Tetapi ia tidak berani berkata apapun. Itu sepenuhnya adalah wewenang ayahnya. Karena itu, Rara Wilis hanya dapat memandangnya dengan senyum yang hambar.

Sarayuda agaknya dapat menempatkan dirinya. Ia tidak mau mengecewakan Kebo Kanigara. Maka katanya, “Begitulah angger Widuri. Seperti kata ayah angger itu. Biarlah besok aku menyuruh beberapa orang menjemput ke mari apabila sudah tiba waktunya. Kalau angger sudah kembali ke Karang Tumaritis, biarlah kelak di jemput pula ke sana. Bukankah begitu? Kelak angger bisa pergi bersama ayah.”

Widuri kemudian menjadi bersungut-sungut. Bahkan tampaklah matanya menjadi basah. Ia menjadi sangat kecewa. Katanya kemudian, “Aku tidak mau dijemput oleh sembarang orang.”

Demang Sarayuda tersenyum. Jawabnya, “Baiklah, besok aku sendiri akan menjemput angger. Begitu?

Widuri tidak menjawab. Namun tiba-tiba ia berdiri dan berlari masuk ke dalam biliknya. Alangkah kecewa hatinya, bahwa ia tidak dapat turut serta dengan Rara Wilis. Meskipun mereka berdua bukan sanak bukan kadang, namun perpisahan di antara mereka benar-benar tidak menyenangkan. Pergaulan mereka yang ditandai dengan berbagai kesulitan, benar-benar telah mengikat mereka dalam suatu ikatan yang sangat erat. Tidak saja Widuri yang menjadi sedih akan perpisahan itu, tetapi Rara Wilis pun merasakan, bahwa ia akan menjadi kesepian tanpa gadis yang nakal itu.

Tetapi Kebo Kanigara benar-benar berhalangan untuk turut serta pergi ke Gunungkidul. Masih ada suatu pekerjaan yang mengikatnya di Banyubiru. Pekerjaan yang ditimbulkan oleh kemenakannya yang nakal.

Mahesa Jenar pun menjadi kecewa. Tetapi ia dapat mengerti keberatan Kebo Kanigara. Meskipun demikian Mahesa Jenar itu berkata, “Kakang. Sebenarnya aku sangat mengharap kakang untuk ikut serta bersama kami.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya katanya. “Aku juga menyesal sekali Mahesa Jenar. Tetapi barangkali kau dapat mengerti apa yang akan aku lakukan. Karena itu biarlah lain kali aku menyusul ke Gunungkidul bersama Widuri.”

Sesaat mereka pun berdiam diri. Arya Salaka menundukkan kepalanya. Semula ia ingin juga turut pergi ke Gunungkidul mengantarkan gurunya. Tetapi ketika ia mengetahui, bahwa Endang Widuri tidak diperbolehkan oleh ayahnya ikut dalam rombongan itu, maka ia menjadi bimbang. Keinginannya untuk turut pun terlalu besar, namun terasa sesuatu yang menahannya untuk tinggal di rumah. Karena itu, anak muda itu bahkan menjadi bingung. Sehingga akhirnya Arya pun hanya berdiam diri saja.

Ah, terserah apa yang akan aku lakukan nanti,” desisnya di dalam hati. “Kalau tiba-tiba aku ingin berangkat biarlah aku berangkat. Kalau aku ingin tinggal, biarlah aku tinggal.”

Tetapi”, berkata pula hatinya. “Bagaimana kalau guru mengajakku?

Entahlah”, jawabnya sendiri di dalam hati.

Malam itu Sarayuda dan para pengiringnya bermalam di rumah itu pula. Karena tempatnya yang terbatas, maka para tamu itu dipersilakan tidur di pendapa, di atas tikar pandan yang dirangkap supaya tidak terlalu dingin.

Dalam pada itu Mahesa Jenar dan Rara Wilis pun segera mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak banyaklah yang mereka punyai. Mereka tidak sempat berbuat untuk diri mereka sendiri selama ini. Karena itu, apa yang dimilikinya pun hampir tidak ada. Hanya beberapa lembar pakaian yang sudah lungset tanpa perhiasan apapun bagi Mahesa Jenar hal itu hampir tak berpengaruh pada perasaannya.Tetapi bagi Rara Wilis, terasa sekali alangkah miskinnya. Ia sama sekali tidak memiliki perhiasan apapun sebagai seorang gadis. Bahkan yang dimilikinya adalah sebilah pedang. Pedang tipis yang telah dikotori dengan darah.

Mahesa Jenar terkejut ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Rara Wilis menjadi suram. Karena itu dengan dada yang berdebar-debar mencoba bertanya. “Wilis. Adakah sesuatu yang mengganggu perasaanmu?

Rara Wilis terkejut mendengar pertanyaan itu. Segera dicobanya untuk menguasai perasaannya. Dengan sebuah senyuman yang dipaksakan ia menjawab, “Kenapa? Aku tidak apa-apa kakang. Aku sedang berpikir tentang hari-hari yang akan datang.”

Oh” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak membantah. Namun ketika dilihatnya sekali lagi Rara Wilis merenungi kainnya yang hampir-hampir sudah kehilangan warnanya, maka hatinya pun berdesir.

Hem “ desahnya di dalam hati. “Ternyata aku tidak menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau padat. Agaknya dalam ketegangan kewajiban yang aku hadari, gadis itu tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya sendiri. Namun dalam kesempatan seperti ini, barulah disadarinya perasaan itu. Perasaan seorang gadis.”

Tetapi Mahesa Jenar tidak berkata apapun. Ia masih belum tahu, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan kebutuhan-kebutuhan yang wajar bagi sebuah keluarga. Apapun yang dilakukannya, maka apabila sampai saatnya, maka hal itu tidak akan mungkin dapat diabaikan.Ia tidak dapat membutakan matanya, seandainya pada suatu saat ia dikejar-kejar oleh keperluan-keperluan tetek bengek itu. “Itu merupakan suatu kewajiban”, desahnya.

Mahesa Jenar itu pun kemudian berjalan keluar bilik Rara Wilis, dan ke halaman. Dilihatnya beberapa orang sudah berbaring-baring di pendapa, sedang beberapa orang lagi masih duduk-duduk di antara mereka. Bahkan ada juga yang masih berjalan-jalan di luar regol halaman.

Ketika Mahesa Jenar pergi keluar regol pula, maka orang-orang dari Gunungkidul itu bertanya-tanya tentang beberapa hal kepadanya.

Tanah ini cukup subur” berkata salah seorang dari mereka, “Tanah yang akan memberikan apa saja yang diharapkan oleh penggarapnya.”

Demikianlah” sahut Mahesa Jenar, “Tanah yang telah dipertahankan dengan banyak pengorbanan.”

Tamu dari Gunungkidul itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Tanah kami adalah tanah yang bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini. Ada yang menggantungkan airnya dari air hujan melulu. Bahkan ada yang hanya dapat dijadikan padang-padang rumput untuk peternakan. Bahkan ada yang batu melulu.”

Mahesa Jenar mengangguk lemah. Tanah ini adalah tanah yang subur, yang telah dipertahankan dengan darah dan air mata. Dirinya sendiri pun telah ikut serta memeras keringat untuk kepentingan tanah ini. Tanah yang subur, yang akan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan penduduknya. Bahkan siapa yang bekerja keras, pasti akan dapat segera menikmati hasil dari jerih payahnya itu.

Tetapi aku tidak dapat ikut serta” desis Mahesa Jenar didalam hati.

Timbullah didalam hatinya sesuatu yang tak pernah dipikirkannya. Kalau ia nanti akan membangun rumah tangga yang kuat, maka ia harus membuat tiang-tiangnya kuat pula. Diantaranya, bagaimana ia harus hidup sekeluarganya. Karena itu, maka sampailah Mahesa Jenar pada suatu kesimpulan. “Bekerja”.

Ah” kembali ia berdesah di dalam hati, “Akhirnya aku sampai pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi. Persoalan yang hampir tak ada sangkut pautnya dengan pengabdian yang selama ini dilakukannya. Tetapi apakah dengan demikian maka segenap pengabdian harus terhenti?

Tidak” pertanyaan itu dijawabnya sendiri. “Aku akan dapat dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus. Mudah-mudahan Wilis akan dapat mengerti pula.”

Tiba-tiba teringatlah Mahesa Jenar itu kepada masa-masa lampaunya, masa-masa ia tinggal di istana Demak sebagai seorang prajurit. Dikenangnya pula beberapa orang kawan-kawannya yang pada saat itu telah berkeluarga pula. Katanya didalam hati, “Mereka dapat melakukan kedua-duanya. Pengabdian dan keluarga.”

Tetapi tidak hanya didalam istana, atau didalam bidang-bidang itu kedua-duanya dapat dilakukannya sekaligus”, katanya pula. “Disini, aku lihat rakyat Banyubiru melakukannya pula. Bekerja untuk keluarganya, namun mereka melakukan pengabdiannya untuk tanahnya. Membangun tanah ini. Tempat-tempat ibadah, banjar-banjar desa dan surau-surau tempat pendidikan lahir dan batin. Bekerja keras untuk kesejahteraan keluarganya dan kesejahteraan bersama.”

Tiba-tiba Mahesa Jenar itu teringat pada ceritera Wanamerta tentang seorang bahu yang pernah mencoba menyuapnya dengan timang emas bertretes berlian. “Bukan itu”, desah Mahesa Jenar di dalam hatinya, “Bukan seperti bahu itu. Ia bekerja untuk diri sendiri, tetapi bukan untuk sebuah pengabdian . Justru ia menghisap hidup disekitarnya untuk kepentingannya. Dibiarkannya orang-orang disekitarnya kering, namun dirinya sendiri menimbun kekayaan tanpa batas.

Namun bagaimana pun juga, Mahesa Jenar dihadapkan pada suatu kewajiban yang baru. Kuwajiban atas sebuah keluarga yang bakal disusunnya. Kuwajiban yang tidak kalah sucinya dari kuwajiban yang telah dilakukannya selama ini. Sebab dengan keluarga yang baik Yang Maha Esa telah mempergunakan untuk menangkar-lipatkan jumlah manusia di dunia untuk memelihara dan memanfaatkan ciptaan-Nya dengan baik.

Demikianlah, rombongan Sarayuda itu tinggal di Banyubiru untuk dua hari lamanya. Selama itu mereka telah melihat-lihat Banyubiru dengan baik. Apa yang dapat dilakukan di daerah Demang yang kaya raya itu, telah mereka pelajari, sedang apa yang baik bagi Banyubiru telah disarankannya pula.

Sehingga sampailah pada saatnya mereka meninggalkan Banyubiru. Dua hari kemudian, maka bersiaplah rombongan itu meninggalkan Banyubiru beserta Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Ki Ageng Gajah Sora dengan menyesal tak dapat ikut serta bersama mereka pergi ke Gunungkidul karena keadaan daerahnya yang masih harus mendapat pengawasannya. Kebo Kanigara terikat pada suatu kuwajiban yang tak dapat ditinggalkannya pula. Sedang Endang Widuri dengan penuh penyesalan terpaksa tidak dapat mengikuti Rara Wilis ke Gunungkidul. Pada saat-saat terakhir itu pun kemudian Arya Salaka memutuskan untuk tidak turut bersama gurunya, meskipun ada juga keinginan yang melonjak-lonjak.

Dalam kesempatan itu Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora pun telah memerlukan datang ke Banyubiru untuk menyampaikan ucapan selamat jalan kepada Mahesa Jenar. Orang yang aneh didalam tanggapannya. Orang yang hampir tak dapat dimengertinya, apakah yang telah menjadikannya seorang yang memiliki jiwa pengabdian yang sedemikian besarnya.

Sebelum matahari sepenggalah, maka rombongan itu telah bersiap untuk berangkat. Ternyata Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak hanya memerlukan dua ekor kuda untuk mereka. Seekor kuda yang lain, tanpa sepengetahuan mereka telah dipisahkan oleh Ki Ageng Gajah Sora. Dipunggung kuda itu terdapat sebuah beban yang tak diketahui isinya. Beban yang telah diatur oleh Nyi Ageng Gajah Sora bersama Nyi Ageng Lembu Sora.

Terharu juga Mahesa Jenar melihat kuda yang seekor itu tentu saja ia tidak dapat menolak untuk tidak menyakiti hati Ki Ageng Gajah Sora kakak beradik.

Perpisahan itu merupakan perpisahan yang mengharukan. Meskipun mereka tahu, bahwa suatu ketika Mahesa Jenar akan kembali pula, namun seakan-akan mereka bertemu pada saat itu untuk terakhir kalinya. Apalagi Endang Widuri. Ketika kemudian Sarayuda minta diri dengan serta merta gadis itu berlari menghambur memeluk Rara Wilis. Sambil menangis Widuri berkata, “Bibi, jangan pergi terlalu lama.”

Rara Wilis pun seorang gadis pula. Karena itu maka ia pun tidak dapat menahan air matanya. Apalagi ketika dilihatnya Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi berlinang-linang. Teringat pula oleh mereka berdua, pada saat-saat mereka berhadapan dengan Galunggung yang sedang dihinggapi oleh kegilaannya tentang pangkat dan kekayaan, sehingga hampir saja mereka berdua dibunuhnya. Untunglah pada saat itu Rara Wilis hadir diantara mereka, sehingga sebenarnyalah gadis itulah yang telah menyambung umurnya.

Widuri” berkata Rara Wilis itu kemudian. “Perpisahan ini tidak akan terlalu lama. Bukankah kau segera akan menyusul kami ke Gunungkidul?

Endang Widuri mengangguk perlahan. Dipalingkannya wajahnya kepada ayahnya seakan-akan ia minta ketegasan daripadanya.

Sebenarnya Kebo Kanigara merasa kasihan juga kepada putrinya itu. Tetapi terpaksa ia tidak dapat mengijinkannya, karena ia sendiri tidak dapat pergi. Anak itu adalah anak yang sangat nakal, sehingga betapapun juga, maka Kebo Kanigara itu tidak sampai hati melepaskannya tanpa pengawasannya. Apalagi nanti Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang disibukkan oleh persoalan mereka sendiri, maka Widuri akan sangat mengganggu mereka, dan kadang-kadang pasti akan lepas dari pengawasan.

Karena itu, betapa pun juga, maka Kebo Kanigara berusaha untuk tetap melarang anaknya ikut serta.

Ketika anaknya itu berpaling kepadanya, maka katanya, “Ya Widuri. Segera kita akan menyusul ke Gunungkidul. Kemarin aku sudah mendapat ancar-ancar, kemana kita nanti harus pergi. Jalan mana yang harus kita tempuh, dari pamanmu Sarayuda. Kalau kau bersabar sedikit bukankah pamanmu Sarayuda bersedia untuk menjemputmu?”

Akhirnya Rara Wilis itupun dilepaskannya juga, meskipun tangisnya mash saja menyesakkan dadanya, sementara Mahesa Jenar menepuk punggung muridnya. “Kau sudah menjelang dewasa penuh Arya. Sudah seharusnya kau menyadari keadaanmu itu. Bekerja keras membantu ayahmu. Tak ada orang lain yang diharapkannya selain daripadamu.”

Arya mengangguk sambil menjawab, “Ya paman”.

Maka kemudian sampailah saatnya rombongan itu berangkat. Perpisahan yang mengesankan. Rara Wilis masih melihat Endang Widuri berlari masuk ke gandok kulon, sedang kemudian Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menyusulnya. Sebuah salam yang erat sebagai tanda terima kasih yang tak ada batasnya, telah diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu justru hampir tak mampu lagi mengucapkan kata-kata terima aksihnya. Terima kasih atas segenap bantuan yang telah diberikan oleh Mahesa Jenar langsung, namun lebih daripada itu, Mahesa Jenar telah membentuk Arya Salaka menjadi harapan bagi masa datang.

Satu demi satu, maka kemudian keluarlah mereka dari halaman di atas punggung kuda masing-masing. Bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis perjalanan yang akan ditempuh itu terasa aneh. Perjalanan yang jauh berbeda dengan semua perjalanan yang pernah mereka lakukan. Kalau pada masa lampau mereka berjalan dengan penuh keprihatinan, maka perjalanan kali ini adalah perjalanan menunju ke hari-hari yang cerah. Namun karena itulah maka dada mereka menjadi berdebar-debar.

Setelah mereka meninggalkan halaman itu maka mulailah kuda mereka berjalan agak cepat. Beberapa orang melihat rombongan itu menganggukkan kepala mereka. Mereka memberikan hormat setulus-tulusnya kepada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Bahkan Ki Wanamerta, Jaladri, Bantaran dan Penjawi telah ikut serta dengan rombongan itu, mengantarkan sampai ke perbatasan kota. Bukan hanya mereka. Beberapa orang lain pun telah ikut pula, sehingga rombongan itu menjadi semakin panjang.

Di perbatasan kota mereka berhenti sesaat. Wanamerta yang tua itu memerlukan mengucapkan selamat jalan, mengucapkan terima kasih atas nama segenap rakyat Banyubiru dan ternyata orang tua yang telah menjadi hampir bulat kembali itu meneteskan air mata.

Selamat tinggal paman” berkata Mahesa Jenar kemudian.

Wanamerta mengangguk. Ingin ia menjawab, namun suaranya tersangkut dikerongkongan.

Yang terdengar kemudian hanyalah sebuah jawaban pendek, “Ya, ya angger.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian meneruskan perjalanannya. Dimuka sendiri Demang Sarayuda mulai mempercepat jalan kudanya. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang panjang. Namun mereka tidak usah takut terhadap siapa pun sehingga mereka tidak perlu memilih jalan-jalan yang tersembunyi. Atau mereka pun sama sekali tidak berkepentingan dengan apapun selama perjalanan mereka. Karena itulah maka perjalanan itu akan tidak terganggu.

Disepanjang jalan itu Rara Wilis telah mulai menganyam angan-angannya menjelang masa-masa yang akan datang. Hal yang lumrah bagi gadis-gadis yang akan menginjak masa-masa yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Rara Wilis pun adalah seorang gadis biasa. Meskipun kadang-kadang dilambungnya tersangkut sebilah pedang, dan bahkan pedang yang telah berbekas darah, namun dalam saat-saat yang demikian ia adalah seorang gadis. Tidak lebih daripada itu. Karena itulah maka ia mendambakan masa yang berbahagia, masa yang bagi Rara Wilis sebenarnya telah terlalu lambat.

Sepeninggal Mahesa Jenar dan Rara Wilis terasa rumah Ki Ageng Gajah Sora menjadi sepi. Apalagi ketika Ki Ageng Lembu Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke Pamingit. Namun meskipun demikian, kehadiran Endang Widuri di Banyubiru, masih dapat menyejukkan suasana rumah Ki Ageng Gajah Sora itu.

Untuk menghilangkan kejemuannya Endang Widuri bekerja apa saja yang dapat dilakukannya. Menanami halaman, yang seakan-akan halamannya sendiri. Ikut menanam padi disawah. Menyiangi dan pekerjaan-pekerjaan lain. Sebagai seorang gadis Widuri senang juga membantu Nyai Ageng Gajah Sora didapur. Menyiapkan makan dan minuman.

Ki Ageng Gajah Sora pun masih mempunyai kawan bercakap-cakap. Kebo Kanigara, meskipun pada saat-saat terakhir Kebo Kanigara sering meninggalkan rumah, dan tak pernah ia berkata tentang apapun juga kepada putrinya. Widuri pun menyadari keadaanya. Ia merasa masih terlalu kecil untuk berbicara tentang masalah-masalah yang berat dengan ayahnya. Karena itu, maka jarang sekali Widuri bertanya-tanya tentang pekerjaan ayahnya. Gadis itu lebih senang bercakap-cakap dengan Arya Salaka di pendapa atau dengan Nyai Ageng Lembu Sora di belakang.

Meskipun demikian gadis itu tidak melupakan ilmu yang pernah dipelajarinya. Di saat-saat tertentu ia berlatih bersama Arya Salaka. Mereka berdua memiliki sumber ilmu yang sama. Ilmu yang dipancarkan dari perguruan Pengging.

Namun sekali-kali gadis itu teringat pula kepada Rara Wilis. Karena itu, maka sekali-kali ia bertanya pula kepada ayahnya. “Ayah, apakah pekerjaan ayah masih belum selesai?

Kebo Kanigara menggeleng, “Belum Widuri.”

Kapan kita menyusul bibi Wilis?

Sebentar lagi”, sahut ayahnya. “Sebentar lagi aku akan pergi ke Karang Tumaritis. Pamanmu Mahesa Jenar berpesan kepadaku, untuk atas namanya, mohon diri kepada Panembahan. Bukankah Panembahan telah berjanji untuk pergi ke Gunungkidul? Kau dengar juga bukan? Nah. Kalau demikian, sebaiknya kita pergi bersama dengan Panembahan kelak.

Dengan kesanggupan itu hati Widuri terhibur pula sedikit. Tetapi dalam pada itu, ia heran juga, apa sajakah yang dilakukan oleh ayahnya di Banyubiru?

Namun Kebo Kanigara tak pernah menyebut-nyebutnya. Dan Widuripun tidak bertanya-tanya pula.

———-oOo———-

IV. WIDURI HILANG

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang menggemparkan Banyubiru yang belum beberapa lama mengalami ketenangan kini telah diguncangkan kembali dengan suatu peristiwa yang tak disangka-sangka sama sekali.

Pada hari itu, segenap kentongan tanda bahaya menggema di lerang bukit Telamaya. Tanda bahaya yang benar-benar mengejutkan setiap orang. Mereka tidak melihat tanda-tanda apapun yang terjadi, namun tiba-tiba mereka mendengar tanda bahaya itu.

Sesaat kemudian mereka melihat, beberapa orang penunggang kuda berlari-lari memacu kudanya kesegenap penjuru. Bahkan Arya Salaka sendiri seperti orang yang menjadi gila. Gajah Sora, Kebo Kani gara, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan semua laskar di Banyubiru memencar di atas kuda masing-masing.

Apakah yang terjadi?” bertanya seseorang.

Orang yang ditanyanya menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian wajahnya menjadi pucat pula. “Entahlah.

Baru sesaat kemudian, ketika mereka melihat seorang berkuda berlari dihadapan mereka, maka berteriaklah mereka itu, “Ada apa?

Endang Widuri hilang.

He”, tetapi orang berkuda itu telah jauh. Dua orang yang lain menyusul pula dibelakang orang berkuda yang pertama. Tetapi kepada orang itu pun mereka tidak sempat bertanya apa-apa.

Nyai Ageng Gajah Sora pada saat itu menangis di dalam biliknya. Gadis itu bukan anaknya, tetapi benar-benar seperti anak gadis yang telah dilahirkannya sendiri. Gadis itu memang nakal, tetapi menyenangkan. Banyak hal-hal yang menarik dilakukan oleh gadis itu. Apabila tak seorang pun yang ada, pada saat Nyai Ageng membutuhkan beberapa butir kelapa, maka dengan tangkasnya gadis itu memanjatnya. Bahkan sampai batang yang paling tinggi sekalipun. Namun gadis itu pandai juga memasak dan bercerita. Pandai menjahit dan pandai juga berdendang.

Namun tiba-tiba gadis itu hilang.

Di hadapan Nyai Ageng Gajah Sora itu duduk bersimpuh seorang gadis pula. Gadis itu juga menangis seperti Nyai Ageng. Dan dari gadis itulah Banyubiru mendengar berita tentang hilangnya Widuri.

Nyai Ageng Gajah Sora, sambil mengusap air matanya berkata, “Apakah tak ada orang lain di belumbang itu?

Gadis itu menggeleng, “Tidak Nyai Ageng. Waktu aku datang, aku sempat mendengar ceritanya. Ketika aku berlari-lari menengoknya, aku hanya melihat bayangan seorang anak muda memapahnya berlari masuk ke dalam semak-semak.”

Nyai Ageng Gajah Sora termenung sejenak. Adalah aneh sekali, bahwa hal itu dapat terjadi. Widuri bukanlah gadis biasa seperti gadis yang bersimpuh di hadapannya itu. Widuri adalah seorang gadis yang memiliki beberapa macam keanehan. Gadis itu mampu berkelahi seperti laki-laki. Bahkan melampaui kemampuan seorang laskar Pamingit yang dapat dianggap kuat, Galunggung. Kenapa ia tidak memukul saja anak muda yang menculiknya itu?

Berbagai persoalan melingkar-lingkar didalam dadanya. Heran, kecewa menyesal dan berpuluh-puluh persoalan yang lain.

Apakah kau dapat mengira-irakan, kemana Endang Widuri itu dibawa?” bertanya Nyai Ageng itu pula.

Gadis itu menggeleng, “Aku tidak tahu Nyai. Namun aku melihat mereka menyusup ke arah Timur. Tetapi untuk seterusnya aku tidak tahu, sebab aku langsung berlari memberitahukannya kemari.

Nyai Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dalam kegelapan nalar Nyai Ageng hanya dapat menangis.

Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi marah bukan buatan. Gadis itu hilang di dalam wilayahnya. Endang Widuri baginya adalah seorang tamu. Karena itu, maka ia merasa bertanggungjawab pula atas kehilangan itu. Dengan menggeratakkan giginya, Ki Ageng Gajah Sora memacu kudanya pergi ke belumbang yang sebenarnya tidak begitu jauh. Demikian ia sampai di belumbang, demikian ia meloncat turun, di ikuti oleh Arya Salaka dan Kebo Kanigara sendiri, disamping beberapa orang lain. Tanpa mendapat perintah segera mereka memencar diri, mengamat-amati setiap pertanda yang mungkin dapat dijadikan alasan untuk mengetahui, siapakah yang telah melakukan perbuatan itu.

Di belumbang itu masih tinggal beberapa potong pakaian Endang Widuri yang belum sempat dicucinya. Beberapa helai telah dicelupkannya ke dalam air, sedang beberapa helai yang lain masih kering terletak di tepian.

Anak itu tidak banyak mendapat kesempatan,” desis Gajah Sora.

Kebo Kanigara memandangi pakaian anaknya dengan mata yang suram. Namun mulutnya terkatub rapat-rapat. Tak sepatah kata pun yang diucapkannya. Dengan tangan yang gemetar ia berjongkok, meraih pakaian-pakaian anaknya itu, dan kemudian dimasukkannya kedalam bakul. Perlahan-lahan kemudian terdengar ia bergumam, “Biarlah pakaian Widuri ini aku simpan baik-baik. Aku yakin, pada suatu saat ia akan kembali lagi kepadaku.

Mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu Gajah Sora hanya dapat menarik nafas. Namun terucapkan janji didalam hatinya, bahwa kekuatan yang ada di Banyubiru harus mampu menyerahkan anak itu kembali kepada ayahnya.

Arya Salaka kemudian tidak mau merenung-renung lebih lama di tepi belumbang itu. Ia telah mendengar pula, bahwa Widuri di bawa menyusup ke arah timur. Karena itu, maka ia pun mencoba melihat arah yang dikatakan itu. Di amat-amatinya setiap jengkal tanah, mungkin ia akan dapat menemukan jejak.

Hati Arya Salaka terlonjak ketika benar-benar ditemukannya jejak itu. Jejak yang benar-benar masuk ke dalam gerumbul ke arah Timur. Karena itu dengan hati-hati ia mengikuti jejak itu. Namun alangkah kecewanya anak muda putera Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru itu. Jejak itu hanya dapat di ikuti beberapa langkah. Kemudian hilang di atas rerumputan yang liar. Betapa pun Arya Salaka mencoba mencarinya, namun sia-sia saja.

Arya Salaka itu pun kemudian menyusup lebih dalam lagi. Ia kini mencari jejak pada ranting-ranting di sekitarnya. Sekali ia melihat sebuah ranting yang patah. Namun kembali ia kehilangan kesempatan untuk mengikutinya.

Setan”, desis Arya Salaka yang benar-benar menjadi gemetar karena marah. Namun ia tidak tahu, bagaimana ia akan menumpahkan kemarahannya. Karena itu, direnggutnya setiap dahan, ranting dan apa saja yang teraba oleh tangannya.

Ketika Arya Salaka itu sudah yakin, bahwa tidak akan diketemukan tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan kemana mereka harus mencari, maka segera Arya meninggalkan belumbang itu langsung meloncat di atas kudanya.

Dengan kecepatan penuh, Arya berpacu ke arah timur. Tetapi ia tidak tahu pasti, kemana ia harus pergi. Ia pergi demikian saja karena gelora di dalam dadanya, tanpa diketahuinya arah yang pasti.

Demikian juga para pemimpin dan laskar Banyubiru yang lain. Mereka berpacu ke segenap arah. Namun mereka pun hanya sekadar mencoba mencari kemungkinan untuk melihat atau menemukan gadis yang hilang tanpa pegangan yang pasti. Mereka itu sedang berusaha mencari yang hilang tanpa petunjuk-petunjuk sama sekali.

Karena itu alangkah sulitnya. Sehari itu, seluruh daerah Banyubiru telah di aduk oleh laskar Banyubiru. Hampir setiap orang turut serta dalam pencaharian itu. Namun Endang Widuri tidak dapat diketemukan. Gadis itu seakan-akan hilang di telan oleh retak tanah perdikan Banyubiru.

Bahkan tidak saja kota Banyubiru, namun para penunggang kuda telah jauh menjorok ke segenap arah. Namun usaha mereka sia-sia belaka. Arya Salaka sendiri bersama beberapa orang telah sampai ke daerah Rawa Pening. Di obrak-abriknya daerah bekas sarang Uling Putih dan Uling Kuning, seandainya ada sisa-sisa gerombolan itu yang sengaja membuat Banyubiru kacau. Namun Endang Widuri tidak ada di sana, dan tak diketemukannya pertanda, bahwa tempat itu masih didiami orang.

Malam itu, para pemimpin Banyubiru berkumpul di pendapa rumah Ki Ageng Gajah Sora. Peristiwa hilangnya Widuri bagi Banyubiru tidak dapat di anggap sebagai suatu persoalan yang kecil. Pesoalan itu sama besarnya dengan hadirnya golongan hitam di tanah mereka. Karena itu maka setiap kekuatan yang ada harus dikerahkan untuk memecahkan peristiwa itu.

Namun tak seorang pun yang dapat mengemukakan pendapat mereka tentang hilangnya Endang Widuri. Mereka diliputi oleh suasana yang gelap pekat. Tak ada setitik api pun yang dapat memberi petunjuk kepada mereka, tentang persoalan yang menggemparkan itu.

Dalam ketegangan itu terdengar Arya Salaka berdesis, “Peristiwa ini benar-benar memalukan tanah perdikan ini ayah. Karena itu, maka Endang Widuri harus diketemukan segera.”

Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gajah Sora dan bahkan beberapa orang lain mengetahui bahwa Arya Salaka tidak saja tersinggung kehormatan atas hilangnya tamunya itu, namun jauh lebih daripada itu. Hampir setiap orang di pendapa itu mengetahuinya, bahwa Arya Salaka dan Endang Widuri agaknya telah masuk ke dalam suatu ikatan tanpa ssadar mereka itu. Ikatan yang tidak dapat dikatakan  dan tidak dapat dirumuskan oleh mereka yang mengalaminya. Karena itu, maka adalah wajar sekali kalau Arya Salaka benar-benar menjadi sangat marah dan bingung.

Aku sependapat dengan kau Arya”, jawab ayahnya. “Kini kita sedang mencari setiap kemungkinan untuk itu.

Apa pun yang akan terjadi, kita harus menemukannya kembali.” sahut Arya pula.

Ya. Tentu,” berkata ayahnya pula. Namun terbayang di wajahnya Ki Ageng Gajah Sora keragu-raguan yang menggelisahkan. Kemana harus dicari anak itu? Sejak pagi, Ki Ageng Gajah Sora telah memerintahkan beberapa orang yang pergi ke Pamingit. Memberitahukan kehilangan itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana. Dan ternyata, Pamingit pun telah menjadi gelisah pula. Senja itu telah datang utusan Ki Ageng Lembu Sora untuk menanyakan apakah Endang Widuri sudah diketemukan.

Dan utusan itu pun kembali dengan membawa berita, bahwa persoalan Widuri masih gelap.

Dalam kegelapan pikiran, tiba-tiba Arya Salaka teringat kepada gurunya, Mahesa Jenar. Meskipun ia kini telah berhadapan dengan berpuluh-puluh orang, dan bahkan ada di antara mereka, ayahnya dan Kebo Kanigara, ayah gadis itu, namun ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, bahwa gurunya akan dapat membantunya. Mahesa Jenar bagi Arya Salaka merupakan tempat untuk berlindung hampir enam tahun lamanya. Tempat Arya Salaka menggantungkan hidup matinya dalam masa-masa yang berbahaya. Karena itu, hampir dalam semua kesulitan, Arya selalu teringat kepada gurunya itu. Demikian juga kali ini. Maka tiba-tiba saja ia berkata, “Ayah, aku akan berusaha memberitahukan kehilangan ini kepada paman Mahesa Jenar.

Ki Ageng Gajah Sora mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo Kanigara pun terkejut mendengar kata-kata Arya itu, sehingga kemudian katanya, “Jangan Arya. Jangan mengganggu pamanmu itu.

Ki Ageng Gajah Sora ternyata sependapat pula dengan Kebo Kanigara. Karena itu maka ia berkata pula, “Ya, Arya. Biarlah pamanmu Mahesa Jenar beristirahat. Selama ini hampir-hampir seluruh hidupnya telah dicurahkan untuk kepentingan orang lain. Kepentingan kita. Karena itu, maka biarlah kali ini pamanmu Mahesa Jenar tidak terganggu. Biarlah kita yang berada di Banyubiru ini berusaha sekuat-kuat tenaga kita. Tetapi kita sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa Endang Widuri harus diketemukan.”

Arya Salaka menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak puas dengan jawaban-jawaban itu. Betapa pun juga, maka dalam kesulitan ini, ia akan merasa lebih tenang apabila gurunya ada disampingnya.

Kebo Kanigara melihat perasaan yang tergores di hati Arya Salaka. Maka katanya, “Arya. Marilah kita mencoba menyelesaikan masalah ini. Sebenarnya aku sendiri sangat gelisah atas hilangnya Endang Widuri. Tetapi kita bukanlah orang-orang yang hanya dapat meratap. Aku sendiri sudah tentu akan berusaha untuk menemukan anak itu. Dan aku akan berterima kasih seandainya Ki Ageng Gajah Sora, beserta kekuatan-kekuatan yang ada di Banyubiru untuk membantunya. Namun dengan sepenuh hati aku tidak pernah meletakkan kesalahan ini kepada orang lain. Apalagi kepada Banyubiru sebab hal yang demikian itu akan dapat terjadi, kapan saja dan dimana saja. Karena itu, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri dan Banyubiru.”

Arya Salaka masih belum menjawab. Dicobanya untuk mencari alasan yang sebaik-baiknya, agar orang-orang lain tidak mau mengerti, kenapa ia berkepentingan akan hadirnya Mahesa Jenar. Sebenarnya Arya Salaka pun menyadari, apa yang dapat dilakukan oleh gurunya itu. Gurunya tidak melihat pada saat Endang Widuri itu hilang. Kalau Kebo Kanigara, ayah gadis itu sendiri yang sedang berada di Banyubiru, tidak segera dapat menemukannya, apalagi Mahesa Jenar. Arya Salaka itu tahu pasti, bahwa tingkat kesaktian gurunya tidak akan dapat melampaui Kebo Kanigara itu. Meskipun demikian, perasaannya selalu mendesaknya supaya memberitahukan peristiwa itu kepada gurunya.

Pendapa Banyubiru itu sesaat menjadi hening sepi. Angin malam yang lembut menggerakkan daun-daun sawo di halaman. Dikejauhan terdengar lamat-lamat suara anjing liar di lereng-lereng bukit sedang berjuang berebut makanan.

Melihat daun-daun sawo itu yang bergerak-gerak itu, tiba-tiba bulu kuduk Wanamerta berdiri. Meskipun ia tidak takut, namun apabila teringat bahwa ia pernah melihat daun-daun itu bergetar, dan kemudian terjunlah seseorang yang menamakan dirinya Wadas Gunung, hatinya masih saja berdesir. Untunglah bahwa kekuasaan Yang Maha Kuasa ternyata telah menyelamatkan Banyubiru.

Dalam keheningan itulah kemudian terdengar Arya Salaka berkata perlahan-lahan, namun jelas terdengar kata demi kata. “Ayah. Aku tidak ingin mengganggu paman Mahesa Jenar. Aku sudah cukup menerima perlindungan dan bahkan apa saja yang ada pada paman Mahesa Jenar itu. Ilmunya dan ajaran-ajaran yang sangat berguna. Tetapi karena itulah barangkali yang telah mengikat aku dalam satu sikap, seakan-akan semuanya tergantung kepada paman Mahesa Jenar. Kalau kali ini aku masih akan memberitahukan hilangnya Endang Widuri kepada paman Mahesa Jenar, maka hal itu pasti juga karena terpengaruh oleh perasaanku itu. Tetapi seandainya demikian, seandainya aku masih harus mengganggu guru, mudah-mudahan kali ini untuk yang terakhir kalinya. Dan biarlah aku hanya sekadar memberitahukan akan kehilangan itu. Kalau paman Mahesa Jenar masih belum sempat berbuat sesuatu, biarlah guru tidak usah datang ke Banyubiru.”

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat merasakan apa yang sedang bergolak didalam dada anak itu. Anak itu pasti akan merasa bersalah kelak, apabila gurunya bertanya kepadanya, kenapa hal itu tidak diberitahukannya. Karena itu, maka akhirnya Ki Ageng Gajah Sora itu berkata. “Arya. Kalau kau akan memberitahukan kepada pamanmu, baiklah. Tetapi ingat, hanya sekadar memberitahukan. Jangan sekali-kali kau mengharap pamanmu itu datang kemari apabila tidak atas kehendaknya sendiri.

  Arya kemudian mengangkat wajahnya. Ia menjadi bergembira mendengar jawaban ayahnya. Dengan gurunya setidak-tidaknya nasehatnya, Arya merasa, bahwa kekuatannya akan bertambah. Namun di samping itu timbul pula perasaan malunya, bagaimana nanti kalau gurunya itu menganggap bahwa ia masih saja tidak mampu berbuat sendiri.

Tetapi kali ini ia memandang kejadian itu sangat pentingnya. Endang Widuri telah melakukan banyak hal dalam lingkungan bersama dengan gurunya dan Rara Wilis. Maka mau tidak mau, pasti ada sesuatu ikatan yang menghubungkan mereka. Sehingga tidaklah akan berlebihan apabila hal itu diberitahukannya kepada gurunya.

Namun Kebo Kanigara agaknya menjadi kecewa atas keputusan Ki Ageng Sora Dipayana. Dengan nada yang rendah ia berkata, “Ki Ageng, aku akan sangat berterima kasih atas segala susah payah yang telah Ki Ageng lakukan. Tidak saja pada saat-saat anakku satu-satunya itu hilang. Tetapi selama ini, aku telah mendapat tempat yang sangat baik di Banyubiru. Karena itu tidak sewajarnya kalau aku akan selalu terus menerus membebani Ki Ageng dengan persoalan-persoalanku. Kini persoalan hilangnya Widuri. Juga terhadap Mahesa Jenar yang selama ini hampir tidak pernah dapat menikmati hari-hari yang tenang. Karena itu, biarlah aku mencoba untuk mencarinya. Tanpa mengurangi penghargaan atas segala bantuan Ki Ageng, namun adalah menjadi bubuhanku bahwa Endang Widuri harus diketemukan.”

Tidak paman,” tiba-tiba Arya menyahut. “Tidak saja paman, tetapi kami, kita semua kebubuhan mencarinya. Juga paman Mahesa Jenar, wajib diberitahu atas peristiwa ini.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora menyambung, “Arya benar, kakang Kebo Kanigara. Apa yang kami lakukan adalah kewajiban, disamping sebagai pernyataan terima kasih atas apa saja yang pernah kakang lakukan di Banyubiru dan Pamingit. Dan apa yang pernah dilakukan oleh Endang Widuri sendiri.”

Kebo Kanigara sudah barang tentu tidak dapat menolak uluran tangan itu. Maka jawabnya, “Terima kasih Ki Ageng.”

Sekali lagi pendapa itu diterkam oleh kesepian. Sekali-kali Wanamerta melihat daun-daun sawo bergoyang-goyang. Dan sekali lagi dadanya berdesir karenanya. Tetapi ketika ia melihat daun-daun yang lain pun bergoyang pula, maka katanya di dalam hati, “Hem. Angin yang nakal telah menggodaku.”

Dalam keheningan itu tiba-tiba mereka mendengar derap kuda di antara desir angin malam. Beberapa orang yang mendengar suara itu segera mengangkat wajah mereka. Dan mereka sependapat bahwa suara itu adalah suara serombongan orang-orang berkuda yang telah memasuki alun-alun. Namun karena mereka tidak mendengar suara kentongan dan tanda-tanda yang lain, maka suasana di pendapa itu masih tetap dalam ketenangan.

Beberapa saat kemudian, para penjaga regol telah menghentikan beberapa ekor kuda yang akan memasuki halaman. Namun ketika mereka melihat para penumpangnya, maka mereka segera menganggukkan kepalanya sambil mempersilakan para penunggang kuda itu untuk masuk.

Siapa?” terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya.

Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya,” sahut orang yang berdiri di dalam gardu.

Oh”, desis Ki Ageng. Dan orang-orang yang berada di pendapa itu pun segera berdiri menyambut kedatangan tamu-tamu mereka.

Sebelum duduk, Ki Ageng Lembu Sora sudah bertanya, “Bagaimana dengan Endang Widuri?

Ki Ageng Gajah Sora menggeleng, “Belum kami ketemukan.”

Hem” terdengar seseorang menggeram. Ketika Ki Ageng Gajah Sora berpaling kepada orang itu, maka dilihatnya Wulungan menggigit bibirnya. Bahkan kemudian ia berguman, “Angger Widuri telah menyelamatkan aku. Ketika Adi Galunggung menjadi gila dan menaburkan pasir kemataku pada saat kami berkelahi, maka nyawaku telah berada di ujung pedangnya. Namun untunglah, angger Widuri berhasil mencegahnya, sehingga akhirnya aku pun selamat.”

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dipersilakan tamunya duduk di pendapa itu pula.

  Pembicaraan tentang Widuri menjadi semakin riuh. Semua orang di pendapa bertekad untuk menemukannya. Bahkan Ki Ageng Lembu Sora berkata, “Aku dapat mengerahkan setiap orang di Pamingit untuk ikut serta mencarinya, kakang.”

Terima kasih” jawab Ki Ageng Gajah Sora.

Tetapi Kebo Kanigara masih saja menundukkan kepalanya. Pembicaraan yang didengarnya tentang anaknya benar-benar telah mengharukannya, sehingga malahan ia tidak dapat berkata apa-apa tentang itu.

Beberapa orang yang sempat menatap wajahnya menjadi terharu pula. Widuri adalah satu-satunya kawan hidupnya. Bahkan hidupnya sendiri agaknya tidak sedemikian menarik dibanding dengan hidup anaknya itu. Anak satu-satunya yang akan dapat menjadi penyambung masa depannya. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Hilang seperti tenggelam dalam kekelaman malam.

Malam itu orang-orang yang berkumpul di pendapa Banyubiru, sama sekali tidak dapat menarik kesimpulan apa pun tentang hilangnya Endang Widuri. Namun mereka tidak dapat menolak, bahwa besok Arya Salaka akan mengirim utusan ke Gunungkidul untuk memberitahukan hilangnya Endang Widuri dari Banyubiru.

Malam itu pun berjalan menurut ketentuannya sendiri, sama sekali tidak menghiraukan kerisauan hati Arya Salaka yang berputar-putar di dalam biliknya. Betapa hatinya menjadi gelisah, marah dan bermacam perasaan lagi bercampur baur di dalam dadanya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Angan-angannya hilir mudik tidak tentu arah. Siapakah yang akan dipersalahkan atas hilangnya Widuri. “Seandainya aku tahu siapa yang mengambilnya, maka baginya tak ada ampun lagi. Aku bunuh dengan tanganku.” Anak muda itu menjerit di dalam hatinya. Tapi tak seorang pun yang dapat memberitahukan kepadanya, siapakah yang telah mengambil Endang Widuri.

Akhirnya Arya Salaka itu tidak betah lagi tersekap di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia berjalan keluar. Lewat longkangan gandok kulon Arya muncul di pintu butulan.

Tiba-tiba Arya Salaka itu berdesir. Dilihatnya sesosok bayangan bergerak di halaman belakang rumahnya. Cepat seperti kilat anak muda itu meloncat memburu ke arah bayangan itu. Namun sesaat ia kehilangan jejaknya. Tetapi Arya Salaka adalah seorang anak muda yang terlatih dalam menghadapi segala macam persoalan. Cepat ia berjongkok dan memasang telinganya baik-baik. Namun ia masih belum mendengar sesuatu.

Alangkah terkejutnya hati anak muda itu, ketika tiba-tiba ia melihat bayangan yang dikejarnya, telah meloncat pagar halamannya yang cukup tinggi itu.

Gila” desisnya. Terdengarlah giginya gemeretak karena marah. Tetapi ia tidak mau kehilangan bayangan itu, meskipun disadarinya, bahwa tidak semua orang dapat berbuat serupa itu. Meloncat pagar yang sedemikian tingginya hampir tanpa bersuara adalah suatu pekerjaan yang sulit. Karena itu, maka segera ia pun berlari ke arah bayangan itu dan meloncat pula ke atas dinding. Ia masih melihat bayangan itu berlari sepanjang dinding halaman dan kemudian masuk menyuruk ke dalam rimbunnya semak-semak.

Meskipun demikian Arya pun berlari menyusulnya. Sesaat ia masih dapat mengikutinya dituntun oleh suara desah langkah bayangan itu serta batang-batang yang terdengar. Bahkan akhirnya Arya sempat melihat orang itu meloncati parit dan berlari ke tengah-tengah rumpun bambu.

Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, maka Arya mempercepat larinya. Diterobosnya rimbunnya rumpun-rumpun bambu itu tanpa menghiraukan apa saja yang dapat terjadi atasnya. Tetapi kali ini ia gagal. Bayangan itu seakan-akan lenyap begitu saja di tengah-tengah rumpun bambu itu. Dengan penuh kemarahan Arya mencarinya, menghentak-hentakkan setiap batangnya, bahkan beberapa batang telah dipatahkannya dengan suara yang berderak-derak. Namun bayangan itu benar-benar telah hilang.

Suara berderak bambu-bambu patah itu, telah mengejutkan beberapa orang disekitarnya. Bahkan ada pula di antara mereka yang keluar rumah dengan obor-obor di tangan.

Ketika Arya Salaka melihat obor-obor itu, maka terdengarlah ia berteriak. “Bawa obor itu kemari.”

Siapa kau?” orang yang membawa obor itu bertanya.

Arya Salaka” sahut Arya.

Oh, kaukah itu ngger

Orang yang membawa obor itu kemudian berlari-lari ke arah suara Arya Salaka. Orang itu terkejut melihat Arya berada di tengah-tengah rumpun bambu-bambu di malam yang gelap. Karena itu maka dengan serta merta orang itu bertanya. “Hem ngger. Kenapa angger berada di dalam rumpun bambu di malam buta? Apakah angger tadi di gondol wewe?

Arya menggeram, “Omong kosong. Aku tidak dicuri oleh kunthilanak itu. Aku sedang mencari seseorang. Berikan obormu itu.

Orang itu ragu-ragu sejenak. Apakah betul Arya Salaka yang berdiri di tengah-tengah rumpun bambu itu.?

Karena orang itu tidak mau mendekat, maka dengan jengkelnya Arya Salaka meloncat dari rumpun itu dan merampas obor yang masih menyala-nyala sambil berkata, “Aku bukan anak gendruwo. Aku Arya Salaka.

Kemudian tidak hanya orang itu saja yang keluar dari rumahnya. Suara Arya Salaka mengumandang dari rumah yang satu menyusup ke dinding rumah yang lain. Karena itulah maka di bawah rumpun bambu itu kemudian menjadi ribut. Beberapa orang bertanya-tanya, apakah yang sedang dicarinya.

“Orang” jawab Arya. “Aku mengejar seseorang yang memasuki halaman rumahku. Ia bersembunyi di dalam rumpun bambu ini. Tetapi tiba-tiba orang itu hilang.”

Beberapa orang kemudian mengucapkan kata-kata yang tidak jelas di dalam mulutnya sambil gemetar. Bahkan salah seorang berbisik, “Itu adalah Kiai Jenggot ngger. Jangan dicari lagi.

Bohong. Aku melihatnya di halaman rumahku. Bukan Kiai Jenggot. Tetapi seseorang.

Berita itu pun kemudian menjalar sampai ke gardu penjagaan regol rumah Arya Salaka, dan penjaga gardu itu melaporkannya ke Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi yang terbangun kemudian tidak saja Ki Ageng Gajah Sora, namun juga Ki Ageng Lembu Sora, beberapa orang pengiringnya dan Kebo Kanigara. Mereka bersama-sama pergi, ke rumpun bambu di mana orang yang dikejar oleh Arya Salaka itu melenyapkan dirinya.

Sesaat kemudian di bawah rumpun bambu itu telah menyala lebih dari sepuluh buah obor. Semua orang berusaha untuk ikut mencari orang yang telah bersembunyi di bawah rumpun bambu itu. Tetapi orang itu tidak dapat diketemukan.

Aneh” desis Arya Salaka. “Aku telah mengejarnya, sedang jarak kita menjadi semakin dekat. Aku pasti, bahwa orang itu menyusup ke dalam rumpun ini, namun tiba-tiba ia telah hilang.”

Semua orang menjadi tegang. Apakah perisitwa ini ada hubungannya dengan hilangnya Widuri? Tetapi kalau demikian, maka apalagi yang akan dicarinya di rumah Ki Ageng Gajah Sora?

Tanpa mereka sengaja maka sebagian dari mereka segera menghubungkan peristiwa itu dengan hal-hal yang gaib, yang tidak dapat dikupas dengan nalar. Tetapi Ki Ageng Gajah Sora, Lembu Sora, Wanamerta segera menghubungkannya dengan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten.

Apakah masih ada yang menyangka bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru?” berkata mereka di dalam hati mereka. “Seandainya demikian, siapakah yang masih akan mencoba mencurinya?”

Yang paling mungkin adalah mereka, sisa-sisa dari gerombolan hitam yang masih belum punah benar. Tetapi di antara mereka, sudah tidak ada seorang pun yang akan mampu mengganti kedudukan pemimpin-pemimpin mereka. Kecuali apabila ada pendatang-pendatang baru yang akan merebut kedudukan golongan itu.

Setelah puas mereka mencari, dan ternyata mereka tidak menemukan apa-apa, maka segera mereka kembali ke rumah Ki Ageng Gajah Sora. Sedang beberapa orang di sekitarnya kembali pula ke rumah-rumah masing-masing sambil bergumam. “Hem, Kiai Jenggot itu kini mengganggu lagi.”

Kembali di pendapa Banyubiru, beberapa orang berkumpul membicarakan keanehan yang baru saja di lihat oleh Arya Salaka. Dalam kesibukan pembicaraan itu, maka berkatalah Ki Ageng Gajah Sora. “Arya, apakah kau benar-benar melihat seseorang, atau hanya karena hatimu yang sedang gelap itu saja, maka kau seolah-olah melihat seseorang di halaman ini?”

Aku melihat sebenarnya ayah”, jawab Arya. Namun tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ia merasa bahwa ia melihat seseorang.

Melihat keragu-raguan itu, maka berkatalah Ki Ageng Gajah Sora, “Atau sebuah mimpi yang buruk?”

Arya menggigit bibirnya. Namun kemudian ia berkata. “Marilah kita lihat.”

Arya tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia turun ke halaman dan menyuruh beberapa orang penjaga menyalakan obornya. Ayahnya, pamannya, Kebo Kanigara dan orang-orang lain segera mengikutinya. Mereka pergi ke halaman belakang dengan obor di tangan.

Beberapa saat kemudian terdengar Arya itu berteriak. “Inilah ayah. Lihatlah bekas-bekasnya. Apakah hanya bekas kakiku sendiri?

Semua orang kemudian mendekatinya. Di bawah dinding mereka melihat beberapa berkas bekas kaki. Seberkas adalah kaki Arya Salaka, sedang beberapa langkah di sampingnya diketemukan pula seberkas telapak kaki. Salah satu dari berkas-berkas itu adalah kaki orang yang dikejarnya.

Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini percaya bahwa seseorang telah memasuki halaman ini tanpa diketahui, meskipun Gajah Sora untuk sementara masih perlu menempatkan beberapa orang penjaga di sekitar rumahnya.

 “Aneh” gumam mereka. Dan sebenarnyalah bahwa hal itu sangat mengherankan beberapa orang penjaga di sekitar rumahnya.

Malam itu, kemudian hampir tak seorang pun dari mereka yang berada di pendapa, sempat untuk pergi tidur. Mereka mondar-mandir saja kesana kemari. Meskipun kemudian Lembu Sora masuk juga ke gandok wetan, namu orang itu tidak juga dapat tidur. Sedang Kebo Kanigara masih belum beranjak dari tempatnya di pendapa Banyubiru. Hanya kini ia duduk bersandar tiang. Pandangan matanya jauh menyusup ke dalam gelapnya malam, menyentuh ujung pepohonan di kejauhan. Gelap. Malam itu semakin gelapnya.

Ketika ia melihat Arya Salaka naik ke pendapa dan duduk di sampingnya, maka terdengar Kebo Kanigara itu bertanya lirih. “Kenapa kau tidak membangunkan seorang pun Arya.”

Arya duduk dengan gelisahnya. Kemudian jawabnya, “Aku tergesa-gesa paman. Aku lupa segala-galanya. Aku hanya mengharap untuk dapat menangkapnya.”

Orang itu bukan orang kebanyakan. Sangat berbahaya bagimu Arya. Siapa tahu ia memiliki sesuatu yang lebih berbahaya dari Sasra Birawa.”

Arya menundukkan kepalanya. Kata-kata Kebo Kanigara ittu dapat dimengertinya. Namun ia benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk berbuat banyak.

Demikianlah malam itu Banyubiru diliputi oleh suasana yang aneh. Mirip dengan suasana yang pernah mereka alami sebelum Arya Salaka hilang dari lingkungan rakyat Banyubiru. Demikian pula suasana di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Dahulu mereka juga berjaga di pendapa itu. Dahulu mereka duduk dengan kesiagaan penuh di pendapa, di luar pendapa bahkan beberapa orang berjaga-jaga di halaman belakang. Namun keris-keris yang mereka simpan ternyata lenyap pula.

Gajah Sora menarik nafas. “Hem”, desahnya “Waktu itu ternyata Panembahan Ismaya berusaha menyelamatkan pusaka-pusaka itu. Tetapi sekarang siapa? Apakah Panembahan itu pula?

Gajah Sora itu menggeleng dengan sendirinya Panembahan Ismaya tidak akan membuat mereka menjadi bingung lagi tanpa maksud-maksud tertentu yang tidak mereka mengerti sebelumnya. “Apakah kali ini juga terkandung maksud seperti itu?

Namun tak seorang pun yang dapat duduk dengan tenang. Wanamerta pun menjadi gelisah. Bantaran, Penjawi, Jaladri berjalan hilir mudik di halaman dengan pedang di pinggang masing-masing. Bahkan Jaladri tidak lupa pula membawa senjatanya yang aneh, canggah, tombakbermata dua.

Halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora benar-benar di kuasai oleh ketegangan. Suasananya mirip benar dengan suasana peperangan. Tetapi mereka tidak tahu pasti siapakah musuh yang harus mereka hadapi.

Malam itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Ketika di timur telah membayang warna merah, maka terdengarlah ayam jantan berkokok bersahut-sahutan untuk yang terakhir kalinya. Kabut yang tebal turun membawakan udara yang sangat dingin. Sehingga kepekatan malam itu pun kemudian disusul dengan kabut yang keputih-putihan memagari pandangan. Meskipun malam telah hampir lenyap, namun lereng Telamaya itu kini seakan-akan berselimut dengan kabut yang tebal, seperti seorang raksasa yang berbaring kedinginan.

Tetapi malam itu telah dilampauinya tanpa terjadi sesuatu yang menggoncangkan suasana. Mereka memasuki hari mendatang dengan nafas lega. Meskipun demikian, apa yang terjadi pada malam itu sangat mempengaruhi ketentraman hati para pemimpin Banyubiru.

Pagi itu Arya Salaka telah mengutus tiga orang untuk menyampaikan kabar tentang hilangnya Endang Widuri ke Gunungkidul. Arya telah berpesan dengan sungguh-sungguh, bahwa mereka hanya menyampaikan pemberitahuan saja. Segala sesuatunya kemudian terserah kepada Mahesa Jenar sendiri, meskipun di dalam hati Arya mengharap agar gurunya itu mengambil keputusan untuk datang ke Banyubiru. Arya yang masih muda itu sama sekali tidak dapat mempertimbangkan persoalan-persoalan lain yang menyangkut kehidupan gurunya.

Demikianlah maka ketiga orang itu, yang dipimpin oleh Bantaran berpacu menunju ke Gunungkidul. Suara kaki-kaki kuda berderak-derak memecah kesunyian pagi. Beberapa orang melihat Bantaran memacu kudanya secepat angin. Maka timbullah beberapa pertanyaan di hati mereka. Ke manakah Bantaran sepagi ini?

Sepeninggalan Bantaran orang-orang di Banyubiru masih meneruskan usaha mereka mencari Endang Widuri. Arya Salaka sendiri menjelajahi segenap sudut Banyubiru. Namun Endang Widuri benar-benar lenyap. Karena itu, maka Arya Salaka menjadi gelisah, cemas dan marah yang meluap-luap.

Ia tidak akan menjadi sedemikian gelisah, seandainya ia harus mencari apa-apa yang hilang, bahkan pusaka Banyubiru sekalipun. Sebab ia akan dapat mempergunakan waktu yang panjang. Seminggu, sebulan bahkan setahun dua tahun sebelum benda itu diketemukan. Namun tidak akan dapat terjadi demikian dengan Endang Widuri. Ia tidak dapat menunggu sebulan, dua bulan atau lebih. Sebab dengan demikian banyak hal yang akan dapat terjadi dengan gadis itu. Hal-hal yang tidak akan dapat terjadi dengan pusaka-pusaka atau benda-benda lain. Sebenarnyalah bahwa Endang Widuri bukanlah benda-benda itu.

Dalam keadaan yang demikian itulah, maka terasa sekali pada Arya Salaka, bahwa ia tidak sekadar kehilangan tamu atau kawan bermain baginya. Tetapi, bahwa dengan hilangnya Endang Widuri, terasa ada sesuatu yang hilang pula dari hatinya. Sesuatu yang tidak jelas dapat dikatakannya. Namun dapat dirasakannya.

  Ibunya, Nyai Ageng Gajah Sora menjadi sangat bersedih pula. Bukan saja karena Widuri sudah menjadi sangat cumbu padanya. Namun sebagai seorang ibu, segera ia dapat melihat, luka yang tergores di hati anaknya. Nyai Ageng sangat iba melihat Arya Salaka kadang-kadang merenungi titik-titik di kejauhan, namun kadang-kadang ia menjadi sangat gelisah. Bahkan anak muda itu sering sekali dengan serta merta meloncat di atas punggung kudanya dan berlari menghambur ke tempat yang tak diketahuinya, apabila perasaannya mendesaknya untuk segera menemukan Endang Widuri. Namun kemudian Arya Salaka kembali pulang dengan wajah yang pedih.Widuri belum diketemukan.

Tidak saja Arya Salaka yang mencarinya hampir sepanjang hari di setiap hari. Namun Kebo Kanigara pun kemudian jarang-jarang tampak di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hampir setiap hari apabila matahari telah terbit ke Timur, Kebo Kanigara segera minta diri untuk mencari anaknya. Dengan seekor kuda yang dipinjamnya dari Banyubiru, Kebo Kanigara berputar ke segenap penjuru. Tetapi seperti Arya Salaka, maka Kebo Kanigara itu pun kemudian pulang seorang diri.

Sehingga akhirnya, Kebo Kanigara itu berkata kepada Ki Ageng Gajah Sora, “Ki Ageng. Apabila Endang Widuri tidak segera dapat aku ketemukan, maka aku akan mohon diri untuk mencarinya. Aku tidak akan dapat mengatakan, berapa lama waktu yang akan aku pergunakan untuk itu.

Ki Ageng Gajah Sora menjadi gelisah pula. Namun jawabnya, “Jangan tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru kakang. Kita disini masih berharap untuk menemukannya.

Tetapi bagaimanakah kalau Widuri telah di bawa orang meninggalkan Banyubiru.

Ki Ageng Gajah Sora tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya akan sangat menggelisahkan apabila diketahui bahwa Endang Widuri sudah tidak berada di Banyubiru lagi. Tetapi bagaimana?

Bahkan kemudian Ki Ageng Gajah Sora itu telah sampai pada suatu keputusan, untuk menyebar orang-orangnya jauh ke luar Banyubiru, di samping para pengawas yang telah di tempatkan di setiap pintu kota, dan di garis batas. Mungkin Endang Widuri berada di Demak, di Pajang, Jipang atau Bergota. Namun ia masih menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Bantaran setelah ia kembali dari Gunungkidul.

Biarlah aku menunggu Bantaran itu pulang Ki Ageng” berkata Kebo Kanigara. “Mudah-mudahan tidak terlalu lama, sehingga aku tidak akan terlambat.”

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba ikut merasakan apa yang menyebabkan Kebo Kanigara menjadi sangat murung dan pendiam. Apalagi kalau Ki Ageng itu melihat Arya Salaka menjadi seperti anak yang kehilangan sikap. Sekali-kali ia berbaring dibiliknya, namun tiba-tiba ia berlari keluar untuk hanya sekedar duduk di bawah pohon sawo sambil bertopang dagu.

Bantaran yang mendapat tugas untuk pergi ke Gunungkidul, berusaha melakukan pekerjaannya sebaik-baiknya. Dengan kecepatan yang sebesar-besarnya ia memacu kudanya di atas jalan berbatu-batu. Di turuninya lereng bukit Telamaya, dan kemudian di atas jalan-jalan ngarai ia menerobos hutan-hutan rindang menempuh jalan yang telah di ancar-ancarkan. Namun Bantaran itu menyadari, bahwa perjalanannya bukan perjalanan yang ringan. Sekali-kali ia harus menempuh belukar yang pepat dan jarang-jarang dilewati orang. Karena itulah maka di sisi kudanya tersangkut pula sebuah busur dan endong yang penuh dengan anak panah. Apabila keadaan memaksa, maka dengan senjata itu ia dapat mempertahankan dirinya dalam jarak yang jauh sambil berkuda. Namun yang penting baginya apabila mereka harus bermalam di perjalanan senjata itu akan dapat dipakainya untuk berburu binatang.

Selain panah-panah itu, dilambungnya tersangkut pula sebilah pedang panjang. Senjatanya itu hampir tak pernah berpisah dari tubuhnya sejak ia menyingkir ke Gedong Sanga.

———-oOo———-

V

Sementara itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis telah sampai ke Gunungkidul.

Perjalanan yang mereka tempuh adalah benar-benar perjalanan yang mengasyikkan. Apabila sebelumnya mereka selalu berada dalam perjalanan yang diliputi oleh ketegangan-ketegangan yang mendebarkan, maka perjalanan kali ini selalu diliputi oleh sendau gurau yang riang.

Meskipun dapat di tempuh jalan lain yang lebih baik, seperti yang telah diberitahukan oleh Sarayuda kepada Kebo Kanigara apabila ia akan menyusul kelak, namun kali ini Sarayuda sengaja menempuh jalan yang lain. Jalan yang sangat sulit. Tetapi kesulitan itu benar-benar tidak terasa oleh Rara Wilis. Karena itu, maka perjalanan mereka kali ini melewati daerah-daerah yang sukar. Mereka ternyata memasuki hutan-hutan yang pepat. Bahkan kemudian mereka melewati daerah Gelangan dan menjelujur di kaki bukit Tidar.

Mahesa Jenar yang pernah bertempur di atas bukit itu melawan Ki Ageng Gajah Sora memandangi bukit kecil itu dengan kesan yang aneh. Sebuah kenangan telah menggores di dadanya. Seandainya pada saat itu, Aji Sasra Birawa yang ada padanya tidak seimbang dengan Aji Lebur Saketi yang dimiliki oleh Ki Ageng Gajah Sora, maka entahlah apa yang terjadi. Namun agaknya Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar telah mengukur kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya waktu itu, dan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam diri anaknya.

Tetapi saat ini Sarayuda tidak mengambil jalan ke arah Pangrantunan, namun perjalanan itu mengarah terus ke selatan.

Setelah bermalam diperjalanan, sampailah mereka ke hutan yang cukup lebat. Mentaok.

Apakah kita akan ke hutan ini Sarayuda?” bertanya Mahesa Jenar.

Ya” sahut Sarayuda “Jalan yang paling dekat”.

Mahesa Jenar meragukan jawaban itu. Tetapi ia tidak menjawab. Diikutinya saja Sarayuda yang berkuda lewat jalur jalan yang dahulu pernah dilalui. Mereka akhirnya sampai juga di Pliridan dan tanpa setahu Mahesa Jenar, tiba-tiba mereka sudah berada di depan sebuah goa. Mahesa Jenar terkejut melihat goa itu. Goa yang pernah ditinggal oleh Ki Ageng Pandan Alas.

Apakah kau pernah melihat goa itu Mahesa Jenar?

Mahesa Jenar tersenyum. Kemudian katanya, “Entahlah, bertanyalah kepada Wilis.”

Rara Wilis hanya dapat menundukkan wajahnya. Kenangan itu tiba-tiba telah menerkam hatinya. Tetapi ia adalah seorang gadis. Tanggapannya atas kenangan itu tidak seperti Mahesa Jenar. Karenanya tiba-tiba matanya terasa sangat panas. Dan setetes air mata jatuh dipangkuannya.

Sarayuda dan Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Tetapi mereka tidak menjadi cemas, meskipun mereka melihat Rara Wilis itu menangis. Sebab mereka tahu, bahwa gadis itu sedang di ganggu oleh sebuah kenangan. Kenangan yang menakutkan seperti terjadi saja di dalam mimpi.

Sebenarnya memang Rara Wilis sedang mengenangkan masa-masa lampaunya. Di hutan inilah ia dahulu hampir saja membunuh dirinya, seandainya tidak ada seorang yang bernama Mahesa Jenar itu, yang sekarang ini berada di dekatnya sebagai seorang yang telah merampas segenap hatinya. Di hutan ini pula ia bertemu dengan kakeknya, Ki Ageng Pandan Alas. Dan di hutan ini pula ia hampir di terkam Ular Laut yang mengerikan. Tetapi semuanya itu sudah lampau. Semua pahit getir penghidupan telah dialami. Bahaya yang dilampauinya tidak saja di hutan Mentaok ini, namun kemudian nyawanya pun telah diserahkannya untuk merebut kembali ayahnya dari tangan Harimau betina di Gunung Tidar. Namun ayahnya itu telah mati pula. Kini ia tinggallah seorang gadis yatim piatu.

Di hutan itu, di daerah Pliridan yang sepi itulah mereka bermalam kembali. Daerah yang pernah memberi mereka suatu kenangan yang pahit.

Tetapi pada malam itu, mereka dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang yang bertubuh besar dan bengis. Mereka dengan serta merta mengancungkan senjata- senjata mereka kepada rombongan itu.

Apakah kehendakmu?” bertanya Sarayuda kepada pemimpin mereka.

Harta atau nyawa?” gertak mereka.

Sarayuda tertawa. Jawabnya, “Kenallah kalian kepada kami?

Orang itu menarik alisnya. Kemudian geramnya, “Persetan dengan kalian. Aku tidak pernah bertanya, siapakah korbanku kali ini. Semua pedagang yang lewat di daerah ini adalah hidangan buat kami.

Kami telah membawa beberapa orang pengantar yang akan dapat melawan kalian.

Hem, aku sudah tahu. Kalian pasti membawa beberapa orang pengantar. Nah sekarang biarlah kami bertempur. Pekerjaan ini sudah kami lakukan bertahun- tahun.

Sekali lagi Sarayuda tertawa. Karena itulah maka pemimpin mereka membentak. “Jangan tertawa. Ayo, apakah kau pemimpin dari para pengawal.”

Sarayuda maju selangkah. Kemudian katanya, “Berapa orangkah jumlah kalian?

Lima belas orang” sahut orang itu. “Kalau kami memberi tanda, maka akan datang lagi lima belas orang pula.

Tiba-tiba sebelum Sarayuda menjawab, maka Mahesa Jenar telah melangkah maju pula. Dengan tenangnya ia berkata. “Jangan membual. Apakah kau sekarang bergabung dengan sisa anak buah Lawa Ijo?

Pemimpin rombongan itu terkejut. Diamat-amatinya Mahesa Jenar dengan seksama. Kemudian katanya, “Siapakah kau?

Sakayon” jawab Mahesa Jenar.

He?” mata orang itu terbelalak. “Darimana kau tahu namaku?

Aku Sakayon dari Gunung Tidar. Dahulu aku adalah anak buah Sima Rodra.”

Orang itu menjadi semakin heran. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang semakin lama menjadi semakin jelas, maka terdengar suaranya parau, “Apakah kau Mahesa Jenar?

Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya “Kau masih mengenal aku? Kapankah kau melihat wajahku?

Sakayon pernah melihat Mahesa Jenar beberapa kali. Ia ikut dengan Sima Rodra ke Gedangan, ia turut pula mencegat laskar Demak di Gunung Telamaya, dan ia melihat Mahesa Jenar bertempur melawan beberapa orang tokoh hitam.

Karena itu, setelah Sakayon itu yakin, bahawa yang berdiri dihadapannya itu Mahesa Jenar, maka katanya terbata-bata. “Mahesa Jenar, kami tidak tahu, bahwa rombongan ini adalah rombonganmu. Karena itu, maka aku mencegatnya. Aku sangka bahwa rombongan ini adalah rombongan para pedagang yang akan menyeberangi hutan ini.”

Hem. Jadi perbuatan-perbuatan yang demikian itu masih saja kalian lakukan setelah lurahmu mati?

Sakayon tidak menjawab, tetapi kepalanya ditundukkannya.

Sakayon, apakah kau percaya, bahwa rombonganku akan dapat menumpas rombonganmu sekarang ini?”

Wajah Sakayon menjadi pucat. Sekali ia berpaling. Dilihatnya beberapa anak buahnya menjadi heran. Tetapi ada di antaranya yang pernah melihat Mahesa Jenar. Bekas anak buah Sima Rodra dan bekas anak buah Lawa Ijo yang bergabung itu, kini diliputi oleh ketegangan. Namun mereka yang baru dalam pekerjaannya, mencoba untuk masih menunjukkan kegarangannya. “Siapakah orang itu kakang Sakayon?”

Mahesa Jenar” jawab Sakayon gemetar.

Apakah orang itu anak gendruwo, sehingga kita takut kepadanya.”

Bukan saja anak gendruwo” jawab salah seorang di antara mereka bekas anak buah Lawa Ijo. “Tetapi anak malaekat.”

Orang baru itu menjadi heran. Apalagi ketika ia mendengar Sakayon menjawab. “Aku percaya Mahesa Jenar. Aku minta maaf.”

Lihatlah, di antara orang-orang ini adalah prajurit-prajurit pilihan.” berkata Mahesa Jenar menakut-nakuti. “Kami mendapat tugas untuk memusnahkan gerombolan-gerombolan yang masih saja mengacau di hutan Mentaok ini. Kami harus membersihkan hutan Mentaok, Tambak Baya dan daerah-daerah Beringan dan Pacetokan, seluruhnya.”

Ampun. Kami minta ampun,” tiba-tiba suara Sakayon menjadi semakin gemetar dan cemas.

Kami akan mengampuni kalian, tetapi ada syarat-syaratnya!”

Sakayon terdiam. Ia tidak tahu, syarat apakah yang akan dituntut oleh Mahesa Jenar itu. Karena itu, maka ia menunggu Mahesa Jenar berkata, “Sakayon. Kami mendapat tugas untuk memberantas kejahatan di hutan ini. Kalau kalian berjanji untuk menghentikan kejahatan ini, maka kalian akan aku ampuni. Namun kalau tidak, maka jangan mengharap kalian hidup lebih lama lagi. Kemana saja kalian bersembunyi, maka kami pasti akan dapat menemukan. Kami bawa kalian ke Demak dan kalian akan kami adu melawan harimau di alun-alun sebagai tontonan.”

Sakayon dan beberapa orang di dalam gerombolan itu tahu benar siapa Mahesa Jenar itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah Mahesa Jenar. Aku terima syarat itu.”

Mahesa Jenar tertawa. Katanya, “Aku sudah mengenal watak kalian. Kalian berjanji hanya apabila kalian menghadapi bahaya. Meskipun demikian aku percaya padamu kali ini. Kembalilah kerumahmu masing-masing, dan cobalah hidup seperti orang-orang lain. Mereka tidak perlu mengalami kegelisahan seperti yang selalu kau alami. Dengan demikian maka kau akan dapat hidup tenteram.”

Sakayon menggeleng. Jawabnya, “Aku sudah tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku adalah seorang layang kabur kanginan.”

Mahesa Jenar menarik nafas. Namun kemudian ia berkata, “Sakayon. Daerah ini adalah daerah yang subur. Dahulu Pliridan adalah daerah yang ditinggali oleh beberapa orang petani. Kau dapat mengusahakan tanah ini. Dengan tekad yang baik, kau akan dapat berhubungan dengan orang-orang lain untuk mengadakan tukar menukar hasil tanah ini dan mungkin hasil hutan yang dapat kau usahakan.”

Sakayon mengangguk-anggukkan kepalanya. Terjadilah suatu pergolakan di dalam hatinya. Kata-kata Mahesa Jenar itu tanpa sesadarnya telah direnungkannya, dan dicernakannya di dalam hatinya, sehingga akhirnya terdengar kata-kata di dalam hatinya, “Mahesa Jenar berkata sebenarnya.” Ditambah lagi dengan rasa takutnya atas ancaman Mahesa Jenar untuk membawanya ke Demak dan mengadunya dengan harimau di alun-alun. Sedang ia percaya sepenuhnya, bahwa Mahesa Jenar itu pasti akan dapat berbuat demikian. Menangkapnya kemana saja ia bersembunyi.

Karena itu maka katanya. “Mahesa Jenar. Aku berterima kasih atas segala nasehatmu. Akan aku coba untuk mengusahakan tanah ini. Dan aku coba untuk menghubungi keluarga kami dengan tekad yang baik. Mudah-mudahan aku berhasil.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia maju selangkah menepuk bahu Sakayon sambil berkata. “Sarungkan senjatamu.”

Sakayon tidak dapat berbuat lain daripada menyarungkan goloknya sambil menundukkan kepalanya.

Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika di dengarnya seorang daripada anak buahnya, seorang anak muda yang bertubuh tinggi tegap, setegap raksasa kerdil, berkata dengan lantang. “He, kakang Sakayon. Sejak kapan kau menjadi seorang perempuan cengeng.”

Sakayon mengangkat wajahnya. Jawabnya. “Jangan melawan Gendon. Tak ada gunanya. Lebih baik kau dengarkan nasihatnya.”

Anak muda yang bernama Gendon itu sama sekali tidak puas. Di samping Sakayon ia merasa orang yang paling penting di dalam gerombolan itu. Karena itu, maka ia melangkah maju sambil menunjuk wajah Mahesa Jenar. “He apakah kau memiliki guna-guna dan menenung kakang Sakayon sehingga ia menjadi tunduk kepada kemauanmu?

Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak. Aku tidak dapat merenungnya. Tetapi ia dalah sahabat lamaku.”

Gendon menjadi heran. Sekali ia memandang wajah Sakayon, namun betapa pun juga ia tidak yakin akan kata Mahesa Jenar.

Maka dengan lantangnya ia berkata, “Kalau kau tidak ikut kakang Sakayon. Maka biarlah aku selesaikan pekerjaan ini sendiri. Ayo, siapa ikut aku?

Beberapa orang di antara mereka melangkah maju. Namun mereka menjadi heran, justru orang-orang lama, anak buah Sakayon sendiri dan bekas anak buah Lawa Ijo yang mereka bangga-banggakan sama sekali tidak bergerak. Bahkan diantaranya berkata. “Jangan”.

Tetapi Gendon yang merasa usahanya selama ini selalu berhasil tidak memperdulikannya. Dengan goloknya ia menunjuk wajah Mahesa Jenar. “Ayo, berikan semua harta bendamu.”

Mahesa Jenar memandang anak muda itu dengan sedih. Anak itu memiliki tubuh yang kokoh kuat dan memiliki sikap yang meyakinkan. Namun sayang. Ia terperosok dalam lingkungan yang kelam.

Karena Mahesa Jenar tidak segera menjawab, maka terdengar anak itu membentak kembali. “Ayo. Cepat”.

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Sambil menunjuk Sarayuda ia berkata. “Lihatlah. Kawanku itu berpedang pula di lambungnya. Kau tahu gunanya pedang?

Gendon ragu-ragu sejenak. Kemudian teriaknya. “Tidak peduli. Serahkan harta benda yang kau bawa.

Mahesa Jenar menggigit bibirnya. Ketika ia berpaling, masih dilihatnya beberapa orang kawan-kawan Sarayuda duduk dengan tenangnya. Mereka sama sekali hampir tidak tertarik pada gerombolan itu. Sebab mereka yakin benar, apa yang akan dapat dilakukan oleh Sarayuda dan Mahesa Jenar, meskipun ia tidak kehilangan kewaspadaan. Bahkan beberapa di antara mereka telah meraba hulu pedang mereka. Hanya Rara Wilis lah yang kemudian bangkit berdiri sambil berkata. “Sakayon. Apakah kau tidak mau membawa orang-orangmu pergi.

Oh” Sakayon tergagap.

Namun Gendon itu berteriak. “Ha. Ternyata ada seorang gadis pula di antara mereka. Agaknya gadis itu tak kurang cantiknya. Ayo, menyerahlah. Dan serahkan gadis itu kepadaku.”

Tiba-tiba Mahesa Jenar membungkukkan badannya. Katanya, “Baiklah ambillah gadis itu kalau mau. Tetapi jangan ganggu rombongan ini.”

Ah” desah Rara Wilis. Ia tahu Mahesa Jenar akan menunjukkan kepada anak muda itu, bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang tak akan mungkin dikalahkannya.

Gendon ragu-ragu sesaat. Namun kemudian ia berkata. “Baiklah, ayo ikut aku. Aku tidak akan mengganggu kalian, asalkan, kecuali gadis ini, semua harta bendamu aku bawa pula.”

Rara Wilis maju beberapa langkah. Tiba-tiba ditariknya pedang dari lambung Sarayuda. Dengan lantang gadis itu berkata. “Pergilah anak muda. Pergilah.”

Gendon terkejut. Tiba-tiba ia meloncat mundur. Dilihatnya Rara Wilis itu maju lagi sambil mengacungkan pedangnya. “Pergilah.”

Gendon diam sesaat. Namun yang terdengar suara Mahesa Jenar. “Anak itu bukan Jaka Soka Wilis.”

Ah” kembali Rara Wilis mendesah.

Tetapi Gendon belum mengenal Rara Wilis. Ia menjadi rikuh kepada kawan-kawannya. Ternyata gadis ini akan melawannya.

Sarayuda yang membiarkan pedangnya ditarik oleh Rara Wilis tertawa saja sambil bertolak pinggang. Agaknya Rara Wilis yang paling tidak senang melihat gerombolan itu, sebab ingatannya tentang gerombolan semacam itu, benar-benar mendirikan bulu romanya. Karena itu maka segera ia berusaha untuk mengusirnya.

Tetapi ketika Gendon menyadari keadaannya, ia menjadi sangat marah. Karena itu dengan serta merta ia menyerang Rara Wilis dengan garangnya, meskipun ia hanya bermaksud untuk menakut-nakuti. Tetapi terjadilah hal yang tak di sangka-sangka. Tiba-tiba Rara Wilis menggerakkan pedangnya dalam putaran untuk melibat golok lawannya. Alangkah terkejutnya Gendon itu. Pedang Rara Wilis itu seakan-akan melilit goloknya dan sebuah tekanan yang kuat telah melemparkan goloknya beberapa langkah. Sebelum ia mampu berbuat sesuatu terasa ujung pedang Rara Wilis melekat di dadanya.

Tubuh Gendon itu pun kemudian menjadi gemetar. Terasa bahwa nyawanya tiba-tiba saja telah bergerak keubun-ubunnya.

Sebelum Rara Wilis berkata sepatah kata pun, maka terdengar Mahesa Jenar mendahului, “Bagaimana? Apakah kau benar-benar ingin membawa gadis itu?

Tidak-tidak” suara Gendon menjadi gemetar seperti tubuhnya.  Sakayon hampir tak dapat menahan tawanya. Namun kemudian ia berkata, “Aku minta ampun untuknya, Mahesa Jenar.

Pergi, pergi” berkata Rara Wilis lantang. Ia menjadi muak melihat orang-orang yang kasar dan bengis itu berdiri saja dimukanya.

Baiklah” sahut Sakayon, “Kami akan pergi. Dan kami akan mencoba melakukan nasihat-nasihatmu, Mahesa Jenar.

Cobalah” sahut Mahesa Jenar. “Hari depanmu masih cukup panjang untuk menghapus noda-noda yang melekat pada tubuh dan jiwamu.

Sakayon itu pun kemudian mengajak kawan-kawannya pergi. Gendon berjalan paling belakang sambil menundukkan wajahnya. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ia berjumpa dengan seorang gadis garang itu. Namun akhirnya ia mendengar seluruhnya dari Sakayon. Siapa-siapa saja yang berada di dalam rombongan itu. Terutama Mahesa Jenar dan Rara Wilis.

Ketika kemudian malam itu telah lampau, dan matahari pergi dengan cerahnya menjengukkan dirinya dari balik kaki langit, maka rombongan itu berangkat pula meneruskan perjalanan mereka. Namun kini mereka tidak melintas hutan Tambak Baya, tetapi mereka menempuh jalan lain, agak ke selatan terus ke Gunungkidul.

Di iringi oleh angin pagi, dan kicau burung-burung liar, mereka berjalan dengan hati yang terang seperti terangnya matahari. Langit yang biru bersih sekali membayang di sela-sela dedaunan di hutan yang semakin lama menjadi semakin tipis. Sehingga akhirnya, mereka menempuh jalan di antara padang-padang rumput dan gerumbul-gerumbul rindang. Setelah mereka berjalan sehari penuh, maka mulailah mereka sampai pada lembah-lembah yang subur di daerah Gunungkidul.

Kami tidak akan bermalam lagi” berkata Sarayuda. “Meskipun malam, kami harus memasuki induk Kademangan malam ini juga.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di pandanginya lembah-lembah yang hijau di penuhi oleh tanaman-tanaman padi yang subur. Di sana-sini, dalam jarak yang cukup jauh, dilihatnya beberapa buah pedesaan seperti pulau yang terapung di tengah-tengah lautan yang hijau.

Daerah yang luas dan terpencar-pencar.” berkata Sarayuda ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang bersungguh-sungguh.

Ya” sahut Mahesa Jenar. “Dimanakah induk Kademanganmu.”

  Sarayuda tertawa. “Masih jauh,” jawabnya. “Kami harus mendaki bukit di hadapan kita itu. Nah, disanalah aku tinggal.”

Kenapa tidak di lembah yang subur ini?”

Dari bukit ini aku dapat melihat, hampir seluruh tanah-tanah ngarang yang terbentang di bawah kaki bukit. Bukankah Ki Ageng Gajah Sora membuat rumahnya di lereng Telamaya pula? Tidak di ngarai?”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya kembali. Dari segi-segi yang lain, agaknya rumah di atas bukit benar-benar menguntungkan. Seandainya rumah di atas bukit benar-benar menguntungkan. Seandainya harus dilakukan perlawanan atas penyerangan-penyerangan yang kuat, maka kedudukan mereka yang berada di lereng menjadi lebih baik.

Sebenarnyalah malam itu mereka memasuki induk desa Kademangan Gunungkidul. Demikian mereka mendekati pedesaan itu, maka seorang dari para pengikut Sarayuda harus berpacu lebih dahulu menyampaikan kabar kedatangan mereka kepada Ki Ageng Pandan Alas.

Sungguh di luar dugaan. Tiba-tiba mereka mendengar kentongan berbunyi bertalu-talu. Kentongan yang agaknya memberi tanda kehadiran Mahesa Jenar dan Rara Wilis di Kademangan Gunungkidul.

Orang-orang di Gunungkidul telah berpesan kepadaku, apabila kelak aku datang bersama Mahesa Jenar dan Rara Wilis, maka mereka minta supaya mereka diberitahukan. Kentongan itu adalah tanda untuk itu.”

Hem. Terlalu berlebih-lebihan” gumam Mahesa Jenar.

Bukan maksudku. Mereka menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang aneh. Lebih-lebih lagi adalah Rara Wilis. Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar, bahwa Rara Wilis telah berhasil membinasakan Harimau Betina yang pernah merobek-robek hati ibunya.”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun ia menjadi terharu ketika tiba-tiba di dengarnya Rara Wilis mengeluh. Betapa pun gadis itu berusaha menahan hatinya, namun sambutan yang berlebih-lebihan itu benar-benar telah meneteskan air matanya. Suara kentongan dan kata-kata Sarayuda telah membangkitkan perasaan yang melonjak-lonjak di dalam hatinya. Tanah yang terbentang di hadapannya benar telah menumbuhkan berbagai kenangan. Kenangan tentang dirinya di masa-masa kanak-kanak, tentang ibunya dan tentang ayahnya. Di kenangnya betapa perempuan yang cantik namun berhati ganas telah merampas ayahnya. Di kenangnya ketika ia mencoba memanggil ayahnya di rumah perempuan itu pada saat ibunya sakit. Namun bukan main marah ayahnya kepadanya. Dan di usirnya seperti anjing di iringi oleh derai tertawa perempuan iblis itu. Tetapi perempuan itu telah mati. Mati karena ujung pedang yang diterimanya dari kakeknya, Ki Pandan Alas, yang oleh penduduk sedesanya dikenal dengan nama Ki Santanu.

Dan kini, setelah bertahun-tahun ia meninggalkan kampung halaman yang penuh dengan kenangan pahit itu, ia akan kembali pulang. Dikenangnya, bahwa pada saat ia meninggalkan tanah itu, tak seorang pun yang dipamitinya. Tak seorang pun yang melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat jalan. Ia pergi saja seperti ia memang harus pergi.

Tetapi ketika kini ia kembali, maka hampir seluruh penduduk induk Kademangan itu mengelu-elukannya. Menyambutnya sebagai seorang yang sedemikian penting di Kademangan itu.

Alangkah bahagianya seandainya ibuku menyaksikan sambutan untukku ini,” desah di dalam hatinya. “Tetapi ibu itu telah meninggal dalam keadaan yang pedih.

Air mata Rara Wilis itu masih menetes terus. Dan karena itu maka Mahesa Jenar dan Sarayuda sama sekali tidak berkata sepatah kata pun juga.

Akhirnya, mereka melihat berpuluh-puluh obor keluar dari induk desa dihadapan mereka. Obor-obor itu berkumpul di sebuah lapangan, seperti sebuah alun-alun kecil di muka rumah Sarayuda. Rumah yang besar dan berhalaman luas. Rumah seorang Demang yang kaya raya.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis itu menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa mereka akan mengalami sambutan yang demikian meriahnya. Sambutan yang menurut mereka adalah berlebih-lebihan.

Tetapi Sarayuda memang menyambut Rara Wilis dan Mahesa Jenar itu dengan caranya. Ia ingin melenyapkan kesan tentang luka yang pernah terpahat di hatinya. Luka yang sebenarnya tak akan dapat disembuhkannya. Namun dengan jujur Sarayuda telah berusaha. Ia benar-benar melepaskan Rara Wilis dengan hati yang ikhlas. Dan gadis itu kini tidak lebih daripada adik seperguruannya.

Demikian mereka memasuki halaman rumah Sarayuda, maka demikian hati Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir. Di pendapa Kademangan itu telah dibentangkan tikar pandan. Beberapa orang tua-tua telah menunggu mereka di pendapa. Karena itu, demikian mereka melihat rombongan itu memasuki halaman, demikian mereka serentak berdiri dan turun ke halaman.

Rara Wilis tertegun ketika ia melihat seorang perempuan muda datang menyambutnya. Seorang yang pernah dikenalnya dimasa kanak-kanaknya sebagai kawannya bermain. Kini perempuan itu benar-benar menjadi seorang perempuan yang cantik, apalagi dalam pakaian yang cukup baik.

Kau Rati” sapa Wilis.

Perempuan itu tersenyum sambil memegang kedua lengan Rara Wilis dengan eratnya. “Kau tidak lupa kepadaku, Wilis.

Tentu tidak” sahut Wilis. “Kita sama-sama mengalami masa-masa yang pahit pada masa kanak-kanak kita. Kau tahu bahwa hari ini aku akan datang?

Perempuan yang bernama Rati itu berpaling ke arah Sarayuda. Katanya, “Kakang Sarayuda memberitahukan kepadaku.

Wilis,” berkata Sarayuda. “Rati kini adalah istriku.

Oh” suara Wilis terputus. Tiba-tiba terasa sesuatu yang tak dimengertinya bergolak di dalam dadanya. Dengan cepatnya melintas di dalam angan-angannya, betapa Sarayuda pernah menjadi hampir gila karenanya. Hampir saja Sarayuda binasa dalam perkelahian di Karang Tumaritis karenanya pula.

Kini setelah Sarayuda itu melepaskan niatnya dengan ikhlas, maka dihadapannya berdiri Rati, kawannya bermain di masa kanak-kanaknya, sebagai istri Sarayuda itu. Karena itu maka tiba-tiba ia menjadi terharu. Dan dengan serta merta dipeluknya perempuan itu erat-erat.

Rati. Aku mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan kau akan menemukan kebahagiaan untuk seterusnya.”

Rati pernah mendengar, apa yang terjadi atas kawannya itu. Ia pernah mendengar dari Sarayuda sendiri, yang berkata dengan jujur tentang hari-hari lampaunya. Dan Rati sama sekali tidak berkeberatan atas masa lampau itu. Tetapi yang penting baginya, masa lampau adalah sumber perhitungan buat masa depan. Namun masa depan itu sendirilah yang terlebih penting baginya. Dan ia percaya bahwa Sarayuda benar-benar telah melepaskan semua hasratnya terhadap gadis cucu gurunya itu.

Rati itu pun menangis pula ketika Rara Wilis menangis sambil memeluknya. Betapa pun garangnya gadis yang bernama Rara Wilis itu, namun ia adalah seorang gadis. Gadis yang dipengaruhi oleh segala macam keadaan di masa kanak-kanaknya, sehingga Rara Wilis benar-benar menjadi seorang gadis perasa. Seorang gadis yang mudah meruntuhkan keharuan.

Namun sejenak kemudian pendapa Kademangan Gunungkidul itu menjadi sangat meriah. Hampir-hampir menyerupai sebuah perhelatan. Meskipun segala macam persiapan dilakukan dengan tergesa-gesa, namun bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis, sambutan itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Sambutan yang sama sekali tak disangka-sangkanya.

Ki Santanu sendiri bahkan hampir tak dapat berkata apa pun dalam penyambutan itu. Di lingkungan sanak kadang, maka seakan-akan lenyaplah sifat anehnya, sifat-sifat Pandan Alasnya. Ia tidak lebih dari orang-orang tua yang lain, yang duduk berjajar sambil berkelakar. Namun Ki Santanu benar-benar menjadi terharu, ketika ia melihat, bahwa seorang keturunannya akan mendapat tempat yang baik di dalam perjalanan hidupnya. “Mudah-mudahan Wilis dapat menyambung darah keturunan Pandan Alas” katanya di dalam hati.

Demikianlah maka sejak hari itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis hidup dalam lingkungan keluarga Sarayuda. Mereka tidak boleh meninggalkan rumah, meskipun rumah rumah Rara Wilis yang dahulu masih juga ada, ditunggui oleh beberapa orang keluarganya meskipun sudah jauh. Namun Sarayuda minta kepada mereka untuk tinggal bersamanya.

Rumahku cukup luas Mahesa Jenar,” berkata Sarayuda. “Biarlah Wilis tinggal di dalam bersama Rati dan biarlah kau tinggal digandok kulon.

 “Terima kasih Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar namun terasa sesuatu berdesir di dadanya. Rumah itu bukan rumahnya sendiri.

Apakah kelak kalau ia telah berkeluarga, ia akan tinggal di rumah orang lain pula? tidak dirumah sendiri? Suatu persoalan yang selama ini belum pernah dipikirkannya.

Tetapi Mahesa Jenar tidak menyesal, bahwa selama ini ia telah menyerahkan hampir segala-galanya kepada suatu pengabdian. Pengabdian yang luhur dan ikhlas. Karena itu, maka Mahesa Jenar pun dengan mantap memandang ke depan, ke hari yang akan datang. Teringatlah ia akan kata-kata Rara Wilis, bahwa perkawinan bukanlah pertanda bahwa segalanya telah selesai, namun perkawinan juga merupakan pertanda akan mulainya persoalan-persoalan baru yang tidak kurang rumitnya.

Dalam pada itu, Rara Wilis sebagai seorang gadis tidak dapat melupakan sejenak pun akan hari-hari yang dijelangnya. Dari Rati ia mendengar, betapa hari-hari permulaan benar-benar memberinya kebahagiaan. Dan Rara Wilis pun merindukan hari-hari itu. Karena itu, maka hampir setiap saat gadis itu telah mereka-reka apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang istri. Kewajiban-kewajiban rumah tangga yang pasti akan jauh berbeda dari yang penah dilakukannya. Tangan yang kecil itu tidak harus lagi bermain-main dengan pedang, namun harus digenggamnya sebilah pisau dapur untuk menyiapkan masakannya.

Tetapi tiba-tiba angan-angan itu digetarkan oleh peristiwa yang benar-benar mengejutkan. Dengan tergesa-gesa seseorang memberitahu, bahwa ada tiga orang tamu yang ingin menemui Mahesa Jenar dan Rara Wilis.

Ketika Mahesa Jenar mendengar berita itu, dadanya pun tergetar pula. Karena itu maka segera ia ingin tahu, siapakah yang datang itu.

Tiga orang berkuda dari Banyubiru” sahut orang itu.

Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar. Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi. Tetapi sebagai seorang tamu, ia tidak dapat menerima orang itu tanpa setahu Sarayuda. Namun Sarayuda segera berkata, “Marilah. Persilahkan mereka kemari. Dimanakah mereka sekarang?

Mereka masih di alun-alun,” jawab orang itu. “Seorang anak muda yang sedang bekerja di sawah telah membawa mereka sebagai penunjuk.

Orang itu pun kemudian mempersilakan tamu-tamu itu masuk ke halaman Kademangan. Demikian orang itu memasuki halaman, desir dada Mahesa Jenar menjadi semakin keras. “Bantaran.” desisnya.

Setelah mereka dipersilakan duduk di pendapa Kademangan, maka dengan ramahnya Demang Sarayuda bertanya-tanya tentang keselamatan mereka, perjalanan mereka dan yang mereka tinggalkan.

Semuanya baik Ki Demang,” sahut Bantaran. “Perjalananku baik, dan yang berada di Banyubiru pun baik.”

Syukurlah” sahut Demang itu. Namun Mahesa Jenar melihat sesuatu yang menggelisahkan diwajah Bantaran. Sehingga setelah mereka bercakap-cakap sejenak, maka Mahesa Jenar yang segera ingin tahu persoalan yang dibawanya itu bertanya. “Apakah ada sesuatu yang perlu kau sampaikan kepadaku Bantaran, atau kau hanya sekadar melihat jalan yang harus ditempuh, apabila kelak beberapa orang dari Banyubiru akan berkunjung kemari?

Bantaran menarik nafas panjang. Kemudian setelah ia bergeser sedikit, mulailah ia berbicara tentang keperluannya. Katanya, “Kedatanganku yang pertama-tama memang hanya sekadar melihat, bagaimanakah jalan yang kira-kira akan ditempuh, apabila nanti beberapa orang dari Banyubiru akan berkunjung kemari.” Bantaran itu berhenti sejenak. Namun Mahesa Jenar menangkap sesuatu di balik kata-kata itu. Meskipun demikian dibiarkannya Bantaran berkata terus. “Tetapi di samping itu” berkata Bantaran itu. “Aku mendapat pesan dari angger Arya Salaka yang harus aku sampaikan kepada kakang Mahesa Jenar di sini.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah pesan itu?

Lupakanlah dahulu pesan itu, Adi Bantaran. Tinggallah disini dua atau tiga hari. Baru kau sampaikan pesan itu,” potong Sarayuda.

Namun Bantaran itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku ingin berbuat demikian. Tetapi biarlah aku menyampaikan pesan itu. Kalau kemudian aku harus tinggal di sini untuk sementara, aku akan sangat bersenang hati.”

Baiklah” sahut Mahesa Jenar, “Sarayuda pasti tidak akan berkeberatan.

Sarayuda itu pun tertawa. “Silakanlah. Mungkin Mahesa Jenar segera ingin mendengarnya. Tetapi dengan syarat, bahwa pesan itu tidak akan memberinya rangsang yang menggelisahkan.

Entahlah” jawab Bantaran, “Mudah-mudahan tidak.

Nah. Katakanlah” Mahesa Jenar menjadi tidak sabar.

Bantaran berdiam diri sesaat. Di aturnya detak jantungnya supaya ia dapat mengatakannya dengan baik dan jelas.  “Kakang Mahesa Jenar,” berkata Bantaran itu. “Pesan itu sangat pendek. Dan mudah-mudahan benar-benar tidak menggelisahkan kakang,” kembali Bantaran berhenti, sedang Mahesa Jenar menjadi semakin tidak sabar. Baru sesaat kemudian Bantaran itu meneruskan. “Sepeninggal kakang dari Banyubiru, ternyata Endang Widuri telah hilang.”

He?” alangkah terkejutnya Mahesa Jenar mendengar berita itu. Bukan saja Mahesa Jenar, tetapi juga Sarayuda dan Rara Wilis. Berita itu benar-benar seperti bunyi guruh yang meledak di atas kepala mereka. Sehingga dengan serta merta Rara Wilis bertanya, “Endang Widuri puteri Kakang Kebo Kanigara maksudmu?

Ya” sahut Bantaran.

 Tiba-tiba semuanya jadi terbungkam. Berita itu benar-benar merupakan hal yang tidak pernah mereka sangka akan dapat terjadi.

Sesaat kemudian berkatalah Mahesa Jenar, “Apakah kakang Kebo Kanigara sudah pulang ke Karang Tumaritis tanpa Widuri?

Belum” jawab Bantaran.

Belum?” ulang Mahesa Jenar seakan-akan tidak percaya.

Ya belum.”

Hal ini pun merupakan suatu keanehan bagi Mahesa Jenar. Kebo Kanigara masih berada di Banyubiru. “Kenapa anak gadisnya itu dapat hilang dan sampai beberapa waktu tidak segera dapat diketemukan?

Karena itu maka Mahesa Jenar itu bertanya, “Apakah yang sudah dilakukan di Banyubiru?

Semua orang telah mencoba untuk mencarinya. Ki Ageng Gajah Sora, Kakang Kebo Kanigara sendiri, Arya Salaka dan bahkan Ki Ageng Lembu Sora datang juga ke Banyubiru. Semua orang telah berusaha mencari hampir di setiap sudut Banyubiru. Semua jalan keluar telah dijaga segera setelah diketahui Endang Widuri hilang. Bahkan beberapa orang telah dikirim keluar Banyubiru. Namun Endang Widuri belum diketemukan.”

Apakah yang dilakukan oleh Kebo Kanigara?

Kami tidak tahu. Tetapi Kakang Kebo Kanigara itu mencarinya hampir setiap saat. Hanya pada malam harinya saja kakang Kebo Kanigara pulang ke rumah Ki Ageng. Bahkan malam hari pun kadang-kadang kakang Kebo Kanigara tidak pulang.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Apalagi setelah ia mendengar bahwa di halaman Banyubiru pun telah dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tak dapat ditangkap oleh Arya Salaka.

———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 29

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (27)

.

Maka kini Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas kedua kakinya yang merenggang. Meskipun debar di dadanya masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda kini sudah mulai tenang kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang tajam. Tetapi goncangan-goncangan tubuh Baginda itu, masih belum menyamai goncangan perasaan Baginda. Hampir Baginda tak percaya, seandainya Baginda sendiri tidak merasakan bahwa isi dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak muda itu ternyata memiliki kedahsyatan ilmu yang mengagumkan. Sejak semula Baginda memang telah mengira, bahwa anak yang mampu meloncat mundur melampaui blumbang sambil berjongkok, pasti bukan anak kebanyakan, namun Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa anak itu menyimpan ilmu yang sedemikian dahsyatnya.

Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda.

Pada saat benturan itu terjadi, Karebet pun terkejut bukan kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan buah-buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata hanya mampu mendorong surut lawannya beberapa langkah. Bahkan tangannya itu seakan-akan telah membentur selapis dinding baja yang sama sekali tak tergoyahkan, sehingga kekuatan yang tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar kembali melemparkan Karebet beberapa langkah mundur. Bahkan kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya menjadi sesak. Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya menjadi pening, dan seakan-akan bintang-bintang di langit itu beterbangan turun mengerumuni kepalanya.

Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah pulih kembali, dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah dihadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga matanya itu seakan-akan menjadi menyala.

Baginda, seorang yang memiliki berbagai pengetahuan, kini sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet. Mata itu benar-benar seperti mata kucing di malam yang gelap. Seakan-akan cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena itulah maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan. Anak itu benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda menjadi semakin tertarik kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan sebagai seorang ayah, Baginda tidak dapat membiarkan peristiwa ini terjadi tanpa persoalan. Sebab dengan demikian, maka baik Baginda sebagai raja maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai-nilainya yang wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya itu dibiarkannya.

Seandainya, ya, seandainya pada saat itu Baginda menjumpai orang lain, bukan Karebet dan tidak memiliki ilmu sedahsyat Aji Rog-rog Asem serta Lembu Sekilan, serta dari matanya tidak membayang cahaya yang biru kehijauan, maka Baginda pasti sudah akan bersikap lain. Mungkin Baginda akan memaksa putrinya untuk masuk ke bilik bundanya, dan menangkap anak itu sebagai seorang pencuri atau apapun yang masuk ke dalam istana. Dengan demikian, maka orang itu akan dapat dihukum berat.

Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang anak muda yang jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu dalam kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun, betapapun ia harus mendapat hukuman dari perbuatannya itu.

Baginda tidak sempat berangan-angan. Tiba-tiba ia melihat Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam mangsanya. Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya serangan yang masih dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka Baginda segera mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang lain melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian itu, melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng kening, dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya.

Karena itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya, Bajra Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda benar-benar tidak mau membunuh atau melukai Karebet. Karena itu, Baginda mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan kecepatan yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda melontar menyusul arah lawannya yang terbang beberapa jengkal di sampingnya, karena terkamannya dihindari. Dengan Aji yang dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun tidak pada tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah Karebet, tanpa menyentuhnya.

Tetapi alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya telah cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet.

Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh gemetar ia memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain ikat kepala itu. Dan didengarnya orang itu tertawa.

Alangkah dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya. “Tangannya sama sekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji Lembu Sekilan.

ORANG itu masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata, “Bagaimana Aji Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu Sekilan yang setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu, tetapi agaknya kau telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan Ajiku mampu menembus pertahanan Lembu Sekilanmu.”

Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya ia menggeram. Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil suatu kepastian, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu. Karena itu Karebet menjadi semakin cemas. Ia sama sekali tidak mencemaskan nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun bagaimana kemudian dengan putri itu?

Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu, maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya itu berkata, “Nah, apakah kau masih akan melawan.?

Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak dihadapanmu,” sahut Karebet.

Hem,” desah orang itu, “Kau memang keras kepala. Meskipun demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan putri itu kepadaku.”

Apa?” Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan karena kemarahannya yang meluap-luap. Sedang Putri Sultan itu menjadi bertambah mengigil ketakutan. Perlahan-lahan wajahnya beredar di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun hatinya menjadi bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa peronda. Tetapi apa katanya tentang Karebet dan orang yang berselubung kain itu?

Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang berselubung itu berkata, “Apakah Putri akan memanggil Nara Manggala?”

Ya,” sahut putri itu tiba-tiba.

Kembali orang itu tertawa. Jawabnya, “Mereka akan menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?”

Telinga Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika ia mendengar orang itu mengulangi, ”Anak muda. Tak ada gunanya kau melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang sama sekali tak berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan dapat memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu bertahan terhadap ilmuku meskipun kau membentengi dirimu dengan Lembu Sekilan?

Sekali lagi Karebet mencoba melihat siapakah yang berdiri di hadapannya. Pamannya? Mahesa Jenar? Pasti bukan. Mungkin orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak dijumpai orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang sakti dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan orang ini bukanlah salah seorang dari mereka.

Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu berkata pula, “Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.

Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya, “Lampaui dahulu mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau benar-benar keras kepala.

Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut Karebet, dan diteruskan, “Apakah kau sangka, sesudah aku, kau akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati dipenggal oleh Nara Manggala.

Tak seorang pun mampu menangkap aku,” jawab orang itu. “Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.

Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut beberapa nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu tiba-tiba menjadi bercuriga. Apakah orang itu orang dalam? Gajah Alit pasti bukan. Panji Danapatipun bukan. Siapa?

Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar orang itu berkata, “Ayo Karebet. Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh Demak mampu mengalahkan aku?

Karebet benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu. Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah dikenalnya di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu.

Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak bersama di atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar orang itu berkata, “Karebet, katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?

Bajra Geni. Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi kata-kata itu.

Ya,” sahut orang itu pendek.

Tubuh Karebet pun kemudian menjadi gemetar. Dengan ragu-ragu ia memandang orang yang berdiri dihadapannya. Bajra Geni adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu pamannya dan Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya, Lebur Seketi,Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada itu. Aji Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan Trenggana. Karena itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan terhenti. Bahkan darahnya pun seakan tidak mengalir lagi.

Sebelum Karebet menyadari apa yang terjadi, maka tangan orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian meraih kain yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka kain itupun telah direnggutkan.

Demikianlah orang yang tegak berdiri dengan gagahnya itu menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu menjerit kecil. Sesaat ia memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun sesaat berikutnya dengan serta merta puteri menjatuhkan dirinya dikaki Baginda sambil menangis sejadi-jadinya. Sedang Karebet pun kemudian berlutut pula pada kedua lututnya sambil menyembah hampir mencium tanah.

Jangan menangis!,” bentak baginda. “Diam atau kututup mulutmu!”

Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan, Puteri mencoba meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka tangis itu seakan-akan malahan meledak-ledak.

Baginda masih juga berdiri diatas kakinya yang renggang. Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam, setajam ujung pedang. Dan Karebet pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Ayahanda,” terdengar puteri berkata diantara sendunya.

Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai ayahandamu?,” sahut baginda.

Ayahanda,” kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari bibir Puteri yang sedang menangis itu.

Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan kemudian ia berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah aku harus melampaui mayatmu?.”

Ampun, Baginda,” sahut Karebet gemetar, “hamba tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.

He,” Seru Baginda, ”jadi kalau tidak ada aku kau dapat berbuat sekehendakmu? Jadi kalau berhadapan dengan orang lain, kau mengagung-agungkan kekuatanmu ? Lembu Sekilan atau Aji apa lagi yang kau miliki itu?

Ampun Baginda,” Karebet semakin tertunduk. Kini harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia tinggal menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan memenggal lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.

Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata, “Karebet itukah tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut dari pinggir jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau seorang anak muda yang memiliki kebanggaan dengan menyerahkanmu kepada Prabasemi dan kesatuannya. Kini ternyata kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai seorang ayah dan seorang raja.

Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet teringat kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia mengatakan persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya. “Tak ada gunanya,” katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah kepada nasib yang membawanya kearah maut. Tak ada hukuman lain yang pantas diberikan kepadanya selain hukuman mati. Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda.

Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku.” pikirnya.

Sebenarnya baginda marah sekali kepada Karebet dan Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet, kesaktian anak itu benar-benar menarik perhatiannya, sehingga baginda pun berkata di dalam hatinya, “Sayang, anak ini memiliki kemungkinan dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia mampu mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu rangkapannya itu, maka ia menjadi seorang sakti yang pilih tanding.

Baginda sendiri mempunyai dua orang putera disamping puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula. Namun sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu mempunyai penyakit berat didalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang seorang lagi, masih terlalu muda, dan agaknya tidak akan menyamai kakak sulung.

Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu. Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada puterinya, “Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari pintu kalau bukan ibunda yang menjemputmu.”

Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan menjawab, Baginda membentaknya, “Masuk ke keputren!.”

Puteri Baginda itu tidak berani mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk serta airmata berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk kebiliknya. Langsung direbahkannya dirinya dipembaringan menelungkup. Dan kepada pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan nasibnya yang malang. Betapa kecewanya dan menyesal hati puteri itu. Tetapi semuanya telah terlanjur dilakukan. Dan ayahanda Baginda sendiri telah melihat langsung apa yang terjadi.

Diluar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah tepekur. Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang telah terjadi. Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang dapat dilakukan kini tinggallah menunggu hukuman yang harus disandangnya.

Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg. Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri didalam hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau segala keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat terpengaruh oleh perasaannya itu.

Karebet,” berkata Baginda kemudian, ”ikut aku ke Ksatriaan”.

Hamba tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah.

Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi ditempat itu. Segera Baginda berjalan diantara rimbunnya daun-daun perdu dihalaman, supaya tidak seorangpun melihatnya. Kepada Karebet, Baginda itu berkata, “ikuti aku. Jangan ada seorang pun yang melihatmu. Apabila demikian, maka nasibmu akan aku serahkan kepada penjaga itu.

Karebet menyembah sambil menyahut, “Hamba, Baginda.”

Maka keduanya pun berjalan mengendap endap menghindari peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak seorang pun yang mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian dari pintu samping.

Karebet,” berkata Baginda setelah mereka didalam bilik ksatrian. “Tinggal disini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada gunanya. Aku segera dapat menangkapmu kemana saja kau bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku perintahkan segenap peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak seorangpun boleh meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.”

Hamba tuanku,” jawab Karebet. “Hamba tidak akan berani melanggar perintah Baginda.”

Sesaat kemudian Baginda pun mengenakan baju keprajuritan yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu kemudian baginda pergi meninggalkan bilik. Karebet yang berada di dalam bilik itu menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti di pagi hari, jika beberapa orang emban atau jajar masuk kedalam bilik untuk membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur nanti datang pula kemari?

Tetapi Karebet lebih takut lagi akan perintah baginda. Karena itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak berani beranjak dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya badannya diatas lantai yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam perasaan bercampur baur, Karebet memandang kedinding yang kokoh kuat sekuat baja.

Dengan rog-rog Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini,“ terdengar suara didalam hatinya.

Gila,” jawab suara yang lain

Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk bersandar didinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda setelah itu.

Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan melakukan hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan menanganinya ?

Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah menggeliat, ia bergumam, “Persetan dengan segala macam hukuman. Lebih baik aku tidur. Dengan segala macam kegelisahan dan penyesalan, soalku tidak selesai.”

Dengan tanpa kesan apapun atas segala macam bencana yang sewaktu-waktu dapat menimpanya, maka Karebet itu pun kemudian merebahkan dirinya di lantai, dan sesaat kemudian, ia sudah tidur mendekur.

Dari Kesatrian, Baginda tidak langsung kembali ke bilik. Betapa terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala ketika melihat baginda sendiri lengkap dengan pakaian keprajuritan datang kepada mereka. Dengan tergesa-gesa mereka segera berloncatan menyambut kedatangan baginda dan dengan takjimnya mereka pun segera duduk bersila di hadapan Baginda yang berdiri tegak di muka gardu.

Beberapa orang menjadi pucat, dan beberapa orang lagi menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga Baginda datang sendiri kepada mereka.

Mereka lebih heran lagi ketika tiba-tiba Baginda itu berkata, “Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.”

Hamba tuanku,” sahut Nara Manggala yang tertua, ”apakah Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?”

Ya” jawab Baginda, ”bawa dia ke Kasatrian”

Hamba Tuanku.” sahut orang tertua itu.

Kemudian ketika Baginda melangkah kembali ke Kasatrian, dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk mengantarkan. Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata, “Aku datang sendiri. Aku kembali sendiri.

Penjaga menjadi heran. Tidak menjadi kebiasaan Sultan berbuat demikian. Tetapi tak seorang pun berani bertanya. Dan mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengiringi Baginda lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik.

Sepeninggal Baginda, beberapa orang saling berbisik diantaranya. “Aneh,” berkata salah seorang dari mereka, ”kenapa baginda memanggil Prabasemi dimalam hari begini?

Yang lain menggeleng, “memang aneh.”

Hanya tiba-tiba saja seseorang berkata, “Tadi aku melihat Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.”

Lalu sekarang Prabasemi dipanggil oleh baginda,” sahut yang lain, ”kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? bukankah ia prajurit Wira Tamtama?”

Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya sambil berkata, “entahlah. Ada sesuatu yang kurang wajar terjadi.”

Apa?” bertanya yang lain

Orang itu menggeleng. Katanya, “kalau aku mengetahuinya kau pasti mengetahuinya juga.

Mereka itu pun kemudian terdiam. Masing-masing berjalan kembali masuk ke gardu peronda. Baru saja mereka duduk, seperti orang tersengat lebah, Nara Manggala yang tertua berteriak, “He, bodoh kalian. Kenapa kalian tidak berangkat memanggil Prabasemi?”

Oh,” sahut yang lain, ” hampir aku lupa kepada perintah itu.”

Kemudian dengan tergesa-gesa dua orang Nara Manggala segera bersiap untuk berangkat menjemput Prabasemi. Mereka segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda keprajurutan. Dengan pedang dilambung masing-masing berdua segera pergi menjemput Tumenggung Prabasemi.

Meskipun kemudian tak seorang pun yang bercakap-cakap, namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati, apakah yang sebenarnya terjadi?

———-oOo———-

II

Dari Gardu Penjaga, Baginda langsung masuk kedalam biliknya dimana Permaisuri dan dua orang emban sedang menunggu. Ketika permaisuri melihat kedatangan Baginda, maka terdengar sebuah tarikan napas panjang.

Nah,” berkata Baginda, ”bukankah aku masih utuh?,”

Sekali lagi Permaisuri menarik napas. Katanya, “Hamba menjadi gelisah.

Baginda kemudian memandangi kedua emban yang duduk bersimpuh sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sesaat kemudian berkatalah baginda “Kembalilah ke bilikmu masing masing emban.”

Kedua emban itu terkejut. Dan bersamaan mereka menyembah sambil membungukkan badan mereka, “Hamba Baginda.”

Tetapi, ingat,” berkata baginda pula, ”apabila seseorang mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan aku pancung di alun-alun.”

Kedua emban menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi mereka menyembah dengan takjimnya.

Nah tinggalkan bilik ini.”

Keduanya tidak menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka menyembah, maka segera mereka meninggalkan bilik itu.

Alangkah malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri, “Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri yang berceritera tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi, mengerikan.”

Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan didalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah yang megah dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum didalam hati. Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan mengalami pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu pasti akan melupakannya.

Demikian kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa yang telah terjadi.

Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta merta, pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, sama sekali telah mengabaikannya.

Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” bertanya Permaisuri. “Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah dan rohaniah, bencana itu terjadi.”

Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya, seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang Senapati Perang, maka Baginda dapat melihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh Karebet yang telah berani melangkahi pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja, Baginda melihat masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai kemungkinan yang tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tahjaya. Namun orang itu telah lama membuang diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana.

Tetapi orang itu sama sekali bukan keluarga istana,” desis Baginda didalam hatinya.

Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya. Kemudian katanya di dalam hati, “Apakah Karebet itu juga keluarga istana?

Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali untuk mengusir perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu adalah anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan kadang, bukan sentana.

Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-kata jauh di dasar hatinya. “Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah Majapahit di dalam tubuhnya?

Hem.” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih menyeka kedua belah matanya yang basah.

Sudahlah,” hibur Baginda, “Aku akan mencoba mencari cara sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.

Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.

Aku belum tahu,” sahut Baginda, “Tetapi mula-mula adalah menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan Karebet.”

Permaisuri menganggukkan kepalanya. “Besok, Putriku akan aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan yang lebih seksama.”

Aku sependapat,” sahut Baginda, “Dan biarlah anak muda yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”

Akan diapakankah?”

Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan kepada Palindih di Bergota.”

Hanya itu?”

Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar-benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan kedahsyatan ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam diri anak itu tersimpan Aji Lembu Sekilan dan dari matanya memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata seekor harimau yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Meskipun di seluruh wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.

Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya, “hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet. Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?.

Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya, “Hukuman itu adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet, tetapi pada Puteri itu  juga.”

Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya, “Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan. Jarang-jarang ia melihat anak muda didalam biliknya yang sempit. Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi hatinya.”

Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara sebagai Raja terhadap Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu. Seorang ibu yang merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang luas. Maka dengan hati-hati Bgainda berkata, “Tetapi apabila puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan gadis-gadis, pasti dimulai dari kedua ujung hati masing-masing. Apabila tidak, maka hubungan itu tidak akan terjadi.”

Oh,” sahut permaisuri. “Baginda telah berbicara tentang hati laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet. Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuanMungkin puteri mula-mula sama sekali tidak menanggapi sikap Karebet. tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya, maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda yang terbakar hatinyaAtau mungkin Karebet sengaja membuat dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-manja atau merayu.”

Sekali lagi Baginda menarik nafas. Sekali lagi dicobanya untuk menjawab, “Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam pendiriannya.”

Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.

Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai seorang permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan berduka kalau baginda berduka. Namun Baginda bukanlah seorang laki-laki berhati batu. Baginda dapat mengetahui sepenuhnya perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula kepada permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa pedih luka dihari permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.

Meskipun demikian, Baginda masih ingin untuk dapat menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih diberinya kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya, maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga Permaisuri kali ini.

Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata, “Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah aku yang dipersalahkan.”

Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya. Ia sedang berhadapan dengan seorang raja yang memiliki segala kekuasaan ditangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah sambil berkata, “Ampun Baginda. Aku ternyata telah berpendapat terlalu jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas bencana yang menimpa puterinya.”

Baginda mengangguk-anggukan kepalanya pula. Jawabnya, “Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku adalah seorang ayah pula.”

Permaisuri itu pun kemudian berdiam diri. Namun di kedua belah matana masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami peristiwa yang sama sekali tidak didangka-sangkanya. Bencana yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus memandang segala persoalan dari berbagai segi.

Kenapa hal ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau saja itu terjadi atas orang-orang yang tinggal dipondokan kecil maka tidaklah banyak persoalan yang timbul karenanya. Tetapi puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti oleh setiap mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun diucapkannya.

Yang kemudian berkata adalah Baginda, “Marilah, aku antar kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk smeentara.”

Permaisuri menyembah, kemudian tanpa berkata sepatah katapun segera mereka meninggalkan bilik Baginda kembali ke bilik Permaisuri sendiri. Dimuka pintu Permaisuri melihat emban tadi duduk bersimpuh menungguinya.

Kau masih disini?” bertanya Permaisuri.

Emban itu menyembah sambil menjawab , “Ampun Gusti

Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu. Katanya,  “kenapa kau menangis?.”

Emban itu menundukkan wajahnya, “Hamba Takut Gusti

Apa yang kau takutkan?”

Emban tidak menjawab. Tetapi sesekali ia menyembah dan kepalanya semakin tunduk.

Jangan takut,” berkata Permaisyuri, ”kau tidak bersalah. dan kau tidak berbuat apa-apa

Tetapi emban tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri berganti ganti. Baginda pun kasihan juga melihat emban itu. Tetapi baginda tida berkata apapun.

Setelah permaisuri itu masuk kembali ke dalam biliknya, maka segera Baginda meninggalkan bilik itu. Di muka pintu, baginda berkata kepada emban yang masih bersimpuh di situ, “Kawani Gustimu.”

Hamba Baginda,” sahut emban itu. Tetapi ia tidak berani masuk kedalam bilik karena permaisuri tidak memanggilnya. Karena itu ia masih duduk dimuka pintu. Baru ketika ia terbatuk karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya, “apakah kau masih di muka pintu?”

Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk menemani Gusti.”

Tidurlah,” berkata Permaisyuri itu, ”aku ingin tinggal seorang diri

Barulah emban itu berdiri dan kembali ke biliknya. teapi begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis sejadi-jadinya. Berkali-kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan telah melukainya.

Kenapa kau?,” tanya seorang temannya

Emban itu menggeleng.

Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”

Ah,” desah emban yang sedang menangis itu. Namun lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak…..

Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya apapun lagi. Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan. Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan calon suaminya yang jauh lebih muda daripadanya.

Dalam pada itu Baginda telah berjalan menunju ke Kasatrian. Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat dua orang Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.

Ketika Baginda sampai di pintu samping, dan perlahan-lahan membuka pintu itu, alangkah terkejutnya. Baginda melihat, betapa Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur di atas lantai. Sekali lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati, “Anak itu memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat menimpa dirinya setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia menjalani setiap persoalan betapapun rumitnya dan bahkan hidupnya terancam?”

Baginda menarik nafas. Kekagumannya kepada Karebet menjadi semakin bertambah-tambah. Tetapi meskipun demikian Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda itu mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta merta Baginda menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga berderak-derak keras sekali.

Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang tidur nyenyak itu. Sekali ia meloncat dengan garangnya, dan dalam sekejap ia telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan ketika dilihatnya Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta merta ia menjatuhkan dirinya sampai menyembah. “Ampun Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba sama sekali tidak bermaksud berbuat apapun. Apalagi melawan.

Hampir Baginda tertawa melihat sikap Karebet itu. Tetapi sekali lagi Baginda menahan dirinya. Bahkan dengan tajamnya Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat.

Apakah kau masih akan melawan?” bentak Baginda.

Ampun Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.”

Kenapa kau tidur?”

Hamba tidak ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak dapat hamba kuasai lagi.”

Apakah sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang paling berat?”

Tidak Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman apapun yang akan Baginda jatuhkan.”

Sekali lagi Baginda menarik nafas. Tetapi Baginda tidak berkata-kata lagi. Di luar, terdengar langkah Prabasemi dan dua orang Nara Manggala.

Perlahan-lahan terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka berkatalah Baginda, “Masuklah.”

Pintu itu bergerit perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka, nampaklah Prabasemi berdiri di muka pintu. Ketika tiba-tiba dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba berdesirlah dada Tumenggung Wira Tamtama itu.

Masuklah.” Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada datar.

Dada Prabasemi pun serasa meledak mendengar suara itu. Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan ketika Karebet memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.

Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hatinya. “Apakah Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam ini Baginda memanggil aku untuk menghukum mati?”

Kaki Prabasemi menjadi gemetar. Karebet masih saja memandangnya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika Baginda tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet menundukkan wajahnya.

Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar duduk bersila di hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian menekurkan kepalanya terhujam ke lantai. Detak jantungnya yang berdentang-dentang serasa benar-benar akan memecahkan dadanya.

Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di muka pintu, Baginda berkata, “Tinggalkan Tumenggung Prabasemi di sini.”

Kedua orang itu pun membungkukkan kepalanya dengan takzimnya, dan kemudian meningalkan Kesatrian.

Sesaat Baginda masih berdiam diri. Ditatapnya Tumenggung Prabasemi yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda menjadi heran, kenapa tiba-tiba Tumenggung itu menggigil ketakutan. Karena itu maka berkatalah Baginda, “Apakah kau terkejut, Prabasemi? Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?”

Suara Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas terdengar, “Hamba Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.”

Apa yang tidak kau sangka?”

Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan ketika sekali lagi ia memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet masih saja tersenyum.

Apakah kau menyangka bahwa aku tidak akan memanggil seseorang di malam hari begini?

Ya, ya, Baginda.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya pula, “Kalau aku memanggilmu tidak pada saat-saat yang wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat penting.”

Hamba, Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin gemetar.

Aku tidak memanggil orang lain, karena persoalan ini mau tidak mau pasti akan menyangkut dirimu.”

Kata-kata Baginda itu terdengar ditelinga Prabasemi sebagai suara kentongan yang menyebarkan kabar kematian. Dengan mata merah namun dengan wajah pucat Prabasemi mencoba sekali lagi memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah menundukkan wajahnya. “Gila, Setan, Anak itu benar-benar penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau lusa

Maka berkata Baginda seterusnya, “Nah, Prabasemi. Aku ingin mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan janji, bahwa apabila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka umurmu tidak lebih panjang dari sepemakan sirih.”

Prabasemi telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan wajah tunduk ia menyembah sambil berkata, “ampun baginda.”

Dengarlah,” berkata baginda kemudian, ”apakah kau mengenal anak yang duduk di belakang ini?”

Prabasemi mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti kedinginan, “Hamba, Tuanku.”

Kau kenal namanya?”

Hamba Baginda.”

Siapakah dia dan dari kesatuan apa dia?”

Darah Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia berusaha menjawab, “Ampun Baginda. Namanya Karebet, dari kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.”

Baginda mengangguk anggukkan kepalanya. Namun Baginda menjadi semakin heran melihat sikap Prabasemi. Bahkan Karebetpun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia dapat melupakan nasibnya sendiri.

Prabasemi,” berkata Bagind pula, ”dahulu aku menyerahkan anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku ambil darimu.”

Prabasemi terkejut mendengar kata-kata Baginda yang tidak disangka-sangka itu. Sehingga karenanya ia bahkan menjadi bingung. Sesaat ia menatap wajah Baginda dan sesaat pula ia memandang wajah karebet.

Tumenggung itu baru sadar ketika didengarnya Baginda berkata seterusnya,  “Sejak saat ini, Karebet bukan Wira Tamtama lagi.”

Kembali Prabasemi terkejut. Tetapi Karebet sudah tidak mampu lagi untuk tersenyum. Kepalanya yang lemah itu terkulai tunduk, sedang nafasnya berangsur-angsur menjadi semakin cepat.

Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat menangkap maksud baginda, sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya, “kenapa?.

Baginda mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi menyembah, “Ampun Baginda, maksud hamba, bagaimana perintah Baginda?”

Baginda menarik napas kemudian berkata, “Prabasemi, kau adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa kepercayaan. Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali dengan kau. Karena kau adalah pemimpin langsung dari anak muda yang bernama Karebet. Sedang kepada kakang Patihpun sama sekali aku tidak memberitahukannya. Tetapi sekali lagi dengan janji, apabila seorang mendengar persoalan ini dari mulutmu, maka bagimu akan segera disediakan tiang gantungan.”

Hati Prabasemi yang tinggal semenir itu kini telah berkembang kembali. Sedikit demi sedikit ia dapat mengurai keadaan. Apalagi ketika Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku.”

Tiba-tiba Prabasemi seakan bersorak kegirangan. Inilah soalnya. Jadi bukan dirinyalah yang akan dihadapkan ketiang gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama Karebet itu. Karena itu maka Prabasemi itu kini sudah tidak tidak menggigil lagi. Meskipun demikian ia masih mengumpat-umpat didalam hatinya, “Demit itu masih juga sempat menggangu orang pada saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.” katanya dalam hati.

Dan karena itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata-kata Baginda dengan jawaban yang tak disangka-sangka oleh baginda, ”Ampun Baginda, Sebenarnyalah demikian, Karebet memang mempunyai tabiat kurang baik. Sehingga, karena itulah ia melakukan perbuatan gila. Dengan berbuat demikian, bukankah ia telah menghinakan  tidak saja keluarga Baginda, tetapi justru Adat Demak telah dihinakannya pula. Keberaniannya mencuri hati Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak dapat diampuni.”

Karebet itu pun terkejut mendengar kata-kata pemimpinnya itu, sehingga hatinya menjadi semakin berdear-debar. Tetapi, Bagindalah yang lebih-lebih terkejut lagi. Karena itu, sambil mengerutkan keningnya, Baginda bertanya, “Prabasemi darimana kau tahu dengan pasti kesalahan Karebet atas keluargaku?”

Kini Prabasemilah yang terkejut bukan alang kepalang. Ternyata ia terdorong mengatakan sesuatu yang belum diketahuinya. Karena itu, kembali dadanya berdebar-debar. Sekali ditatapnya Karebet yang tertunduk lesu. Sekali dipandangnya kaki Baginda. Namun akhirnya ia berkata, “Baginda, ampunkan hamba. Sebenarnya Karebet pernah berkata kepada hamba,  memuji-muji puteri baginda. Sesekali ia akan datang kekeputren untuk menemui puteri itu. Namun, ampun baginda, aku sangka Karebet hanya berkelakar dan menghilangkan kejemuannya apabila sedang bertugas dalam gardu penjagaan di luar istana. Karena itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet telah berbuat kesalahan atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat menebak apa yang telah dilakukannya.”

Darah Baginda serasa mendidih mendengar kata-kata Prabasemi itu. Dengan wajah yang merah membara, maka dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak kurang terkejutnya mendengar pengaduan Tumenggung Brabasemi itu. Bahkan hampir saja akan menjawabnya, dan mengatakan apa yang terjadi dengan Tumenggung. Namun kemudian niat itu diurungkannya. Apabila ia tak dapat membuktikannya, maka pa yang dikatakannya itu dianggap tidal lebih dari fitnah belaka. Karena itu, kembali Karebet menundukkan kepalanya. Dicobanya memutar otak mencari jawaban, apabila Baginda bertanya kepadanya tentang kebenaran kata-kata Prabasemi itu.

Dan sebenarnyalah Baginda itupun kemudian bertanya, “Karebet, kau dengar kata Tumenggung Prabasemi?.”

Hamba Baginda” jawab Karebet sambil menyembah.

Apa katamu tentang itu?”

Sebenarnya aku pernah berbuat demikian Baginda.”

Jawaban Karebet itu benar-benar tak disangka-sangka oleh Tumenggung Prabasemi. Ia mengharap Karebet akan membantahnya dan bercerita tentang bermacam-macam persoalan. Dengan demikian Tumenggung itu akan dapat membuat Baginda semakin marah dengan menuduhkan bahwa untuk mengurangi kesalahannya, Karebet telah membuat fitnah. Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan kata-katanya.

Baginda itu pun menjadi heran. Kemarahannya yang telah memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar jawaban itu. Meskipun demikian baginda itu membentaknya, “Kenapa kau berbuat demikan Karebet?.”

Baginda,” jawab Karebet, “ampunkan hamba. Sebenarnya setelah melihat puteri Baginda, hamba menjadi seorang yang tak dapat menilai diri sendiri. Sekali-sekali hamba pernah mempercakapkannya dengan Kiai Tumenggung karena hamba tidak mempunyai orang tua lagi semenjak ibu hamba meningal, setelah ayah Kebo Kenanga meninggal pula. Itulah sebabnya, maka hamba hanya dapat mengadu kepada pimpinan hamba yang hamba anggap ayah bunda hamba. Apalagi, kebiasaan Kiai Tumenggung mirip dengan kebiasaan eyang Pangeran Handayaningrat almarhum. Mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala di lehernya. Itulah sebabnya hamba terlalu percaya kepada Kiai Tumenggung, dan hamba katakan apa yang tersimpan dihati hamba tanpa berprasangka.”

Bohong!,” tiba-tiba Tumenggung Prabasemi memotong Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, disadarinya bahwa di hadapannya Sultan Trenggana sedang duduk mendengarkan kata-kata Karebet itu. Karena itulah, maka dengan gugup Prabasemi menyembah sambil berkata, “Ampun Tuanku.”

Sultan Trenggana mengerutkan alisnya. Ya, sebenarnyalah anak yang diambil dari jalan ini bukanlah anak kebanyakan. Ketika Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan Handayaningrat, betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam pelbagai persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada Karebet yang yatim piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun meskipun demikian, anak itu mampu memiliki kekuatan lahir dan batin yang mengagumkan.

Kini Sultan Trenggana dihadapkan pada suatu masalah yang sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi daerah yang memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet aku ambil kembali. Anak itu akan aku jauhkan dari pusat kerajaan. Aku jauhkan sejauhnya dari istana. Biarlah ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam tugasnya mengawasi bandar Bergota.”

Prabasemi benar-benar terkejut mendengar keputusan itu, seperti juga Karebet yang terkejut bukan kepalang. Karebet yang telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu tiba-tiba merasa dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta ia bertiarap di kaki Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan-akan tidak pernah merasakan sedih dan duka dan kesulitan-kesulitan hidup yang lain, tiba-tiba menangis di bawah kaki Baginda. Bukan karena ia akan hidup lebih lama lagi, namun terasa olehnya, betapa kasih Baginda itu kepadanya.

Karena itu, justru ketika ia merasakan bahwa sebenarnya budi Baginda kepadanya, sejak ia dipungutnya dari tepi-tepi jalan, bukan main besarnya, penyesalannya bertambah-tambah. Ia menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar kepadanya, dan ia menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang sangat besar bagi adat kehidupan Demak.

Berbeda dengan Tumenggung Prabasemi. Tumenggung itupun terkejut bukan buatan mendengar keputusan Baginda. Ternyata Karebet itu sama sekali tidak dihukum mati. Anak itu hanya sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu, maka pada saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet untuk kembali ke Demak masih terbuka. Tetapi kalau anak itu telah terpenggal lehernya, maka ia baru akan dapat tidur nyenyak. Karena itu betapapun ia takut kepada Baginda, dicobanya juga untuk berkata, “Baginda, apakah hukuman itu sudah cukup adil?

Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah pertimbanganmu Prabasemi?”

Baginda, hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya adalah hukuman mati.”

Karebet yang sudah duduk kembali itupun memandang Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat memahami perasaan Tumenggung itu. Tetapi Karebet sama sekali tidak dapat mengatakan apakah yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Tumenggung itu. Karena itu, yang dapat dilakukan hanyalah mengumpat didalam hatinya.

Tetapi ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat Prabasemi. Dengan penuh pertimbangan Baginda berkata, “Prabasemi. Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang kawula dan seorang raja. Seorang prajurit dan seorang Panglima. Aku sependapat dengan kau, bahwa setiap pengkhianat harus dihukum matiTetapi Karebet tidak berkhianat. Ia hanya sekedar melakukan hubungan yang wajar antara seorang pria dengan wanita. Tetapi caranyalah yang sama sekali tidak wajar. Karena itu maka menjauhkan Karebet dari istana, akan berarti menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk kedua kalinya. Dan apabila ternyata dengan segala cara maka pengampunan kali ini diabaikan, maka aku tidak akan memberinya ampun untuk kedua kalinya.”

Prabasemi itu mengerutkan keningnya. Tampaklah betapa ia tidak senang mendengar keputusan Baginda. Karena itu sekali lagi diberanikan dirinya berkata, “Baginda. Janganlah menjadi contoh yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama. Hamba akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya, bahwa seorang prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh bagi para prajurit yang lain.”

Peristiwa ini tak akan dapat dijadikan contoh dalam bentuk apapun, Prabasemi. Aku tidak mau, seorang pun mengetahui apa yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan alasan yang kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang sebenarnya aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.”

Prabasemi itu menggigit bibirnya. Ketika sekali terpandang mata Karebet itu menatapnya, maka kemarahan Prabasemi tak dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk kepada anak muda itu sambil menggeram. “He, Karebet. Terkutuklah kau sampai anak cucumu.

Karebet tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu, maka yang paling baik baginya adalah berdiam diri.

Bilik itu kemudian dicengkam oleh kesenyapan. Kesenyapan yang menggelisahkan. Baginda itu ternyata sekali lagi harus berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia sama sekali tak mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi cemas, jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk melakukannya.

Ketika Baginda sedang berpikir, maka Prabasemi berpikir pula. Namun agaknya Baginda tidak akan dapat memenuhi permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu Prabasemi sedang mencari cara lain yang sama sekali tak akan mudah diketahui. Tetapi betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu, bahwa sebenarnyalah Baginda sangat sayang kepada Karebet.

Tiba-tiba Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu, maka sekali ia menyembah kepada Baginda, lalu katanya, “Baginda. Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada permohonan yang paling keras untuk menghukum mati Karebet. Namun terdorong karena luapan perasaan, setelah hamba mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat itulah yang telah mendorong hamba untuk tidak ingin melihatnya lagi dalam lingkungan keprajuritan. Sehingga meskipun Karebet itu tidak dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak lagi mendapat kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali ke istana. Dengan menempatkan anak itu pada kakang Palindih, maka kesempatan masih terbuka setiap kali baginya untuk mendapatkan kedudukan kembali dalam lingkungan keprajuritan, untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri telah mendapat tempat yang selayaknya bagi seorang putri.”

Baginda tidak segera menjawab kata-kata Prabasemi. Namun Baginda melihat banyak persoalan yang dapat terjadi. Baginda melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung atas perbuatan Karebet itu. Namun Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam dada Tumenggung yang garang itu tersimpan pikiran-pikiran yang gila pula. Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa Prabasemi mempunyai maksud-maksud yang tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan oleh Karebet. Namun agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain daripada yang pernah ditempuh oleh anak muda yang aneh itu.

Setelah Baginda menimbang beberapa saat, akhirnya Baginda membenarkan permohonan Prabasemi itu. Baginda mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik Permaisuri sebagai ibu putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung Karebet, yang dapat dianggapnya orang tuanya, bersama-sama tidak menghendaki anak itu lagi. Tidak menghendaki Karebet tampak di antara kawula Demak. Namun untuk membunuhnya, Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak itu sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang masjid, namun anak itu mempunyai beberapa tanda-tanda keanehan di dalam dirinya. Dan bagaimanapun juga, Baginda tidak dapat menutup kenyataan bahwa anak itu adalah cucu Pangeran Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat.

Mudah-mudahan mereka kelak dapat melupakan kesalahan itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat menyadarkan anak itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan. Sebab sebenarnya Demak memerlukan orang-orang yang memiliki kelebihan daripada orang-orang kebanyakan. Dan benarlah kata-kata Prabasemi, bahwa kelak dapat diambil kebijaksanaan lain apabila putrinya telah mendapatkan tempat yang wajar bagi seorang putri raja.

Karena itulah maka akhirnya Baginda berkata, “Karebet, apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari pemimpinmu?

Karebet menyembah sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, betapa ia menjadi tidak senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi bertambah-tambah. Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab tak ada bukti apapun yang dapat diajukannya apabila ia ingin menceriterakan tentang maksud-maksud Tumenggung yang licik itu.

Nah, Karebet. Segala keputusan adalah keputusanku. Bukan orang lain. Juga keputusan tentang dirimu kali ini, adalah tanggung jawabku. Ternyata ada beberapa pertimbangan baru tentang dirimu. Kalau semula aku ingin menyerahkan kau kepada Kakang Palindih, maka hal itu masih mendapat pertimbangan-pertimbangan lain. Kini aku telah menentukan sikapku sebagai suatu keputusan. Kau sejak saat ini bukan anggota Wira Tamtama lagi. Dan kau sejak ini bukan keluarga dalam lingkungan keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan apapun. Kau harus pergi meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan dirimu lagi sampai keputusan ini aku cabut.”

Dada Karebet berdesir mendengar keputusan itu. Sekali lagi ia menyembah jauh di bawah kaki Baginda. Alangkah sakit perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak semula ia mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan keprajuritan dan disisihkan dari Demak adalah hukuman yang terlampau berat. Tetapi ketika disadarinya bahwa kesalahannya terlampau berat, maka Karebet pun kemudian mencoba menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan dipaksanya untuk menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman.

Dan Karebet pun kemudian menerima setiap keputusan Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia tidak dapat melupakan Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak mempunyai maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu bernafsu untuk menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti membiarkannya untuk pergi ke Bergota. Tetapi segala kemungkinan kini telah tertutup. Baginda telah menjatuhkan keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan sekadar pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan yang diucapkan.

Mendengar keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya, seakan-akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam perasaannya.

“Karebet…” kata Baginda kemudian, “Keputusan itu berlaku sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”

Ampun Baginda,” sela Prabasemi, “Keputusan Baginda itu berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit yang melihat Karebet, harus mengusirnya.

Baginda mengerutkan keningnya. “Alangkah dalam dendam Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda. “Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat keras.”

Namun Baginda menjawab, “Apakah alasan yang dapat aku berikan untuk perintah itu?

Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya, “Ampun Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama. Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya, ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga karenanya orang baru itu terbunuh.”

Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.

Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya, ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan, bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang berharga bagi Demak.

Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi semakin kalut, maka berkatalah Baginda, “Nah, Karebet. Saat ini pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain mengetahui keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila masih ada tanda kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku tidak usah berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang jauh lebih berat dari hukuman mati.”

Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu berkata, “Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”

Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda, “Baik. Aku harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”

Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata, “Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.

Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata, “Ampun Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di perbatasan.”

Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jangan seorang pun tahu apa yang telah terjadi.”

Tidak Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”

Baginda tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda. “Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?

Hamba Baginda,” jawab Prabasemi. “Sebab apabila tidak demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah kawan-kawannya di dalam kota.”

Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kata Baginda, “Terserahlah kepadamu Prabasemi.”

Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah sekali lagi ia berkata, “Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat sekarang sebelum fajar.”

Pergilah,” sahut Baginda.

Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata, “Ayolah Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan bagimu.”

———-oOo———-

 

 

III

Karebet sama sekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk. Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya.

Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya, “Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?

Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab singkat, “Sudah.”

Apakah yang terjadi?”

Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi.

Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata, “Kaki Baginda terkilir.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga itu berkata, “Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”

Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet, “Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah Baginda timpang.”

Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati. Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek seperti orang banci.

Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka Tumenggung itu membentak, “Ikut aku!”

Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi, maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman dalam istana itu.

Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan angkuhnya, “Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?”

Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Ki, apakah aku tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?

Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apa sajakah milikmu itu?

Pakaian, Ki.”

Itu saja?”

Ya.”

Biarlah aku tukar dengan uang.”

Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”

Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata, “Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.

Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam pondoknya Prabasemi berkata, “Aku ikut. Dan jangan berkata kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”

Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam biliknya.

Sebenarnya Karebet sama sekali tidak sayang pada beberapa lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk pulang lebih dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat.

Demikianlah setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar pakaian.

Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian keprajuritan.

Tidak, Kiai,” jawab Karebet. “Pakaianku aku tinggal di sangkutan pada dinding bilikku.

Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.

Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet berkata, “Aku telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat menyelesaikan persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu aku serahkan semua itu kepada Kiai.

Prabasemi tersenyum. “Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu aku selesaikan.

Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan. “Aku akan menuju ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.

Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,” jawab Prabasemi sambil tertawa.

Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan dengan kepala tunduk.

Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya. Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.

Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat. Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.

“Hem,” desis Prabasemi kemudian, “Hampir fajar.”

Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan dipandangnya langit yang kelam. “Masih cukup lama,” katanya di dalam hati.

Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat, tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa jenis harimau kecil.

Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet, “Marilah aku antar kau sampai ke hutan itu.”

Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kenapa sampai ke hutan itu?

Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi, “Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”

Ah,” desah Karebet. “Tak ada binatang buas yang berbahaya di hutan itu.

Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali” sahut Prabasemi sambil tertawa.

Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi itu berjalan di sampingnya.

Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri. Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya sehingga sampai ke hutan itu.

Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu mereka masih berjalan terus menyusuri jalan-jalan kecil di antara sawah yang terbentang. Di antara batang-batang padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang tertiup angin basah dari pegunungan.

Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu, Karebet,” kata Prabasemi.

Karebet masih berdiam diri.

Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”

Kini Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam diri.

Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.”

Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.

Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Pahit, memang pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa yang telah terjadi di Kaputren.”

Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu.

Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya, “Aku telah lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku sedang menunggu kesempatan untuk berbuat seperti sekarang ini.”

Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri. Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus. “Dan sekarang kasempatan itu datang juga.”

Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.

Karebet” berkata Tumenggung itu, “Sejak aku mengetahui hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”

Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya. Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang tersimpan didalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus “Karebet, selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu. Aku telah berusaha dengan susah payah untuk menebus kepahitan yang pernah aku alami. Dan sekarang, datanglah giliranku untuk menikmati keindahan wajah putri itu setelah berbulan-bulan aku hampir menjadi gila karenanya”.

Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi Tumenggung itu hanya berkata, “Sekarang kau harus menerima kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”

Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum-senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi semakin muak kepadanya.

Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan merajai langit di malam hari.

Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat beberapa jenis binatang buas.”

Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi, sehingga ia menjawab. “Ya Tumenggung, aku tahu”.

Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang berbahaya sama sekali”.

Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu. Berkata Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih berbahaya lagi daripada mereka itu”.

Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus. “Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah, ketahuilah bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan kesempatan itu sama sekali. Kau dengar?”

Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar.

Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata, “Karebet, kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia perasaanku disamping seorang emban yang telah aku suap untuk memata-matai putri. Dari emban itu pula aku mengetahui segala-galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda”.

Kini tubuh Karebet benar-benar menggigil. Sedang Tumenggung Prabasemi masih berkata, “Selama kau masih hidup Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau untuk kembali ke istana, dan memungkinkan kau berceritera tentang aku. Karena itu, malang benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan mengantarmu sampai ke luar kota. Agaknya betapa besar dosamu, namun Baginda masih juga sayang kepada nyawamu. Sehingga kau masih akan diberi kesempatan untuk pergi ke Bergota. Tetapi dengan demikian Karebet, aku benar-benar tak akan mendapat kesempatan seperti ini. Tetapi sekarang kau bukan apa-apa lagi. Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan oleh serigala, maka Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?

Wajah Karebet tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun terdengar suaranya gemetar. “Tetapi apakah dengan demikian Ki Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?

Melanggar atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan mengetahuinya.”

Tetapi apakah Kiai Tumenggung berhak berbuat demikian? Baginda telah memutuskan, bahwa aku dibebaskan dari hukuman mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung akan berbuat melampaui putusan Baginda?

Tumenggung Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian senangnya melihat Karebet gemetar. Karena itu katanya, “Karena itu. Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung Prabasemi. Aku tidak peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh Baginda. Aku akan berbuat dalam tanggungjawabku. Dan Baginda tidak akan mengetahui, apa yang telah aku lakukan.

Tetapi lambat laun Baginda akan mendengarnya juga. Malam ini aku pergi bersama Kiai Tumenggung. Kalau kemudian aku mati, maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.”

Tak seorang pun akan menemukan mayatmu. Mayatmu besok sebelum fajar sudah akan habis menjadi makanan serigala. Dan kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang pasti hanya menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman itu.”

Karebet kini tidak dapat berkaka apapun lagi. Tetapi tubuhnya benar-benar gemetar seperti kedinginan. Bahkan kadang-kadang terdengar giginya gemeretak. Sedangkan Tumenggung Prabasemi masih juga tertawa dan berkata, “Jangan menyesal saat ini. Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu keputusan, melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang mengubah rencanaku itu. Meskipun demikian aku bukan seorang yang kejam. Karena itu aku beri kesempatan kau memilih cara yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu. Ketahuilah Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang katakanlah, manakah yang harus aku pukul supaya kau…”

Diam!” Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak lantang.

Tumenggung Prabasemi terkejut sehingga kata-katanya terputus. Kini ia tidak tertawa lagi. Ditatapnya tubuh Karebet yang gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah sangka. Karebet sama sekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda itu gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat darahnya. Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru mulutnya jadi terbungkam.

Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani membentak aku? Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu. Cara untuk membunuh seseorang ada beberapa macam. Jangan memilih yang paling mengerikan yang dapat aku lakukan.”

Dada Karebet seakan-akan terguncang-guncang mendengar kata-kata Tumenggung Prabasemi itu. Hampir-hampir saja ia tidak dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Tiba-tiba ia menyadari kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya sebelum ia menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa tidak ada suatu apapun yang mengikatnya. Tak ada ikatan hubungan apapun lagi antara dirinya dengan Tumenggung itu, bahkan antara dirinya dengan tatacara Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat kepuasan yang membayang di wajah Tumenggung Prabasemi, anak muda itu menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya, dan bahkan kini seakan-akan anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain-main. Karena itu tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh.

Betapa Tumenggung Prabasemi terkejut melihat Karebet itu tersenyum, sehingga dengan serta merta ia berteriak, ”Setan. Kau sangka aku bermain-main?”

Tidak Prabasemi,” jawab Karebet, ”aku tidak menyangka engkau sedang bermain-main

He, apa katamu?, kau hanya njangkar saja menyebut namaku?

Karebet itu kini tidak hanya sekedar tersenyum. Penyakitnya benar-benar telah kambuh. Karena itu ia tertawa tergelak-gelak, sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi sedemikian herannya. “Apakah anak ini menjadi gila karena ketakutan?” katanya didalam hati. Namun ternyata jawaban Karebet meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila.

Berkata anak muda itu, “Prabasemi. Aku kini telah menjalani hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama lagi. Apabila demikian, apakah hubunganku dengan Prabasemi? Aku menyebutmu Tumenggung, Kiai Tumenggung, karena aku berada dibawah pimpinanmu. Tetapi, sekarang aku bukan lagi orangmumu. Sehingga antara Karebet dan Prabasemi tidak ada lagi tataran yang mengharuskan aku menghormatimu. Kalau kau sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak memanggilmu tanpa sebutan apapun. Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi. Prabasemi, kau dengar?

Setan,” geram Prabasemi. Kini ia tidak saja lagi dipenuhi dendam didalam dadanya, tetapi kemarahannyapun telah melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata, “He Karebet, apakah kau sudah benar-benar menjadi gila. Sudah kukatakan kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan kepadamu untuk memilih cara yang sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau menumbuhkan kemarahanku, sehingga kesempatan itu aku cabut kembali. Sekarang dengarlah, aku akan membunuhmu seperti saat aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau ingat? jangan melawan, supaya aku tidak menjadi marah.

Betapapun juga, bulu roma Karebet meremang. Prabasemi pernah membunuh Bahu dari Tunggul dengan cara mengerikan karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu memberontak terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu dipergunakannya sebagai contoh bagi mereka yang memberontak terhadap raja. Dibunuhnya Bahu dengan cara yang mengerikan. Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri setelah diikat pada sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah itu.

Prabasemi melihat perubahan di wajah Karebet. karena itu timbul kegembiraannya. Katanya, “Aku dapat berbuat lebih daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba mengandalkan kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau bertempur dalam setiap pertempuran. Namun pertempuran-pertempuran  yang pernah kau alami adalah pertempuran-pertempuran kecil tak berarti. Karena itu jangan berbangga hati karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan Tumenggung Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa Tumenggung Prabsemi adalah seorang tumenggung yang ditakuti.”

Namun kembali Prabasemi terkejut. Tiba-tiba Karebet itu tertawa kembali sambil berkata, ”Prabasemi. Jangan membual. Kau memang sedang memilih cara kematian yang sebaik-baiknya. Sedang yang paling baik bagiku adalah bukan mati. Tetapi, aku lebih senang hidup mengembara dan berburu binatang. Apakah kau ingin ikut aku? Nanti kau akan aku perkenalkan dengan sahabat-sahabatku. Kau pernah mengenal nama Mahesa Jenar?”

Tutup mulutmu!,” bentak Prabasemi yang kembali kemarahannya memuncak. Kini ia benar-benar telah kehilangan kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil menggeram, “Kau benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu sebelum ajalmu tiba.

Bapak ibuku telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya, ia tidak akan dapat bangkit dari kuburnya.”

Gila!,” teriak Prabasemi. Matanya benar-benar telah menyalakan hatinya. Dan tiba-tiba ia berteriak,  “Mampus kau anak gila.

Prabasemi itu menconcat dengan garangnya menyerang Karebet langsung mengarah kedadanya. Prabasemi benar-benar ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya. Karebet benar-benar akan dibunuhnya dengan cara yang pernah dilakukannya itu.

Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak dengan lincahnya. Dengan sekali menggeliat ia telah berhasil membebaskan dirinya dari serangan Prabasemi. Bahkan ia sempat berkata, “Kiai Tumenggung, bukankah Kiai Tumenggung pernah memberi aku nasehat, sebagai seorang Wira Tamtama seharusnya pantang menyerah. Sekali ia maju bertempur, maka ia akan maju terus. Hanya kematianlah yang dapat menghentikan gerak maju itu. Dan bukankah kini aku sedang memenuhi nasehat Kiai Tumenggung itu untuk melawan Prabasemi.

Tutup mulutmu,” teriak Prabasemi, ”atau aku harus menyobeknya.

Terserahlah, bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau kau ingin.”

Anak Setan,” geram Prabasemi. Sedang kemudian serangan yang keduapun telah melucur dengan cepatnya. Sebuah tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun sekali ini Karebet cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat-sifatnya yang aneh kini telah menguasai otaknya, sehingga betapapun ia terkejut mengalami serangan yang sedemikian cepatnya, namun sempat juga ia berkata, “Prabasemi, kita bertempur untuk satu taruhan yang ternilai harganya. Kalau aku mati, kau akan menjadi menantu Sultan Trenggana. Sedangkan kalau kau yang mati, maka aku akan mendapatkan dua kesempatan. Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan mendapatkan puteri yang cantik itu. Bukankah begitu? Tetapi bagaimanapun juga Prabasemi, ternyata kau gila juga seperti aku. Dan ingatlah apabila puteri itu kelak menjadi isterimu dan kau diangkat menjadi adipati, kesempatan yang pertama menerima hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang dipungut Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.

Tutup mulutmu,” Prabasemi berteriak keras keras. Dan suaranya bergemna bersahut-sahutan didalam rimba itu. Meskipun demikian, Tumenggung yang garang itu terkejut bukan kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini benar-benar tangkas. Sehingga ia mampu mengelakserangannya sampai dua kali tanpa tersentuh sama sekali. Karena itu kemarahan Tumenggung semakin menyala-nyala seakan membakar dadanya. Dengan gigi gemeretak, sekali lagi dikerahkannya tenaganya untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya, seperti burung Rajawali yang menyambar mangsanya.

Karebet mengerutkan keningnya. Serangan ini benar-benar berbahaya. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat tertawa-tawa lagi. Kini dipusatkannya perhatiannya kepada perkelahian itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya yang mampu bergerak sedemikian cepatnya. Namun Karebet itu pun mampu mengimbanginya. Sambaran-sambaran burung Rajawali dapat dielakkannya, dan bahkan kini serangan-serangannya pun datang pula seperti badai diudara yang dengan dahsyatnya melanda burung rajawali yang merasa dirinya raja dari seluruh langit itu.

Demikianlah pertempuran itu menjadi sangat serunya. Masing-masing adalah prajurit Wira Tamtama yang pantang surut. Masing-masing memiliki bekal yang cukup dahsyat. Karena itu daerah sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran. Daun-daun bergerak berputaran dan daun-daun kering berguguran ditanah. Ranting ranting yang tersambar tangan mereka berderak-derak patah berserakan. Tanah di sekitar mereka seakan-akan telah dibajak, dan tumbuh-tumbuhan perdu dan batang-batang kecil telah roboh terinjak-injak kaki mereka.

Perkelahianpun semakin lama menjadi semakin seru. Masing-masing menjadi kagum akan keprigelan lawannya. Lebih-lebih Prabasemi. Ia telah pernah mendengar dan melihat sendiri beberapa kelebihan Karenet dari kawan-kawannya prajurit-prajurit Wira Tamtama yang lain. Namun tidak disangkanya anak itu mampu melawannya sampai beberapa lama dalam tingkatan yang sejajar. Karena itu maka Tumenggung itu benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Yang ada didalam otaknya adalah membunuh. Karebet harus dibunuh dengan cara apapun.

Sedang Karebet pun sebenarnya mengagumi pula ketangkasan Prabasemi. Tumenggung yang masih cukup muda, meskipun agak lebih tua daripadanya. Namun ketangkasannya telah sedemikian tingginya, sehingga karena itulah maka sepantasnya bahwa Prabasemi cepat menanjak ketempatnya yang sekarang. Namun sayang, Tumenggung sakti ini mempunyai sifat-sifat yang kurang pada tempatnya. Tumenggung itu terlalu kejam dalam hampir segala tindakan yang diambilnya. Terlalu bernafsukan harga diri dan kebanggaan atas tingkatan-tingakatn yang pernah dicapainya. Apalagi kini ia menjadi semakin gila lagi dengan harapan yang tumbuh didalam dirinya tentang puteri Sultan Trenggana.

Tetapi kemudian Karebet pun berkata didalam hatinya kepada dirinya sendiri, “Apakah aku juga tidak gila seperti Tumenggung itu?

Karebet itu tersenyum. Tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap seperti awan disapu angin ketika serangan Prabasemi hampir mematahkan lengannya. Sebuah pukulan gebangan yang dahsyat mengarah ke pergelangannya. Untunglah cepat ia menyadari keadaannya sehingga ia masih sempat menarik tangannya itu bahkan ia masih mampu berputar diatas tumitnya dan dengan tumit yang lain menyambar perut Prabasemi. Tetapi Prabasemi tidak membiarkan perutnya menjadi sakit. Cepat ia menggeliat, dan kaki Karebet lewat beberapa jari dari perutnya yang buncit.

Perkelahian itu berjalan semakin sengit. Prabasemi benar-benar sudah sampai puncak kemarahannya dan Karebetpun melayani dengan sepenuh tenaga.

Tetapi kemudian ternyata bahwa keadaan mereka agak berbeda. Prabasemi adalah seorang Tumenggung yang menjadi seorang sakti karena ketekunannya berlatih. Kedahsyatannya tumbuh didalam ruang latihan dalam keadaan yang cukup baik. Namun Karebet adalah seorang yang aneh. Ia tidak pernah berlatih secara teratur, namun ia tidak kalah tekunnya dari Prabasemi. Namun karebet adalah seorang yang anak gembala dan sekaligus seorang perantau. Tubuhnya seakan-akan ditempa sekitarnya. Panas dingin dan segala macam pekerjaan yang harus dilakukannya. Berkelahi dengan penjahat dan berjuang melindungi kawan gembala dari segala sergapan para pencuri ternak. Pengalaman yang diperolehnya di Karang Tumaritis bersama pamannya dan kemudian Arya Salaka, disamping Endang Widuri. Semuanya itu telah menempa tubuh Karebet menjadi sekeras tembaga, tulang-tulangnya sekeras besi dan otot-ototnya seliat jalur baja.

Itulah sebabnya semakin lama pertempuran itu menjadi semakin nyata, bahwa tidak saja kelincahan dan kecepatan bergerak, namun ketahanan jasmaninyapun Prabasemi tidak dapat menyamai Karebet.

Prabasemi pun akhirnya merasakan keadaan itu pula. Karena itu, betapapun betapapun jantungnya bergejolak dengan dahsyat. Kemarahannya yang telah memuncak itu benar-benar telah membakar darahnya sehingga seakan-akan mendidih. Telah dikerahkan segenap tenaga dan kecepatannya untuk mengalahkan lawannya, namun Karebet ternyata memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Karena itu, sekali-sekali terdengar Prabasemi menggeram. Ia kini benar-benar menghadapi keadaan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.

Karena itu setelah ia yakin bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan perkelahian itu dengan ilmunya yang terakhir. Sebenarnya malu juga Tumenggung Prabasemi itu. Melawan anak-anak yang selama ini menjadi reh-rehannya, masih harus menggunakan ilmu simpanan yang jarang-jarang sekali dipergunakannya. Namun ia tidak mempunyai jalan lain daripada itu. Ilmu itu adalah ilmu gerak yang luar biasa. Ilmu yang dinamai oleh gurunya Aji Sapu Angin. Sebenarnyalah apabila ilmu itu dipergunakannya, maka gerak Prabasemi benar-benar seperti menghalau angin.

Demikianlah ketika tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan untuk menebus kepahitan yang telah ditimbulkan oleh Karebet itu atasnya, serta tuntutan dendam yang membara di dalam dadanya, maka Prabasemi itu pun segera meloncat mundur. Secepat kilat ditrapkannya ilmu gerak itu, Aji Sapu Angin. Dijulurkannya kedua tangannya kedepan kemudian dengan gerakan menyentak, kedua lututnya ditarik serta ditekuknya. Kedua tangannya mengepal dan menelentang dilambungnya. Itulah pertanda, gerakan-gerakan pertama dari unsur Aji Sapu Angin.

Karebet terkejut melihat sikap itu. Tetapi ia segera menyadari bahwa lawannya pasti mempergunakan ilmu tertingginya. Tetapi setelah bertempur beberapa lama melawan Prabasemi, sedang tenaganya seakan tidak berkurang, tahulah Karebet sampai dimana tingkat ilmu Tumenggung itu. Betapapun ia kagum akan kecepatan bergerak serta tenaganya, namun ternyata masih belum dapat menyamainya. Karena itu, ketika ia melihat Tumenggung Prabasemi mempergunakan ajinya, maka Karebet tidak perlu tergesa-gesa mempergunakan aji Rog-Rog Asem. Yang kini dipergunakannya adalah ilmu pertahanannya yang sudah jarang-jarang dimiliki oleh seseorang. Lembu Sekilan. Bahkan dalam pada itu, masih sempat juga Karebet berkata, “Ait apakah kira-kira yang akan kau lakukan Prabasemi? Agaknya kau telah terpaksa menggunakan aji pamungkasmu?.

Mampus kau,” bentak Prabasemi dengan marahnya. Tubuhnya melontar seperti tatit menyambar Karebet.

Karebet terkejut melihat gerak itu, namun gerak itu terlalu cepat baginya. Itulah Aji Sapu Angin sehingga kali ini Karebet benar benar tak mampu menghindari. Karena itulah maka serangan Prabasemi kali ini tepat mengenai dada kiri Karebet. Sambaran tangan Prabasemi yang dilambari ilmu gerak itu benar-benar terasa menghentak tulang iga, sehingga karena itulah maka Karebet terdorong beberapa langkah.

Ketika Prabasemi merasakan sentuhan tangannya itu, serta melihat bahwa Karebet benar-benar tak mampu menghindari serangannya yang dilontarkan dalam lambaran ajinya itu, maka terdengar Prabasemi itu berteriak, “Tataplah langit, peluklah bumi, Karebet. Jangan rindukan lagi matahari esok pagi.”

Tetapi alangkah terkejutnya Tumenggung Wira Tamtama itu, ketika ia melihat Karebet terlempar beberapa langkah surut, terbanting ditanah dan berguling beberapa kali. Namun kemudian dengan tangkas melenting berdiri diatas kedua kakinya yang meregang. Sekali ia menyeringai, namun kemudian terdengar tertawa lirih. Katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Hem, alangkah dahsyatnya ilmumu Prabasemi, apa namanya?.”

Prabasemi menggigil karena marahnya. Giginya beradu sehingga hampir-hampir menjadi patah. Betapa ia melihat Karebet masih tegak berdiri dengan mulut tertawa.

Anak setan, gendruwo, tetekan,” Tumenggung itu mengumpat tak habis-habisnya.

Karebet masih berada ditempatnya. Diantara suara tertawanya terdengar ia berkata, “Alangkah dahsyatnya ilmumu itu. Kalau tidak, maka ia tidak akan mampu menembus Aji Lembu Sekilan.

Lembu Sekilan?,” tanpa sesadarnya Prabasemi itu mengulangi. Berbagai perasaan berputar-putar di dalam lenaknya. “Lembu Sekilan?,” berkali-kali Tumenggung itu mengulangi didalam hatinya. Hampir-hampir ia tidak percaya. Tetapi, ia mengalaminya sendiri. Sentuhan ajinya yang selama ini dibanggakan, ternyata tidak mampu menembus pertahanan Lembu Sekilan. Ajinya hanya mampu mendorongnya jatuh, namun anak itu tetap segar. Bahkan masih tertawa lirih memandanginya dengan tenangnya.

Karebet masih berdiri di tempatnya. Ketika ia melihat Tumenggung itu menjadi tegang, maka katanya, “apakah kau sudah siap untuk membunuhku dengan cara yang sama seperti kau membunuh Bahu dari Tunggul?.

Prabasemi memggeram. Alangkah panas hatinya mendengar ejekan itu. Karena itu, dengan suara gemetar ia menjawab, “aku akan melakukannya lebih daripada itu!.

Bagaimana kalau sebaliknya?” balas Karebet.

Dada Prabasemi hampir meledak karenanya. Karena itu maka sekali lagi ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Dengan cepatnya ia meloncat, melontarkan sebuah pukulan yang dahsyat ke arah wajah Karebet. Kali ini pun Karebet kalah cepat dari Aji Sapu Angin, sehingga sekali lagi ia terdorong surut beberapa langkah, namun ia tidak lagi terbanting jatuh.

Meskipun demikian wajahnya terasa panas dan kepalanya sedikit pening. Karena itu ia mengumpat dalam hatinya, “Gila juga Aji orang ini.”

Namun Prabasemi ternyata tidak memberinya kesempatan. Sekali lagi ia meloncat, dan serangannya kini mengarah ke perut Karebet. Karebet yang percaya benar kepada aji Lembu Sekilannya segera memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu. Kali ini Karebet benar benar telah dapat menguasai keseimbangan antara kekuatan lawannya dan kemampuan Ajinya. Akibatnya sekalipun serangan Prabasemi membenturnya namun Karebet tidak lagi terdorong karenanya. Bahkan kemudian anak muda aneh itu melawan sejadi-jadinya. Dikerahkannya segenap kemampuan yang setinggi-tingginya. Namun ia sama sekali belum mempergunakan Aji Rog-Rog Asemnya.

Meskipun demikian ternyata Karebet tidak segera dapat dikuasai lawannya. Meskipun serangan-serangan Karebet tidak begitu berbahaya dalam benturan dengan ajian lawannya, namun karena Lembu Sekilan, maka Karebet tidak merasakan bahwa lawan telah mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya, bahkan sudah sampai pada tahap ilmu yang terakhir.

Prabasemi semakin lama semakin cemas dan bingung. Benar-benar tak disangka-sangkanya bahwa Karebet memiliki kemampuan sedemikian tingginya. Semula disangkanya bahwa lurah Wira Tamtama muda ini tidak lebih ataupun tidak jauh terpaut dari kawan-kawannya. Tetapi Karebet benar-benar seperti anak setan.

Karebet itu pun semakin lama semakin menyadari akan kemampuannya. Betapapun Prabasemi mengerahkan Aji Sapu Angin, namun Lembu Sekilan masih mampu mengatasinya sehingga dengan demikian maka seakan-akan Prabasemi sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Meskipun ajinya juga mampu mengurangi tekanan tangan Karebet yang menyentuh tubuhnya, namun sebenarnya terasa oleh Prabasemi, bahwa Karebet telah mampu melampauinya.

———-oOo———-

 

IV

Tetapi semuanya sudah terlanjur. Ia tidak dapat menarik lagi ucapannya. Ia sudah berkata bahwa ia akan membunuh Karebet itu. Ia sudah berkata bahwa apapun yang terjadi, maka maksudnya itu tak akan diurungkan. Dan anak muda itu pun telah berkata bahwa mereka kini sedang berkelahi untuk satu taruhan.

Karena itu, maka tidak ada satu pun jalan untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Dan terbayanglah di wajah Tumenggung, bahwa saat-saat terakhirnya telah tiba. Ia sama sekali tidak akan dapat membunuh Karebet itu, tetapi ia pasti bahwa Karebet akan mampu membunuhnya.

Prabasemi bukanlah seorang penakut. Ia adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama, yang sudah berpuluh kali berjuang melawan maut. Telah berpuluh kali ia membunuh lawannya, dan bahwa suatu ketika salah seorang lawannya akan membunuhnya, benar-benar sudah diramalkannya. Karena itu, apabila ia kali ini mati dalam perkelahian, maka ia tidak akan menjadi gentar. Meskipun demikian, ada juga suatu yang bergetar di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak takut mati. Namun mati karena anak muda yang aneh itu rasa-rasanya tidak senang juga. Walaupun demikian, Prabasemi harus menyadari keadaannya.

Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin seru pula. Aji Sapu Angin adalah Aji yang cukup dahsyat, sehingga apabila Aji itu menyentuh dahan-dahan kayu di sekitar perkelahian itu maka terdengarlah suaranya berderak-derak patah. Pohon-pohon muda dan cabang-cabang pepohonan. Karena itu, maka di daerah perkelahian itu seakan-akan telah tertiup angin prahara yang menggoncangkan pepohonan serta menggugurkan pepohonan serta menggugurkan daun-daunnya.

Apabila pertempuran itu terjadi di siang hari, maka dari kejauhan akan nampaklah daun-daun yang berguncang-guncang dan akan tampak pulalah dahan-dahan yang patah berhamburan, karena kedahsyatan Aji Sapu Angin.

Tetapi karena Aji Sapu Angin itu tidak mampu menembus sampai keintinya Aji Lembu Sekilan, maka kesempatan Karebet untuk mengenai lawannya, jauh lebih banyak dari Prabasemi. Berkali-kali Prabasemi terpaksa menyeringai kesakitan dan berkali-kali ia terpaksa menyeringai pula karena kekecewaan. Serangannya telah benar-benar mengenai sasarannya, tetapi Karebet seolah-olah telah menjadi kebal.

Namun kemudian ternyata, betapa dahsyatnya Aji Sapu Angin itu, tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan jasmaniah Tumenggung Prabasemi itu terbatas. Setelah ia memeras tenaganya dalam kekuatan Aji Sapi Angin, maka terasalah getaran-getaran ilmu di dalam dadanya menjadi susut. Sejalan pula dengan itu, maka kegarangan Tumenggung Wira Tamtama itu menjadi susut pula.

Baik Prabasemi sendiri, maupun Karebet, segera melihat apa yang sebenarnya terjadi. Prabasemi kemudian merasa peluh dingin memancar dari segenap tubuhnya, bukan karena ia takut mati, tetapi sebenarnya ia menjadi sangat malu atas kekalahannya itu. Kekalahan yang tak pernah dibayangkannya. Kekalahan dari seorang anak yang lebih muda daripadanya dan reh-rehannya pula dalam keprajuritan. Anak itu tidak lebih dari seorang lurah Wira Tamtama.

Apa boleh buat” desisnya, “Kalau mungkin, biarlah kita mati bersama”, katanya dalam hati.

Kini Karebet mendapat kesempatan lebih banyak lagi dari beberapa saat sebelumnya. Dan ternyata pula, karena kemuakannya atas Tumenggung itu, maka kesempatan itu pun dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan lincahnya ia bergerak-gerak menyerang dengan dahsyatnya. Tangannya yang sepasang itu bergerak-gerak dari segenap arah, menyerang hampir ke setiap permukaan tubuh Prabasemi. Dan terasalah ujung tangan itu menyengat-nyengat seperti kerumunan beribu-ribu lebah. Meskipun demikian Prabasemi sama sekali tidak menyerahkan dirinya ditelan oleh kegarangan lawannya. Dipergunakannya setiap kesempatan yang masih ada. Namun kembali ia kecewa, Ajinya tidak dapat menembus Lembu Sekilan sampai keintinya, sehingga Karebet, seakan-akan hanya bergetar sedikit, untuk kemudian meloncat maju dengan garangnya.

Demikianlah, maka lambat laun, tenaga Tumenggung Prabasemi itu pun terperas habis. Tubuhnya menjadi semakin lama semakin lemah, dan serangan-serangan Karebet semakin menekannya. Akhirnya Prabasemi yang garang itu benar-benar kehabisan tenaga. Ketika ia sempat menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna semburat merah membayang dilangit yang biru.

Hampir fajar”, keluhnya. “Fajar terakhir”.

Prabasemi itu sudah tidak dapat mengeluh lagi. Dengan dahsyatnya Karebet meloncat menyambar wajahnya dengan sisi telapak tangannya. Tumenggung Prabasemi terguncang, dan kemudian terbanting jatuh. Terasa kepalanya menjadi pening dan nafasnya menjadi sesak. Tetapi ia adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama. Setiap kali ia berteriak-teriak dihadapan anak buahnya, bahwa tak ada kemungkinan melangkah mundur bagi Wira Tamtama. Yang ada, maju terus atau mati. Demikianlah pendiriannya itu tetap dipertahankannya sampai saat-saat yang paling berbahaya bagi hidupnya. Betapa pun kepalanya pening dan pedih-pedih didalam dadanya, namun Prabasemi itu masih berusaha untuk tegak kembali. Dicobanya untuk menyamar kaki Karebet dengan kakinya. Namun dengan lincahnya Karebet itu meloncat, dan seperti gunung yang runtuh menimpa dadanya, kaki Karebet itu tepat menghantam tulang-tulang iga Tumenggung Prabasemi yang sudah sedemikian lemahnya.

Sekali lagi Tumenggung Prabasemi terlempar beberapa langkah dan kembali ia terbanting di tanah.

Terdengar Tumenggung itu menggeram. Karebet masih melihat, dengan gemetar, Prabasemi mencoba berdiri. Namun ketika ia bertumpu pada kedua kakinya, kembali Prabasemi terjatuh tertelungkup.

Karebet itu segera meloncat ke depan. Kebenciannya kepada Tumenggung itu benar-benar meluap sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu, dengan sebelah tangannya, diraihnya baju Prabasemi yang dibuat dari beludru. Ketika tubuh Prabasemi itu terangkat, sekali lagi tangan Karebet menyambar dagunya. Kali ini wajah Prabasemi terangkat, dan Tumenggung itu terlempar jatuh menelentang.

Karebet yang masih dikuasai oleh kemarahannya itu segera meloncat menyusul, namun tiba-tiba terasa dadanya berdesir tajam. Ketika ia melihat wajah Tumenggung itu, maka tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Ia terkejut ketika tampak samar-samar darah meleleh dari mulutnya. Dan Tumenggung itu kini sama sekali tak bergerak-gerak lagi.

Mati?” tiba-tiba terlontar kata-kata itu dari mulut Karebet. Dan karena itu ia menjadi gemetar karenanya.

Perlahan-lahan ia maju mendekati. Ketika diraba dada Tumenggung itu, terdengar Karebet berdesis, “Masih hidup”.

Tiba-tiba timbullah kecemasan dihati anak muda yang aneh itu. Kalau dirinya mati, maka tak seorangpun yang akan mencarinya, setidak-tidaknya dalam waktu yang dekat. Tetapi kalau Tumenggung yang mati, maka pasti segera aka diketahui Sultan Trenggana tahu benar, bahwa Tumenggung Prabasemi pergi mengantarkannya sampai keluar kota. Kalau kemudian Tumenggung itu hilang, dan tidak kembali kerumahnya maka Sultan segera akan mengetahuinya, bahwa setidak-tidaknya Karebet mengetahuinya apakah yang terjadi.

Karena itu, maka Sultan Trenggana pasti akan menjadi sangat murka. Mungkin sekali disebarkannya beberapa orang untuk menangkapnya. Hidup atau mati.

Sekali lagi Karebet meraba tubuh Prabasemi. Ia menjadi sedikit berlega hati, ketika ia yakin bahwa Tumenggung itu benar-benar belum mati.

Kenapa aku takut, seandainya Sultan akan berusaha menangkapku?” tiba-tiba terdengar suara didalam relung hatinya. “Hukuman mati hanya akan dijatuhkan satu kali. Bukankah Tumenggung ini kalau masih hidup pasti akan berusaha membunuhku pula?

Tetapi tiba-tiba Karebet menundukkan wajahnya. Sebenarnya Karebet sama sekali tidak takut pada hukuman mati itu. Kini ia telah mengenal apa yang sebenarnya sedang bergolak didalam dadanya. Bukan suatu perasaan takut, tetapi suatu perasaan yang jauh lebih berharga dari itu. Tiba-tiba saja, terasa betapa kemurahan hati Sultan telah melimpah kepadanya. Betapa Sultan Trenggana berusaha mengurangi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Limpahan kemurahan hati sejak ia dipungut oleh Baginda dari tepi kolam, kemudian diangkat menjadi Wira Tamtama. Bahkan dalam waktu singkat Baginda telah menganugerahkan pangkat Lurah.

Karebet menarik nafas dalam-dalam. Apalagi kalau pamannya kelak mengetahui apa yang sudah dilakukannya. Membunuh dan karena itu ia dihukum mati. Maka kembali tubuhnya mengigil. Sekali lagi diawasinya tubuh yang terlentang tidak bergerak itu. Perlahan-lahan Karebet berdiri melangkahi tubuh Prabasemi. Diangkatnya kedua tangannya dan perlahan-lahan digerakkannya.

Kiai, Kiai Tumenggung” panggilnya.

Tetapi Prabasemi tidak menjawab. Karena itu Karebet menjadi bertambah bingung. Ketika sekali lagi ia menggerakkan tangan itu, maka sekilas dilihatnya sebuah kamus bertimang tretes intan berlian melingkar diperut Tumenggung itu.

Hem” desisnya, “Sebuah timang yang mahal.”

Tetapi, Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar menjadi cemas. Kalau ditinggalkannya tubuh ini, maka mungkin sekali akan menjadi hidangan pesta bagi serigala-serigala lapar. Atau kalau seorang pencari kayu melihatnya, dan melihat timang itu, ada kemungkinan pula Tumenggung yang pingsan itu dibunuhnya, hanya karena timang dan permata-permatanya.

Karebet semakin lama semakin gelisah. Akhirnya ia tidak dapat menemukan suatu cara yang lain daripada membiarkannya sampai sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa menunggunya.

Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet kemudian berjalan hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia mendengar gemersik daun-daun kering, ia menjadi terkejut. Betapa marahnya ketika tiba-tiba dari balik rimbunnya dedaunan perdu, Karebet melihat seekor serigala mengintai tubuh yang terbaring itu. Dengan lidah yang terjulur panjang dan air liur yang menetes satu-satu.

Biasanya serigala liar berjalan beriring-iring,” desisnya. Namun ia tidak peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan sekuat tenaga, tenaga Mas Karebet yang sedang marah dilemparinya serigala itu.

Terdengar serigala itu melengking tinggi. Kemudian diam. Dari kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat kemudian terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum dengan ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.

Hem,” gumam Karebet, “Benar juga mereka datang berbondong-bondong.”

Kini kembali Karebet merenungi wajah Prabasemi yang pucat itu. Anak muda itu hampir berteriak kegirangan ketika dilihatnya Prabasemi bergerak-gerak.

Seperti anak-anak mendapat mainan, Karebet segera meloncat mendekatinya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuh itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu, “Kiai, Kiai Tumenggung.”

Tetapi Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali lagi tampak ia menggerakkan kepalanya.

Sebenarnya tubuh Tumenggung itu adalah tubuh yang luar biasa. Kekuatan yang tersimpan didalamnya telah menolongnya, menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika angin fajar mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya seakan-akan mengalir kembali.

Namun ketika sekali lagi Karebet melihat Tumenggung itu bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak menampakkan dirinya lagi. Kalau Tumenggung itu kemudian menjadi sadar, dan memaki-makinya, maka Karebet akan takut kalau ia justru sekali lagi menjadi lupa diri. Maka ketika dilihatnya Tumenggung itu menggeliat, Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul, tidak begitu jauh dari tempat Prabasemi itu berbaring.

Tumenggung yang malang itu perlahan-lahan menggeliat. Kemudian terdengar ia mengeluh pendek. Karebet yang bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang. Apakah Tumenggung itu masih mampu untuk berjalan kembali ke Demak?

Ketegangan wajah Karebet itu semakin lama menjadi semakin kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan segenap tulang belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.

Hem….” Prabasemi kembali mengeluh pendek. Mulutnya yang lebar tampak menyeringai menahan sakit. Namun kini, kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali.

Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang tempat-tempat di sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram. “Di mana setan itu?

Tetapi kembali ia menyeringai. Punggungnya benar-benar serasa patah. Karena itu, dibiarkannya tubuhnya terbaring untuk beberapa lama.

Di langit bintang-gemintang menjadi semakin lama semakin pudar. Dari timur telah membayang cahaya kemerah-merahan, dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok bersahut-sahutan.

 Prabasemi menarik nafas. “Ternyata aku masih hidup,” desahnya. Dan kini dicobanya perlahan-lahan untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati ia memiringkan dirinya untuk kemudian bertelekan pada sebelah tangannya. Prabasemi berusaha untuk duduk. Tetapi kembali dengan lemahnya ia terkulai di tanah.

Gila!” geramnya.

Karebet yang melihat kesulitan itu, menjadi kasihan juga kepadanya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menemuinya lagi. Karena itu, betapapun keinginannya untuk menolongnya, keinginan itu ditahannya kuat-kuat.

Akhirnya, betapapun Prabasemi mengalami kesulitan, akhirnya ia mampu untuk duduk dan tertelekan kedua tangannya. Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian menggeram penuh kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Bahkan kemudian ia berteriak “He, di mana kau?

Namun kemudian, nafasnya menjadi terengah-engah. Dan kepalanya ditundukkannya.

Tetapi tubuh Prabasemi itu benar-benar tubuh yang mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa saat kemudian, maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya. Sekali-kali dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-tatih dan berpegangan pada batang-batang pohon Tumenggung itu mencoba untuk berdiri.

Luar biasa,” kata Karebet di dalam hatinya. “Baru beberapa saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk berdiri.

Sekali lagi Tumenggung itu memandang berkeliling. Ia benar-benar sedang mencari Mas Karebet. Namun anak itu tidak dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia berteriak, “He Karebet, anak setan. Jangan bersembunyi.

Karebet mengumpat di dalam hatinya.? “Benar-benar orang ini keras hati. Setelah nyawanya singgah di ujung ubun-ubun, masih juga ia berteriak-teriak?”

He Karebet, pengecut,” katanya. “Tidak sepantasnya Wira Tamtama melarikan diri.

Gila!” Hampir-hampir Karebet menjawab kata-kata itu. Untunglah segera disadarinya, bahwa sebenarnya, ia tidak dapat melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan Trenggana.

Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu bergumam, “Awas kau Karebet. Pada suatu ketika akan datang saatnya, aku mencarimu dan dengan tanganku aku bunuh kau seperti aku membunuh Bahu dari Tunggul.

Sekali lagi Karebet mengumpat di dalam hati. Namun dibiarkannya Tumenggung itu berjalan terhuyung-huyung. Dengan tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke pohon berikutnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya seberkas cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis, “Hari telah pagi.

Dan karena itulah maka langkahnya terhenti. Tumenggung itu menjadi ragu-ragu. Apakah katanya nanti, kalau ia bertemu dengan seseorang di perjalanan pulang?

Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa dilihatnya timangnya. “Hem. Masih lengkap,” gumannya.

Dengan hati-hati dicobanya untuk memperbaiki letak pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia terhuyung-huyung berjalan meninggalkan tempat yang terkutuk itu.

Sepeninggal Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari persembunyiannya. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian gumannya, “Luar biasa. Luar biasa. Ia masih mampu berjalan.”

Kemudian ia menjenguk dari balik dedaunan. Prabasemi benar-benar telah berjalan dengan baik, walaupun sekali-kali masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan kedua tangannya.

Kini Karebet tinggal melihat kedalam dirinya. Setelah Prabasemi hilang di antara pepohonan, kembali ia menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya, dan akan kemanakah ia?

Beberapa saat Karebet diam termenung. Bahkan kemudian ia pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak oleh kaki-kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi. Tiba-tiba Karebet pun tersenyum, gumamnya seorang diri, “Kasihan Tumenggung itu. Untunglah aku menyadari keadaannku, sebelum aku membunuhnya.

Tetapi kemudian disadarinya, bahwa tempat itu cukup berbahaya baginya. Kalau Tumenggung yang mendendamnya itu sempat, pasti ia akan datang kembali dengan beberapa orang untuk menangkapnya dan membunuhnya.

Sebenarnya Tumenggung Prabasemi mendendam Karebet sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi itu terpaksa mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya.

Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di pinggir hutan, dan melihat sawah yang terbentang di hadapannya, ia menjadi ragu-ragu. Dalam keadaannya itu, pasti semua orang yang bertemu di sepanjang jalan akan menertawakannya. Meskipun ia tidak melihat wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-noda merah biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia melihat beberapa noda darah yang meleleh dari mulutnya, mengotori baju beludrunya.

Setan. Anak setan” umpatnya tak habis-habisnya .

Akhirnya Tumenggung Prabasemi terpaksa menunggu di tepi hutan itu sampai malam datang kembali. Ia tidak mau seorang pun yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi bila seorang Wira Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab, apabila mereka bertanya, apakah sebabnya.

Sekali lagi Prabasemi mengumpati Karebet. Terpaksa ia mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa di bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil yang segar. Namun kemudian dihabiskannya waktunya dengan mereka-reka, apakah yang dapat dilakukannya untuk membalas dendam.

Hem,” katanya kemudian, “Aku tidak akan dapat melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!” teriaknya, seakan-akan seseorang telah menuduhnya. “Tetapi Sultan akan mengetahuinya, dan menghukumku.

Tiba tiba Prabasemi tersenyum, “bodohnya aku, bukankah aku bisa minta bantuan kakang Sembada?

Kemudian Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum sendiri dengan puasnya. Sembada adalah seorang yang dapat membantunya.

Tetapi ketika disadarinya keadaannya kini, kembali Prabasemi mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.

Kakang Sembada harus berangkat malam nanti” desisnya.

Hari itu terasa betapa panjangnya. Dengan gelisah Prabasemi berjalan hilir mudik didalam hutan. Sekali kali ia membaringkan tubuhnya diatas rumput-rumput keringt, namun kembali ia berjalan hilir mudik.

Namun udara hutan yang segar telah menyegarkan badannya pula. Berangsur-angsur tenaganya menjadi pulih kembali. Nafasnya telah tidak terasa sesak, dan tulang iganya sudah tidak terlalu nyeri. Tetapi matahari benar-benar sangat menjemukannya.

Akhirnya, ketika Prabasemi hampir-hampir tidak sabar lagi, maka matahari itupun tenggelam diujung Barang. Cahayanya yang merah menyala diujung bukit dan ditepi awan yang mengambang di langit. Namun kemudian tabir yang hitam kelam seolah turun dari langit, merayap keseluruh permukaan bumi.

Prabasemi menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan cepatnya ia meloncat setengah berlari pulang kerumahnya. Di sepanjang jalan hatinya berdebar-debar. Ia sudah pasti dicari oleh anak buahnya. Mudah-mudahan Baginda tidak mencarinya.

Dan apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ketika Prabasemi hampir sampai dirumahnya, dilihatnya beberapa orang prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga. Ketika salah seorang melihatnya maka tiba-tiba prajurit itu berteriak, “Itu Kiai Tumenggung Prabasemi.”

Beberapa kawan-kawannya yang lain pun segera berkumpul. Seakan-akan mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat.

Prabasemi datang dengan langkah tegap. Meskipun kakinya masih terasa agak sakit, namun sama sekali ia tidak timpang. Ia berjalan seorang diri seperti sedang berlatih berjalan dalam barisan.

Sebelum prajurit itu bertanya kepadanya, maka Tumenggung yang malang itu mendahului membentaknya, “Apa yang kalian kerjakan disini?

Prajurit yang dibentaknya itupun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kami mencemaskan Kiai Tumenggung. Sehari ini kami tidak melihat kiai. Ketika kakang lurah Santapati menghadapi Kiai, maka dijumpainya rumah ini kosong, sehingga kakang lurah menjadi bingungSetelah kakang lurah menunggu sampai tengah hari, dan Kiai Tumenggung tidak juga datang, mnaka kakang lurah memerintahkan beberapa orang mencari Kiai, dan beberapa orang diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sini.

Gila, dimana Santapati?.”

Di belakang.”

Panggil dia

Seorang prajurit segera berlari kebelakang memanggil lurah Wira Tamtama Santapati. Santapati yang dengan gelisahnya duduk di serambi belakang karena Tumenggungnya sehar-harian tak dapat diketemukan, menjadi sangat terkejut ketika ia melihat seorang prajurit berlari-lari.

Ada apa?” bertanya lurah itu

Ki Tumenggung sudah datang.

Dimana sekarang?

Di serambi depan. Kakang Santapati dipanggil oleh Kiai Tumenggung.”

Cepat-cepat Santapati berlari ke serambi depan untuk menemui Tumenggungnya. Beberapa pelayan Prabasemi yang mendengar laporan itu menjadi gembira pula karenanya. Meskipun Prabasemi selalu membentak-bentak mereka, namun kalau maksudnya untuk sesuatu tercapai, maka tidak segan-segan Tumenggung yang garang itu memberi mereka hadiah.

Di serambi depan, Santapati melihat Tumenggung duduk dengan garangnya. Karena itu segera ia mengangguk hormat sambil berkata, “Selamat datang Kiai Tumenggung.

Tumenggung itu memandangnya dengan tajamnya. Kemudian katanya parau, “He. Apa yang kau kerjakan di sini?

Kami menjadi gelisah karena Kiai Tumenggung tidak kami temukan sehari tanpa kami ketahui kemana Kiai Tumenggung perginya.

Gila kau, Bukankah aku Tumenggung Prabasemi? Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Aku sudah cukup mampu berbuat apa saja kehendakku. Apa kau sangka aku memerlukan kalian?”

Ampun kiai. Kami hanya menjadi gelisah dan tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami mencoba mencari Kiai.”

Kau sangka aku hilang? Diculik orang? He, kau sangka ada orang di seluruh Demak yang mampu menculik Tumenggung Prabasemi?

Tidak Kiai.” Santapati menjadi ketakutan. “Kami hanya mencoba untuk menghubungi Kiai.

Bodoh kalian,” gumam Prabasemi. “Tetapi biarlah aku maafkan kau kali ini.”Tumenggung itu berhenti sejenak, kemudian diteruskannya, “Nah, katakan apa yang telah terjadi sehari ini?

Tidak ada apa-apa, Kiai. Selain Kiai Tumenggung yang kami anggap hilang.”

Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi. “Jangan sebut itu lagi. Aku tidak hilang, tahu. Aku sedang memenuhi impianku semalam. Aku harus pergi ke hutan Santi. Dan sebenarnya aku telah mendapat sesuatu di sana.

Apa itu Kiai?” Tiba-tiba Santapati bertanya.

Apa? Kau akan meniru aku? Sampai gila kau tak akan mendapatkan apapun di tempat itu.

Santapati berdiam diri. Ia percaya bahwa Prabasemi baru datang dari hutan kecil itu. Pakaiannya sedemikian kotornya, bahkan tubuhnya pun kotor pula, bahkan wajah Tumenggung itu nampak aneh. Ketika Prabasemi merasa bahwa Santapati itu mengawasinya tanpa berkedip maka teriaknya, “Apa yang kau lihat?

Santapati terkejut mendengar pertanyaaan itu. Karena itu dengan tergagap ia menjawab, “Tidak apa-apa Kiai.

Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Lihat, apa yang telah terjadi di hutan Santi itu. Aku telah bergumul dengan bahureksa hutan itu. Seekor serigala belang.”

Oh” Santapati terkejut.

Untung aku berhasil membunuhnya

Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh kekaguman. Ia tidak melihat Prabasemi membawa senjata apapun. Namun Tumenggung itu berhasil membunuh seekor harimau belang.

Nah,” kata Tumenggung itu kemudian, “Kalian sekarang harus pergi. Biarlah aku beristirahat. Tetapi katakan kepadaku, apakah kau masih melihat Karebet sehari ini?

Santapati menggeleng. “Tidak Kiai. Kami juga menjadi gelisah karenanya. Sehari ini kami tidak dapat menghubungi Kiai Tumenggung, sedang Adi Lurah Karebet pun tidak berada di tempatnya, sehingga beberapa anak buahnya menjadi bingung pula. Tetapi mereka menyangka bahwa Adi Karebet berada di istana. Sehingga karena itu mereka akan menunggu sampai besok pagi.”

Hem,” Prabasemi menggeram, “Benar, Karebet berada di istana semalam bersama aku. Tetapi sejak hari ini, Karebet tidak boleh berada di Demak lagi. Setiap prajurit, baik prajurit Wira Tamtama, Nara Manggala, Jala Pati dan apapun, diberi izin untuk membunuhnya tanpa sebab. Karena Karebet telah dibuang dari tata pergaulan masyarakat Demak, dan tidak lagi mendapat perlindungan apapun dari kerajaan.”

Santapati terkejut. Karebet adalah seorang anak muda yang baik, ramah dan menyenangkan. Banyak sekali yang dapat diceriterakan untuk menggembirakan kawan-kawannya. Anak muda itu seakan-akan mengetahui seluruh permukaan pula ini. Ia dapat berceritera tentang bukit-bukit, lembah-lembah, jenis-jenis binatang di dalam hutan-hutan yang hampir tak pernah diambah manusia, sampai ceritera tentang gadis-gadis cantik di daerah-daerah yang pernah dikunjunginya. Karena itu maka dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa Kiai? Kenapa anak yang baik itu diusir dari Demak?

Apa katamu? Apakah Karebet anak yang baik?” Tumenggung itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia berkata seterusnya, “Ya. Anak itu memang anak yang baik. Tetapi ia telah berbuat kesalahan. Tanpa setahuku, Karebet telah dihubungi oleh seorang anak muda yang ingin masuk ke dalam lingkungan Wira Tamtama. Namun anak muda itu agaknya telah menyakitkan hati Karebet, sehingga keduanya bertengkar. Namun Karebet memiliki kelebihan dari anak muda yang bernama ….” Prabasemi diam sejenak. Direka-rekanya sebuah nama yang pantas. Baru kemudian ia berkata, “Namanya Dadungawuk.”

Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Prabasemi berkata., ”Namun sayang. Karebet telah bertindak sendiri. Dadungawuk yang sombong itu dibunuhnya.”

Hem,” Santapati mengangguk-angguk pula. “Sayang,” desisnya. “Tetapi kesalahan itu bukan kesalahan yang terlalu besar. Bukankah Karebet membunuhnya setelah mereka bertengkar?

Itu dapat terjadi dalam hubungan perseorangan. Mungkin Karebet tidak bersalah. Tetapi peristiwa ini telah menyeret nama Wira Tamtama ke dalam suatu tempat yang terlalu buruk. Apakah kita, Wira Tamtama tidak ikut menjadi jelek kalau seorang dari kita berbuat sewenang-wenang hanya karena ia seorang Wira Tamtama?

Santapati mengangguk-angguk kembali. Namun ia bertanya, “Tetapi apakah hukuman itu sampai sedemikian jauhnya, sehingga setiap orang boleh membunuhnya?

Bukankah dengan demikian, berarti bahwa kita, Baginda sendiri, dan semua pemimpin Demak tidak sependapat dengan perbuatannya? Karena itu, jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh bagimu.”

Sekali lagi Santapati mengangguk-angguk, namun keheranannya tidak juga berkurang. Belum pernah ia mendengar peristiwa itu kapan terjadi. Dan kalau yang mengatakan kepadanya bukan Tumenggung Prabasemi sendiri, maka ia pasti tidak akan percaya. Tetapi kali ini yang mengatakan adalah atasannya dan atasan Karebet itu pula. Apalagi sebelum peristiwa ini, maka agaknya Tumenggung Prabasemi terlalu dekat dengan anak muda itu.

Tiba-tiba Santapati terkejut ketika Tumenggung Prabasemi itu membentaknya, “He, mengapa kau berdiri seperti patung. Pergi. Sekarang kalian boleh pergi.”

Oh” Santapati tergagap, seperti orang yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak. ”Baik, baik Kiai. Baiklahaku mohon diri bersama anak-anak”

Tetapi, ketika Santapati mulai bergerak, maka Tumenggung itu berteriak, “Pergi sekarang, dan panggil kakang Sembada untuk datang kemari malam ini. “

Langkah Santapati terhenti. Kemudian ia memutar tubuhnya kembali menghadap Kiai Tumenggung. Sambil mengangguk dalam ia bertanya, “Kakang Sembada yang manakah yang Kiai maksud?

Gila. Hanya ada satu Sembada yang aku kenal?

Tidak Kiai. Yang sudah aku ketahui ada tiga. Lurah Pasar Paing. Yang kedua Jagal di Kedung Wuni dan yang satu lagi Sembada jajar juru taman di Kasatrian.”

Bodoh kau. Ada lebih seribu Sembada di seluruh Demak. Tetapi kau harus tahu, manakah yang aku panggil kakang di antara mereka.

Santapati menjadi bingung. Untung-untungan ia berkata. “Apakah kakang Sembada Lurah Pasar Paing yang kaya raya itu.

Oh, alangkah bodohnya kau. Buat apa aku memanggil Lurah Pasar? Panggil Kakang Sembada, jagal dari Kedung Wuni.”

Santapati mengerutkan keningnya. Aneh. Prabasemi memerlukan memanggil seorang jagal dari Kedung Wuni. Apakah Tumenggung ini akan mengadakan selamatan dengan menyembelih beberapa ekor lembu setelah ia mendapatkan sesuatu dari hutan Santi? Tetapi Santapati tidak berani bertanya. Sekali lagi ia menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian mohon diri meninggalkan rumah Tumenggungnya itu. Walaupun di sepanjang jalan tak habis-habisnya ia berpikir. “Buat apakah Kiai Tumenggung memanggil jagal Kedung Wuni?

Tetapi Santapati tidak mau menjadi pusing karenanya. Ia cukup menyampaikan perintah itu, lalu pulang dan tidur nyenyak.

Sembada malam itu benar-benar menghadap Tumenggung Prabasemi. Jagal Kedung Wuni itu adalah saudara seperguruan Tumenggung yang garang itu. Namun nasib mereka ternyata jauh berbeda. Meskipun Sembada lebih dahulu berguru, namun kecerdasan otak Tumenggung Prabasemi memungkinkan Tumenggung itu melampaui kakak seperguruannya. Apalagi dalam beberapa hal Prabasemi berhasil menunjukkan kekhususannya, sehingga karena itulah maka keadaannya Prabasemi jauh lebih baik dari keadaan kakak seperguruannya itu, juga dalam tataran olah keprajuritan dan tata perkelahian Prabasemi sudah berada diatasnya.

Ketika Prabasemi telah menguraikan maksudnya, maka bertanyalah Sembada, “Kenapa tidak Adi Tumenggung saja yang melakukannya?

Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku. Dan apabila kelak Sultan mengetahui maka keadaanku akan menjadi lebih buruk.”

Tetapi kemungkinan untuk mengetahui bahwa Kakang yang melakukannya adalah sangat kecil. Sedang kalau aku yang melakukannya, maka dengan mudahnya orang dapat menghubungkan setiap peristiwa. Prabasemi tidak ada di rumahnya pada saat orang menemukan mayat Karebet. Tetapi orang tak akan menghiraukannnya, apakah Kakang Sembada berada dirumah atau tidak pada suatu saat.

Sembada mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika ia meilihat Prabasemi melepaskan kamus dan timang emasnya. Cahaya berlian yang berkilat-kilat pada timang itu telah menyilaukan mata Sembada. Ketika Prabasemi mempermainkan timang itu, maka bertanyalah Sembada, “Adi Tumenggung, sebenarnya pekerjaan itu sangat mudah aku lakukan. Tetapi di mana aku harus mencari Karebet?

Prabasemi tersenyum. “Tidak terlalu mudah, Kakang. Kakang harus membawa lima atau enam kawan.”

Lima atau enam?” mata Sembada tiba-tiba terbeliak, “Apakah anak itu anak setan?

Bukan, sama sekali bukan. Tetapi aku ingin kali ini tidak akan gagal. Lebih baik Kakang kelebihan tenaga daripada Kakang harus mengulanginya lain kali.”

Baik. Baik,” sahut Sembada, “Tetapi ke mana aku harus mencari?

Kakang, aku sangka anak itu akan pergi jauh-jauh. Ia adalah murid seorang perantau. Namun aku sangka ia akan singgah ke rumahnya di Tingkir. Bukankah anak itu terkenal pula bernama Jaka Tingkir? Nah, Kakang dapat mencoba mendahuluinya. Kakang harus melakukan pekerjaan Kakang itu kalau mungkin, sebelum anak itu sempat sampai ke rumahnya dan berceritera tentang dirinya, supaya tak seorang pun yang akan meributkannya. Ibu angkatnya pasti menyangka bahwa anak itu masih berada di istana sampai beberapa lama. Sedang apabila seseorang menemukan mayatnya, maka biarlah orang menyangka bahwa keluarga Dadaungawuk yang telah membunuhnya

Siapa Dadungawuk itu?

Dadungawuk adalah nama anak muda yang dibunuh oleh Karebet itu.

Sembada mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan melakukannya Adi Tumenggung. Tetapi kalau aku tidak dapat menemukannya, maka Adi Tumenggung jangan menyalahkan aku.”

Semuanya harus dicoba. Malam ini sebaiknya Kakang berangkat dengan orang-orang yang barangkali dapat kakang kumpulkan. Ingat, lima, enam atau tujuh orang. Syukur lebih dari itu. Sebab, selama ini ia ada di dalam kesatuanku, maka aku telah dapat menilai betapa anak itu menyimpan ajian di dalam tubuhnya yang dapat melindunginya, Lembu Sekilan.”

Lembu Sekilan?” Sekali lagi mata Sembada terbelalak. “Apakah aku mampu melawan Lembu Sekilan?

Jangan terlalu merendahkan dirimu. Bukankah Kakang memiliki Aji Sapu Angin seperti aku?

Sembada termenung sesaat. Aji Sapu Angin memang dapat dibanggakannya, namun ia tidak tahu apakah Sapu Angin-nya yang tidak sempurna mampu menembus Lembu Sekilan. Ketika Sembada baru mencoba menilai diri, maka terdengarlah Prabasemi berkata, “Lembu Sekilan anak itu masih belum sempurna. Karena itu Kakang jangan cemas karenanya. Meskipun demikian kawan-kawan kakang pun harus mampu menyesuaikan diri dengan ilmu anak itu. Mungkin dengan senjata masih mungkin menembus pertahanan ajian anak itu.”

Dicobanya oleh Sembada berpikir tentang segala kemungkinan. Dicobanya juga untuk menginat-ingat beberapa nama yang pantas untuk melakukan pekerjaan itu. Tiba-tia ia tersenyum, katanya, “Kenapa kita tidak minta tolong kepada perguruan Sembirata? Hem, guru itu adalah kawanku. Ia memiliki beberapa kelebihan daripadaku. Sedang beberapa muridnya yang terpercaya dapat aku bawa serta.”

Terserah kepada Kakang,” kata Prabasemi sambil melemparkan ikat pinggangnya yang bertimang emas dan bertretes berlian. “Inilah, barangkali Kakang perlu menyangkutkan pedang di pinggang Kakang.”

Sembada menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya. Ia menjadi sangat gembira atas pemberian itu. Meskipun demikian dengan tamaknya ia berkata, “Hem. Aku mengucapkan terima kasih atas pemberianmu Adi. Tetapi aku sangka Kiai Sembirata memerlukan juga timang, meskipun tidak sebaik ini.”

Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hati. Tetapi sebenarnya dirinya pun telah hampir gila pula. Dengan bersungut-sungut ia berjalan masuk ke dalam biliknya. “Hem, alangkah mahalnya putri itu.” Namun ia bersungut pula, “Aku telah banyak kehilangan, belum tentu aku berhasil.”  Tetapi kata-kata itu dijawabnya sendiri, “Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama, melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu mengharapkannya kembali.”

Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hati, namun diambilnya juga satu ikat pinggang yang lain, bertimang emas pula, namun tidak tidak bertretes berlian.

Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka Sembada pun minta diri untuk pergi ke Sambirata.

Kakang, “ kata Prabasemi kemudian, “Ikat pinggang itu hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi kalau pedang itu kemudian sama sekali tak berguna, maka ikat pinggang itupun tak akan berguna pula bagi Kakang, dan biarlah orang lain yang lebih memerlukan memakainya.

Sembada mengerutkan keningnya. Ia kenal betul sifat-sifat adik seperguruannya. Ia dapat menjadi seorang pemurah yang tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi pelit sekeras batu akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain menganggukkan kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar halaman, masih didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi, “Ingat pesanku itu. Yang memakainya ada yang memerlukannya.

Setan,” gumam Sembada. Namun ia bertekad untuk memiliki timang berteretes berlian itu. Sudah beberapa tahun ia menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai jagal tidak memberinya kemungkinan.

Sampai di rumahnya, diajaknya seorang pembantunya yang juga menjadi satu-satunya muridnya yang sangat disayanginya. Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan rumah itu. Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.

Kita pergi ke perguruan Sambirata” kata Sembada.

Muridnya mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak memberitahukannya. “Nanti akan kau dengar pula.”

Kiai Sambirata mendengar permintaan sahabatnya dengan ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata memiliki beberapa kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan Sambirata untuk menerima beberapa permintaan orang-orang lain, mengantarkan mereka ke tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah juga dilakukannya untuk memaksakan beberapa kehendak seseorang atas orang lain. Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan bermacam-macam lagi. Karena itu nama Sambirata agak tidak disukai oleh beberapa orang. Namun belum dapat dibuktikan, bahwa ia pernah melakukan kejahatan. Kali ini permintaan Sembada adalah terlalu langsung. Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada menjanjikan timang emas itu kepada Sambirata apabila pekerjaan mereka berhasil, terpercik pula keinginannya untuk menerima barang berharga itu.

Karena itu, maka kali ini, permintaan itu betapapun beratnya, namun diterimanya pula. Apalagi Kiai Sambirata itu merasa bahwa ia memiliki beberapa kemampuan yang dapat dibanggakannya. Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sambirata masih belum melampaui Prabasemi. Namun otaknya yang tidak begitu cerdik menjadikannya tidak lebih dari seorang pesuruh yang garang.

Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang demi seorang. Mereka bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan untuk melenyapkan anak muda yang bernama Karebet.

Sambirata pun kemudian membawa beberapa orang muridnya yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh orang. Rombongan itu sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang cukup besar. Namun mereka tidak berjalan bersama-sama. Mereka telah mengadakan persepakatan untuk berjalan sendiri-sendiri. Namun akhirnya mereka akan bertemu di tempat yang telah ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka akan mengawasi jalan dari Demak yang masuk ke pedukuhan itu.

Sementara itu Jaka Tingkir pun masih dalam keragu-raguan. Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun akhirnya sampailah ia kepada keputusan yang sama sekali tidak diketahuinya, bahwa bahaya telah menunggunya di setiap saat.

Yang mula-mula akan dilakukan oleh Tingkir itu sebenarnyalah kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin tinggal di rumah ibu angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya. Baru dari sana ia akan menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk seterusnya.

Dengan penuh penyesalan, Jaka Tingkir yang juga bernama Mas Karebet itu berjalan menyusur hutan-hutan kecil, kembali ke kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun penyesalan itu menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu. Keputusan Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan dapat mengubahnya. Namun betapapun juga, masih tersimpan harapan di dalam hatinya, bahwa suatu ketika Baginda akan mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa ia dibuang dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan demikian, ia masih dapat mengharap Baginda mencabut keputusannya?

Tetapi seandainya tidak pun, maka ia tidak akan bersakit hati kepada Baginda. Baginda telah cukup melimpahkan kasih sayangnya kepadanya. Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya. Kadang-kadang timbul juga penyesalannya, kenapa Tumenggung yang gila itu tidak dibunuhnya? Bagaimanakah kelak, apabila maksud Tumenggung itu, karena kelicikannya dapat tercapai? Terdengar Karebet menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat melihat putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung yang gila itu. “Akan aku bunuh ia di persandingan,” geramnya.

Karebet berjalan terus siang dan malam. Hanya kadang-kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di hutan-hutan yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau didengarnya suara angin berdesir lembut, maka hatinya pun berdesir pula. Sekali-kali dikenangnya suara putri Baginda yang lembut di telinganya.

Hem!” Karebet menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa aku sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir sembuh ketika aku berada di Karang Tumaritis?

Namun betapa pedih hati anak muda itu. Pedih sebagaimana anak muda yang dipisahkan dari seorang gadis yang telah menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang diusir dari keprajuritannya.

Salahku, salahku sendiri,” gumamnya.

Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya. Akan diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama ini seakan-akan menjadi semakin parah.

Namun ketika Karebet itu sudah semakin dekat dengan Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya. Firasatnya sebagai seorang yang selalu berkeliaran di tempat-tempat yang berbahaya telah memperingatkannya untuk berhati-hati. Dan sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa bahwa jalan di hadapannya yang melintas hutan yang tidak begitu lebat itu, tampak tidak sewajarnya. Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat seekor burungpun yang terbang melintas, atau seekor bintang kecil lainnya yang berlari-lari menyeberangi jalan. Karena itu, Karebet menghentikan langkahnya. Kemudian terdengar ia bergumam, “Kalau kesepian itu disebabkan karena binatang buas, maka biasanya harimau atau ular besarlah sebabnya. Tetapi kalau ada sebab lain, maka tak tahulah.”

Maka Karebet pun kemudian bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Harimau, ular atau apa saja. Tetapi untuk beberapa lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun demikian, kesepian itu masih meragukannya.

Dengan demikian, maka Karebet tidak mau berjalan maju lebih jauh lagi. Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk bersandar pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah dipasangnya baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun lirihnya, pasti akan didengarnya, dan setiap gerak yang betapa pun lembutnya, pasti dilihatnya.

Tetapi alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia mendengar suara berdesir di belakangnya. Didengarnya pula dengus nafas perlahan-lahan. Namun sama sekali bukan nafas harimau atau pun dengus ular.  Nafas itu adalah nafas seseorang.

Aneh,” kata Karebet di dalam hatinya. “Kalau sebab daripada kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering dilewati orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan menakut-nakuti binatang-binatang kecil itu?” Namun akhirnya Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa, “Manusia pun mungkin pula. Mereka pasti berada di dalam semak-semak. Pasti lebih dari satu sehingga binatang-binatang menjadi ketakutan.”

Karena kesimpulannya itulah maka kemudian Karebet menjadi lebih berhati-hati. Manusia, apalagi lebih dari satu, baginya akan lebih berbahaya daripada harimau atau binatang-binatang lain.

Dan apa yang diduganya itu segera terjadi. Ketika Karebet mendengar langkah seseorang meloncat di belakangnya, maka segera ia pun melenting tegak pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Kini di hadapannya berdiri seseorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya tampak rambut yang lebat tumbuh di dadanya. Alangkah terkejutnya Karebet melihat orang itu, sehingga dengan serta merta ia menyapanya, “Kakang Sembada?”

Sembada tersenyum. “Ya akulah,” jawabnya.

Karebet mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah Sembada yang garang, karena itu segera ia dapat menyangka, bahwa kedatangannya bukanlah dengan maksud yang baik. Tetapi Karebet tidak mau segera berprasangka jelek. Dicobanya kemudian untuk menghilangkan setiap kesan yang gelap dari wajahnya. Dengan senyum kecil Karebet kemudian berkata, “Kedatangan Kakang sangat mengejutkan aku.”

Wajah Sembada masih tetap garang. Bahkan kemudian dengan tajamnya ia memandangi tubuh Jaka Tingkir itu. “Hem. Tidak seberapa besar,” katanya di dalam hati. “Apakah dalam tubuh itu benar-benar tersimpan Aji Lembu Sekilan?

Karena Sembada tidak segera menjawab, maka Karebet bertanya pula, “Apakah keperluan Kakang, sehingga Kakang sampai kemari?”

Sembada menggeram. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya. Karena itu ia tidak berbicara melingkar-lingkar. Langsung saja dikatakannya apa yang dikehendaki. Dengan nada datar ia berkata, “Karebet, aku adalah sraya Adi Tumenggung Prabasemi.”

Dada Karebet segera berdesir. Cepat ia dapat menebak. Apakah sebenarnya maksud Sembada itu. Namun ia masih juga bertanya, “Apakah yang harus Kakang lakukan?”

Sembada menarik nafas. Kemudian setelah menenangkan getar dadanya ia berkata, “Aku harus membunuh kau.”

Meskipun Karebet telah menyangka, namun pengakuan yang tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Sesaat ia terpaku diam. Ditatapnya wajah Sembada yang garang itu.

Jangan mempersulit pekerjaanku, Karebet. Aku dan kau tidak pernah mempunyai persoalan apapun. Aku tidak pernah menyakiti hatimu, dan kau tidak pernah menyakiti hatiku pula. Karena itu, marilah kita saling berbaik hati. Tolonglah pekerjaanku kali ini supaya segera selesai. Nanti aku akan mendapat sebuah kamus bertimang emas tretes berlian,” berkata Sembada.

Karebet mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya dalam nadanya yang khusuk, “Baik Kakang. Baiklah aku menolongmu. Tetapi aku harus mendapat separo dari kamus dan timang itu.”

Sembada mengerutkan keningnya. “Hem..”, geramnya dan kemudian katanya di dalam hati, “Anak ini benar-benar anak yang luar biasa. Tanggapannya atas bahaya yang dihadapi masih saja seperti menyongsong datangnya kekasih.” Namun Sembada tidak mau terpengaruh oleh wibawa Joko Tingkir. Karena itu ia membentak, “Aku tidak sedang berkelakar, Karebet.”

Justru Karebet yang aneh itu kini tertawa. Katanya, “Kita tidak pernah saling menyakiti hati masing-masing. Jangan membentak-bentak, Kakang. Lebih baik kita bergurau setelah kita lama tidak bertemu.”

Diam!” bentak Sembada yang sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Karebet. Meskipun demikian sekali lagi ia menggertak, “Hem.. mati dan mati ada seribu jalan.Apalagi di hutan ini. Di pembaringan pun orang dapat sekarat. Ayo, tundukkan kepalamu supaya kau tidak mengalami derita di saat-saat terakhir.”

Sembada menjadi marah bukan buatan ketika Karebet malahan tertawa bergelak-gelak. Dengan memegang perutnya, anak muda itu berkata, “Ah, Kakang. Masih saja Kakang teringat akan pekerjaan Kakang. Kita sekarang tidak sedang berada di pembantaian, Kakang.”

Wajah Sembada menjadi merah padam. Namun sebelum ia membentak-bentak lagi, Karebet pun terkejut. Ia mendengar desir di semak-semak. Karena itu maka katanya di dalam hati. “Benar dugaanku. Tidak hanya seorang.

Dan sesaat kemudian Karebet menggeser kakinya. Dari sisinya melontarlah seorang yang akan lebih tua dari Sembada. Namun tampaklah betapa orang itu jauh lebih tenang dan meyakinkan. Orang itulah Kiai Sambirata.

Dengan lemahnya Kiai Sambirata menganggukan kepalanya. Dan dengan sareh ia berkata, “Apakah Angger yang bernama Karebet?

Karebet mengangguk. Namun terasa bahwa ia harus lebih waspada karenanya. Meskipun ia tidak bergerak dari tempatnya, namun ia benar-benar tidak mau menjadi lembu bantaian. Karena itu segera dengan diam-diam diterapkannya Ajinya yang dahsyat, Lembu Sekilan.

Sambirata melihat wajah Karebet yang tegang. Tetapi ia tidak segera menyadari, bahwa dengan sikap yang sederhana itu, Karebet telah matek Ajinya Lembu Sekilan. Karena itu, masih saja Kiai Sambirata yang terlalu percaya kepada dirinya itu berkata, “Benarkah aku berhadapan dengan Angger Jaka Tingkir?

Karebet mengangguk, “Ya. Akulah Karebet, yang juga disebut orang, Jaka Tingkir.

Kiai Sambirata mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akulah yang bernama Sambirata.”

Karebet memandang orang itu dengan seksama. Di Demak, nama itu memang pernah didengarnya. Tetapi ia tidak pernah menaruh perhatian. Kini tiba-tiba orang itu datang kepadanya dengan maksud yang tidak sewajarnya. Dengan demikian, maka Karebet itu benar-benar harus berhati-hati. Ia tahu benar benar bahwa Sembada adalah kakak seperguruan Prabasemi dan Sambirata adalah orang yang kurang disenangi oleh masyarakat Demak karena pekerjaannya. Ternyata kini mereka berdua bergabung untuk melenyapkannya. Meskipun demikian sebenarnya Karebet sama sekali tidak gentar. “Kalau perlu,” katanya, “aku terpaksa membunuh untuk mempertahankan hidupku”.

Yang berbicara kemudian adalah Sambirata. “Angger. Baiklah aku berterus terang. Kami berdua dengan beberapa murid-muridku datang untuk membunuh Angger. Kalau Angger ingin mencoba, lawanlah kami. Kami tidak mampunyai banyak waktu.

Sekali lagi Karebet terkejut. Ternyata mereka tidak hanya berdua. Tetapi justru karena itu timbullah marahnya. Wajahnya yang riang menjadi kemerah-merahan karena nyala api kemarahan yang membakar dadanya. Dengan lantang anak dari Tingkir itu menjawab, “Paman dan Kakang Sembada. Kita adalah manusia yang mempunyai sifat mempertahankan hidup yang dikaruniakan kepada kita. Aku harus mencoba mempertahankan hidup itu sekuat-kuat tenagaku. Kalau Yang Maha Esa berkenan, maka jangan menyesal kalau kalian berdualah yang akan mendahului aku.”

Jangan membual. Meskipun kau kekasih Jim, Setan, Peri, Prayangan, namun kalau tidak mampu menangkap angin, jangan mencoba menengadahkan kepalamu,” bentak Sembada dengan kasarnya.

Langit dan bumi menjadi saksi. Kalau terjadi pertumpahan darah di sini, bukan akulah yang bersalah” sahut Karebet.

Sembada sudah tidak dapat menahan diri lagi. Timang emas bertretes berlian benar-benar menarik hati, apalagi anak muda itu benar-benar telah membakar telinganya. Karena itu, cepat-cepat ia meloncat dan memukul dada Karebet sekuat-kuatnya. Karebet melihat gerak Sembada itu, namun ia sama sekali tidak menghindarinya. Namun wajahnya menjadi tegang dalam penerapan ajian yang setinggi-tingginya, daya pertahanan dalam Aji Lembu Sekilan.

Tenaga Sembada adalah tenaga yang luar biasa kuatnya. Namun ia masih mempergunakan kekuatan jasmaniah melulu. Karena itu, ketika tangannya membentur dada Karebet alangkah terkejutnya. Karebet itu masih saja tegak seperti tonggak. Sedang kedua kakinya yang kokoh kuat seakan-akan berakar jauh menghujam ke pusat bumi.

Bahkan terasa, seakan-akan tangan Sembada itu menghantam sesuatu yang tak dapat dilihatnya. Tetapi tangannya itu seakan-akan sama sekali tidak menyentuh dada Karebet.

Ketika ia menyadari serangannya itu gagal, maka segera ia meloncat surut. Dengan marahnya ia menggeram, sambil menunjuk wajah Karebet itu dengan ujung jarinya. “Setan, gendruwo. He Karebet. Apa kau sangka Aji Lembu Sekilan itu tak akanterlawan?

Karebet tidak menjawab. Namun sekilas ia melihat Sambirata bergeser. Orang itu menghentakkan kedua tangannya dan dengan satu gerakan yang cepat, tangan itu ditariknya ke samping.

Hem,” geram Karebet. “Aji apalagi yang akan kau pamerkan?”

Sambirata benar-benar tersinggung. Ia memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan. Dengan pemusatan pikiran dan kehendak, maka Sambirata dapat menyalurkan kekuatan itu. Namun ia sama sekali tak peduli, apakah nama dari kekuatan yang tersimpan dalam dirinya. Dan Sambirata memang tidak berpikir tentang nama itu meskipun dahulu gurunya menyebutnya, Aji Wilet, namun yang dimilikinya telah banyak mengalami perubahan, sehingga ia tidak menyebutnya demikian. Tetapi betapa pun juga, ia mampu menerapkan ilmunya yang dahsyat itu. Ketika ia menyadari, bahwa lawannya sejak permulaan itu telah mempergunakan Aji Lembu Sekilan, maka Sambirata pun segera mempergunakan ilmunya itu.

Dengan serta merta, Sambirata meloncat pula dan langsung memukul wajah Karebet. Karebet melihat serangan itu, dan ia pun menyadari, bahwa Sambirata tidak sekadar menyerangnya dengan tenaganya, namun pasti sudah dilambari dengan suatu ilmu yang berbahaya. Karena itu, Karebet pun segera menarik diri satu langkah ke samping, sehingga serangan Sambirata dapat dihindari. Namun Sambirata benar-benar lincah. Sekali lagi ia melenting seperti sikat, dan Karebet tidak sempat untuk menghindari, ketika kaki Sambirata itu langsung menghantam lambungnya.

Terjadilah suatu benturan yang tajam, antara kekuatan ilmu Sambirata melawan Lembu Sekilan. Akibatnya pun dahsyat pula. Dan sekali ia berguling. Sedang Sambirata pun terdorong oleh kekuatannya sendiri yang seakan-akan membentur dinding baja. Terasa pula dadanya menjadi pedih. Karena itu segera ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk melawan tekanan yang seakan-akan menghentak-hentak di dalam dadanya itu.

Karebet yang baru saja berhasil menguasai dirinya, setelah Aji Lembu Sekilan berhasil ditembus, meskipun tidak terlalu berbahaya oleh Sambirata, terkejut sekali melihat serangan Sembada. Sekilas ia masih sempat melihat Sembada itu menjulurkan kedua tangannya ke belakang, sedang kedua tangannya kemudian mengepal di lambungnya.

Seperti yang dilakukan Prabasemi,” geramnya. Namun serangan itu telah tiba, sedemikian cepatnya, sehingga kali inipun Karebet tidak dapat menghindar. Karena itu, maka sekali lagi Aji Lembu Sekilan yang baru saja digoncangkan oleh Sambirata itu kembali berguncang. Aji Sembada menembus Aji Lembu Sekilan yang belum mapan kembali.

Sekali lagi Karebet berguncang dan terbanting di tanah. Kali ini ia harus berguling beberapa kali untuk mendapatkan jarak dari lawan-lawannya. Namun sekali lagi Karebet terkejut. Tiba-tiba saja ia melihat beberapa orang bersama-sama muncul dari dalam belukar di sekitarnya. Mereka berebutan menyerangnya dengan pedang pendek, seperti ingin mencincangnya.

Namun Karebet adalah seorang yang aneh, yang memiliki ketangkasan dan keperkasaan yang mengagumkan. Ketika ia melihat serangan itu datang, maka secepatnya ia melanting berdiri, dan dengan sekali loncat, ia telah berhasil menjauhkan dirinya dari orang-orang itu. Tetapi kemudian datanglah serangan Sambirata memotong gerakannya.

Karebet menggeram. Betapa ia menjadi marah bukan main. Kini ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Kalau ia terpaksa membunuh, maka sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bukan salahnya.

Dengan demikian, maka kembali Karebet menerapkan Aji Lembu Sekilan dalam puncak kemampuannya. Ia sadar bahwa Sambirata masih akan berhasil menembus ajiannya itu. Namun pasti tidak akan berbahaya. Juga Sembada tidak akan membahayakan jiwanya. Tetapi senjata-senjata tajam itu pun perlu mendapat perhatiannya. Dengan kekuatan yang baik, maka senjata tajam itu pun akan mampu menembus benteng pertahanannya, meskipun tidak akan dapat membunuhnya dengan sekali tusuk. Namun kalau luka itu menjadi bertambah-tambah dan darahnya mengalir terlalu banyak, maka keadaan itu pun pasti akan menimbulkan bahaya.

Kini Karebet itu pun sudah siap dengan puncak keterampilannya. Seperti sikatan berloncatan di rerumputan hijau. Karebet menghindari setiap serangan lawannya, dan bahkan beberapa orang telah terpelanting dan terbanting jatuh. Namun sentuhan-sentuhan Karebet yang harus mempertahankan diri dari setiap serangan itu, maka tekanan-tekanan lawan-lawannya masih saja terasa menjadi semakin berat. Meskipun demikian Karebet sama sekali tidak gentar. Ia melihat, bahwa hanya dua orang di antara mereka yang harus mendapat perhatiannya yang khusus. Sambirata dan Sembada dari Kedung Wuni.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Beberapa orang murid Sambirata itu sama sekali tak berdaya menghadapi kelincahan Karebet. Mereka menjadi benar-benar tidak dapat mengerti, bahwa setiap kali mereka menusukkan pedang-pedang mereka, maka seakan-akan mereka sama sekali tak menyentuh tubuh lawannya, meskipun lawannya tidak berusaha untuk menghindar. Hanya dalam kesempatan-kesempatan yang sangat baik, selagi mereka sempat mengerahkan segenap kekuatannya, maka pedangnya dapat menggores kulit Karebet. Dan beberapa tetes darah mengalir dari luka itu.

Namun setiap tetes darah yang tumpah, seakan-akan merupakan tetesan minyak yang menyirami api kemarahan di dalam dada anak muda dari Tingkir itu. Betapa kemudian ia tidak lagi mengendalikan dirinya. Dengan kecepatannya bergerak, maka ia pun segera berhasil menjatuhkan beberapa lawannya. Murid-murid Sambirata itu, jatuh bangun tak henti-hentinya. Sekali-kali mereka merasa bahwa lawannya yang hanya seorang itu akan segera binasa. Namun lain kali, seakan-akan terasa gunung runtuh menimpa dadanya. Seperti beribu-ribu kunang terbang di sekitar rongga mata mereka. Dalam kesesakan nafas itu, mereka sekali-kali mendengar kawan-kawannya yang mengaduh, dan jatuh menimpanya.

Apabila seorang di antara mereka mampu merangkak bangun, maka seorang yang lain terbanting jatuh. Sehingga mereka seakan-akan sama sekali tak berarti. Tetapi mereka sedang bertempur di hadapan guru mereka. Betapa pun pungggung mereka serasa telah patah, tetapi dengan kekuatan-kekuatan mereka yang terakhir, mereka masih juga mencoba bangun. Berdiri dan bergeser setapak demi setapak di sekitar perkelahian itu, untuk sesaat kemudian dada mereka serasa meledak karena sentuhan-sentuhan tangan atau kaki Karebet.

Dalam saat-saat berikutnya, meskipun tampaknya beberapa orang masih juga berdiri mengitari tempat perkelahian itu, namun sebenarnya tidak lebih dari Sembada dan Sambirata berdualah yang berkelahi mati-matian. Dengan kekuatan ajian masing-masing, mereka mencoba untuk membunuh anak yang aneh itu.

Dalam pada itu, Karebet pun merasakan tekanan-tekanan yang berat dari kedua orang itu. Mereka masing-masing ternyata tidak lebih dari Tumenggung Prabasemi. Namun karena kekuatan mereka bergabung, maka Karebet benar-benar meng-hadapi pekerjaan yang sangat berat. Aji Lembu Sekilan nya terasa sesekali terguncang. Dan sekali-kali terasa bahwa dalam kesempatan-kesempatan itu, kekuatan-kekuatan ajian lawannya berganti-ganti dapat menembusnya meskipun tidak terlalu dalam. Namun apabila hal itu berlangsung lama, maka ada kemungkinan pertahanannya menjadi semakin lemah.

Meskipun orang-orang lain, kecuali kedua orang itu hampir tak berarti bagi Karebet, namun mereka telah memecahkan beberapa pemusatan perhatiannya. Sehingga sesaat kemudian dengan penuh kemarahan, maka orang-orang itu satu demi satu dilumpuhkannya.

Dan kini yang terakhir adalah Sembada dan Sambirata. Keduanya tampaknya masih cukup segar utuk melawannya. Meskipun kedua orang itu pun sebenarnya menjadi gelisah pula menghadapi Aji Lembu Sekilan.

Kini Karebet benar-benar dapat memusatkan segenap perhatiannya. Sekali-kali ia berpaling kepada orang-orang yang bergelimpangan disana-sini. Ada di antara mereka yang masih mencoba bangkit, namun ternyata tenaga mereka seakan-akan telah terhisap habis, sehingga kembali mereka tak berdaya jatuh di tanah.

Sambirata yang melihat muridnya tak berdaya itu mengumpat tak habis-habisnya, katanya, “Tikus-tikus malang. Ternyata kalian sama sekali tak dapat dibanggakan sebagai seorang murid Sambirata.”

Murid-murid itu pun mengeluh di dalam hati. Tetapi mereka bergumam pula didalam hati. “Jangankan aku, sedang guru sendiri pun tidak juga segera dapat menguasai lawan yang hanya seorang itu.”

Karebet kemudian sama sekali tak memperhatikan lagi mereka yang telah terkapar di tanah. Yang dihadapinya kini adalah Sembada dan Sambirata. Kedua orang ini benar-benar berhasrat akan membunuhnya.

Sesaat kemudian pertempuran pun berkobar pula dengan sengitnya. Sembada dan Sambirata berjuang dengan sepenuh tenaga. Meskipun mereka bukan datang dari perguruan yang sama, namun mereka segera dapat menyesuaikan diri mereka. Berganti-ganti mereka menyerang dengan kedahsyatan ajian masing-masing. Seperti sepasang burung alap-alap yang menyambar-nyambar mangsanya.

Tetapi Karebet benar-benar memiliki kelincahan yang tak mereka sangka-sangka, disamping perisainya yang luar biasa Aji Lembu Sekilan. Betapa dahsyatnya serangan-serangan Sembada dan Sambirata, namun Mas Karebet itu masih saja mampu mempertahankan dirinya.

Meskipun demikian, sekali-kali pertahanannya terguncang pula oleh kekuatan-kekuatan Aji lawannya. Sehingga sekali-kali Mas Karebet mampu pula didorongnya jatuh. Namun demikian ia jatuh segera ia melanting berdiri, siap melawan dengan lambaran ilmunya, Lembu Sekilan.

Tetapi betapapun Karebet berjuang dalam keadaannya itu, namun ternyata bahwa lawannya bukan seorang Prabasemi. Tetapi kini lawannnya yang berjumlah dua orang itu, ternyata berhasil menggabungkan kekuatan mereka dengan baiknya. Sehingga sekali-kali mereka berdua berhasil bersama-sama menghantamkan kekuatan ajinya atas tubuh Mas Karebet yang masih muda itu.

Dengan demikian, maka Mas Karebet itu semakin lama menjadi semakin terdesak karenanya. Dan tekanan ini telah membakar jantungnya. Kemarahan semakin lama menjadi kian memuncak, seakan-akan telah mendidihkan seluruh darahnya. Ia tidak mau mati karena pokal Prabasemi.

Meskipun pusat kemarahannya berkisar kepada Tumenggung Prabasemi, dan meskipun disadarinya bahwa kedua orang yang datang bersama murid-muridnya itu tidak lebih dari orang-orang suruhan yang ingin mendapatkan upah karena perbuatannya itu, namun apabila tak dimilikinya cara lain, maka cara satu-satunya untuk menyelamatkan dirinya adalah membunuh lawan-lawannya.

Karena itu, Karebet yang marah itu, masih mencoba untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukannya. Kalau ia terpaksa membunuh, dan perbuatannya itu didengar oleh Sultan, maka apakah Sultan tidak menjadi semakin murka kepadanya.

Karena itu, maka untuk terakhir kalinya Karebet itu mencoba mencegah bencana yang semakin berlarut-larut. Katanya, “Kakang Sembada. Aku minta kakang berpikir sekali lagi, apakah yang kakang lakukan itu sudah kakang anggap benar?

Sembada masih menyerang Karebet dengan dahsyatnya. Meskipun demikian ia sempat juga menjawab, “Jangan banyak bicara. Aku bukan anak-anak.”

Dengan tangkasnya Karebet menghindari serangan yang ganas itu. Namun tiba-tiba Sambirata memotong geraknya sambil berputar setengah lingkaran. Tangan Sambirata yang terjulur itu tidak mengenai sasarannya, tetapi cepat ia meloncat sekali lagi. Ajinya yang dahsyat terayun tepat mengarah tengkuk Karebet. Karebet masih berusaha untuk menghindar, namun kesempatannya terlalu sempit. Yang dapat dilakukan adalah meloncat surut selagi ia masih berjongkok. Gerakan-gerakan khusus yang sulit dilakukan oleh orang lain. Karena itu Sambirata terkejut bukan buatan. Sekali lagi serangannya tak mengenai lawannya.

Tetapi dalam pada itu Sembada telah siap dengan serangannya pula. Demikian Karebet menyentuh tanah, Sembada meloncat dengan cepatnya melontarkan Aji Sapu Anginnya kearah punggung lawannya. Kali ini kesempatan Karebet benar-benar sangat sempit. Karena itu ia hanya dapat berputar dan dengan puncak kekuatan Aji Lembu Sekilan yang dimiliki ia melawan pukulan Aji Sapu Angin. Ternyata dengan gerakan yang pendek itu, pukulan Sembada tidak tepat mengenai sasarannya. Tangannya itu hanya mampu menyentuh pundak Karebet. Sedang pundak Karebet telah dilindungi pula oleh Lembu Sekilan, sehingga pukulan yang melesat itu sama sekali tak mampu menerobos perisai Karebet yang dahsyat itu.

Sembada menggeram. Namun kali ini serangan Karebetlah yang menyambar perutnya. Dengan berputar pada satu kakinya, Karebet membuat serangan dengan kakinya menyambar lawannya dengan dahsyatnya. Sedangan yang tidak disangka-sangka. Karena itu, maka Sembada dengan tergesa-gesa meloncat surut. Namun Karebet tidak membiarkannya, sekali ia meloncat maju, dan sekali lagi kakinya menjulur lurus kedada lawannya. Serangan itu sedemikian cepatnya, sehingga Sembada tak mampu lagi untuk mengelak. Karena itu, maka dengan sepenuh tenaga, dilawannya serangan Karebet itu dengan Aji Sapu Angin, sehingga terjadilah benturan yang dahsyat antara Aji Lembu Sekilan yang melindungi serangan Karebet, melawan Aji Sapu Angin.

Sembada itu pun tergetar surut beberapa langkah, namun Karebet pun terlontar pula mundur. Aji Lembu Sekilan dalam patrap penyerangan memang tidak sekuat dalam patrap pertahanan. Karena itu terasa pula, nyeri-nyeri menjalari tubuh anak muda dari Tingkir itu. Apalagi sesaat kemudian Sambirata telah melontarkan serangannya pula, sehingga Karebet yang belum memiliki keseimbangan yang mantap itu terpaksa menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali menghindari kekuatan Aji Sambirata.

Keadaan Karebet semakin lama benar-benar menjadi semakin sulit. Aji Lembu Sekilannya beberapa kali telah berhasil digoncangkan oleh kekuatan Aji kedua lawannya bersama-sama. Meskipun demikian ia masih berteriak. “Kakang Sembada dan paman Sambirata. Aku kini memperingatkan kalian untuk yang terakhir kalinya. Pergilah dan katakan kepada Prabasemi bahwa Karebet telah mati. Aku tidak akan datang ke Demak sebelum Sultan mengampunkan kesalahanku. Dalam waktu yang tidak tertentu itu, mudah-mudahan Prabasemi telah melupakan dendamnya kepadaku.”

Yang terdengar kemudian adalah suara Sembada dan Sambirata tertawa hampir bersamaan. Tetapi suara Sembada yang lebih kasar dari Sambirata itu ternyata jauh lebih keras. Katanya diantara gelak tawanya, “Hai anak yang bernasib jelek. Sesaat sebelum kau mati, kau masih punya waktu untuk menyombongkan dirimu.”

Dan terdengar Sambirata berkata pula, “Angger ternyata menyadari kesulitan yang angger alami. Menyerahlah supaya angger tidak menjadi lelah. Perjalanan ke akhirat masih panjang, dengan demikian angger masih menyimpan sisa tenaga untuk perjalanan itu.”

Karebet menjadi marah bukan alang kepalang. Matanya kini memancar hijau kebiru-biruan sebagaimana sinar mata harimau dikegelapan. Dengan parau terdengar suaranya gemetar karena marah, “kalau begitu terserahlah. Aku tidak mau mati. Bagiku lebih baik membunuh daripada dibunuh tanpa sebab.”

Sekali lagi Sembada dan Sambirata tertawa. Tetapi tiba-tiba suaranya terputus karena melihat Karebet meloncat mundur. Dengan pancaran mata yang aneh, biru kehijauan Karebet memandang kedua lawannya berganti-ganti. Kemudian dengan wajah tegang anak muda itu menggosokkan kedua telapak tangannya, meloncat dengan garangnya dan tegak diatas kedua kakinya yang renggang. Sesaat kemudian ditekuknya kedua lututnya, siap melontarkan serangan yang dahsyat, aji Rog-rog Asem.

———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 28

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (26)

I.

MENDENGAR teriakan Widuri, Arya Salaka terkejut. Tanpa sesadarnya kakinya menyentuh perut kudanya, sehingga kuda itu berlari mendahului kawan-kawannya, menyusul Endang Widuri.

Kemudian Arya Salaka pun melihat api itu pula. Sambil mengerutkan keningnya ia berpikir, ”Aneh. Api itu terlalu besar.”

Akhirnya yang lain-lain pun sampai ke dekat mereka pula. Mereka pun kemudian melihat api yang menjilat-jilat ke udara seperti akan menggapai bintang-bintang di langit.

Sesaat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara saling berpandangan. Kemudian terdengar Mahesa Jenar berdesis, “Kebakaran.” Belum lagi ngiang suara hilang, terdengarlah lamat-lamat suara kentongan dilereng bukit Telamaya. Tiga-tiga ganda.

Kebakaran?” Ki Ageng Gajah Sora mengulang. Tampaklah wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Katanya melanjutkan “Inilah sambutan tanah kelahiranku atas kedatanganku? Atau tanah ini sudah tidak mau menerima aku kembali?

Jangan berfikir terlalu jauh ngger,” potong Ki Ageng Pandan Alas, “ada bermacam-macam sebab yang menimbulkan kebakaran. Sebaiknya angger melihatnya.

Ki Ageng GajahSora menoleh kepada isterinya. Ia ingin memacu kudanya, namun bagaimana dengan Nyai Ageng itu.

Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua memaklumi. Katanya “pergilah angger sekalian mendahului. Lihatlah apa yang  terjadi. Mungkin ada bahaya yang datang, tetapi mungkin juga karena kelengahan sendiri. Biarlah aku mengawani Nyai Ageng Gajah Sora dalam perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.

Sekali lagi Gajah Sora memandang isterinya. Ketika isterinya mengangguk, maka berkatalah Gajah Sora, “aku mendahului paman.”

Perdilah kalian bersama-sama” sahut Ki Ageng Pandan Alas.

Gajah Sora tidak berkata-kata lagi. Disendalnya kendali kudanya dan sesaat kemudian kudanya menghambur seperti angin, disusul oleh Arya Salaka yang tak terpaut dua langkah dibelakang kuda ayahnya. Kemudian dibelakang mereka Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Wilis dan Widuri. Bahkan kemudian dengan gembiranya Widuri berpacu meskipun malam menjadi semakin gelap.

Hati-hatilah Widuri” ayahnya berteriak memperingatkan

Widuri menoleh sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Derap kuda itu seperti akan memecahkan selaput telinga. Berdetak-detak diatas tanah liat yang berbatu-batu. Meskipun jalan itu tidak terlalu lebar dan naik turun menggelombang dilereng bukit, namun kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu. Untunglah di langit ada bulan sehingga malam tidak terlalu pekat. Hanya kadang pohon-pohonan liar dipinggir jalan melindungi cahayanya yang kuning lemah.

Ketika mereka semakin dekat dengan Banyu Biru, tampaklah dihadapan mereka debu yang mengepul tinggi seperti awan tipis menyaput langit.

“Itulah mereka” desis Arya Salaka ketika dilihatnya barisan dimuka perjalanannya.

Kuda Gajah Sora berlari kencang sekali. Dibelakang barisan Banyu Biru yang ternyata juga telah hampir sampai itu ia berteriak, “beri aku jalan.”

Barisan itu menepi. Beberapa ekor kuda berlari dengan kencangnya melampaui mereka. Terdengarlah kemudian Gajah Sora berkata, “api. kalian dengar kentongan tiga-tiga ganda?.”

Ya,” sahut Bantaran berteriak, “kami mempercepat perjalanan kami.

Ki Ageng Gajah Sora telah lampau. Yang menjawab adalah Arya Salaka, “Bagus. Mungkin orang yang sedang berputus asa mencari bela.

Arya pun tidak sempat menungu jawaban mereka. Barisan Banyu Biru hanya melihat bayangan yang terbang disamping mereka. Kemudian bersama dengan lenyapnya gema suara telapak kaki kuda mereka, bayangan itupun telah lenyap pula ditelan oleh lindungan batang batang pohon dan ilalang.

Suara kentongan semakin nyaring. Dan penuhlah lembah Telamaya dengan bunyi Tiga-Tiga Ganda. Dan karena itu pula kuda GajahSora berlari semakin kencang menuju ke arah alun-alun Banyu Biru.

Banyu Biru menjadi ribut karena api yang tiba-tiba saja membakar hutan-hutan perdu dan alang-alang. Kalau api tidak segera dikuasai, maka api akan menjalar terus mendaki tebing. Apalagi sekali api menjilat hutan-hutan getah maka hutan itupun akan terbakar, dan lereng Bukit Telamaya akan menjadi lautan api. Bukit itu sendiri akan segera menyala, dan hancurlah kehidupan diatasnya. Tegal-tegal, sawah sawah dan pohon buah-buahan dihutan-hutan peliharaan akan musnah.

Di alun-alun tampaklah beberapa orang sedang sibuk. Beratus-ratus orang telah keluar dari rumah mereka. Tidak saja orang lelaki, tetapi perempuan dan anak-anak. Mereka telah siap membawa lodong-lodong bambu untuk mencari air serta canting-canting besar dari pelepah batang upih. Namun dengan alat itu, mereka tidak akan dapat menguasai api yang membakar batang ilalang. Angin yang bertiup dari lembah seperti membantu mendorong api itu naik dilereng bukit yang damai itu.

Mantingan dan Wirasaba berusaha membantu Wanamerta yang tua. Mereka telah siap diatas punggung-punggung kuda. Yang terdengar adalah suara Wanamerta yang lantang, “Putuskan daerah ilalang. Tebang semua pohon-pohon perdu. Pisahkan daerah api dengan daerah yang masih selamat. Sekarang !

Orang-orang itupun berlari-larian. Mereka melemparkan lodong-lodong bambu di tangan mereka. Sedang mereka berlari-lari pulang mengambil sabit, pedang, pacul dan senjata-senjata tajam mereka untuk menebang hutan-hutan perdu dan batang-batang ilalang.

Rakyat Banyu Biru menjadi kacau seperti gabah dalam tampian. Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta berusaha untuk menenangkan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka memberi petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan.

Jangan bingung !” terdengar suara Mantingan gemuruh, “Semua pergi ke lereng. Tebang batang-batang ilalang yang belum termakan api supaya api tidak terus menjalar ke atas.

Di sebelah lain Wirasaba berteriak tinggi, “Nah, yang sudah bersenjata di tangan masing-masing pergi sekarang juga. Jangan menunggu api api mendatangi kalian. Kalian harus menyerbu ke daerah api itu.”

Wirasaba sendiri mendahului pergi ke lereng bukit Telamaya. Dengan kapak raksasanya ia menebas pohon-pohon perdu seperti menebas rumput-rumput saja. Tenaga raksasanya benar-benar dimanfaatkan untuk menyelamatkan hutan ilalang yang masih mungkin di selamatkan demi keselamatan Banyu Biru. Rakyat Banyu Biru pun segera menggulung lengan baju mereka atau melepas baju mereka sama sekali. Dengan pedang, cangkul dan apa saja di tangan mereka, mereka berusaha untuk membuat antara yang dapat membatasi menjalarnya api. Tetapi lereng itu sangat panjang. Api yang menyala-nyala itu tidak saja merambat ke atas, tetapi juga merambat ke samping membuat garis yang panjang, untuk kemudian perlahan-lahan mendaki tebing.

Gajah Sora sampai di alun-alun ketika rakyat Banyu Biru sudah mulai berlari-larian meninggalkan alun-alun itu. Dilihatnya Wanamerta tua sedang sibuk memberi aba-aba kepada mereka. Dengan lantang Ki Ageng Gajah Sora berteriak, “Apa yang sudah Paman kerjakan?

Wanamerta terkejut. Suara itu telah agak lama tak didengarnya. Kini dalam keributan itu suara didengarnya kembali. Dengan lantang pula ia menjawab “Aku mencoba memisahkan daerah yang terbakar itu dengan yang lain, supaya api dapat di batasi.

Bagus,” sahut Gajah Sora. “Aku akan pergi ke lereng.”

Wanamerta tidak sempat berbuat lain. Dan dalam kesibukan itu, seakan-akan kehadiran Gajah Sora adalah kehadiran yang wajar. Seperti waktu lima enam tahun yang lampau itu, hanya sekejap mata saja. Seperti Gajah Sora tak pernah meninggalkan Banyu Biru. Seolah-olah Kepala Tanah Perdikan itu baru saja keluar dari rumahnya di samping alun-alun itu.

Gajah Sora memacu kudanya ke lereng. Ia melihat rakyat Banyu Biru sedang berjuang untuk menyelamatkan tanah dan pedukuhan mereka dari kemusnahan. Laki-laki, perempuan dan anak-anak. Namun api itu menjalar terus.

Sebentar kemudian datanglah laskar Banyu Biru yang lain. Mereka tidak sempat menjenguk keluarga mereka. Mereka tidak sempat menyatakan keselamatan diri mereka kepada keluarga mereka. Karena mereka pun segera ikut serta berjuang menebang pohon-pohon dan ilalang. Alangkah lambatnya pekerjaan itu. Beratus-ratus orang telah bekerja dengan dengan segenap tenaga, namun seakan-akan pekerjaan mereka tidak maju-maju. Gajah Sora menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Pecahkan tangki yang mengatur air dari Sendang Muncul. Airnya akan tumpah dan mengalir kemari. Bantulah membuat jalur-jalur, supaya airnya segera sampai ke daerah api. Mudah-mudahan ada pengaruhnya.”

Beberapa orang segera berlari-larian ketempat penyimpanan air. Air itu tampak menggenang tenang. Dalam dan cukup luas. Rakyat Banyu Biru mempergunakan untuk mengairi sawah-sawah mereka di musim kering yang panjang. Tetapi kini mereka terpaksa memecahkan tangkis blumbang itu, untuk menyelamatkan bukit Telamaya dari kehancuran yang lebih besar, meskipun kemudian mereka membutuhkan waktu untuk memperbaikinya, dan dengan demikian akan berarti pula bahwa mereka kehilangan kesempatan satu panen padi, dan harus menenaminya dengan palawija saja. Namun apa yang harus dilakukan sekarang ternyata tak dapat lain daripada mengalirkan air itu ke daerah yang terbakar.

Dengan cangkul, mereka berusaha memecahkan tangki batu itu. Satu-satu mereka mendongkelnya dengan linggis dan kapak. Alangkah lambatnya. Arya menjadi tidak telaten. Segera ia pun berlari ke tempat itu, sambil berteriak nyaring ia meloncat di antara mereka yang sedang sibuk menyobek tangkis batu itu. “Semua minggir. Cepat.

Orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi heran. Kenapa harus minggir. Bukankah mereka harus memecahkan tangkis batu itu? Tetapi segera mereka berloncatan ketika mereka melihat Arya Salaka berdiri tegak di atas satu kakinya, kakinya yang lain diangkatnya ke depan, satu tangannya menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti api yang menjilat-jilat ke udara itu. Dengan penuh tenaga dan kemampuannya, Arya berteriak nyaring sambil meloncat maju. Tangannya itu diayunkankan keras sekali. Dan, terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat. Aji Sasra Birawa menghantam tangkis itu. Maka pecahlah beberapa batu dan terlontar berserakan. Air dalam waduk itu bergolak, kemudian terlontar keluar lewat lubang yang dibuat oleh Arya Salaka. Suaranya bergemuruh seperti pasukan yang berbaris menyerbu musuh. Arya segera meloncat menghindari air itu. Demikian juga beberapa orang yang berdiri keheran-heranan melihat tandang anak muda itu. Diantara mereka yang menjadi keheran-heranan adalah Ki Ageng Gajah Sora sendiri. Disamping harapannya yang tumbuh karena air yang melimpah itu, sehingga akan dapat mempengaruhi api yang sedang menyala-nyala itu, ia pun menjadi heran melihat tandang anaknya itu. Benar-benar diluar dugaannya. Sasra Birawa itu benar-benar mencengangkan. Agaknya Arya dapat menerapkan ilmunya tidak saja untuk melawan musuh dan membinasakannya, namun kini mempergunakannya untuk keselamatan daerah Banyu Biru dari bahaya api.

Air itu mengalir seperti seekor naga. Dengan cepatnya meluncur ke lerang. Beberapa orang sibuk membuat jalur-jalur untuk mengatur arahnya, sehingga dapat mencapai api yang sedang berkobar itu.

Lereng bukit Telamaya itu menjadi semakin ribut. Orang-orang berlarian kian kemari. Anak-anak yang ikut menebas batang-batang ilalang sudah menjadi ketakutan, karena api seakan siap untuk menerkam mereka. Namun air yang mengalir dari blumbang akan sekedar membantu mereka.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun ikut sibuk pula membantu mereka. Mereka berloncatan dengan pedang ditangan mereka, menebangi pohon-pohon perdu. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar tertarik pada asap yang mengepul di udara. Dilihatnya asap yang bergulung-gulung kehitam-hitaman. Sesaat ia berdiri tegak mengamat-amati asap itu. Ketika ia menoleh ke arah Kebo Kanigara, maka Kebo Kanigara pun mengangguk. Dengan berlari-lari Mahesa Jenar pergi mendekatinya sambil berbisik, “Kakang, aku melihat asap minyak. Entahlah, apakah minyak kelapa, jarak atau minyak kelenteng. Tetapi aku melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya.”

Aku berpikir demikian sejak tadi” jawab Kebo Kanigara.

Marilah kita lihat.” Jawab Mahesa Jenar.

Aku ikut!” tiba-tiba suara kecil menyahut dibelakang mereka. Ketika mereka menoleh, mereka melihat Endang Widuri tersenyum. Sedang disampingnya berdiri Rara Wilis.

Sekali lagi Mahesa Jenar memandang berkeliling. Beratus-ratus orang sibuk bekerja dengan penuh tenaga.

Tenaga kami tak seberapa membantu disini, kakang.” Kata Mahesa Jenar, “Bagi kami, lebih penting melihat sumber kebakaran ini.”

Kebo Kanigara tidak menjawab. Denga tergesa-gesa ia melangkah ke arah kuda-kuda mereka tertambat. Mahesa Jenar, Endang Widuri dan Rara Wilis segera mengikutinya rapat dibelakangnya.

Sesaat kemudian empat ekor kuda menderu dengan lajunya. Tak seorangpun yang menaruh perhatian atas kuda-kuda itu, karena mereka sedang tenggelam dalam usaha menarik garis pemisah antara api dan tanah mereka.

Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Endang Widuri segera mencari jalan, melingkari api yang sedang menyala-nyala itu, menuju ke tempat asap hitam yang bergulung di udara.

Dari tempat itulah aku kira api menyala” kata Mahesa Jenar.

Ya,” jawab Kebo Kanigara singkat.

Kuda mereka berpacu terus. Semakin lama semakin cepat. Lidah api yang menjilat langit mengatasi sinar bulan muda yang makin condong di arah barat. Sekali-kali mereka harus meloncati jurang-jurang sempit dan dangkal, namun sekali-sekali kuda harus menyusur jalan setapak di lereng bukit.

Api yang menyala-nyala itupun menjadi semakin luas. Di ujung nyala, asap yang hitam masih berputar-putar di langit, meskipun sudah semakin tipis.

Seorang yang bertubuh tegap dan berwajah tampan, berdiri bertolak pinggang. Cahaya api yang menyala-nyala di hadapannya agaknya sangat menarik perhatiannya. Bibirnya yang tipis, selalu membayangkan sebuah senyum yang menarik. Dari matanya yang redup memancarlah cahaya yang aneh. Meskipun bibirnya selalu tersenyum, namun betapa matanya membayangkan kebencian dan dendam sebesar bukit.

Ketika orang itu melihat api yang semakin besar, maka sambil bertolak pinggang ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya gemuruh memukul tebing-tebing pegunungan. Dari suara tertawanya itu terdengarlah ia berkata, “Musnahlah Banyu Biru sekarang. Ternyata api itu menjalar terlampau cepat. Melampaui dugaanku semula. Apabila Banyu Biru itu sudah menjadi abu, barulah puas hatiku. Dan barulah aku akan kembali ke Nusa Kambangan.”

Kembali suara tertawanya mengguntur. Namun tiba-tiba suara itu terputus, ia mendengar derap beberapa ekor kuda mendekatinya. Telinganya yang tajam segera dapat menduga, bahwa yang datang itu sedikitnya empat ekor kuda.

Siapakah mereka?” gumamnya, “Kalau yang datang itu cecurut-cecurut Banyu Biru, maka mereka akan aku binasakan di dalam api. Tetapi bagaimana kalau Mahesa Jenar?

Ah!” kata-katanya itu dibantahnya sendiri. “Mahesa Jenar masih berada di Pimingit.”

Meskipun demikian hatinya menjadi tidak enak. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati kudanya. Kemudian orang itupun meloncat ke punggung kudanya. “Lebih baik aku menyingkirkan siapa pun yang datang.”

Dan segera kudanya itu pun dilarikannya.

Tetapi mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajamnya melampaui mata burung alap-alap masih melihat bayangan  itu bergerak menjauhi api. “Itulah dia.” desis Mahesa Jenar dan dengan serta merta dengan pangkal kendali, kudanya dilecutnya habis-habisan, sehingga kuda itu berlari seperti gila. Disampingnya Kebo Kanigara pun mempercepat lari kudanya, sedang Endang Widuri menjadi gembira. Ia memang senang berpacu kuda. Tetapi Rara Wilis terpaksa semakin berhati-hati, sebab kudanya pun ikut berlari pula kencang-kencang. Tetapi kuda orang yang mereka kejar pun kuda yang baik pula, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin dekat.

Tiba-tiba terdengar Widuri, yang berpacu dibelakang Kebo Kanigara berteriak nyaring, “Ayah, aku memotong jalan.”

Kebo Kanigara terkejut. “Jangan !” jawabnya. Namun Widuri telah membelok, melalui padang ilalang. Ternyata Widuri memang mempunyai kecakapan naik kuda. Dengan lincahnya ia mengendalikan kudanya, memilih jalan yang memotong, meskipun sekali-sekali harus diloncatinya parit, ledokan batu padas dan gerumbul-gerumbul kecil. Kebo Kanigara tidak tega membiarkan anaknya menempuh lapangan, perdu dan padas yang miring itu. Karena itu pun ia berpacu di belakang anaknya. Sedang Mahesa Jenar dan Rara Wilis tetap menempuh jalan semula, sebab mereka tidak mau buruannya kali ini terlepas.

Ternyata Widuri cakap memperhitungkan waktu. Ia berhasil memotong kejarannya beberapa langkah. Dengan satu loncatan panjang kudanya menjejakkan kakinya, lima langkah saja dihadapan kuda buruannya.

Kuda Widuri itu masih maju lagi beberapa depa sebelum ia berhasil menghentikannya. Namun kehadirannya yang tiba-tiba itu telah mengejutkan kuda buruannya, sehingga kuda itu meloncat berdiri di atas kaki belakangnya dan meringkik-ringkik. Penunggangnya berusaha untuk menguasainya. Ternyata penunggangnya itu benar-benar cakap, sehingga sejenak kemudian kembali ke arah yang dapat dikuasainya dan dipacunya untuk berlari ke arah yang berlawanan. Namun sekali lagi ia terpaksa menarik kekang kudanya, sebab dilihatnya dekat dibelakangnya dua orang lain yang sudah memperlambat kuda-kuda mereka. Mahesa Jenar dan Rara Wilis.

Akhirnya orang berkuda itu tidak dapat melepaskan dirinya lagi. Di sekelilingnya duduk tegak di atas punggung kuda, Kebo Kanigara, Endang Widuri, Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Namun meskipun demikian, orang itu masih tersenyum, senyum iblis.

Berdirilah segera bulu kuduk Rara Wilis melihat senyum itu. Ia sebenarnya tidak takut menghadapinya, tetapi perasaan aneh selalu menyentuh-nyentuh hatinya apabila melihat wajah itu. Jangankan melihat dan berhadapan muka, sedang mengenang senyum itu saja pun hatinya berdebar-debar.

Sesaat suasana menjadi sepi. Nyala api dikejauhan jatuh di atas tubuh-tubuh mereka mewarnai wajah mereka dengan warna-warna merah yang bergerak-gerak. Dan dalam kesepian itu terdengar Mahesa Jenar menggeram,”Kau agaknya Jaka Soka?

Orang berkuda itu, yang tidak lain adalah Jaka Soka menarik senyumnya lebih lebar lagi. Jawabnya “Ya, kenapa?

Kau tahu akibatnya dari perbuatanmu itu?” tanya Mahesa Jenar.

Jaka Soka tertawa, katanya, “Aku tahu pasti. Banybiru akan musnah.

Orang-orang yang tak tahu apa-apa pun akan menderita karenanya. Perempuan dan anak-anak.” Desak Mahesa Jenar.

Aku tahu pasti,” sahut Jaka Soka, “Dan itulah tujuanku”.

Juga perempuan dan anak-anak?” potong Endang Widuri.

Ya. Semua yang hidup di atasnya” jawab Jaka Soka.

Setan,” desis Widuri.

Sekali lagi Jaka Soka tertawa, katanya, “Apa pedulimu terhadap perempuan dan anak-anak Banyu Biru? Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan mereka. Dan kini aku telah menyaksikan pertunjukan yang mengasikkkan. Perempuan dan anak-anak Banyu Biru menangis melolong-lolong ketakutan”. Sekali lagi suara tertawa Ular Laut itu menggetarkan udara lembah yang lembab namun panas itu. Panas karena nyala api di lereng bukit Telamaya, panas karena hati yang terbakar oleh kemarahan.

Kau salah sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar. “Perempuan dan anak-anak di Banyu Biru tidak menangis dan melolong-lolong dan berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”

Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang, tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi tertawa, “Kau bermimpi agaknya,” kanyanya,”perempuan dan anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.”

Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara.

Sekali wajah itu menjadi tegang.

Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyu Biru” kata Mahesa Jenar.

Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring, jawabnya, “Sejak kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau tidak berani menangkap sendiri, bahkan berempat. Kau coba membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama laskar Banyu Biru.

Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu benar-benar menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui, ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra tua dari Lodaya.

Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka, “Atau kalian ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan gadis ini?

Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil tersenyum dengan mata yang redup, “Akhirnya kaulah yang mencari aku, Wilis.

Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar karena marah. Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa pula. Katanya, “Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang berwajah tampan.

Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua mata memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa saja sambil berkata terus, “Adakah kau juga bermimpi tentang bibi Wilis, paman yang baik?

Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak melontar keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus, “Alangkah indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari Nusakambangan. He, paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila padamu. Akupun juga tidak pernah melupakanmu. Sayang, rakyat Banyu Biru sedang mencari tumbal untuk memperbaiki tangkis yang pecah, karena airnya dialirkan untuk memadamkan apimu. Dan tumbal itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan. Sehingga mimpi kami berdua tentang Paman Soka tak akan pernah kami alami lagi.

Tutup mulutmu!” bentak Jaka Soka marah.

Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya, “Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.”

Gila Kau!” bentak Jaka Soka dengan marahnya. Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan terlawan.

Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepanjangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian, “Nah, seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi Wilis yang mencari Paman?

Jaka Soka menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu berkicau. Karena itu ia berteriak, “Mahesa Jenar, apakah maksudmu menyusul aku?

Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka” jawab Mahesa Jenar.

Ya!” sahut Jaka Soka, “Menangkap aku hidup atau mati.

Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar, “Kami ingin membawa kau kepada rakyat Banyu Biru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu, tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing yang ganas.

Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka, senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali.

Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar, “Kami tak memiliki tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan yang baik.

Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-baiknya,” kata Jaka Soka. “Tetapi kau akan menyesal, apabila tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk menyimpan aku hidup-hidup.

Hem!” Mahesa Jenar bergumam, “Jangan keras kepala.

Kembali Ular Laut itu tertawa, “Sekarang katakan saja, apakah maksud kalian?

Sudah kami jawab” jawab Mahesa Jenar.

O,” desis Jaka Soka, “Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.

Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar, “Sebenarnya kau tahu apa yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak ada lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain kau. Karena itu kami tak membunuhmu.

Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka Soka, “Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal kepala kalian satu demi satu.”

Ai!” teriak Widuri, “Bagaimana kami hidup tanpa kepala?

Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.

Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan berat. “Adakah itu keputusanmu?

Ya,” jawab Jaka Soka, “Aku tantang kalian berempat. Atau adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur seorang diri melawan aku untuk mewakili kalian?

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia tahu benar maksud Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang untuk melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata, “Kalau kalian benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing berhati kesatria, kalian masing-masing pasti akan menolak untuk bertempur seorang lawan seorang, tidak seperti anak-anak cengeng yang hanya berani bertempur bersama-sama.

Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus. “Kalau demikian, akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian. Kesudahannya akan menjadi keputusan terakhir.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu berganti-ganti. Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya belum merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi maksudnya. Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang paling lemah di antara mereka berempat. Tetapi selagi mereka menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar Widuri menjawab dengan suaranya yang nyaring, “Adil. Itu sangat adil. Nah, pilihlah satu di antara kami.

Semua terkejut mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda masih mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia mengharap Jaka Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah Widuri kini akan mampu melawan Ular Laut dengan tongkat hitamnya?.

Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung dan sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain, Kelabang Sayuta.

Tiba-Tiba wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka menyahut dengan gembira, “Keputusan telah jatuh. Baiklah aku memilih lawanku.” Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap Rara Wilis sambil mengangguk dalam-dalam, “Kau akan mendapat kehormatan.

Gila!” teriak Widuri lantang.

Aku telah memilih,” potong Jaka Soka. “Tetapi kau berkata bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,” bantah Widuri.

Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka.

Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat turun dari kudanya pula, “Akulah lawanmu.”

Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-lahan, “Biarlah aku menerima pilihannya.”

Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam. Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi tegang.

Ayah!” Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki ayahnya. “Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah Ular Laut yang gila itu.”

Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan itu dengan membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan?

Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata, “Bagaimana? Apakah kalian akan bertempur bersama?

Tidak!” potong Rara Wilis tegas. “Aku akan mewakili.

Wilis,” terdengar suara Mahesa Jenar bergetar. Namun ia melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka Soka, namun kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di dalam tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.

Ha?” kata Jaka Soka, “Agaknya kau benar-benar gadis berhati jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?

Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis, “Aku sudah siap.

Hem” Jaka Soka berkata lagi, “Bagaimana dengan yang lain? Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?

Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas punggung kudanya.

Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata, “Wilis, aku akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur hidupku atau dibunuh sekali pun asal kau bersedia menjadi istriku.”

Gila!” teriak Widuri marah, “Kalau kau dihukum mati, apakah Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?

Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka, “Sebulan atau dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.

Aku sudah bersedia,” potong Wilis, “Jangan mengigau.

Sayang,” jawab Jaka Soka, “Setangkai bunga yang betapapun indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki, lebih baik aku runtuhkan daun mahkotanya.

Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar. Ia menjadi semakin muak melihat wajah itu.

Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung kuda. “Ayah, bunuh sajalah iblis itu.

Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu sedang Mahesa Jenar senditi tak berbuat sesuatu pula. Hanya hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut yang licik itu.

Tiba-Tiba terdengar suara Mahesa Jenar berdesir, “Wilis. Kau dapat menolak pilihan itu.”

Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis, “Aku harus menjunjung tinggi nama perguruan Pandan Alas.”

Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar, “Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.

Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan olehnya,” jawab Wilis.

Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat-umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan hanyalah berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu.

———-oOo———-

II

Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan dengan Rara Wilis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap duduk di atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun. Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut senjata masing-masing. Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.

“Nah, marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum, “Selamanya aku menghormati perempuan.”

Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera ia mulai menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia tidak dapat memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu akan mengarah. Namun kemudian Ular Laut yang telah kenyang pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat maupun di lautan itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan dahsyatnya. Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya, mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak. Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya.

Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian menjadi heran akan keterampilan Rara Wilis. Seperti di Banyu Biru beberapa waktu lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya. Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir saja menyentuh tubuhnya.

Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak juga segera berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam satu pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan tersenyum, “Wilis kau benar-benar gadis yang cantik.”

Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya menjadi gemetar. Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak, namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi ngeri mendengar kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian itulah Jaka Soka mengambil kesempatan. Dengan lincahnya ia meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih dapat menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar dengan sengitnya. Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci kelemahan perasaan hati seorang gadis.

Karena itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira. Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi permainannya. Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin itu. Tetapi bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara Wilis lah yang akan mencegahnya.

Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk meruntuhkan hati lawannya. Kadang-kadang ia merayu dengan manisnya kadang-kadang memuji dengan mesranya.

Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya ia menggeram, “Soka, kau telah berbuat curang.

Jaka Soka masih tersenyum sambil menggerakkan pedangnya. Jawabnya “Aku berkata sebenarnya Mahesa Jenar, alangkah indahnya wajah yang bulat ini. Apalagi kau Wilis sedang bersungut-sungut. Benar-benar gila aku dibuatnya.

Kata-kata itu benar-benar mempengaruhi perasaan Rara Wilis. Kemarahan, kebencian dan muak menjalari otaknya. Namun karena itu ia menjadi bingung. Bingung karena campur baur perasaan yang tak dapat dikendalikan.

Kalau kau berbuat curang, aku pun tidak akan memperdulikan perjanjian kita lagi” sahut Mahesa Jenar, ”aku akan terjun dalam pertempuran.”

Bagus”, jawab Jaka Soka “sejak semula aku telah mempersilahkan. Ternyata dugaanku benar, bahwa ajaran Pandan Alas tidak lebih dari pelajaran tari menari yang hanya dapat menumbuhkan perasaan kagum pada penarinya. Apalagi penari secantik Rara Wilis.

Gila”, geram Mahesa Jenar. Dadanya bergelora karena marah. Tetapi ia tidak berani berbuat dengan tergesa-gesa. Rara Wilis ternyata adalah seorang gadis yang mempunyai harga diri.

Tetapi Rara Wilis kini benar-benar dipengaruhi oleh sifat-sifat kegadisannya. Karena itu beberapa kali ia terpaksa meloncat surut, menghindar dan menjauhi lawannya. Ia merasa betapa tangannya menjadi gemetar dan tubuhnya menjadi lemah. Berkali-kali berusaha untuk menegakkan kembali tekadnya bertempur mati-matian, namun perasaannya yang aneh selalu kembali membelit hati.

Jaka Soka melihat lawannya menjadi gelisah. Karena itu ia mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia mencoba untuk mempermainkan gadis itu, menghinanya dengan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya dan kemudian melumpuhkannya.

Mahesa Jenar adalah orang yang terkenal dengan sifat-sifat keperwiraan serta kejantanannya. Ia selalu berusaha untuk menepati perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya langsung atau tidak langsung. Namun kali ini perasaannya benar-benar diuji. Ia tidak dapat melihat peristiwa yang terjadi di muka hidungnya. Ia tidak dapat menyaksikan Rara Wilis, gadis yang telah mengikat hatinya itu mengalami perlakuan yang tidak adil. Karena itu hampir saja ia lupa diri.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang dapat merubah keadaan itu. Lamat-lamat dibawah angin pegunungan terdengar suara tembang. Mengalun seirama dengan desir angin lembut membelai hati mereka yang sedang dicekam oleh ketegangan. Tembang Dandang Gula, yang semakin lama menjadi semakin jelas.

Segera Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Mula-mula ia tidak tahu apakah maksud suara tembang itu. Suara tembang yang tiba-tiba saja ada diantara keributan api yang membakar lereng pegunungan Telamaya, dan diantara perkelahian antara hidup dan mati. Tetapi kemudian ia tersenyum dalam hati. Ia kenal suara itu baik-baik. Suara yang telah banyak menolongnya dalam berbagai keadaan. Pada saat-saat ia hampir dibinasakan oleh Pasingsingan di alas Tambak Baja maupun di Banyu Biru.

Tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata lantang, “Kakang Kebo Kanigara, siapakah yang berlagu tembang Dandang Gula itu?

Terdengar Kebo Kanigara menjawab lantang pula, “Paman Pandan Alas. Ternyata ia hadir disini.”

Bagus”, sahut Mahesa Jenar, “Orang tua itu tidak terikat pada perjanjian antara kita dengan Ular Laut yang gila itu. Bukankah perguruan Pandan Alas hanya merupakan perguruan yang tak berharga. Tidak lebih dari perguruan tari dari tari-tarian yang menggairahkan. Alangkah lebih menggairahkan kalau gurunya itu yang menari disini.

Gila. Setan. Iblis”, tiba-tiba Jaka Soka mengumpat habis-habisan. “Apa kerja kambing tua itu disini?

Melihat muridnya menari”, tiba-tiba terdengar suara kecil. Suara Endang Widuri. Selama ini urat syarafnya menjadi tegang setegang tali busur. Namun tiba-tiba kini telah mengendor dan gadis nakal itu telah dapat tersenyum pula.

Karena suara tembang itu pula, maka keseimbangan perkelahian itu terpengaruh. Tiba-tiba Rara Wilis menjadi seperti seorang yang menerima kekuatan baru. Kehadiran guru serta sekaligus kakeknya itu telah membangkitkan kebulatan tekadnya kembali. Suara tembang itu telah membantunya, menyingkirkan perasaan kegadisannya yang selama ini mengganggunya. Sebaliknya Jaka Sokalah yang kini menjadi gelisah. Ia sadar, bukan tidak sengaja Mahesa Jenar berteriak-teriak, bahwa orang orang tua itu tidak terikat dengan suatu perjanjian apapun. Karena itu, Jaka Soka menjadi cemas. Cemas akan kehadiran Pandan Alas.

Dengan demikian, pertempuran pun menjadi berubah. Rara Wilis telah berhasil menguasai pedangnya dengan baik. Sekali-kali pedang itu menyambar dengan dahsyatnya kearah-arah yang berbahaya. Sedang Jaka Soka yang gelisah itu semakin kehilangan pengamatan atas pedang serta tongkat hitamnya.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Setapak demi setapak Rara Wilis mulai mendesak lawannya. Jaka Soka sekali-kali masih mencoba mempengaruhi perasaan lawannya, namun karena hatinya sendiri menjadi gelisah, maka usahanya tidak berhasil. Kata-katanya menjadi janggal dan justru menjadikan Rara Wilis semakin teguh pada pendiriannya. Bahwa Ular Laut itu harus dibinasakan.

Akhirnya terdengar Jaka Soka berteriak, “He, kalau kalian orang-orang jantan, suruh kambing jenggotan itu berhenti mengembik.

Yang menjawab adalah Mahesa Jenar, “Tak ada sangkut paut antara kita dengan orang tua itu. Kita telah berjanji menyelesaikan persoalan kita sendiri. Sedang Ki Ageng Pandan Alas berdendang untuk melepaskan kegemarannya sendiri. Di tempat lain dan dalam persoalan lain.”

Bohong,” sahut Jaka Soka yang menjadi semakin gelisah, “Pandan Alas telah mencoba mempengaruhi perasaanku. Menakut-nakuti dan mencoba melemahkan perlawananku.”

Kenapa kau tiba-tiba menjadi takut?” sela Endang Widuri, “Bukankah kau sedang menonton tari-tarian yang menggairahkan?

Jaka Soka menggeretakkan giginya. Dipusatkannya panca inderanya untuk melawan Rara Wilis. Namun suara tembang yang dilontarkan dengan getaran indera yang kuat itu masih saja mengetuk-ngetuk hatinya. Karena itulah akhirnya dengan kemarahan yang meluap-luap Jaka Soka mengamuk sejadi-jadinya. Namun dengan demikian ia telah kehilangan sebagian dari pengamatan diri. Sedang lawannya perlahan-lahan telah berhasil menguasai keseimbangan perasaan sepenuhnya.

Maka akhirnya berlakulah segala kehendak Tuhan. Setiap kejahatan dan pengingkaran kepada firman-Nya pasti akan menerima hukumannya. Kali ini Rara Wilislah yang menjadi lantaran. Betapa dahsyat dan licinnya Ular Laut yang ganas itu, namun karena kegelisahan yang mengoncang-goncang dadanya maka ia telah kehilangan sebagian kegarangannya. Demikianlah tiba-tiba saja ketika serangannya tak mengenai sasarannya, Rara Wilis meloncat maju. Dengan lincahnya pedang tipisnya terjulur lurus kearah lambung lawannya. Terasa ujung pedangnya menyentuh tubuh lawannya dan kemudian disusul dengan sebuah keluhan tertahan. Dan ketika pedang itu digerakkan mendatar, maka memancarlah darah dari perut Jaka Soka. Sebuah luka telah menganga.

Sesaat Jaka Soka tegak dengan wajah menyeringai menahan sakit. Tangannya menjadi gemetar dan kemudian kedua buah senjata dikedua tangannya itu terjatuh. Namun ia masih berdiri tegak dengan gagahnya. Bahkan akhirnya bibirnya yang tipis itu melukiskan sebuah senyum. Senyum yang aneh, sedang dari matanya yang redup itu pun memancar sinar yang aneh.

Dalam keadaan yang demikian itu ia masih mencoba melangkah maju mendekati Rara Wwilis. Bahkan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar kata-kata, “Wilis. Kau memang cantik.

Rara Wilis menjadi ngeri melihat peristiwa itu, seakan-akan sesosok hantu berdiri di hadapannya, siap untuk menerkamnya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Pergi, pergi!”

Tetapi hantu itu tidak pergi. Dengan darah yang memancar dari lukanya, Jaka Soka masih berusaha melangkah maju. Senyumnya masih membayang di bibirnya yang tipis, sedang matanya yang redup masih juga memancarkan sinar yang menggelisahkan hati setiap gadis yang melihatnya.

Bahkan ketika kengerian Jaka Soka maju setapak lagi, Rara Wilis tak dapat menahan kengerian hatinya. Kembali terdengar ia berteriak, “Pergi, pergi. Jangan dekati aku.” Namun hantu itu masih tegak. Dan masih terdengar ia berkata diantara senyumnya, “Marilah Wilis. Jangan takut. Kau sangat cantik.” Dan ketika setapak lagi Jaka Soka melangkah maju, tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya, dan dengan tak diduga oleh siapapun ia meloncat berlari sekencang-kencangnya menjahui hantu yang mengerikan itu. Ia sudah tidak sempat melihat Jaka Soka itu terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.

Wilis, Wilis,” Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Dengan suara yang lantang ia berteriak memanggil. Namun Rara Wilis berlari terus dan terus. Karena itu segera Mahesa Jenar berlari mengejarnya, “Wilis!” terdengarlah suara Mahesa Jenar memanggil, namun suara itu seakan-akan hilang ditelan lembah-lembah pegunungan. Sedang Rara Wilis seakan-akan tak mendengarnya. Tetapi langkah Mahesa Jenar lebih panjang daripadanya, sehingga kemudian Rara Wilis itu pun dapat disusulnya. Dengan tangannya yang kokoh kuat, Mahesa Jenar memegang pundaknya. Namun tiba-tiba Rara Wilis itu meronta-ronta sambil berteriak, “Lepaskan, lepaskan aku. Pergi, pergi ke asalmu.

Wilis” bisik Mahesa Jenar.

Aku tidak mau. Aku tidak mau!” teriak Rara Wilis semakin keras.

MAHESA JENAR sadar, bahwa segala ketakutan, kengerian yang disimpan di dalam dada gadis itu terhadap Jaka Soka kini meledak dengan dahsatnya. Karena itu sekali lagi ia mencoba menenangkannya. “Wilis. Tenanglah. Aku Mahesa Jenar”.

Nama itu benar-benar berpengaruh dihati Rara Wilis. Kini ia tidak meronta-ronta lagi. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya laki-laki itu. Mahesa Jenar. Tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya dan dijatuhkannya kepalanya didada laki-laki itu. Tangisnya pecah seperti bendungan dihantam banjir. Dari sela-sela isak tangisnya terdengar suaranya gemetar. “Kakang aku takut”.

Jangan takut Wilis.” Kata-kata Itu bagi Rara Wilis seperti air sejuk yang menyiram tenggorokannya pada saat ia kehausan. Karena itulah maka tangisnya menjadi semakin keras. Dan kembali kata-katanya yang gemetar terdengar. “Kakang, aku hampir gila dibuatnya”.

Kini ia tidak akan menakut-nakuti lagi Wilis”, jawab Mahesa Jenar.

Ia tidak mengejar aku ?” bertanya Rara Wilis.

Ular Laut itu telah mati”. Jawab Mahesa Jenar.

Mati?” ulang Rara Wilis. ”Siapakah yang membunuhnya?

Kau. Pedangmu”, jawab Mahesa Jenar.

Oh..” dan Rara Wilis menekankan kepalanya lebih rapat.

Sesaat mereka tenggelam ke dalam perasaan yang tidak menentu. Tiba-tiba dada Rara Wilis menjadi lapang, selapang Rawa Pening yang terbentang jauh di bawah kaki mereka. Kini ia tidak akan dibayangi oleh senyum mengerikan dibibir Jaka Soka. Matanya yang redup tidak akan lagi menghentak-hentak dadanya. Memang sejak pertemuan yang pertama dengan Ular Laut itu dihutan Tambak Baya, ia tidak pernah dapat tenang apabila wajah yang selalu membayangkan senyum dibibir tipisnya serta sinar yang memancar dari matanya yang redup namun penuh nafsu itu membayang didalam angan-angannya.

Dan kini orang yang mengerikan itu telah binasa.

Meskipun Lawa Ijo, sepasang Uling Rawa Pening dan segerombolannya nampaknya lebih garang dari Jaka Soka, namun bagi Rara Wilis, lebih baik ia harus berhadapan dengan wajah-wajah yang buas bengis itu, daripada wajah tampan yang memancarkan nafsu yang mengerikan. Lebih baik dadanya terbelah hancur dan mati daripada ia harus jatuh ke tangan Ular Laut dari Nusakambangan itu.

Tetapi masa-masa yang mengerikan itu telah lampau. Kini ia berada ditangan laki-laki tempat ia menyangkutkan harapannya dimasa datang. Karena itu alangkah sejuk perasaannya. Tanpa ketakutan, tanpa kengerian dan tanpa dendam.

Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ketika matanya terdampar ke arah api yang masih menyala-nyala itu, terdengar ia bergumam. ”Wilis, meskipun Jaka Soka telah binasa, namun bekas tangannya itu masih membahayakan Banyu Biru”.

Rara Wilis kemudian terdampar dibumi kenyataan setelah angan-angannya melambung tinggi setinggi bintang-bintang dilangit. Seperti Mahesa Jenar, iapun dengan tajamnya memandang api yang menyala-nyala itu, “Bagaimana dengan api itu kakang?

Marilah kita kembali”, ajak Mahesa Jenar.

Rara Wilis mengangguk. Dan melangkahlah ia mendahului Mahesa Jenar kembali ke tempat kuda-kuda mereka.

Dari kejauhan dilihatnya Kebo Kanigara dan Endang Widuri berdiri dengan tegang kaku. Disamping mereka, telah berdiri pula seorang lagi, Ki Ageng Pandan Alas.

Ketika mereka melihat Rara Wilis berjalan kembali diiringkan oleh Mahesa Jenar, mereka menarik nafas dalam-dalam.

Tidakkah kau mengalami sesuatu”, terdengar Ki Ageng Pandan Alas bertanya kepada cucunya.

Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika terpandang olehnya mayat Jaka Soka yang menelungkup di muka kaki kakeknya. Ia memalingkan wajahnya.

Aku melihat semua yang terjadi di sini”, berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Ketika aku datang bersama-sama Nyai Ageng Gajah Sora aku melihat kalian berkuda. Aku sudah mengira apa yang akan kalian lakukan, namun aku tidak segera dapat menyusul. Aku terpaksa menyerahkan Nyai Ageng dahulu kepada suaminya, baru aku menyusul kalianTetapi ketika aku melihat dikejauhan lima orang berkuda, aku menjadi curiga. Karena itu aku mendekatinya dengan diam-diam. Agaknya persoalan kalian demikian tegangnya, sehingga kalian tidak mendengar kehadiranku. Aku melihat kelicikan Jaka Soka yang mempengaruhi perasaan lawannya.Karena itu aku terpaksa berdendang lagu Dandang Gula.”

Suara eyang merdu sekali”, tiba-tiba Widuri menyela.

Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Kemudian katanya, ”lalu bagaimana dengan api itu?”

Serentak mereka menoleh kearah api dilereng bukit. Api itu masih menyala. Namun agaknya api itu tidak jauh maju. Bahkan dibeberapa bagian tampak, bahwa lidahnya tidak lagi menjilat langit.

Api itu susut”, gumam Mahesa Jenar.

Mudah-mudahan usaha paman Wanamerta dan rakyat Banyu Biru berhasil”, sahut Kebo Kanigara.

Api itu tidak akan dapat menjalar terus”, sambung Widuri.

Tetapi api itu belum sampai di daerah yang dipisahkan oleh Rakyat Banyu Biru itu”, sahut Mahesa Jenar.

Marilah kita lihat”, berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Aku akan mengambil kudaku.”

Sesaat kemudian mereka telah mengambil kuda masing-masing. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian meloncati padas-padas dilereng bukit itu, menyusup beberapa gerumbul untuk mengambil kudanya. Dan sesaat kemudian mereka berlima telah berpencar ke Banyu Biru.

Tetapi Mahesa Jenar yang berkuda dipaling depan, tiba-tiba berhenti. Katanya, “Paman Pandan Alas, api itu berhenti di sini.

Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara mengerutkan keningnya, “Ya, api itu berhenti di sini.”

Aneh,” desis mereka hampir bersamaan.

Untuk sesaat mereka berhenti termangu-mangu. Api itu tidak menjalar terus keatas. Dikejauhan masih terdengar campur baur dari suara ranting-ranting yang terbakar dengan suara teriakan-teriakan orang-orang Banyu Biru yang masih berusaha menarik garis batas antara daerah ilalang dan perdu yang dimakan api dengan pedukuhan mereka, dengan hutan-hutan getah dan hutan-hutan buah-buahan.

Sekali-kali mereka masih melihat beberapa ekor kijang, babi hutan dan binatang-binatang lain berlari-lari meninggalkan daerah yang panas itu.

Tiba-tiba dada Mahesa Jenar terguncang dahsyat. Dalam bayangan cahaya api yang kemerah-merahan, ia melihat sesosok tubuh yang berdiri tegak diantara batang-batang ilalang. Demikian terkejutnya sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kakang, kau lihat orang itu?

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia pun melihat bayangan itu. Ki Ageng Pandan Alas dan yang lain-lain pun akhirnya melihat pula.

Siapakah dia?” Wilis bergumam. Tiba-tiba ia menjadi ngeri.

Pasti bukan Jaka Soka”, sahut kakeknya.

Untuk sesaat mereka terdiam. Aneh. Seseorang berdiri diantara batang-batang ilalang yang sedang dimakan api. Kalau api itu menjalar terus, maka orang itu pun pasti akan menjadi abu pula. Namun agaknya api itu berhenti.

Angin tidak bertiup lagi”, desis Mahesa Jenar.

Batang-batang ilalang itu belum kering benar”, sahut Kebo Kanigara.

Tetapi Mahesa Jenar tidak puas dengan sangkaan-sangkaannya saja. Segera ia meloncat turun dari kudanya sambil berkata, “Akan aku dekati orang itu.

Tetapi kalau api itu menjalar”, Wilis mencoba untuk mencegahnya.

Tidak. Api itu benar-benar berhenti disini. Kalau tiba-tiba api itu bergerak, aku dapat berlari menjauhinya”, jawab Mahesa Jenar.

Aku pergi bersamamu”, sahut Kebo Kanigara.

Kita pergi bersama-sama”, sambung Endang Widuri.

Mahesa Jenar tidak dapat mencegah mereka. Segera yang lain pun berloncatan pula dari atas kuda mereka. Tetapi demikian mereka menginjakkan kaki mereka, terasa air memercik membasahi pakaian mereka.

Air”, teriak Widuri.

Baru Mahesa Jenar merasa, bahwa kakinya pun terendam air. Maka katanya, “Air dari blumbang yang dijebol.

Kemudian, mereka diam. Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati bayangan yang dilindungi oleh batang-batang ilalang. Cahaya yang kemerah-merahan bergerak-gerak dengan garangnya dan pancaran panasnya terasa meraba-raba tubuh mereka. Baru beberapa langkah mereka berjalan, peluh telah mengalir dari lubang-lubang di kulit mereka.

Selain panas yang membelai wajah mereka, merekapun harus berhati-hati. Apakah orang itu salah seorang dari kawan Jaka Soka, atau orang lain yang belum mereka kenal. Mereka tidak tahu apakah maksud orang itu, berdiri menghadap api yang sedang marah.

Semakin dekat, hati mereka semakin berdebar-debar. Ketika mereka kemudian dapat melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Orang itu adalah seorang tua yang berwajah tenang dan dalam dan mengenakan jubah putih.

Panembahan Ismaya.” Hampir bersamaan kelima orang itu bergumam.

Ya, Panembahan Ismaya,” Kebo Kanigara menegaskan.

Mereka menjadi yakin ketika orang tua itu menoleh ke arah mereka. Dan kemudian wajahnya yang dibayangi oleh cahaya api itu memancarkan sebuah senyum.

Marilah, marilah mendekat,” katanya perlahan-lahan.

Perlahan-lahan mereka berlima berjalan mendekati Panembahan Ismaya. Sambil membungkuk hormat Kebo Kanigara menyapanya, ”Selamat malam, Panembahan.”

Panembahan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah Datanglah kemari.”

Mereka berlima melangkah lebih dekat lagi. Dan sekali lagi mereka menekan gelora di dalam dada mereka, ketika mereka melihat bahwa Panembahan Ismaya memegang di kedua tangannya sepasang keris yang bercahaya. Bahkan demikian terguncang hati Mahesa Jenar, sehingga tanpa sengaja ia berdesis, “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Rara Wilis dan Endang Widuri terkejut. Agaknya itulah keris-keris pusaka Kraton Demak yang menggemparkan itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah Widuri berkata, “Pantas, api itu berhenti di sini.”

Panembahan Ismaya tertawa perlahan-lahan. Perlahan-lahan terdengar Panembahan itu berkata, “Aku sedang berusaha membantu rakyat Banyu Biru.

Panembahan.” Terdengar Kebo Kanigara bertanya, “Apakah karena kedua keris itu maka api berhenti di sini?

Aku tidak tahu,” jawab Panembahan Ismaya, “Aku tidak tahu kenapa api itu berhenti. Apakah karena angin tidak bertiup lagi, apakah karena batang-batang ilalang disini masih jauh lebih basah daripada lereng-lereng di bagian bawah, ataukah karena air yang mengalir di bawah kaki kita ini. Atau karena kesaktian keris-keris ini. Atau karena semuanya. Tetapi yang jelas adalah Tuhan telah berkenan memenuhi permintaan rakyat Banyu Biru. Api itu tidak membinasakan mereka, pedukuhan mereka dan sumber hidup mereka.

Yang mendengar kata-kata itu menundukkan wajah mereka. Terasa betapa Maha Kuasanya Yang Maha Agung. Air, keris-keris itu dan segala usaha yang lain adalah pernyataan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan mereka. Dan Yang Maha Kuasa telah memenuhinya.

Api itu telah surut.” Kembali terdengar Panembahan Ismaya berkata, “Mudah-mudahan sebentar lagi api akan dapat dikuasai dan menjadi padam.”

Mudah-mudahan.” Sahut Kebo Kanigara. Kata-kata itu seperti demikian saja meloncat dari bibirnya.

Kemudian kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya berkata, “Sesudah ini Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera selesai.”

Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung lereng, api telah hampir padam sama sekali. Hanya merah-merah baranya yang masih tampak memecah kepekatan malam.

Air di bawah kaki mereka masih mengalir terus, meskipun tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi semakin suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyu Biru berteriak-teriak, “Api telah susut, api telah susut!” Dan sahut yang lain meninggi, “Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan berhenti sebelum padam sama sekali.”

Panembahan Ismaya kemudian mengangkat kedua keris di tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian menyarungkannya di warangkanya masing-masing.

Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh ungkapan kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun kemudian kembali surut.

Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya. Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu menyapanya, “Ah, agaknya Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api itu.

Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Api itu benar-benar mengejutkan, Panembahan.

Tetapi sebentar lagi api itu akan padam” jawab Panembahan Ismaya. “Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan Rangga Tohjaya.”

Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya Mahesa Jenar.

Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya, “Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun agaknya Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga dengan senyum ia berkata, “Meskipun demikian Mahesa Jenar, pekerjaan yang tersisa itu adalah pekerjaan yang semudah-mudahnya, sehingga kau tak usaha prihatin karenanya. Selama ini kau dapat melaksanakan segala rencana pribadimu.”

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.

Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka.

Menyerahkan keris-keris ini ke Demak” jawab Panembahan Ismaya.

Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?” tanya Mahesa Jenar pula.

Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu. “Dan sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan keris-keris ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak gembala akan merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada padaku. Tetapi Wali itu berkata, “Simpanlah dan serahkanlah ke Demak bersama-sama anak gembala itu.” “Dan beruntunglah kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu yang nakal itu.

Karebet?” sahut Kebo Kanigara.

Ya,” jawab Panembahan Ismaya.

Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo Kanigara, “Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan kesalahan di istana.”

Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab Panembahan Ismaya, “Ia sedang membuat suatu rencana permainan yang mengasyikkan.”

Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara.

Panembahan Ismaya menggeleng lemah, “Aku tak tahu,” jawabnya. Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang merahasiakan sesuatu.

Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyu Biru yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas sebelum mereka melihat api itu padam sama sekali.

Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata, “Kembalilah kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak untuk seterusnya. Banyu Biru akan pulih kembali. Gajah Sora telah berada di tempatnya, dan Lembu Sora telah meyakini kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah menjadi korban. Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati, hati yang setia dan teguh pada janji.”

Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar-debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk gadis itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan.

Ki Ageng,” tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya bersungguh- sungguh, “Sungguh aku tak mengenal kesopanan, namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki, aku tak sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk melamar cucu Ki Ageng.”

Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk, “Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.

Kembali suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam. Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu berkata, “Marilah kita sowang-sowangan untuk sementara. Aku akan kembali ke Karang Tumirits. Kalian agaknya sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Banyu Biru.” Kemudian kepada Mahesa Jenar Penambahan berkata, “Setiap saat kau dapat datang kepadaku bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat kau dapat mengajak aku ke Gunungkidul. Jangan terlalu lama menunggu. Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang untuk sementara biarlah aku simpan dahulu.”

Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh perasaan, “Terimakasih Panembahan.

Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata, “Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak sekarang. Kami akan segera datang.

Terimakasih. Terimakasih” jawab Ki Ageng Pandan Alas sambil tertawa.

Panembahan tua itu akhirnya berjalan perlahan-lahan meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah abu-abu dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang Panembahan tua yang berjalan tertatih-tatih di antara batang-batang ilalang dan batu-batu yang terendam air.

Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti dan berkata kepada Mahesa Jenar, “Tak perlu orang-orang lain mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten telah hampir mendapat pemecahan. Tak perlu kau berceritera tentang anak nakal itu kepada siapapun. Keris-keris itu kini tak usah kalian persoalkan lagi. Pada saatnya ia akan muncul kembali bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini telah berada di tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu- satunya orang selain kalian yang berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang boleh mendengarnya.”

Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Baik Panembahan.”

Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.” Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia meneruskan perjalanannya kembali.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja berdiri mematung, mengawasi punggung Panembahan Ismaya. Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup alang-alang yang lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang belum mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu. Bahkan terdengarlah Widuri berbisik, “Ayah, kasihan Panembahan. Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati. Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu bahwa Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan Alas pun menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah seorang putut-nya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan orang setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri ke Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari Banyu Biru. Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab, pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk mengantarkannya.

Ayah,” terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya, “Apakah Ayah tidak mengantarkannya?

“Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara. Kemudian kepada Widuri ia berkata, “Antarkanlah, Widuri. Aku masih mempunyai kepentingan di Banyu Biru. Aku akan tinggal di sini.

Widuri mengerutkan keningnya. “Kenapa aku?

Selain aku, kaulah orang yang terdekat” jawab Kanigara.

Emoh” sahut Widuri sambil menggeleng.

Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan Panembahan” sambung ayahnya.

Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab, “Aku belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti kemarin.”

Besok kita kembali ke Banyu Biru” desak ayahnya.

Emoh” Widuri menggeleng lebih keras, ”aku mau tinggal di Banyu Biru

Apa kepentinganmu disini?” bertanya ayahnya.

Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah perdikan ini. Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti benteng raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan bintang-bintang dimalam hari?.

Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia bahwa ayahnya sedang menggodanya.  Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras-keras

Jangan Widuri,” ayahnya berdesis. Cubitan Widuri memang sakit. Tetapi justru karena itu, orang-orang lainpun mengetahuinya. Bahkan kemudian Wilis menggodanya pula, “apakah di Banyu Biru ada yang mengikatmu Widuri?”.

Ada” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.

Siapa?” desak Wilis.

Jaka Soka” jawabnya. Dan yang lainpun tertawa pula meskipun Widuri masih bersungut-sungut.

 Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata, “Biarkanlah Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang mengancamnya. Dan kita, marilah kita temui Ki Ageng Gajah Sora.”

Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat kemudian merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat ke punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun demikian kuda-kuda itupun berlari cukup cepat.

Banyak persoalan yang berputar-putar dikepala Rara Wilis dan bahkan didalam hati Ki Ageng Pandan Alas. Bagaimana kedua keris itu tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan Ismaya. Mereka telah pernah mendengar cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan Alas, sesaat setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan mengatakan bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar dan GajahSora menyangka bahwa orang itu adalah Pasingsingan. Meskipun demikian, dengan bijaksana mereka akan menyimpan pertanyaan itu, sampai nanti pada saatnya, Mahesa Jenar pasti akan mengatakannya.

Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa Jenar menoleh ke lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak berdaya lagi untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam yang lemah. Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke selatan menghantam bukit.

Api telah padam” desisnya.

Yang lainpun memandang sesaat ke lereng. Sebuah lapangan hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya. Bekas-bekas api itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel di tebing bukit.

Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul setelah mereka berjuang menebas perdu dan alang-alang serta mengalirkan parit ke lereng bukit.

Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri bersandar tangkai pacul maka segera disapanya, “pekerjaan paman ternyata berhasil.

Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab, “Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”

Ya,” sahut Mahesa Jenar, “pekerjaan kita semua.

Dari manakah anakmas tadi?” Wanamerta bertanya.

Mahesa Jenar dan kawan-kawannya segera meloncat turun dari kuda-kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu, berkatalah Mahesa Jenar, “Mengejar kelinci.

He” Wanamerta heran.

Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini

He” sekali lagi Wanamerta keheranan.

Nanti aku ceritakan,” sahut Mahesa Jenar,  ”dimana kakang Gajah Sora dan Arya Salaka?

Disana,” jawab Wanamerta, ”disebelah timur”.

Aku ingin menemuinya” kata Mahesa Jenar sambil melangkah.

Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak, “Siapa?

Kakang Gajah Sora” jawab Mahesa Jenar.

Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu bergumam, “O...” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat kelabang. “Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat, “Tetapi, bukankah Ki Ageng berada di Demak?

Sudah pulang” jawab Mahesa Jenar pendek.

Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya” ulang Wanamerta.

Dan tiba-tiba saja orang tua itu melemparkan paculnya. Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke arah timur. Terdengarlah ia berteriak-teriak, “He, Ki Ageng Gajah Sora telah kembali.

Laskar Banyu Biru yang baru saja datang dari Pamingit tidak terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang mereka suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyu Biru, teriakan itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali.

Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera mengikuti arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orang-orang Banyu Biru yang masih berdiri di sana-sini dengan alat-alat di tangan mereka.

Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora, terdengarlah Wanamerta itu berteriak keras-keras, “Angger, kau telah datang di antara kami.” Dan sebelum Gajah Sora menjawab, orang tua itu telah menubruknya. Dirangkulnya Gajah Sora seperti memeluk anaknya yang telah hilang, dan kini ditemuinya kembali. Gajah Sora terkejut, bahkan ia menjadi heran. Wanamerta telah melihatnya tadi. Tetapi ia berdiam diri dan membiarkan orang tua itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu menangis. Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata, “Aku telah melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku, maka aku menyangka bahwa Angger sudah lama tidak berada di Banyu Biru. Dan kini Angger telah kembali. Kembali seperti apa yang kami harapkan. Bahkan kami yakini, bahwa pada saatnya Angger akan kembali.”

Terimakasih Paman” jawab Gajah Sora.

Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya. Kemudian Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan dan Wirasaba yang selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit getir bersama rakyat Banyu Biru yang setia. Setia kepada cita-cita mereka, setia pada tanah mereka.

Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara Pamingit dan Banyu Biru. Tak ada persoalan lagi antara Banyu Biru dan gerombolan-gerombolan liar yang dikemudikan oleh orang-orang sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah dibinasakan oleh kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Malam bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam. Kini mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang dari Pamingit pun segera pulang ke rumah masing-masing. Menemui keluarga mereka untuk menyatakan keselamatan diri. Beberapa orang terpaksa berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka. Namun mereka yakin bahwa arwah-arwah mereka itu akan diterima oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Sebab mereka gugur dalam perjuangan untuk menegakkan rasa cinta kasih sesama, rasa cinta kasih kepada Tuhannya.

Yang akan datang adalah hari esok yang penuh dengan kerja. Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali lereng-lereng bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun kerja itu akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah pula.

Ketika matahari pada keesokan harinya memancarkan cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa Pening, sibuklah orang-orang Banyu Biru dengan kerja masing-masing. Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka yang terang. Mereka telah merencanakan untuk menyelenggarakan suatu wiwahan sebagai pernyataan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah melimpahkan cinta kasih-Nya kepada rakyat Banyu Biru.

Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyu Biru, berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada bidang, berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian yang lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru. Dengan wajah yang cerah ia melihat betapa rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang akan mereka rayakan bersama. Beberapa orang memasang janur-janur kuning dan yang lain membuat obor-obor yang besar.

Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah cerah secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi selangkah ia pergi menemui gadis itu.

Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka.

Gadis itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk kembali ia menggeleng, “Nanti Kakang, Ayah sedang mandi.

Kita pergi berdua” ajak Arya Salaka.

Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja timbullah perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab, “Aku menunggu Ayah.

Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu telah mengalami suatu perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka tidak mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun telah mengajaknya pula. Maka katanya, “Baiklah Widuri. Nanti aku datang kembali.” Dan Arya Salaka pun perlahan-lahan melangkah pergi. Kembali ia menemani kerja rakyatnya. Tak mengenal lelah. Perlambang dari kemauan mereka di hari-hari yang akan datang. Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak cucu mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.

Sementara itu di gandhok wetan duduklah dalam satu lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceriterakan beberapa persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sehingga akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil mengangguk- anggukkan kepalanya, “Baru sekarang aku menjadi jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa pekerjaanmu sudah hampir selesai.”

Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar, “pekerjaanku telah hampir selesai

Pada suatu saat, Anakmas…” kata Ki Ageng pula, “Aku ingin juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan kepadaku rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti yang Anakmas ceriterakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di masa lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga masa.

Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar, “Besok aku antarkan Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.”

Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar hiruk-pikuk di halaman.

Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini” desis Rara Wilis.

Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil melangkah keluar.

Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak sepatah kata pun terlontar dari sela-sela bibir masing-masing. Bahkan kemudian terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir.

Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak, terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Adakah kau ingin kembali ke Gunung Kidul?

Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya, “Aku mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.

Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar.

Rara Wilis tersenyum, katanya, “Terserahlah kepada Kakang.

Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh. “Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak bersama-sama Jaka Tingkir?

Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga. Tenang dan tentram.

Kembali mereka terdiam. Namun di angan-angan mereka terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan karena mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena hati mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama berjuang untuk mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas mereka.

Mahesa Jenar sama sekali tak mengharapkan bahwa kelak namanya akan dicantumkan di dalam rontal-rontal atau dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapura-gapura. Ia hanya mengharap, agar Demak kembali menemukan kekuatannya. Menemukan sipat kandel-nya. Sedang apa yang dilakukan adalah kewajiban yang seharusnya dilakukan. Sekali lagi menggemalah tekad di dalam dadanya, bahwa pengabdian tidaklah harus dilakukan di dekat dan sekitar istana. Di antara rakyat pun ia akan dapat melakukan pengabdian. Pengabdian bagi sesama dan pengabadian bagi Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa Besar yang telah menciptakan bumi, alam dan segenap isinya.

Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera meninggalkan Banyu Biru. Masih ada beberapa persoalan yang harus ditungguinya. Endang Widuri masih ingin tinggal lama lagi, dan Kebo Kanigara masih harus menemui Mas Karebet.

Namun hari-hari yang akan datang adalah hari-hari yang cerah. Hari yang cerah bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Hari yang cerah bagi Banyu Biru dan Pamingit. Hari-hari yang cerah pula bagi Arya Salaka dan Endang Widuri.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak akan menunggu waktu terlalu lama. Sebab umur-umur mereka selalu merayap-rayap meninggalkan usia mereka.

Tetapi di Banyu Biru terasa menjadi semakin sepi. Mantingan dan Wirasaba harus kembali ke tempat masing-masing. Wirasaba harus kembali ke istrinya yang setia, sedang Mantingan harus kembali ke gurunya dan kepada pekerjaannya, Dalang.

Kakang Mahesa Jenar,” kata Mantingan pada saat ia minta diri dari Banyu Biru, “Aku akan datang kembali menemui Kakang nanti apabila datang saatnya Kakang memerlukan aku. Mantingan sebagai seorang dalang. Bukankah akan nikmat sekali, apabila aku mendapat kehormatan untuk meramaikan perhelatan perkawinan Kakang? Aku akan membawakan ceritera yang paling menarik, Parta Krama

Mahesa Jenar hanya dapat tersenyum menanggapi kata-kata Mantingan itu, sedang Rara Wilis menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menerima sumbangan itu kelak pada saatnya.

Dan Mantingan beserta Wirasaba itu pun kemudian meninggalkan Banyu Biru, menuju ke timur, Prambanan.

Banyu Biru pun kemudian menjadi semakin sepi. Namun kesepian itu kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk rakyatnya yang rajin. Kerja. Masih banyak yang harus mereka kerjakan untuk tanah perdikan mereka.

Hanya dengan kerja, maka tanah mereka akan mencapai nilai-nilai yang mereka cita-citakan. Nilai kehidupan orang-perorang. Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan. Sehingga karenanya tak ada tempat lagi bagi mereka untuk berselisih, bersitegang dengan kebenaran menurut tafsiran masing-masing, bersikeras hati mempertahankan pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Yang ada kemudian adalah kerja, membanting tulang. Kini mereka bermandi keringat bersama-sama, namun kelak mereka akan menuai bersama-sama pula.

———-oOo———-

III

 Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyu Biru, maka Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya sendiri. Persoalan kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang didengarnya dari Paningron dan Gajah Alit. Kemudian menurut Panembahan Ismaya, bahwa seorang Wali telah meramalkan hari depan yang gemilang buat anak nakal itu. Namun kini, anak itu ternyata sedang disingkirkan oleh Sultan, karena pelanggaran-pelanggaran yang telah dibuatnya.

Demikianlah maka kemudian Kebo Kanigara itu memerlukan menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut, tetapi mereka bersepakat untuk bertemu di ujung hutan perdu di lereng Bukit Telamaya, supaya setiap pembicaraan dapat mereka lakukan dengan tidak bersegan hati terhadap orang-orang lain yang mendengarnya.

Malam itu langit yang cerah ditandai oleh sepotong bulan muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas, sedang Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di hadapannya, seakan-akan seorang tertuduh yang sedang menunggu keputusan tentang dirinya.

Karebet” kata Kebo Kanigara perlahan.

Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian ditundukannya lagi. Yang terdengar adalah suaranya parau, “Ya, Paman.”

AKU telah mendengar beberapa ceritera tentang dirimu diistana. Sehingga akhirnya kau terpaksa disingkirkan karenanya. Menurut para perwira yang datang ke Pamingit, kau telah membunuh seorang yang bernama Dadung Ngawuk hanya dengan sadak kinang. Namun, dari pancaran senyumnya aku dapat membaca bahwa bukan itulah yang telah kau lakukan. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah sebabnya kau diusir dari istana?

Wajah Mas Karebet menjadi semakin dalam. Dadanya berdebar-debar semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam.

Katakanlah, Karebet,” desak Kebo Kanigara.

Karebet menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Kemudian dengan ragu-ragu ia menjawab, ”Bukan semata-mata salahku paman

Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo Kanigara mendesaknya, “Apa yang terjadi?

Sikap putri Sultan terlalu baik kepadaku” jawab Karebet terbata-bata.

Lalu?

Aku pun bersikap baik kepadanya” jawab Karebet

Hanya itu?

Karebet mengangguk, “Ya.”

Karebet terkejut ketika pamannya membentaknya, “Hanya itu?

Oh. Tidak Paman” sahut Karebet cepat-cepat.

Lalu?

Pergaulan kami menjadi semakin baik,” jawab Karebet, “Mula-mula aku mengharapkan lebih dari itu. Tetapi ternyata perasaan kami masing-masing berkehendak lain. Tetapi ternyata Sultan tidak senang melihat pergaulan itu. Agaknya karena aku tidak lebih dari seorang lurah Tamtama pada waktu itu.

Kau tahu bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?

Karebet mengangguk.

Tetapi kesalahan itu masih kau lakukan?

Karebet menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara mengulangi pertanyaannya, maka jawabnya, “Ya. Tetapi bukan maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi setiap kali kami selalu bertemu. Aku dalam tugasku sebagai seorang tamtama, sedang putri Sultan itu, entahlah apa saja yang dilakukan di luar keputren.

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mempercayai sebagai ceritera kemenakannya. Namun ia tahu pula sifat-sifat anak itu. Kemudian terdengar kemenakannya itu berkata pula, “Kemudian akulah yang menerima akibat dari pergaulan kami itu. Sultan marah kepadaku. Sehingga akhirnya aku dipindahkannya.”

Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada Sultan?

Aku telah mencoba,” jawab Karebet, “Tetapi ada orang ketiga yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Siapa?

Tumenggung Prabasemi.”

Kembali Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Apakah kepentingannya?

Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas Karebet itu ke dalam suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat menjawab pertanyaan pamannya. Namun kemudian diceriterakannya apa saja yang pernah dialaminya. Satu-satu. Tak ada yang dilampauinya. Bahkan ceritera itu seakan-akan merupakan tuangan kekesalan hatinya, atas peristiwa yang tak diharap-harapkan.

Aku tidak menyangka bahwa Tumenggung itu akan berbuat sampai sedemikian jauh,” kata Karebet. “Kau kenal orang itu baik-baik?

Ya, aku kenal Tumenggung Prabasemi dengan baik. Seorang Tumenggung yang masih muda. Namun karena kesaktiannya, ia cepat dapat menempati tempatnya yang sekarang. Seorang perwira Tamtama yang gagah perkasa.”

Apa yang sudah dilakukannya?

Karebet terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi itu. Dan peristiwa-peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali. Peristiwa demi peristiwa. Mulai dari permulaan sekali.

Pada saat itu, pergaulan Karebet dengan putri Sultan itu belum diketahui oleh siapapun. Mereka masih dapat merahasiakan getaran-getaran perasaan mereka. Namun pada suatu ketika, masuklah orang yang bernama Tumenggung Prabasemi itu kedalam lingkaran pergaulan mereka, sejak Tumenggung itu pada suatu saat bertemu dengan puteri Sultan yang cantik itu.

Karebet adalah bawahan Tumenggung Prabasemi yang paling menarik perhatiannya. Sehingga lurah Tamtama yang masih sangat muda itu, seakan-akan tak pernah terpisah daripadanya.

“Karebet,” kata Tumenggung Prabasemi, “Kau adalah anak muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik. Kau adalah seorang tamtama yang dipungut dari anak-anak muda yang bertebaran disana sini langsung oleh Sultan sendiri. Sehingga dengan demikian, kesempatan yang kau dapat, jauh lebih besar dari setiap kesempatan yang ada pada kami. Hampir tak pernah salah seorang di antara kami yang mendapat panggilan langsung dari Sultan selain dalam tugas-tugas kami. Tetapi kau pernah mendapat kesempatan itu. Kesempatan yang berada di luar tata peraturan para tamtama.

Karebet masih belum tahu, apakah sebenarnya yang akan dikatakan oleh Tumenggung Prabasemi. Karena itu ia menunggu saja sampai Tumenggung itu berkata, “Karebet. Adalah aneh, kalau aku beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya melihat wajah putri bungsu Sultan. Sebelumnya aku memang pernah melihatnya. Namun sejak putri itu menginjak usia remajanya, dan kemudian mengalami pingitan, aku tidak pernah melihatnya lagi. Namun tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk memandang wajahnya. Wajah yang betapa cerahnya, sehingga aku menjadi silau karenanya.”

Dada mas Karebet berdesir mendengar kata-kata itu. Memang puteri Sultan itu demikian cantiknya. Namun apabila pujian itu keluar dari mulut seorang laki-laki, maka hati mas Karebet itu terasa seakan-akan meronta.

Ternyata kemudian Tumenggung Prabasemi berkata pula, “Barangkali aku telah menjadi gila, Karebet. Namun aku benar-benar ingin mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk dapat memandang wajah itu. Kesempatan yang kedua aku dapat memandang wajahnya, adalah dua hari yang lampau. Ketika putri Sultan itu bermain-main di gerbang keputren.”

Kerebet menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Yang berkata seterusnya adalah Tumenggung itu, “Karebet, apakah kau pernah melihat putri itu pula?

Dengan kaku Karebet menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Ya Ki Tumenggung. Aku pernah melihatnya.”

Tumenggung Prabasemi mengangguk sambil tersenyum, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

Tak ada kesan apapun padaku, Ki Tumenggung.”

Tumenggung itu tertawa. Katanya, “Alangkah bodohnya kau Karebet. Tetapi tak apalah. Mungkin tangkapanmu lebih baik daripada aku. Atau aku memang sudah betul-betul gila.” Kemudian setelah diam sesaat ia berkata, “Apakah kau dapat menolong aku?

Karebet mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah yang harus aku lakukan?

Karebet…”, kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu, “Kalau sekali waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila kau lewat di muka gerbang Kaputren, serta kau lihat putri itu di sana, maka katakanlah, bahwa seorang Tumenggung menyampaikan sembah sujudnya untuk putri.”

Karebet menunggu Tumenggung itu berkata terus, namun kata-kata itu tak dilanjutkannya, sehingga Karebet itu bertanya, “Hanya itu saja?

Ya. Hanya itu. Katakan kepada puteri, bahwa Tumenggung Prabasemi sangat mengangumi kecantikan putri itu.

Karebet mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Baik Ki Tumenggung. Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah keuntungan Tumenggung dengan pesan itu?

Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia tertawa, “Kau memang bodoh Karebet. Biarlah tak kau ketahui keuntunganku dengan pesan itu. Namun apabila pada suatu ketika kau mendapat pesan dari putri itu, sampaikan pesan itu kepadaku.

Mas Karebet tersenyum. Katanya, “Aku memang bodoh. Tetapi aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung sangka. Aku tahu maksud Ki Tumenggung. Tetapi, bukankah puteri itu putri Sultan.

Prabasemi tersenyum, “Itulah. Mungkin aku benar-benar sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa seorang Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri raja? Aku adalah Tumenggung yang mendapat kepercayaan Sultan dalam bidang keprajuritan. Apa salahnya, apabila pada suatu ketika aku mampu menaklukkan daerah pesisir wetanan, dan aku mendapat triman putri itu?

Mudah-mudahan,” jawab Karebet, “Dan Tumenggung akan mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi.”

Prabasemi tertawa. Ia menjadi puas dengan angan-angannya. Ia mengharap Karebet akan memenuhi permintaannya. Dan ia mengharap putri itu pun telah pernah mendengar namanya dari Sultan sendiri, seorang Tumenggung, perwira Tamtama yang sakti. Bukankah dengan demikian, putri itu setidak-tidaknya ingin melihat wajah perwira yang sakti itu?.

Tetapi, ternyata yang dipesannya adalah seorang anak muda yang bernama Karebet. Seorang anak muda yang selalu menuruti perasaan sendiri, yang kadang-kadang terlalu aneh. Demikianlah beberapa hari kemudian, Prabasemi itu berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah kau sudah mendapat kesempatan itu?

Mas Karebet tersenyum, jawabnya, “Sudah, Ki Tumenggung.”

He…?” Ki Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban itu.

Aku telah dipanggil oleh Baginda, kemarin” kata Karebet.

Untuk apa?

Memijit kaki Baginda. Bukankah aku pernah belajar memijit?” sahut Karebet.

Oh, pantas. Baginda sering memanggilmu” kata Prabasemi. “Tetapi apakah kau sempat bertemu dengan putri?

Karebet mengangguk. “Ya, Ki Tumenggung,” jawab Karebet. “Tetapi aku tidak sempat menyampaikan pesan Ki Tumenggung.” “Gila,” gerutu Prabasemi dengan kecewa, “Kenapa?

Aku tidak dapat mendekatinya,” sahut Karebet, “Putri itu hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Karebet, lain kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat hadiah yang pasti akan sangat menyenangkan bagimu.”

Apakah hadiah itu?” tanya Karebet.

Lembu, kerbau, uang atau apa?

Baik. Baik Ki Tumenggung” jawab Karebet.

Dan sebenarnyalah beberapa hari kemudian Karebet itu datang kepada Ki Tumenggung Prabasemi. Sambil tersenyum ia berkata, “Ki Tumenggung, aku telah menghadap Sultan pula.

Memijit?” bertanya Prabasemi.

Ya. Aku memijit Sultan sehingga Sultan tertidur” berkata Karebet.

Ah. Biarlah Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan pesan itu?

Itulah yang akan aku katakan. Ketika Sultan tertidur, maka putri itu lewat pula di muka bilik pembaringan Sultan. Ternyata putri baru saja menghadap Ibunda dan akan kembali ke keputren bersama dua orang embannya.”

Kau sampaikan pesan itu?

Karebet menggeleng. “Tidak, Ki Tumenggung.

Gila!” teriaknya, “Apakah kau juga gila seperti aku, Karebet? Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila karena gadis itu.

Karebet hanya tersenyum saja. Katanya, “Apakah Ki Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya itu mendengar?

Jangan. Jangan” potongnya.

Nah, itulah sebabnya,” sahut Karebet, “Lain kali akan aku coba.

Tetapi beberapa hari kemudian Karebet menemui Prabasemi dengan wajah yang sedih. Prabasemi terkejut karenanya. Maka dengan tergesa-gesa terdengar ia berkata, “Bagaimanakah dengan pesan itu Karebet?

Karebet masih tetap tepekur dengan wajah muram. Perlahan-lahan ia berkata, “Ki Tumenggung. Kali ini aku telah benar-benar dapat bertemu dengan putri.”

Ha?” sahut Prabasemi, “Kau sampaikan pesan itu?

Ya” jawab Karebet.

Nah, ternyata kau tidak sebodoh yang aku sangka. Tetapi kenapa kau bersedih?

Aku ditamparnya” sahut Karebet.

Siapa yang menampar?

Putri.”

Benar?

Ya.

Oh!” Tiba-tiba Prabasemi berdesah, “Kau berkata sebenarnya?

Ya.

Lalu apa yang kau lakukan?

Aku hampir saja membalasnya.

He?” teriak Prabasemi, “Kau benar-benar gila. Apakah dengan demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat dihukum, bahkan hukuman mati?

Hampir, Ki Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi.”

Lalu apa yang kau lakukan?

Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”

Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.

Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”

Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.

Putri memaafkan aku, dan putri juga minta maaf kepadaku.

He?” Prabasemi semakin terkejut, “Putri minta maaf kepadamu?

Ya,” sahut Karebet, “Dan putri memberikan pesan pula untuk Ki Tumenggung.

Jadi putri kenal aku?” tanya Prabasemi.

Tetapi ia menjadi kecewa ketika Karebet menggeleng.

Oh,” katanya, “Apakah putri belum pernah mendengar nama Prabasemi, perwira Tamtama yang sakti?

Sekali lagi Karebet menggeleng. Jawabnya, “Putri menyangka bahwa yang bernama Prabasemi adalah seorang perwira Nara Manggala yang gemuk bulat.

Setan!” desis Prabasemi, Katanya, “perwira itu bernama Gajah Alit.

Atau yang beberapa tahun yang lampau meninggalkan istana? Tanya putri itu.” Karebet berkata seterusnya.

Ah demit itu. Tohjaya yang dimaksud?

Mungkin” sahut Karebet.

Apakah kau tidak mengatakan, bahwa Prabasemi dari kesatuan Wira Tamtama, bukan Nara Manggala, atau Manggala Sraja atau yang lain-lain?

Sudah, Ki Tumenggung. Aku sudah mengatakannya. Dan putri berpesan, agar Ki Tumenggung melupakannya. Melupakan putri itu. Sebab sebentar lagi putri itu sudah akan menginjak masa perkawinannya?

Bohong!” bentak Tumenggung itu, “Putri itu bohong, atau kau yang bohong?

Aku tidak bohong Ki Tumenggung. Aku benar-benar pernah menghadap putri. Dan kalau Ki Tumenggung tidak percaya, inilah, aku dapat membuktikannya.”

Ki Tumenggung Prabasemi menarik keningnya. Ia melihat Karebet mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Kemudian ditunjukkannya kepada Prabasemi. Dan inilah kesalahan Karebet yang terbesar, yang telah menjerumuskannya pada keadaan yang pahit. Sehingga akhirnya ia terpaksa diusir dari istana. Bahkan hampir saja jiwanya menjadi korban pula karenanya.

Prabasemi itu menggigil ketika ia melihat di tangan Karebet tergenggam sekuntum bunga yang telah layu.

Tumenggung itu segera mengetahui maksud mas Karebet. Ia tahu pasti bahwa Karebet berbohong. Ia tahu pasti bahwa Karebet mengatakan kepadanya, bahwa harapannya itu tidak lebih daripada setangkai layoning kembang. Karena itu, Prabasemi itu menjadi marah. Wajahnya segera menjadi merah menyala, dan giginya gemeretak.

Karebet terkejut melihat akibat permainannya. Ia memang ingin bermain-main dengan Tumenggung itu. Tetapi ia tidak menyangka bahwa akibatnya akan sedemikian parahnya.

Tumenggung yang marah itu dengan serta merta menarik bajunya sehingga tubuh Karebet hampir terangkat karenanya. Dengan gemetar Prabasemi berkata, “Kau menghina aku Karebet?

Tidak Ki, tidak” sahut Karebet.

Tetapi mata Tumenggung Prabasemi benar-benar telah merah, semerah darah. Katanya pula, “Aku sangka kau adalah bawahanku yang paling setia. Tetapi ternyata kaulah yang pertama-tama menghina aku.”

Bukan maksudku Ki Tumenggung. Aku hanya ingin memperingatkan Ki Tumenggung, bahwa gegayuhan itu terlalu jauh jangkauannya” jawab Karebet.

Persetan dengan mulutmu. Kau adalah bawahanku. Pangkatmu lebih rendah dari pangkatku, umur lebih muda dari umurku. Jangan menggurui aku.”

Karebet tidak menjawab. Ia tidak mau membuat Tumenggung itu menjadi semakin marah. Seandainya ia menjawab satu patah kata saja lagi, maka sudah pasti mulutnya akan ditampar oleh Tumenggung yang sudah lupa diri. Dan sudah pasti ia akan membalasnya. Namun untunglah bahwa Karebet berhasil menguasai dirinya.

Sejak saat itu, maka Prabasemi tak memerlukan Karebet lagi. Seandainya Karebet bukan seorang yang langsung diambil oleh Sultan dari pinggir blumbang, dan diserahkan kekesatuannya, maka Karebet itu pasti sudah dipecat, diusir bahkan sudah dibunuhnya. Tetapi Prabasemi itu masih takut, seandainya Sultan memerlukan anak itu.

Namun sejak itu, Prabasemi menjadi semakin gila. Ia ingin membuktikan bahwa suatu ketika ia akan berhasil menemui puteri Sultan itu dan berhasil memikatnya. Tumenggung bukan pangkat yang terlalu rendah. Dalam peperangan ia telah berhak untuk memegang jabatan panglima dalam laskar segelar sepapan. Dan ia yakin kesaktiannya akan ikut menentukan pula keadaan dirinya. Juga akan dapat menentukan apakah puteri Sultan itu akan menaruh perhatian akan dirinya atau tidak.

Prabasemi pernah mendengar juga nama-nama perwira yang pernah menggemparkan Demak. Seorang kawannya dari angkatan yang lebih tua, dari kesatuan Nara Manggala, bernama Gajah Alit tak kurang saktinya. Seorang lain dari panglima pasukan Demak yang berada di Bergota. Arya Palindih, adalah orang yang sakti. “Tetapi apakah kau tidak dapat menyamai kesaktian mereka?” katanya dalam hati

Tetapi sebagai seorang perwira yang masih muda, ia hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk pergi bersama-sama dengan mereka yang mempunyai nama dalam keprajuritan Demak. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu belum pernah mendapat kesempatan untuk melihat atau memperlihatkan kesaktiannya masing-masing angkatan sebelumnya dan dirinya sendiri. Itulah agaknya yang menyebabkan Prabasemi haus pada kesempatan kesempatan demikian. Perang merupakan lapangan permainan yang digemarinya, sekedar untuk mengukur diri. Tak pernah diperhatikannya, apakah akibat dari peperangan itu. Tak pernah terpikirkan olehnya, berapa orang yang gugur. Ia ingin namanya akan semakin menanjak keatas, merayap kesamping nama-nama yang pernah didengar sebelumnya.

Dengan demikian Prabasemi merupakan Perwira yang namanya dikenal karena tindakannya yang kasar. Setia persoalan yang betapapun kecilnya atas daerah wilayah Demak, bahkan daerah perdikan akan diselesaikan oleh Prabasemi dengan kekerasan. Dengan dalih yang dibuat-buat, Prabasemi selalu mengakhiri tugasnya dengan pertumpahan darah di wilayah yang sangat kecil pun.

Ada anak buah yang senang dengan kebiasaan itu, namun ada yang membencinya. Karebet termasuk orang yang muak dengan perbuatan itu. tetapi sebagai seorang yang patuh pada ketetapan yang berlaku dalam lingkungan Wira Tamtama, maka tak banyak yang dapat ia lakukan. Dan sebenarnya untuk sementara Prabasemi mendapat sambutan baik dari atasannya. Seakan-akan semua tugas yang diserahkannya pasti dapat diselesaikannya.

Dan kini Prabasemi telah sampai pada tangga yang cukup tinggi. Tumenggung. Namun nafsunya yang berlebihan masih belum juga surut.

Bahkan kini ia terdorong dalam satu persoalan yang lebih gila lagi. Wajah puteri bungsu itu tak pernah dilupakannya. Dan ia bertekad untuk suatu ketika bertemu dengan gadis itu. Apa yang dilakukan Karebet ternyata telah mendorongnya ke sudut yang semakin gelap.

Tetapi sementara itu Karebet pun menjadi semakin gila. Seperti Prabasemi yang tersinggung oleh pokal Karebet, maka Karebet pun tidak mau melepaskan kesempatan yang telah didapatnya. Sejak ia tahu Prabasemi kasmaran kepada puteri Sultan, sejak itu ia bertambah jauh tenggelam dalam permainan yang berbahaya. Sebenarnya ia mengatakan apa yang diketahuinya tentang Prabasemi kepada puteri itu. Namun puteri berkata kepadanya “terserah kepadamu Karebet.”

Apakah artinya aku ini puteri” kata Karebet. “Aku tidak lebih dari seorang Tamtama, sedangkan Prabasemi adalah Tumenggung sakti dari kesatuan yang sama.”

Karebet hampir menjadi lupa diri ketika melihat puteri itu tersenyum sambil berkata, “Kalau kau mau Karebet, aku tidak hanya sekedar mendapatkan Tumenggung, tetapi aku akan mendapatkan seorang Bupati Nayaka atau seorang Adipati.”

Dada Karebet menjadi semakin berdebar-debar, “Kenapa puteri tidak mau?

Apakah kau menghendaki demikian?” bertanya puteri itu.

Ah” desah Karebet. “Aku sedang berfikir, bagaimana cara sebaik-baiknya untuk bunuh diri.

Kenapa bunuh diri?

Aku tak sanggup melihat Puteri dipersandingkan. Mungkin dengan seorang Adipati, Pangeran dan dengan Tumenggung Prabasemi.”

Jangan mengigau Karebet” potong puteri itu.

Karebet tersenyum. Kemudian katanya, “lalu bagaimana aku harus mengatakan kepada Tumenggung yang gagah itu?

Terserah kepadamu. Mungkin kau akan mengatakan kepadanya bahwa aku akan menerima lamarannya.

Demikianlah Karebet semakin yakin akan dirinya. Ia tidak akan dapat disisihkan oleh Tumenggung yang dipenuhi segala macam nafsu itu.

 Tetapi Tumenggung Prabasemipun tidak putus asa. Dihubunginya beberapa emban, disuapnya dengan uang, pakaian dan benda berharga lainnya. Dimintanya mereka menyampaikan beberapa pesan untuk puteri itu. Namun usaha Tumenggung itupun sia-sia. Puteri Sultan Trenggana tak pernah memperhatikan pesan itu. Dan bahkan puteri selalu berpura-pura belum pernah mendengar nama Prabasemi. Dengan demikian Prabasemi semakin prihatin. Kadang apbila pikiran jernih datang dan bekerja di benaknya, maka disadarinya bahwa yang dilakukannya adalah laku seorang gila. Namun apabila dikenangnya wajah itu, maka pikiran gilanya kembali menguasai kepalanya. Dan kembali Tumenggung itu memutar otaknya.

Dan terjadilah suatu peristiwa. Peristiwa tak disangka-sangka oleh Prabasemi. Ketika pada suatu hari, seorang emban yang telah disuapnya berlari kepadanya.

Ada apa?” bertanya Prabasemi terges-gesa, ”Apakah puteri memanggil aku?

Emban itu menggeleng, dan Tumenggung itu pun menjadi kecewa.

Ki Tumenggung,” berkata emban itu terengah-engah, ”aku tidak yakin usaha Ki Tumenggung akan berhasil

Tumenggung Prabasemi membelalakkan matanya sambil bertanya menyentak, “Apa katamu?

Ki Tumenggung,” sahut emban itu, ”seseorang telah mendahului menyentuh hati tuan puteri…

He, “ Prabasemi terkejut sekali sehingga terjingkat, ”Apa katamu”

Seseorang telah mendahului Ki Tumenggung

Bohong,” teriaknya, ”aku juga pernah dibohongi demikian

Aku tidak bohong” sahut emban.

Apakah kau dapat mengatakannya, siapakah yang telah mendahului aku?

Anak muda itu pernah datang ke keputren. Dan kali ini aku melihatnya sendiri.”

Gila, apakah para prajurit Nara Menggala tidur semua?

Anak muda itu selalu datang ke istana. Baginda sering memanggilnya, sehingga para Nara Manggala selalu melepaskannya untuk masuk ke mana saja yang disukainya.

Siapa dia?

Aku tidak kenal namanya. Tetapi ia dari Wira Tamtama seperti Ki Tumenggung.

Gila, siapa dia? He, siapa?” wajah Tumenggung itu menjadi merah padam. Ia percaya kata-kata emban itu. Karena itu maka dadanya bergetar seperti seratus guntur meledak bersama-sama di dalamnya.

Emban tidak dapat menjawab. Memang ia tidak tahu siapakah nama anak muda itu. Namun ia dapat mengatakan, bahwa Baginda sering memanggilnya untuk memijat kakinya. Atau kadang-kadang anak muda itu diajak bermain panah, membidik sasaran-sasaran yang aneh-aneh. Dan bahkan bermain kecerdasan. Macanan atau mul-mulan dengan asyiknya.

Mendengar keterangan emban itu, menggigillah tubuh Prabasemi. Dengan suara yang parau gemetar ia bertanya, “Apakah anak muda itu masih sangat muda ?

Ya” jawab emban itu.

Bertubuh tegap, berdada bidang?

Ya.”

Selalu tersenyum?

ya.”

Gila. Setan itu bernama Karebet? Kau dengar?” bentak Prabasemi. Kini ia benar-benar kehilangan kesabarannya. Seandainya Karebet ada dihadapannya, maka sudah pasti ia akan berusaha membunuhnya. Tetapi yang ada kini adalah emban itu. Emban yang menggigil ketakutan.

Kau lihat sekarang orang itu berada di keputren?

Ya.” Emban itu mengangguk.

Aku akan kesana. Aku bunuh anak itu” teriak Prabasemi.

Jangan Tuan” pinta emban itu.

Kenapa?

Tuan, apakah Tuan mungkin melampaui penjagaan Nara Manggala seperti anak muda itu?

Prabasemi menggeram. Ia tidak mempunyai wewenang apa pun untuk memasuki bagian dalam istana seperti Karebet. Kalau ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan Nara Manggala. Sedang kalau Nara Manggala itu dimintanya untuk menyergap kaputren beramai-ramai, maka Karebet pasti sempat melarikan diri. Dan apabila tidak ditemui bukti, maka Baginda pasti akan murka.

Meskipun perasaan Prabasemi pada waktu itu seolah-olah sedang menyala, namun naluri keprajuritannya telah mencegahnya untuk bertindak. Karena itu, Tumenggung itu hanya bisa menggeram dan menghentak-hentakkan kakinya. Dengan gemetar ia berdiri dan berjalan mondar-mandir sambil mengumpat, “Setan, Karebet itu. Seharusnya ia dibunuh.

Namun akhirnya Tumenggung itu pun berhenti mondar-mandir. Ditatapnya wajah emban yang ketakutan itu. Dan tiba-tiba Tumenggung Prabasemi tersenyum.

Emban yang ketakutan itu pun terkejut melihat perubahan sikap Prabasemi yang tiba-tiba itu. Namun ia tidak berani bertanya sesuatu. Bahkan ia menjadi semakin gelisah ketika kemudian Prabasemi itu berhenti beberapa langkah dihadapan emban yang duduk sambil menundukkan wajahnya.

Emban…” katanya, “Sudahlah, biarlah Gusti Putri itu menuruti kehendak sendiri.

Emban itu menjadi semakin heran. Sekali ia mengangkat wajahnya dengan sorot matanya yang penuh mengandung pertanyaan.

Namun putri itu pun harus mendapat pelajaran. Aku tak akan dapat berbuat apa pun untuknya. Karena itu Emban, apakah tidak sebaiknya melaporkannya kepada ibunda permaisuri apabila kau melihat anak muda itu datang kembali?

Emban menggeleng, “Aku tidak berani tuan. Dan dengan demikian maka akibatnya pun akan jauh sekali. Mungkin putri akan dihukum didalam istana, dan mungkin anak muda itu dapat dihukum mati.

Prabasemi tertawa. Katanya, “Bukankah itu hukuman yang wajar?

Putri akan berduka.

Prabasemi tertawa. Katanya seterusnya, “Jadi apakah sebaiknya dibiarkan saja perbuatan gila itu? Apakah dengan demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak muda itu terdorong kedalam keadaan yang makin parah?

Emban itu terdiam. Kata-kata Prabasemi itu memang benar. Seandainya Gusti Putri itu terperosok dalam perbuatan yang lebih sesat lagi, maka dirinyapun akan mendapat hukuman pula beserta seluruh emban yang lain.

Selagi ia sibuk menimbang-nimbang, emban itu terkejut ketika dipangkuannya jatuh sebentuk cincin emas yang berkilat-kilat. Dengan mulut ternganga ia menengadahkan wajahnya menatap wajah Prabasemi. Prabasemi itu masih tersenyum. Katanya, “Pakailah, supaya kau tidak lupa kepadaku. Dan supaya kau tidak lupa nasehatku. Sebaiknya kau laporkan peristiwa-peristiwa semacam itu. Bukankah tugasmu momong Gusti Putri? Dan bagiku Gustri Putri itu sama sekali sudah tidak menarik lagi sejak aku melihat kau.

Ah”, desis emban itu. Namun ia pun menjadi berbangga akan kata-kata Prabasemi itu. Bahkan tiba-tiba timbullah keinginan untuk benar-benar dikagumi oleh Tumenggung itu. Sehingga sambil mengerling emban itu berkata, “Tuan jangan berolok-olok.

Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Kenapa aku berolok-olok. Aku baru melihat putri itu dari kejauhan, sedang aku telah melihat kau dari dekat. Bukan baru sekali dua kali, tetapi karena kau sering datang kemari, aku telah melihat hampir seluruhnya yang ada padamu. Tingkah lakumu, sifat-sifatmu, senyummu.

Ah”, wajah emban itu menjadi kemerah-merahan. Namun ia menjadi semakin berbangga.

Nah, lakukanlah pesanku itu”, berkata Prabasemi kemudian perlahan-lahan, “kau akan mendapat hadiah daripadaku. Lebih banyak dari yang sudah aku berikan. Biarlah seandainya putri itu mendapat pingitan yang lebih keras dari ibunda. Aku tidak peduli lagi, asalkan kau tidak ikut dipingit pula.”

Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia berjanji untuk melakukannya, “Ya Ki Tumenggung, akan aku beritahukan kepada Permaisuri apabila anak muda itu datang kembali.”

Bagus, bagus”, sahut Prabasemi, “jangan tanggung-tanggung Rumah ini masih kosong.

Dan emban itu pun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia memandang berkeliling ruangan itu. Dilihatnya rumah Tumenggung yang masih muda itu dipenuhi dengan alat-alat rumah tangga yang bagus. Tempat duduk dari kayu berukir, geledek-geledek berukir dan tirai-tirai sutera di muka sentong tengah dan kedua sentong samping. Bahkan tiang-tiangnya pun diukir pula dengan bagusnya dengan warna-warna sungging yang indah. Tanpa disadarinya pula emban itu tersenyum.

PRABASEMI membiarkan emban itu berangan-angan. Namun hati Tumenggung itu mengumpat, “Gila pula agaknya emban ini seperti aku. Apa disangkanya ia cukup bernilai untuk bermimpi menjadi istri Tumenggung?” Bibir Tumenggung itu membayangkan sebuah senyum. Dan senyumnya itu telah mendebarkan hati emban yang mabuk kesenangan.

———-oOo———-

 IV

Ketika emban itu pergi. Prabasemi masih tersenyum-senyum sendiri. Ia mengharap emban yang telah membawa cincinnya itu memenuhi janjinya. “Apabila benar yang dikatakan itu,” Prabasemi bergumam sendiri, “Maka umur Karebet itu menjadi amat pendeknya. Kasihan. Tetapi ternyata ia lebih gila daripadaku.”

Tetapi Tumenggung Prabasemi ternyata cerdik. Betapa darahnya mendidih apabila ia melihat Karebet, namun ia selalu dapat menahan dirinya. Bahkan sikapnya kepada Karebet seakan-akan menjadi bertambah baik. Dibawanya anak muda itu ke mana-mana. Dibawanya Karebet itu ke tempat-tempat yang disukainya. Ke pasar dan ke warung-warung. Apabila Tumenggung itu membeli kain baru untuk dirinya, maka dibelikannya pula Mas Karebet.

Namun otak Mas Karebet bukan otak yang tumpul. Ia merasakan beberapa perubahan sikap Tumenggung. Mula-mula Tumenggung itu marah kepadanya, tetapi tiba-tiba sikap itu berubah. Meskipun demikian ia belum dapat mengetahuinya dengan pasti, apakah maksud Tumenggung itu sebenarnya. Dan ternyata Mas Karebet meraba ke arah yang tidak tepat. Ia menyangka, bahwa Tumenggung itu sedang menyuapnya supaya ia bersedia menyampaikan pesan-pesannya kepada Gusti Putri.

Karena itulah maka Karebet tidak juga menyadarinya, bahwa seakan-akan dari celah-celah setiap pintu kaputren, sepasang mata selalu mengintipnya. Setiap langkah putri bungsu itu tak pernah terlepas dari pengawasan emban yang haus kemukten itu, apalagi Mas Karebet berada di sekitarnya, meskipun dengan bersembunyi-sembunyi.

Akhirnya datang pula saat itu.

Ketika malam sedang merayap semakin dalam, dan bintang-bintang dilangit seakan-akan sedang tenggelam dalam pelukan awan yang kelabu. Sekali-kali lidah api yang panjang menyala di langit yang gelap, disusul dengan suara gemuruh diudara. Angin yang dingin bertiup semakin lama semakin kencang.

Seorang anak muda berjalan bergegas-gegas masuk ke pintu gerbang dalam halaman istana. Seorang prajurit yang sedang bertugas menyapanya, “He, berhenti. Siapa?

Anak muda itu mengangkat wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia menjawab, “Kaki Baginda terkilir.

Oh, kau Karebet?” tanya prajurit itu.

Karebet tidak menjawab. Ia berjalan terus memasuki pintu gerbang. Dan prajurit bertombak itu kembali ke gardunya.

Karebet,” gerutunya. Kawannya tersenyum, jawabnya, “Jangan iri. Baginda amat sayang kepadanya. Bahkan seperti putera sendiri. Setiap kali anak itu dipanggilnya. Ada-ada saja.

Kenapa bukan aku?” kelakar orang bertombak itu.

Aku juga sedang belajar, meloncat mundur sambil berjongkok. Bukankah karena Sultan melihat anak itu berbuat demikian di halaman masjid, maka Karebet itu dipungutnya?

Ternyata ia pun merupakan Tamtama yang baik,” jawab yang lain, “Sebaik Tumenggung yang selalu mabuk tuak itu.

Beberapa orang prajurit yang sedang berjaga-jaga di gardu itu pun tertawa. Seorang dari mereka yang sedang memegang dadu melemparkannya ke sudut, lalu menguap. Katanya, “Alangkah dinginnya.”

Tidurlah,” sahut yang lain, “Giliranmu adalah seperempat malam terakhir.

Orang itu tidak menjawab, namun ia merangkak kesudut. Dan kemudian merebahkan dirinya di samping dua orang lain yang sudah mendengkur. Mereka adalah petugas-petugas yang akan mendapat giliran pada perempat malam terakhir.

 Karebet pun kemudian memasuki halaman dalam istana. Seperti biasa ia berjalan menyusur teritis kebilik Baginda. Namun ia tersenyum sendiri. Baginda pasti sedang tidur nyenyak dimalam yang dingin ini. Tiba-tiba tubuh anak muda itu pun kemudian seakan-akan lenyap dibawah bayang-bayang pepohonan. Tak seorang pun yang melihatnya. Perlahan-lahan ia menyusur di antara tananam di pertamanan itu menuju kesisi halaman yang lain. Kaputren.

Angin malam masih bertiup menggoyangkan daun-daunan dan menggugurkan kelopak-kelopak bunga kering. Lamat-lamat di antara desir angin terdengarlah suara burung bence. Perlahan-lahan dan jarang-jarang. Bukan suara burung yang sesungguhnya. Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya selain Gusti Putri.

Dan perlahan-lahan pula, terbukalah pintu kaputren. Sesaat kemudian tertutup kembali. Seorang gadis yang berkerudung kain menyelinap keluar dan berjalan tersuruk-suruk ke samping dinding kaputren itu.

Ah kau” desis gadis itu.

Karebet tersenyum. Katanya, “Apakah Tuan Putri sudah tidur?

Belum,” jawab putri itu, “Aku menunggumu.

Putri itu pun kemudian duduk di tanah di samping Karebet, di balik rimbunnya pertamanan. Sekali-kali kilat masih menyambar di langit dan guruh masih menggelegar satu-satu. Namun kedua anak-anak muda itu sama sekali telah tenggelam dalam keasyikan, sehingga tak dilihatnya cahaya tatit, dan tak didengarnya gemuruh guntur.

Di sudut lain, emban yang mengenakan cincin emas di jari-jarinya dan bersembunyi di balik sudut dinding, tampak tersenyum-senyum. Ia kemudian tidak hanya sekadar ingin menyelamatkan putrinya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk.  Namun kemudian ia bahkan mengharap keadaan akan bertambah parah. Bahkan ia mengharap Sultan menjadi sangat murka kepada putrinya, dan kemudian mengenakan pingitan yang sangat berat. Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Prabasemi pasti akan melupakannya. Melupakan putri itu. Bukankah dengan demikian, kesempatan baginya menjadi lebih luas lagi? Istri Tumenggung adalah impian yang sangat menyenangkan. Selagi kawan-kawannya masih tetap menjadi emban, dan satu dua akan diambil oleh jajar atau setinggi-tingginya bekel juru taman, maka ia telah menjadi seorang istri Tumenggung. Tumenggung Wira Tamtama.

Kini kesempatan itu terbuka baginya. Karena itu, dengan tersenyum ia bergeser surut. Dan sesaat kemudian dengan tergesa-gesa ia berjalan menyusur dinding belakang, menuju bilik Permaisuri.

Tetapi, ketika ia sampai di samping bilik itu, ia menjadi ragu-ragu. Apakah Permaisuri mempercayainya, dan apakah akibatnya tidak akan terlalu parah dan menyebabkan Putri berduka? Namun kemudian diingatnya kata-kata Tumenggung Prabasemi, “Apakah dengan demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak muda itu terdorong ke dalam keadaan yang semakin parah?

Ketika emban itu sedang bimbang, ia menjadi terkejut bukan buatan ketika terasa seseorang menggapit pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya di belakangnya berdiri seorang emban Permaisuri. Dengan tersenyum, emban itu bertanya, “He, kenapa kau malam-malam, berada di sini?

Oh” jawab emban Putri Bungsu yang bercincin emas tergagap. “Tidak apa-apa.

Tidak apa-apa?” tanya emban Permaisuri dengan heran.

Emban bercincin emas itu diam sesaat. Dicobanya untuk mengatasi getar di dalam dadanya. Getar yang ditumbuhkan oleh benturan-benturan perasaannya. Namun ketika emban Permaisuri itu mendesaknya, maka terluncurlah kata-katanya, “Ah. Sebenarnya ada sesuatu yang sangat penting terjadi di kaputren.

Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Kenapa? Apakah Putri sakit?

Emban bercincin emas itu menggeleng. “Tidak” katanya.

Lalu kenapa?

Berikanlah aku kesempatan menghadap Permaisuri.

Emban Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apakah persoalan itu sedemikian pentingnya sehingga harus kau sampaikah hari ini?

Ya. Sedemikian pentingnya.

Tidak dapat ditunda sampai esok pagi-pagi?

Emban bercincin emas itu menggeleng. “Tidak” jawabnya, “Persoalannya sangat penting dan harus diselesaikan malam ini.”

Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berjalan ke pintu bilik Permaisuri, sedang emban bercincin emas itu mengikutinya.

Belum lama Permaisuri tidur,” kata emban itu, “Baru saja Baginda meninggalkan bilik ini. Agaknya ada persoalan yang penting yang sedang dibicarakan dengan Permaisuri.

Soal ini pun tak kalah pentingnya,” desak emban bercincin emas.

Akhirnya emban Permaisuri itu pun mengetuk pintu perlahan-lahan. Tidak biasa hal itu dilakukannya. Namun apabila persoalannya penting sekali, maka Permaisuri pasti tidak akan murka.

Sesaat kemudian terdengar sapa halus dari dalam bilik itu, “Siapa?

Hamba, Gusti.”

“Emban?”

“Hamba, Gusti.”

“Kau mengetuk pintu?”

“Hamba, Gusti.”

“Ada sesuatu?”

“Ya Gusti, emban Gusti Putri ingin menghadap.”

“Oh.”

Dan sesaat kemudian terdengarlah gerit pintu bilik itu. Sebenarnya sinar lampu minyak memercik keluar. Dan Permaisuri itu telah berdiri di ambang pintu.

Siapakah yang ingin menghadap?”

Emban bercincin emas itu menyembah sambil berkata, “Hamba Gusti.” Namun terasa suaranya bergetar.

Ada apakah? Apakah Putri sakit?

Tidak Gusti,” sahut emban itu. Suaranya menjadi semakin gemetar. Dan dengan terbata-bata ia berkata, “Gusti, Putri tidak sedang sakit, tetapi sedang….” Tiba-tiba suaranya seakan-akan tersumbat di kerongkongan.

Sedang apa?” desak permaisuri.

Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulit emban yang bercincin emas itu. Ia menjadi bertambah gemetar ketika Permaisuri bertanya, “Apakah persoalan ini sangat penting sehingga kau harus menghadap malam ini?

Hamba, Gusti” jawab emban itu.

Membawa pesan Putri?

Emban itu menggeleng, “Tidak Gusti.

Permaisuri menjadi heran. Katanya, “Lalu apakah keperluanmu?

Gusti…” jawab emban itu tergagap. Sedang emban permaisuri itu pun tak kalah herannya. Kenapakah kawannya ini? Apakah agaknya ia diganggu oleh hantu-hantu pertamanan? Dan terdengarlah emban bercincin emas itu meneruskan dengan kata-kata yang patah-patah. “Gusti. Ampunkanlah hamba. Tetapi sesungguhnyalah bahwa hamba mengatakannya yang sebenarnya. Hendaknya dijauhkannya hamba dari bebendu.” Emban itu berhenti sesaat, dan nafasnya menjadi semakin terengah-engah, sehingga permaisuri itu pun menjadi semakin heran.

Tuanku,” kata emban itu pula, “Ampunkanlah hamba. Sebenarnya hamba ingin menghaturkan ketakutan hamba atas Tuan Putri di kaputeren.

Apa yang akan kau katakan, Emban” tanya Permaisuri.

Gusti, betapa kami, para emban berusaha untuk mencegahnya, namun apakah kekuasaan kami?”

“Ya emban, tetapi kau belum mengatakan persoalannya.”

“Oh.” Emban itu menarik nafas. Dicobanya untuk mengatur perasaannya, baru kemudian ia berkata, “Sesungguhnya Gusti, di keputren Putri sedang menerima seorang tamu.”

Permaisuri itu terkejut sekali mendengar kata-kata emban itu. Maka katanya, “Menerima tamu, katamu? Siapakah tamunya?

Itulah yang menyedihkan kami, Gusti,” sahut emban itu, “Tamunya adalah seorang pria.

Kali ini Permaisuri itu pun tersentak seperti disengat kala. Sesaat ia tak dapat berkata apapun. Bahkan tubuhnyalah yang menjadi gemetar, sehingga kemudian dipeganginya tiang-tiang pintu bilik itu.

Sesaat kemudian barulah Permaisuri dapat berkata, “Emban, apakah katamu benar?

“Ya, Gusti.”

“Kau pernah melihat sendiri?”

“Ya, Gusti. Saat itu, tamu itu ada di petamanan. Karena itu hamba segera menghadap kemari.”

Putri itu kini mengigil seperti orang yang sedang sakit. Kemudian tanpa berkata apa pun lagi, segera ia masuk ke dalam biliknya. Membenahi pakaiannya dan sedikit menyisir rambutnya. Dengan tergesa-gesa pula ia berkata kepada embanya, “Emban, aku akan menghadap Baginda.”

Emban Permaisuri itu pun ikut mengigil pula. Kabar itu tak diduganya. Karena itu ia ragu-ragu sesaat, dan perlahan-lahan ia berbisik, “Apakah kau benar-benar melihatnya?”

Emban bercincin emas itu mengangguk. “Ya” jawabnya.

Emban Permaisuri itu mengusap dadanya sendiri. Tak pernah terpikirkan, bahwa seorang putri raja akan mengalami masa-masa yang demikian mengerikan. Apakah kata Baginda nanti? Emban Permaisuri itu menjadi semakin menggigil karenanya. Sekali lagi ia berbisik, “Apakah kau pernah memperingatkannya, atau setidak-tidaknya menanyakannya kepada Putri?

Emban bercincin emas itu menggeleng. “Belum, aku tidak berani.”

Kenapa?” desak emban Permaisuri, “Bukankah kau pemomongnya? Adalah menjadi kewajibanmu untuk memberi peringatan kepada Putri apabila pada suatu saat Putri mengalami kegoncangan keseimbangan. Sebab bagaimanapun juga Putri itu pun manusia yang sering khilaf seperti kita.

Emban bercincin emas itu terdiam. Dan terdengar emban permaisuri itu berkata, “Sekarang persoalan itu akan menjadikan seisi istana gempar. Mudah-mudahan tak banyak orang yang mengetahuinya.”

Emban Putri itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian kepalanya ditundukkannya.

Sesaat kemudian Permaisuri telah selesai. Dengan tergesa-gesa ia berjalan keluar, menutup pintu dan kemudian berkata, “Kalian berdua ikut aku.

Kedua emban itu pun menyembah. Mereka berjalan mengikuti Permaisuri ke bilik raja.

Di halaman, mereka berhenti, karena seorang peronda Nara Manggala menghentikan mereka. Dengan tombak di tangan, terdengar ia menyapa, “Siapa?

Emban Permaisuri menjawab, “Permaisuri.”

Oh!” Peronda itu pun kemudian membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun dari sorot matanya terpancar pula beberapa pertanyaan di dalam dadanya. Kenapa Permaisuri memerlukan menghadap Baginda di malam yang dingin ini?
Tetapi ia tidak berani bertanya. Namun diikutinya dengan pandangan matanya, Permaisuri itu menuju ke pintu bilik peraduan Baginda.

Seperti Permaisuri, Baginda pun terkejut bukan buatan. Berita itu seakan-akan telah meledakkan seisi dadanya. Namun Baginda adalah seorang yang telah terlalu sering menghadapi bermacam-macam masalah yang sulit, mengejutkan dan bahkan mengkhawatirkan. Karena itu Baginda dapat lebih cepat menguasai perasaannya. Maka dengan tenang Baginda itu bertanya, “Kau melihatnya sendiri, Emban?

Hamba, Tuanku.

Baginda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Aku ingin membuktikannya.

Permaisuri mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah Baginda akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menangkap mereka?

Baginda menggeleng lemah, katanya, “Tidak. Aku ingin menyelesaikannya sendiri. Semakin banyak orang yang ikut serta menyaksikan masalah ini, makin cepat berita ini tersebar di seluruh Demak. Lalu apakah aku masih akan dapat melindungi nama Putri itu?”

“Lalu, bagaimanakah maksud Baginda?” tanya Permaisuri.

“Aku sendiri akan melihatnya.”

“Sendiri?” Permaisuri itu terkejut.

Baginda menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Ya. Kalau aku dapat menangkapnya sendiri, maka persoalan ini akan menjadi sangat terbatas.”

“Apakah itu tidak berbahaya?” tanya Putri.

Hanya terhadap para penjahat aku akan menyerahkan persoalan kepada para peronda. Namun persoalan ini sangat berbeda. Aku tidak ingin orang lain mengetahuinya pula.”

“Tetapi apakah anak muda itu tidak berbahaya seperti para penjahat?”

Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin. Karena itu aku bersenjata.”

Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegahnya lagi. Baginda tidak bersedia memanggil, meskipun hanya seorang perwira Nara Manggala yang sedang bertugas malam itu. “Aku tidak dapat membayangkan apakah akibatnya seandainya seseorang dari mereka mengetahui peristiwa ini. Aku yakin bahwa peristiwa ini segera akan tersebar.”

“Tetapi Baginda dapat memberinya pesan untuk merahasiakan-nya.”

“Semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Dua orang emban ini sudah cukup banyak. Dan mereka harus menyimpan rahasia ini sekuat-kuatnya.”

Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegah lagi. Baginda itu kemudian membenahi pakaiannya. Sebuah pusaka berbentuk keris terselip di pinggangnya. Kemudian katanya sambil tersenyum untuk menenangkan hati Permaisuri, “Aku adalah seorang Senapati Perang. Apakah aku tidak dapat bertempur seandainya keadaan memaksa?”

Permaisuri tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi tegang.

Aku melalui pintu butulan,” desis Baginda. “Kalian bertiga tetap di sini.”

Baginda itu pun kemudian keluar dari bilik peraduannya lewat pintu butulan dengan tidak mengenakan pakaian kerajaan. Dengan hati-hati Baginda menyelinap di antara batang-batang perdu di petanaman menuju ke keputren. Dari emban, Baginda telah mengetahui dimana mereka berdua, putrinya dan laki-laki itu berada.

Sebenarnya Baginda bukan seorang raja yang hanya dapat duduk di atas Singgasana. Namun Baginda benar-benar seorang Panglima Perang. Baginda sendiri selalu berada di garis paling depan dalam peperangan-peperangan yang besar dan berbahaya. Karena itu, Baginda tidak saja dapat memberikan perintah-perintah untuk bertempur, namun Baginda sendiri selalu mengalaminya.

Demikianlah malam itu Baginda pun mampu melakukan pekerjaannya. Dengan hati-hati Baginda berhasil mendekati tempat putrinya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki. Ketika Baginda mendengar suara laki-laki itu meskipun perlahan-lahan, maka bergetarlah dada Baginda.

Gila, anak itu,” desahnya di dalam hati. Langsung Baginda dapat mengetahuinya, siapakah yang sedang bercakap-cakap dengan putrinya itu.

Karena itu maka segera Baginda mendekati mereka. Setapak demi setapak semakin lama semakin dekat. Tetapi telinga Karebet adalah telinga yang baik. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, dan tiba-tiba pula ia berbisik, “Seseorang mendekati kami.

Putri yang belum mendengar sesuatu itu menjadi heran. Dicobanya untuk mendengarkan setiap suara, namun tak ada yang dapat didengarnya. Meskipun demikian putri itu pun menjadi gelisah. Desisnya, “Kau berkata sebenarnya?

Karebet mengangguk.

Namun telinga Sultan itu pun tidak kalah baiknya dari telinga Karebet. Karena itu Sultan pun mendengar dengan jelas, meskipun betapa lirihnya Karebet berbisik.

Karena itu segera Sultan menyadari bahwa Karebet telah mengetahui kehadirannya. Berkatalah Sultan didalam hatinya, “Luar biasa anak ini. Alangkah tajam pendengarannya.” Dan sejalan dengan itu, Sultan pun menjadi semakin berhati-hati. Yang dihadapinya adalah seorang anak muda yang sejak dilihatnya untuk pertama kali, telah sangat menarik perhatiannya.

Kemudian Sultan itu mendengar Karebet berbisik, “Masuklah ke keputren, Putri. Biarlah aku pergi dari tempat ini.”

Putri bungsu itu menjadi semakin gelisah. Kalau benar seseorang telah mengetahuinya, maka alangkah aibnya. Dan tiba-tiba Putri itu menjadi ketakutan. Dengan gemetar ia berkata, “Karebet, apakah benar kau mendengar seseorang mendekat kami?”

Karebet mengangguk.

“Apakah kau hanya ingin menakut-nakuti aku?”

“Tidak Putri,” sahut Karebet, “Masuklah. Aku akan pergi ke bilik Sultan.”

“Untuk apa?”

“Aku akan keluar dari arah itu.”

“Aku takut, Karebet” desah Putri itu.

Jangan takut,” hibur Karebet, “Biarlah aku sendiri berusaha menyelesaikannya.

Tetapi putri itu menjadi semakin ketakutan. “Aku takut, Karebet.”

“Jangan Putri,” desak Karebet, “Sekarang masuklah. Biarlah aku melihat, siapakah yang datang itu. Apabila Tuan Putri masih di sini, maka aku tidak akan dapat berbuat sesuatu.”

Jantung Putri itu kemudian serasa berhenti berdenyut. Tetapi Karebet itu mendesaknya, “Pergilah Putri.”

Putri itu pun kemudian beringsut dan perlahan-lahan berdiri. Setapak ia melangkah untuk masuk ke dalam biliknya. Tetapi alangkah terkejutnya putri itu ketika tiba-tiba sesosok tubuh telah meloncat dari dalam gerumbul langsung berdiri di hadapannya, sehingga terdengarlah Putri itu menjerit kecil.

Karebet pun tidak kalah terkejutnya. Dengan serta merta ia meloncat pula berdiri. Dengan tajamnya ia mencoba mengamat-amati siapakah yang telah berani mengintip pertemuannya dengan Putri Sultan itu. Dan dilihatnya seseorang yang bertubuh tegap, bertolak pinggang di hadapannya. Secarik kain kepala melingkar menutupi sebagian wajahnya, sehingga dalam malam yang gelap itu Karebet tidak segera dapat mengatahuinya, siapakah yang telah mengganggunya itu.

Orang itu masih berdiri bertolak pinggang ketika Karebet melangkah selangkah maju. Dengan lemahnya orang itu tertawa sambil berkata parau, “Apakah yang telah kalian lakukan di sini?

Putri Sultan itu menggigil ketakutan. Namun Karebet melangkah maju sambil berdesis, “Siapakah kau?

Orang yang sebagian dari wajahnya tertutup itu menjawab, “Apakah perlumu mengenal namaku?

Alangkah marahnya Karebet mendengar jawaban itu. Setapak ia maju sambil berkata “jangan berbuat gila. Kutanya siapa engkau dan apa maksudmu?

Sekali lagi Karebet mendengar orang itu tertawa lirih. Dari balik kain yang menutupi sebagian wajahnya itu Karebet mendengar jawabannya, “Katakanlah juga kepadaku, apakah keperluanmu datang kemari.

Karebet benar-benar menjadi marah. Ia harus menangkap orang itu. Apa yang akan dilakukan kemudian Karebet sama sekali tidak tahu. Tetapi setidak-tidaknya Karebet harus menghapuskan kesaksian orang itu. Membawanya keluar dari halaman, kemudian apabila orang itu kelak mengigau tentang dirinya, maka ia dapat mengingkarinya. Tetapi dihalaman itu apabila ada orang lain lagi yang mengetahuinya, atau melihat perselisihan itu maka sudah tentu ia tidak akan dapat mengingkari lagi.

Karena itu Karebet pun menggeram, “Jangan membuat persoalan disini. Ikuti aku supaya kau selamat.”

“Aneh,” desisi orang itu, “kalau aku selamat dengan menuruti perintahmu, alangkah senangnya. Malam ini tidur saja aku dirumah. Aku datang kemari, karena kau ada disini. Sekarang katakan kepadaku, apa yang kau lakukan disini.”

Darah Karebet telah benar-benar mendidih. Selangkah lagi ia maju. Dengan geram ia berkata, “Ikuti aku.

Namun jawab orang itu mengejutkan pula, “tundukkan kepalamu dan berjongkok dihadapanku. Aku akan menangkapmu.

Persetan,” desis Karebet. Kini ia menyadari bahwa orang yang datang itu benar-benar berbahaya baginya. Sudah tentu ia bukan orang kebanyakan. Bahkan tiba-tiba ia menyangka bahwa orang itu Tumenggung Prabasemi. Meskipun Karebet belum yakin benar, namun kemungkinan pertama adalah Tumenggung yang didadanya menyala segala macam nafsu. Karena itu Karebet tidak dapat berbuat lain kecuali melumpuhkannya. Apakah nanti yang dilakukan. Ia tidak sempat memikirkannya lagi. Dengan marahnya Kareber berkata, “Bagus kalau kau berkeras menangkap aku, cobalah.

Sekali lagi orang itu berkata, “jangan melawan. Sia-sia.”

“Mulailah,“ potong Karebet. “Aku akan mempertahankan diriku. Dan cobalah kau menyelamatkan dirimu.”

“Tidak semua anggota Wira Tamtama dapat melindungi nyawanya sendiri. Menyerahlah.”

“Hem, aku harus menangkap, menyumbat mulutmu dan melemparmu keluar dinding halaman.”

“Cobalah, pecahkan dadaku dan tumpahkan darahku. Baru kau dapat keluar dari halaman istana.”

Kini Karebet tidak dapat menahan diri lagi. Sekali lagi ia menebarkan pandangannya berkeliling. Sepi. Yang dilihatnya hanyalah batang pohon, tiang-tiang teritisan, dan bintang-bintang di langit. Karena itu maka Karebetpun sekali lagi maju melangkah sambil menggeram, “Benar-benar kau menghendaki kekerasan.”

Orang itu mengangguk, katanya, “Ya dengan kekerasan aku ingin menangkapmu apabila kau tidak mau menyerah.”

Karebet tidak menunggu lagi. Secepat kilat ia meloncat menyerang orang itu. Ia ingin melumpuhkannya dengan serangannya yang pertama supaya ia segera dapat menyingkir. namun Karebet menjadi kecewa. Dengan tangkasnya orang itu menghindari serangan Karebet, dan bahkan dengan kecepatan tak terduga orang itu menggeliat dan kaki kirinya berputar setengah lingkaran menyambar lambungnya.

Karebet sama sekali tidak menyangka, bahwa orang itu mampu bergerak secepat itu. Karenanya, maka ia samasekali tak dapat menghindari. Dengan tangannya ia menangkis serangan kaki itu. Namun alangkah terkejutnya ketika sebuah benturan terjadi, maka Karebet terdorong beberapa langkah surut. Sedang orang itu masih saja tegak ditempatnya, bahkan sesaat kemudian meluncurlah serangannya susul menyusul seperti deru ombak dilautan, menyentuh pantai.

Karebet yang juga bernama Jaka Tingkir itu terkejut bukan kepalang. Ternyata orang yang datang kepadanya itu memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka dugaannya bahwa orang itu adalah Tumenggung Prabasemi lenyap. Ia pernah melihat Tumenggung bertempur. Ia pernah menilai ilmu Tumenggungnya. Dan sudah pasti Tumenggungya itu tidak akan mampu berbuat demikian.

Karena itu Karebet terpaksa meloncat surut beberapa kali. Dengan cemas ia melihat serangan serangan mengalir melanda dirinya. Sehingga karena ingin secepatnya mengakhiri pertempuran, maka segera ia mengetrapkan ilemu tersembunyi didalam dirinya, ilmu yang jarang dimiliki oleh siapapun, apalagi oleh Tumenggung Prabasemi. Aji Lembu Sekilan.

Ketika serangan berikutnya beruntun mengejarnya, maka Karebet sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin menundukkan lawannya segera, setelah lawannya mengetahui, bahwa ia memiliki ilmu yang dahsyat itu.

Demikianlah maka berturut-turut beberapa serangan lawannya mengenai dirinya. Namun Karebet itu seakan-akan telah menjadi kebal, sehingga serangan-serangan lawannya itu tak berdaya melumpuhkannya.

Orang yang bertutup kain di wajahnya itu melontar mundur. Dengan heran ia memandang wajah Karebet dengan tajamnya. Terdengar ia berdesis, “Lembu Sekilan?

Karebet tersenyum. Dengan bangga ia berkata kepada Putri bungsu yang menggigil ketakutan, “Masuklah Putri, orang ini tidak akan mengganggu. Biarlah urusan kami, kami selesaikan tanpa sepengetahuan Putri.”

Putri itu pun tidak segera beranjak dari tempatnya. Terasa seluruh tubuhnya bergetar. Dan karena itu maka seakan-akan kakinya tak sanggup lagi untuk melangkah. Sehingga kemudian terdengar Karebet itu mengulangi, “Masuklah Tuan Putri.”

Putri itu pun seolah-olah menjadi sadar dari kecemasannya yang telah memuncak. Dilihatnya lawan Karebet itu masih berdiri di tempatnya, sehingga karena itu ia menjadi ragu-ragu untuk bergerak.

Ketika orang yang berkerudung itu memandang wajah Putri Sultan. Karebet membentaknya, “Jangan menakut-nakuti. Kaulah yang harus berjongkok dan menyerah.

Tetapi Karebet terkejut ketika kemudian orang itu pun tertawa. Katanya, “Kenapa kau tiba-tiba menganggap aku sebagai tawananmu? Apakah karena Lembu Sekilan itu?”

“Aku bukan anak-anak yang takut melihat hantu,” jawabnya, “Karena itu jangan menakut-nakuti aku dengan ilmu yang dapat dicari di tepi-tepi parit.

Bukan main marahnya Mas Karebet. Ilmu Lembu Sekilan adalah ilmu yang jarang- jarang dimiliki oleh siapa pun. Bahkan orang-orang dari Karang Tumaritis pernah mengagumi ilmu itu, pada saat ia berkelahi melawan Surayuda, Demang Gunungkidul. Tetapi tiba-tiba orang yang tak dikenalnya itu kini menghinanya. Karena itu, maka kini Mas Karebet itu telah kehilangan segenap pengekangan dirinya. Dengan segenap ilmu yang ada padanya, dengan kemarahan yang memuncak, maka disergapnya orang yang telah menghinanya.

Kini sekali lagi pertempuran seorang lawan seorang itu berkobar semakin sengit. Dengan Lembu Sekilan, maka Mas Karebet memiliki kesempatan yang lebih luas dari lawannya. Hampir setiap serangan lawannya tak dapat menyentuh tubuhnya, karena lambaran ilmu Lembu Sekilan itu. Namun lawannya itu pun lincah bukan buatan. Betapa pun Karebet mengerahkan segenap kemampuannya, namun orang itu pun sangat sukar untuk dikenainya.

Semakin lama, Karebet pun menjadi semakin marah. Namun kecemasannya pun semakin tebal melingkar-lingkar di hatinya. Seandainya pada saat itu, peronda dari Nara Manggala melihat mereka, maka ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari mala petaka. Karena itu selagi sempat ia berkata sambil bertempur, “Tuan Putri masuklah. Tinggalkan tempat ini.

Namun suaranya itu disahut oleh lawannya, “Tuan Putri apakah Tuan Putri tidak ingin melihat tamu Tuan Puteri ini sampai pada saat terakhir. Mungkin ia masih akan memberikan beberapa pesan sebelum ia mengakhiri hidupnya.”

“Jangan mengigau,” potong Karebet dengan marahnya. Dan darahnya serasa mendidih ketika didengarnya orang itu tertawa berkepanjangan sambil menghindari setiap serangannya. Karena itu, maka Karebet menjadi semakin memperketat geraknya. Serangannya menjadi semakin lama semakin dahsyat. Bergulung-gulung seperti angin prahara dipadang-padang rumput.

Namun lawannya benar-benar selincah sikatan, selicin belut. Betapapun ia berusaha untuk menyentuhnya, namun sentuhan sentuhan serangannya seolah-olah tidak dapat menyakiti tubuh lawannya, karena serangan itu seakan-akan tergelincir. Tubuh lawannya itu benar-benar licin. Meskipun sekali-kali Karebet berhasil menangkap tangan atau kaki lawannya, namun ia tidak dapat menggenggamnya. Tubuh lawannya itu dengan mudah, meluncur diantara jarinya, betapapun kuatnya ia menggenggam.

Akhirnya Karebet yang memiliki Aji Lembu Sekilan itu menyadari bahwa lawannya itu tidak bertempur dengan tenaganya melulu. Namun iapun semakin benyak berkeringat mengalir dari tubuhnya, tubuhnya itupun menjadi semakin licin. Karena itu dengan geramnya ia mendesis, “Aji Welut Putih.”

Lawannya itu tertawa pendek. Tetapi ia tidak berkata apa-apapun. Namun pertempuran itu semakin dahsyat. Keduanya seakan tidak dapat disentuh oelh serangan lawannya. Dengan demikian maka pertempuran itu tidak dapat dibayangkan kapan berakhir.

Itulah yang sangat mencemaskan Karebet. Betapa ia berusaha memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Kelincahan, kekuatan dan segenap tenaganya. Namun orang itupun selalu mengimbanginya.

Orang itu, yang tidak lain adalah Sultan Trenggana sendiri sebenarnya menjadi heran pula. Karebet, anak yang dipungutnya dari tepi jalan itu ternyata memiliki kemampuan yang dahsyat. Baginda itu menjadis angat terkejut ketika menyadari Karebet memiliki ilmu Lembu Sekilan meskipun belum sempurna. Ilmu yang sudah jarang diketemukan. Namun kini Baginda itu melihat, bahwa ilmu itu tersembunyi didalam tubuh anak itu. Karena itu Baginda menjadi sangat menyesal atas peristiwa itu. Seandainya, Karebet itu tidak mendahuluinya, masuk keputren sebelum diijinkannya, maka kesempatan anak itu didalam jabatan keprajuritan sangat besar. Dengan mengalami sendiri perkelahian dengan Karebet, Baginda segera menilai kemampuannya. Ternyata anak itu, dalam olah kanuragan telah melampau Tumenggung Prabasemi. Sehingga kemungkinan yang akan datang sangatlah luas bagi Karebet. Namun sayang bahwa anak muda itu kini ditemukan di keputren.

Perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Masing-masing mampun melakukan perlawanan dan tekanan yang mengagumkan. Masing-masing telah menunjukkan kelebihan dari orang kebanyakan. Dan karena itulah Mas Karebetpun menjadi semakin cemas. Sehingga akhirnya terasa bahwa ia tidak mampu mengalahkannya, meskipun ia menyangka, bahwa dalam keadaan demikian, lawannyapun tidak dapat mengalahkannya pula.

Tetapi akhirnya terasa oleh mas Karebet, bahwa tekanan lawannya menjadi semakin berat. Gerak lawannya semakin lincah, dan keringatnya semakin banyak, sehingga tubuhnya menjadi semakin licin pula.

Sebenarnyalah Bagindapun sedang berusaha untuk mengakhiri pertempuran. Baginda adalah seorang prajurit yang mumpuni. Beberapa macam ilmu tersimpan dalam dirinya, sebagaimanapun ia harus memiliki berbagai macam bekal dalam perjalanannya sebagai seorang raja dan sekaligus Senapati Perang.

Demikianlah akhirnya, maka Karebet merasakan tekanan lawannya semakin tajam. Sejalan dengan itu kecemasan didadanyapun semakin melonjak. Ia menajdi heran, bahwa tiba-tiba saja ia berhadapan dengan seorang sakti yang mampu menghadapi ilmunya, Lembu Sekilan. Karena itupun Karebet mencoba mengingat nama semua yang pernah dikenalnya. Para Perwira Nara Manggala, para Perwira dari Wira Tamtama dan beberapa orang yang lain. Gajah Alit, Prabasemi, Paningron, Danapati, Palindih dan yang lain-lain. Namun seandainya mereka, apakah dengan mudahnya melawanLembu Sekilan, tanpa melepaskan ilmu-ilmu mereka yang lain? Ternyata orang ini mampu. Bukan saja dengan ilmu Welut Putih, namun serangan tanpa dilambari ilmupun berhasil mendesaknya pula. Dan Bahkan kemudian terasa bahwa serangan serangannya mampu mengetuk dinding Lembu Sekilannya. Meskipun tidak begitu tajam, namun Karebet merasa, ada kekuatan yang mapu menerobos pertahanan ilmunya.

Karena itupun Karebet menjadi bingung. Orang ini pasti orang luar biasa. Dan tiba-tiba saja Karebet mencoba mencari nama orang sakti diluar istana. Orang-orang golongan hitam hampir semua dikenali cirinya, sehingga orang ini pastilah bukan salah seorang dari mereka. Namun adakah orang sakti dari daerah lain?, atau mungkin justru pamannya yang sedang mencoba mengujinya? Paman Kebo Kanigara? Namun akhirnya Karebetpun pasti bahwa orang itu bukan Kebo Kanigara.

Akhirnya Karebet yang menjadi sedemikian bingungnya. Ia tidak mau tertangkap oleh siapapun. karena itu ia tidak punya pilihan lain daripada melumpuhkan orang itu. Kemudian menyembunyikan puteri di keputren dan membuat cerita yang masuk akal, tentang seseorang memasuki istana berkerudung ikat kepala. Meskipun seandainya orang itu adalah perwira Nara Manggala sekalipun namun ia tidak dalam kelengkapan pakaian Nara Manggala.

Karena itu Karebet yang sudah kehabisan akal itu dengan serta merta meloncat surut. Dengan cepatnya ia mempersiapkan diri dari puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang dipelajari dalam suasanya aneh. Ilmu yang disusunya tanpa seorang gurupun. Dan dinamainya sendiri ilmu itu Aji Rog-Rog Asem. Nama yang ditemukan dalam daerah penggembalaan, apabila para gembala sedang berebut asem. Namun Karebet itu tidak pernah berebut dahulu mendahului, namun dengan ilmunya, Karebet mampu menggetarkan pohon asam yang betapapun besarnya, sehingga hampir segenap buahnya rontok karenanya. Meskipun demikian belum pernah seorang temanpun melihat perbuatannya. Mereka hanya menyangka bahwa angin pusaran telah merontokkan pohon asam itu.

Ilmu itupun pada dasarnya berpangkal pada pengungkapan kekuatan. Namun ilmu Karebet tidak saja mendasarkan pada kekuatan yang mampu meremukkan iga, namun juga mampu meremas tulang-tulang lawannya, memutar tubuh lawannya sehingga tulamg belakangnya patah. Itulah keajaiban ilmu Rog-Rog Asem. Ilmu dari seorang anak gembala yang aneh bernama Mas Karebet.

Kali ini, Karebet tidak melihat kemungkinan lain. betapapun licinnya Aji Welut Putih, namun ia yakin bahwa Rog-Rog Asem akan dapat menembusnya. Betapapun kuatnya orang itu apabila tersentuh Aji Rog-Rog Asem, maka sudah pasti bahwa ia akan lumpuh.

Sultan yang telah merasakan tekanan tekanannya berhasil, menjadi heran melihat Karebet meloncat mundur. Ia melihat anak itu menggosokkan kedua telapak tangannya, kemudian dengan garangnya anak muda itu meloncat dengan kaki renggang, menekuk kedua lututnya, siap melontarkan sebuah serangan.

Baginda yang telah kenyang makan garam perkelahian dan pertempuran itupun segera mengenal, bahwa anak muda itu telah siap dalam puncak ilmunya. Karena itu sultanpun menjadi cemas. Ia belum dapat menilai sampai berapa jauh ilmu yang dimiliki Karebet itu. Kalau kemudian baginda melawan ilmu itu dengan ilmunya yang didasari dengan kekuatan dan tenaga, apakah kira-kira yang akan terjadi ? seandainya ilmu itu tidak seimbang, dan ilmu Baginda itu jauh lebih dahsyat dari ilmu lawannya, maka terjadi suatu pembunuhan. Dan Baginda tidak ingin membunuhnya. Membunuh anak sangat menarik perhatiannya itu.

Karena itu Baginda tidak segera mengetrapkan ilmunya yang dahsyat yang dinamainya Bajra Geni. Tetapi Baginda segera mateg ilmunya yang lain. Ilmu Tameng Waja. Menurut perhitungan Baginda, betapapun dahsyatnya ilmu lawannya, namun menilik usianya, serta kemungkinan-kemungkinan yang lain sesuai dengan tingkat ilmu Lembu Sekilan yang dimilikinya, maka ilmu itupun belum pasti akan berhasil meruntuhkan oertahanan ilmu Tameng Waja.

Maka dengan demikian, ketika Baginda melihat Karebet meloncat sambil mengayunkan ilmunya, Rog-Rog-Asem, justru baginda berdiri tegak bertolak pinggang. Dengan wajahnya yang tegang, Baginda mengetrapkan  ilmunya Aji Tameng Waja dalam puncak kekuatannya.

Sesaat kemudian terjadilah benturan dahsyat. Benturan dari ilmu Ms Karebet yang disebutnya Rog-Rog-Asem menghantam benteng pertahanan Baginda dalam ilmu Aji Tameng Waja.

Baginda telah dipenuhi pelbagai pengalaman dan pengetahuan dari pelbagai macam ilmu itupun terkejut mengalami hantaman Aji Rog-Rog-Asem. Aji yang dilontarkan oleh seorang anak muda yang pantas menjadi anaknya. Terasa didada Baginda sebuah benturan yang seakan-akan merontokkan seluruh iganya. Karena itu dengan mata yang berkunang-kunang Baginda terdorong beberapa langkah surut. Terasa nafasnya menjadi sesak, dan hampir tidak dapat menguasai keseimbangan. Dengan terhuyung-huyung akhirnya Baginda berhasil tegak dalam keadaan keseimbangan yang mantap.

———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 27

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (25)

I.

Dengan cepat ia mendorong adiknya ke samping. Kedua gerakan Karebet dan Arya ada juga pengaruhnya, Bugel Kaliki terpaksa menggeliat menghindari Kyai Sangkelat.

Namun sentuhan itu mengenai dada kiri Sawung Sariti. Tetapi sentuhan itu adalah sentuhan tangan iblis ganas dari Gunung Cerme. Karena itu akibatnya pun mengerikan.

Dada Sawung Sariti sebelah kiri yang tersentuh tangan Bugel Kaliki itu serasa seperti terhantam reruntuhan bukit Merbabu. Karena itu Sawung Sariti terlempar dan terbanting di tanah. Sebuah keluhan yang pendek terdengar. Sekali ia menggeliat kemudian terdengar ia mengerang kesakitan.

Bugel Kaliki yang telah berhasil menjatuhkan satu lawannya tertawa berderai, membelah sepi malam. Ia yakin, bahwa anak kepala daerah perdikan Pamingit itu tak akan mampu bertahan diri meskipun hanya ujung jarinya saja yang menyentuhnya.

Pertempuran itu untuk sesaat terhenti dengan sendirinya. Sawung Sariti masih bergerak-gerak menahan sakit. Namun dari mulutnya telah mengalir darah yang merah.

Sesaat kemudian, ketika Arya Salaka menyadari apa yang terjadi, menggelegaklah dadanya seperti akan meledak. Betapa prasangka yang tersimpan di dalam hatinya terhadap adik sepupunya itu, namun gumpalan darah dagingnya itu telah menuntut pembelaan padanya. Anak itu adalah sisiran kulit dagingnya. Sehingga bencana yang menimpanya berarti bencana pula baginya. Apalagi tangan yang telah melukai adiknya itu adalah tangan orang dari gerombolan hitam. Karena itu, maka tiba-tiba terdengar giginya gemeretak. Ia telah melupakan hidup matinya sendiri. Yang terukir di hatinya adalah, menuntut balas.

Demikianlah Arya Salaka berteriak nyaring sambil meloncat dengan garangnya. Pisau belatinya yang berwarna kuning berkilau itu menyambar dengan cepatnya, seperti tatit di udara. Tetapi yang diserangnya adalah Bugel Kaliki. Dengan cekatan seperti burung sikatan yang menghindar. Suara tertawanya masih menggetar memenuhi udara. Namun suara itu kemudian berhenti ketika datang serangan Karang Tunggal yang tidak pula dapat menahan kemarahannya. Kyai Sangkelat yang terkenal itu berputar-putar cepatnya mematuk tubuh Bugel Kaliki. Melawan kelincahan Karang Tunggal, Bugel Kaliki terpaksa memusatkan perhatiannya. Seandainya anak itu tidak memegang Kiai Sangkelat, Karang Tunggal pun bukan lawan yang perlu mendapat banyak perlawanan darinya. Tetapi kini ia terpaksa berhati-hati menghadapinya. Sentuhan keris itu di ujung rambutnya, akan berarti maut baginya.

Maka terulang kembalilah pertempuran yang sengit di bawah pohon nyamplung itu. Meskipun lawan Bugel Kaliki telah berkurang seorang, namun kini Karang Tunggal dan Arya Salaka mengamuk sejadi-jadinya. Mereka telah tenggelam dalam kemarahan yang tak terkendali. Cedera yang menimpa Sawung Sariti adalah kesalahan mereka bersama, sehingga dengan demikian, mereka yang masih sempat mengadakan perlawanan, harus memperbaiki kesalahan mereka. Membalas kekalahan itu, atau hancur lumat bersama-sama. Dengan demikian, pekerjaan Bugel Kaliki itu pun tidak berkurang, namun ia telah melihat titik kemenangan di pihaknya. Yang segera harus dilakukan adalah membinasakan Arya Salaka. Setelah itu maka ia akan berhadapan dengan anak yang keras hati yang bernama Karebet itu. Ia ingin menangkapnya hidup-hidup, memeras keterangan darinya, di mana ia mendapatkan Kyai Sangkelat dan di manakah ia mendapat ilmu Lembu Sekilan. Baru apabila keterangan-keterangan itu telah didapatnya, akan dibunuhnya anak itu dengan caranya.

Tetapi membinasakan Arya Salaka pun tidak semudah yang diduga. Anak itu benar-benar menyimpan angin di dalam dadanya. Meskipun Arya telah bertempur mati-matian, namun nafasnya masih mengalir wajar. Apalagi Mas Karebet.

Sedangkan Sawung Sariti agaknya benar-benar terluka parah. Ia sudah tidak mampu lagi menggeser dirinya dari tempatnya, meskipun ia berusaha. Beberapa kali ia mencoba bangun namun sekian kali pula dengan lemahnya ia terkulai ditanah.

Pada saat yang demikian itulah Galunggung melihat Pamingit terbentang jauh di kaki langit. Ia sudah tidak mampu lagi berlari sekencang-kencangnya. Nafasnya telah memburu secepat kakinya bergerak. Bahkan sekali-kali langkahnya telah gontai, dan malahan beberapa kali ia jatuh terjerembab. Dengan susah payah ia bangkit, dan mencoba untuk berlari kembali.

Ketika matanya menjadi semakin kabur, hatinya menjadi cemas. Namun tiba-tiba saja tidak jauh lagi di hadapannya dilihatnya orang berjalan. Hatinya melonjak kegirangan. Setidak-tidaknya orang itu dapat dimintanya untuk menyambung kabar yang dibawanya, menyampaikan secepat-cepatnya ke Pamingit. Tetapi tiba-tiba hatinya berdebar cepat, pikirnya, “Bagaimanakah kalau orang itu kawan Bugel Kaliki yang mencegat perjalananku?

Galunggung memperlambat langkahnya. Nafasnya saling berkejaran dari lubang hidungnya. Meskipun demikian, ia mencoba untuk menentramkan diri, mengatur aliran nafasnya itu. Kalau orang hitam, maka sudah pasti ia tidak akan menyerahkan nyawanya begitu saja, meskipun tenaganya benar-benar sudah hampir habis dan nafasnya sudah hampir putus.

Tiga orang” desisnya di antara deru nafasnya.

Tetapi tiba-tiba ia berteriak sekeras-kerasnya karena kegembiraan yang meledak. Orang itu, ketika menjadi semakin dekat padanya, menjadi semakin jelas pula, “Tuan…” suaranya terputus oleh nafasnya yang berdesak-desak.

Orang yang ditemuinya itu tertegun sejenak. Semula mereka pun bersiaga, siapakah orang yang berlari-lari ke arah mereka itu. Tetapi kemudian mereka pun mengenalnya. Galunggung.

Kenapa kau Galunggung?” tanya salah seorang.

Galunggung menghentikan langkahnya. Namun tenaganya benar-benar telah habis. Karena itu dengan lemahnya ia terjatuh di tanah. “Tuan…” desisnya. Nafasnya masih saja berkejaran. “Bugel Kaliki.

Bugel Kaliki?” sahut mereka bertiga hampir bersamaan.

Di mana dan mengapa?

Pada saat itu Galunggung sudah menjadi semakin lemah. Jawabannya pun sangat lemah pula, hampir tidak terdengar. “Di bawah pohon nyamplung.”

Pohon nyamplung?” ulang salah seorang dari mereka bertiga.

Galunggung sudah tidak dapat menjawab lagi. Dengan lemahnya ia jatuh terbaring. Pingsan.

Ketiga orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian terdengarlah salah seorang berkata, “Di manakah pohon nyamplung itu?

Di tepi jalan ke Sarapadan Kulon” jawab yang lain.

Bawalah Galunggung ke Pamingit, kami akan menyusul Arya,” kata yang lain lagi. “Berilah aku ancar-ancar.”

Diberinya orang itu ancar-ancar. Kemana ia harus pergi untuk sampai dibawah pohon nyamplung. Begitu ia selesai berbicara, meloncatlah yang dua orang berlari sekencang-kencangnya seperti angin. Bahkan di dalam kegelapan malam, keduanya tampak seperti sebuah bayangan yang melayang dan hilang di balik tabir kegelapan sebelum orang yang melihatnya sempat berkedip.

Kedua orang itu adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Ketika Mahesa Jenar kepanasan oleh udara malam, dan matanya masih belum mau dipejamkan, bangkitlah ia dan berjalan keluar. Sesaat kemudian Kebo Kanigara menyusulnya pula. Dalam kejemuan mereka, mereka berjalan saja menyusur jalan-jalan desa. Akhirnya Mahesa Jenar ingat kepada muridnya. Dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. Kalau Arya pergi bersama Sawung Sariti, tersimpan prasangka yang kurang menyenangkan. Karena itu tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk berjalan-jalan ke Sarapadan. Kebo Kanigara pun sependapat. Ketika ditemuinya seorang Pamingit yang sedang duduk-duduk di regol pagar halaman, diajaknya serta sebagai penunjuk jalan. Tetapi orang itu terpaksa kembali, membawa Galunggung di pundaknya.

Di bawah pohon nyamplung itu, perkelahian antara Bugel Kaliki melawan Mas Karebet dan Arya Salaka masih berjalan dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengalahkan lawannya. Namun bagaimanapun juga, akhirnya kedua anak muda yang perkasa itu harus mengakui di dalam hatinya, bahwa hantu bongkok itu benar-benar berbahaya. Meskipun umurnya sudah berlipat-lipat dari umur mereka, namun tenaganya masih juga luar biasa. Bahkan semakin lama terasa, bahwa tenaga Bugel Kaliki seperti bertambah-tambah. Karena beberapa lama kemudian Bugel Kaliki yang sudah matang itu melihat dengan jelas, di manakah kelemahan-kelemahan dan kekuatan kedua lawannya yang pantas menjadi cucunya itu.

Dan tiba-tiba saja terdengar hantu itu tertawa berderai mengerikan, seolah-olah daun pohon nyamplung yang lebat itu ikut bergetar karenanya. Meskipun suara tertawa itu jauh berbeda dari suara tertawa Pasingsingan maupun Lawaijo, yang didalamnya dilontarkan pula aji GelapNgampar, namun suara tertawa Bugel Kaliki itu benar-benar menyakitkan hati.

Karena itulah maka Jaka Tingkir menjadi bertambah marah. “Tutup mulutmu hantu bongkok. Jangan terlalu sombong. Kalau kau tertawa sekali lagi, aku sobek mulutmu dengan Kiyai Sangkelat ini.”

Suara tertawa itu terhenti. Tetapi hanya sesaat, kemudian kembali suara itu menggetarkan udara malam. Bahkan kemudian Bugel Kaliki berkata, “kalau kau mampu berbuat begitu anak yang perkasa, pastilah sudah kau lakukan.”

Karang Tunggal menjadi bertambah marah. Namun Bugel Kaliki benar-benar tak dapat disentuhnya. Orang yang bongkok itu masih mampu meloncat-loncat dengan lincahnya menghindari setiap serangan yang datang ke tubuhnya. Bahkan sekali-kali iapun mampu menyerang dengan garangnya. Untunglah bahwa hantu itu benar-benar tak mampu melawan. Karena ia masih menunggu setiap kesempatan yang terbuka. Dan kesempatan itu semakin lama semakin terbuka lebar baginya. Kedua anak muda itu berada diambang bahaya.

Tetapi dengan tak mereka sangka, dari tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu muncullah dua sosok bayangan yang terbang ke arah mereka, sehingga mereka yang bertempur itu menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera melontarkan diri ke samping, mencari kesempatan untuk melihat siapakah yang datang itu. Karang Tunggal dan Arya Salakapun tidak mengejarnya. Mereka juga ingin mengetahui siapakah yang datang langsung kepada mereka.

Melihat gerakan mereka berdua, Bugel Kaliki terkejut bukan main. Mereka pasti orang-orang sakti apalagi ketika keduanya telah semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi pasti siapakah yang datang itu. Namun kesempatan untuk menghindarkan diri sudah terlalu sempit sebab orang yang datang itu pasti akan mengejarnya, sampai diujung langitpun. Karena itu maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menghadapi mereka, bertakar jiwa. Tetapi untuk melawan orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan dapat sambil tertawa. Apalagi kalau kedua orang itu bergabung dengan kedua anak muda yang sedang dihadapinya. Meskipun demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan diri, apapun caranya.

Sesaat kemudian kedua orang itu telah berada tidak lebih lima depa didepan mereka. Mahesa Jenar berdiri tegak dengan wajah tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba melihat seseorang berbaring ditanah. “Siapakah dia” gumamnya

Adi Sawung Sariti,” sahut Arya Salaka. namun matanya masih tertanam dimata Bugel Kaliki.

Sawung Sariti,” ulang Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar bersamaan. Kebo Kanigarapun segera melangkah mendekati tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau melepaskan diri dari pandangan mata hantu bongkok itu.

Kebo Kanigara kemudian berjongkok disamping Sawung Sariti sambil berbisik, “Sawung Sariti

Sawung Sariti membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo Kanigara, bertanyalah ia dengan suara lemah, “siapakah kau?.

Kebo Kanigara” jawabnya.

Oh, bukankah paman sahabat paman Mahesa Jenar?” desis Sawung Sariti lirih.

Ya,” jawab Kebo Kanigara pendek. Tiba-tiba wajah Sawung Sariti menjadi cerah. Meskipun demikian perasaan sakit di dalam dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia mencoba untuk bergerak, tetapi betapa sakitnya sehingga ia mengerang perlahan-lahan.

Jangan bergerak, tubuhmu masih lemah sekali” kata Kebo Kanigara.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa. Katanya, “Nah kalian sudah datang. Marilah kita selesaikan persoalan kita. terserah kepada kalian, apakah mau bertempur secara jantan atau mengeroyokku sebagai betina pengecut, berempat sekaligus.”

Mendengar suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti menggeliat, “setan,” desisnya marah, “ia telah melukai dadaku.” Sedemikain marahnya Sawung Sariti sehingga karena dorongan perasaanya itu ia telah mengangkat kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh. dadanya benar-benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali terkulai di tanah.

Jangan bergerak,” kembali Kebo Kanigara menasihati. Perlahan-lahan tubuh yang lemah itu dibawanya menepi.

Iblis itu,” desis Sawung Sariti

Biarkan dia, pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya.”

Apakah paman Mahesa Jenar disini?,” bertanya Sawung Sariti.

Ya,” jawab Kebo Kanigara

Syukurlah,” gumam Sawung Sariti, “mudah-mudahan nasibnya akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua.”

Dalam pada itu, terdengar Bugel Kaliki berkata pula, “Ayolah. Aku sudah siap. Bukankah kalian marah karena anak tikus itu aku lukai?”

Diamlah!” potong Mahesa Jenar, “Jangan mencoba mengungkit harga diri kami untuk menyelamatkan diri. Kau ingin bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah demikian. Kau tak usah mempergunakan kata-kata sindiran yang menjemukan itu.”

Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. “Gila!” geramnya. “Kau terlalu sombong. Jangan mengukur dirimu dengan terbunuhnya Sima Rodra yang garang itu.”

Tak pernah aku berbuat demikian. Tetapi kau pun jangan berbangga karena kau berhasil melukai anak-anak,” bantah Mahesa Jenar.

Mereka yang mulai. Bukan aku,” jawab Bugel Kaliki.

Hampir saja mulut Karang Tunggal terbuka membantah kata-kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat diurungkan. Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama Putut Karang Jati, ada di tempat itu. Karena itu segera ia memperbaiki sikapnya. Ia kini tidak pula bertolak pinggang dengan muka menengadah. Meskipun demikian, ia tetap bersiaga, kalau-kalau Bugel Kaliki tiba-tiba melompatinya. Kyai Sangkelat masih ditangannya, dan aji Lembu Sekilan pun masih diterapkannya.

Meskipun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut pula melihat keris di tangan Karang Tunggal, juga kehadirannya yang tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum sempat menanyakannya, sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula. Bahkan terdengar hantu itu berkata, “Mahesa Jenar, kau benar-benar lantip. Kau tidak mau aku berkata melingkar-lingkar. Baiklah, ayo siapa dahulu yang akan aku binasakan. Kau atau sahabatmu itu. Atau anak-anak tikus yang tak tahu diri itu.”

Mahesa Jenar melangkah setapak maju. Jawabnya, “Akulah yang sudah berdiri paling dekat.”

Bagus!” teriak Bugel Kaliki.

Berbareng dengan itu ia pun segera meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun Mahesa Jenar pun telah bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia berhasil menghindarkan dirinya.

Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian yang sengit dibawah pohon nyamplung itu. Kini yang bertempur adalah Mahesa Jenar melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari golongan yang berlawanan. Masing-masing bertekad untuk saling membinasakan. Singa lena, silih ungkih.

Kebo Kanigara masih berjongkok di samping Sawung Sariti. Tetapi matanya tidak terlepas dari setiap gerak dari mereka yang sedang bertempur mati-matian itu. Arya Salaka dan Karang Tunggal pun bergeser menjauh pula. Dengan penuh kekaguman mereka mengikuti setiap pergeseran yang terjadi. Desak-mendesak. Sesekali mereka melihat Mahesa Jenar terdorong surut, namun sesaat kemudian mereka melihat Bugel Kaliki meluncur beberapa langkah mundur.

Demikianlah pertempuran di bawah pohon nyamplung itu berlangsung dengan dahsyatnya. Si Bongkok itu bergerak meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu menyerangnya seperti burung Rajawali di udara. Menyambar-nyambar dengan garangnya. Kemudian mematuk dengan paruhnya yang tajam runcing. Dan apabila Bugel Kaliki itu seakan-akan merubah dirinya segarang harimau belang, Mahesa Jenar pun melawannya setangguh seekor banteng jantan.

Sehingga dengan demikian, akhirnya terasa oleh Bugel Kaliki bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai kesaktian yang luar biasa. Tahulah sekarang hantu bongkok itu, karena Sima Rodra tak mampu melawannya. Karena itu, maka untuk keselamatan diri, akhirnya diurainya senjata andalannya, yang seakan-akan tak pernah disentuhnya. Sehelai kain empat persegi yang berwarna merah, dan di salah satu sudutnya diikatkan sepotong timah baja kuning. Pusaka peninggalan nenek moyangnya. Dengan memegang sudut silangnya, timah baja kuning itu diputarnya seperti baling-baling.

Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan hati yang tegang. Ia tahu benar apa yang sedang dihadapi. Karena itu, maka ia tidak sempat untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sawung Sariti, Karebet, Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Meskipun lamat-lamat ia masih mendengar suara Sawung Sariti yang kadang-kadang mengeluh pendek menahan sakitnya. Namun bagi Mahesa Jenar keluhan itu justru merupakan minyak yang menyiram nyala kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan hitam.

Malam berjalan dengan lancarnya. Bintang-bintang semakin lama semakin condong kegaris cakrawala di ujung barat. Namun pertempuran di bawah pohon nyamplung itu masih berlangsung terus. Bahkan kini perkelahian itu bertambah-tambah dahsyatnya. Bugel Kaliki dengan senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar seperti burung alap-alap. Namun Mahesa Jenar bukanlah sekedar burung merpati yang ketakutan.

Bugel Kaliki ternyata bukan saja wajahnya yang mengerikan, namun tandangnya sesuai benar dengan namanya dan wajahnya yang menakutkan itu. Timah baja kuning diujung kain perseginya menyambar-nyambar seperti lebah. Suaranya berdesing-desing dan melibat lawannya dari segenap arah.

Mahesa Jenar merasakan kedahsyatan dan kecakapan Bugel Kaliki mempermainkan senjata aneh itu. Beberapa kali ia terpaksa meloncat surut dan beberapa kali timah lawannya itu mengiang dekat benar dengan kepalanya. Bahkan karena perhatian Mahesa Jenar terpaku pada senjata itu, maka sekali-kali terasa kaki hantu bongkok itu menyambar lambungnya, sehingga Mahesa Jenar yang kokoh itu terpaksa terdorong surut. Bahkan sekali-kali tangan Bugel Kaliki itu sempat menyentuh tubuh Mahesa Jenar dan sekali-kali mendorongnya mundur.

Dengan demikian Mahesa Jenar terpaksa melawannya dengan sepenuh tenaga. Untunglah bahwa Mahesa Jenar bertubuh kuat sekuat banteng jantan. Betapa pun lawannya berusaha untuk melumpuhkannya, namun dengan gigihnya ia bertahan. Meskipun demikian, senjata Bugel Kaliki itu benar-benar mengganggunya. Sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk menembus lingkaran timah baja kuning yang berterbangan mengitari tubuhnya. Namun Mahesa Jenar tidak pernah kehilangan akal. Ia memperhitungkan setiap kemungkinan. Betapapun sulitnya, sekali-kali ia berhasil juga mengenai tubuh lawannya. Dengan kaki atau dengan tangannya. Tetapi sentuhan-sentuhan itu agaknya tidak banyak berarti, karena setiap senjata Bugel Kaliki itu selalu menghalang-halanginya.

Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Mas Karebet memandangi perkelahian itu dengan penuh perhatian sehingga nampaknya seperti patung dalam ketegangan. Mereka mengikuti setiap gerak, baik Mahesa Jenar maupun Bugel Kaliki. Namun setiap saat mereka menjadi bertambah tegang. Apalagi ketika mereka melihat setiap kali Bugel Kaliki berhasil melibas Mahesa Jenar dan sekali-kali kemudian berhasil melontarkannya surut.

Namun meskipun demikian, mereka tetap terpaku di tempat masing-masing dengan ketegangan yang semakin meningkat.

Maka setelah mereka bertempur semakin lama, serta usaha Mahesa Jenar untuk menjatuhkan lawannya masih belum berhasil, karena senjatanya yang aneh itu, bahkan terasa betapa tekanan Bugel Kaliki semakin lama menjadi semakin ketat, karena timah baja kuningnya yang seolah-olah dapat mengurung Mahesa Jenar, sehingga ia tidak sempat untuk menyerang. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mempertahankan hidupnya dengan ilmu tertinggi yang dimilikinya. Dengan demikian, Mahesa Jenar dengan lincahnya meloncat ke samping beberapa langkah untuk membebaskan diri dari libatan timah baja kuning yang menyambar-nyambar itu. Kemudian dengan garangnya ia mengangkat satu kakinya, ditekuknya ke depan, satu tangannya diluruskan ke atas seperti akan menyentuh bintang-bintang di langit, tangannya yang lain menyilang dada. Dan dalam pada itu, tersalurlah kekuatan Aji Sasra Birawa.

Bugel Kaliki melihat tata gerak Mahesa Jenar itu. Ia pun telah mengetahui pula, bahwa dengan demikian Mahesa Jenar sedang mateg aji yang terkenal. Dengan dahsyatnya ia meloncat sambil memutar senjatanya demikian kerasnya sehingga terdengar angin berdesing. Namun apa yang dilakukan Mahesa Jenar adalah terlalu cepat. Sehingga ketika serangan itu tiba, Mahesa Jenar sempat meloncat mundur sambil merendahkan dirinya. Timah baja kuning itu nyaris menyambar pelipisnya. Tetapi sesaat kemudian ia telah tegak kembali dan dengan kecepatan kilat ia meloncat maju. Tangan kanannya menyambar, dengan dahsyat menghantam tengkuk Bugel Kaliki. Bugel Kaliki masih mencoba untuk menghindar, namun ia terlambat. Sebuah hantaman yang dahsyat telah mengenainya. Terdengarlah ia berteriak nyaring kemudian melenting dan jatuh terguling di tanah.

Tetapi hantu itu tidak mau menyerah pada keadaannya. Dengan tertatih-tatih ia bangkit kembali. Sekali terdengar umpatan kotor dari mulutnya serta matanya menyorot sinar kemarahan yang liar. Kemudian dengan sekuat tenaga ia melempar Mahesa Jenar dengan senjatanya. Untunglah Mahesa Jenar tetap waspada, sehingga secepat itu pula ia berhasil menghindari senjata Bugel Kaliki itu.

Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki mengumpat, kemudian jatuh kembali, terjerembab. Arya Salaka memalingkan wajahnya melihat saat-saat terakhir yang mengerikan dari hantu yang hampir membunuhnya itu.

Mahesa Jenar masih berdiri tegak seperti patung. Dipandangnya tubuh Bugel Kaliki terbaring di tanah. Mati. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam, sedang di hatinya terpanjatlah ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menyelamatkannya dari senjata Bugel Kaliki yang mengerikan, serta telah memberinya kekuatan, bahkan membinasakan hantu yang menakutkan itu. Bersyukurlah bahwa ia telah berhasil melakukan pengabdian sekali lagi atas kemanusiaan dalam pancaran cinta kasih yang abadi.

Tidak saja Mahesa Jenar, namun Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal pun menarik nafas pula. Seakan-akan sesuatu yang menekan dadanya telah dapat dipunahkan. Bahkan tiba-tiba terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan ketika ia mendengar teriakan ngeri, “Paman, apakah yang terjadi?”

Kebo Kanigara memandang wajah anak itu. Tampaklah kadang-kadang mulutnya menyeringai menahan sakit. Maka jawabnya, “Sawung Sariti, bersyukurlah kau, karena pamanmu Mahesa Jenar telah mengakhiri pertempuran.”

Bagaimana dengan hantu bongkok itu?” tanya Sawung Sariti lemah.

Ia sudah binasa,” sahut Kebo Kanigara.

Tuhan Maha Besar,” desisnya. Tetapi hatinya sendiri tergetar mendengar suaranya. Selama ini tak pernah ia menyebut nama Tuhan. Apalagi kebesarannya. Tiba-tiba saja kata-kata itu terluncur begitu saja dari mulutnya. Namun setelah itu terasa betapa dekatnya ia dengan Tuhan. Maka timbullah keinginannya untuk sekali lagi menyebut nama itu, nama yang selama ini terlupakan olehnya. Maka katanya, “Tuhan Maha Besar. Ya, Tuhan Maha Besar.

Mahesa Jenar menoleh mendengar suara Sawung Sariti itu. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Tenangkan hatimu, Sawung Sariti.”

Terimakasih, Paman,” jawabnya lirih. “Hatiku telah puas. Hantu itu telah binasa.” Tampaklah senyum mengambang di bibir Sawung Sariti. Meskipun demikian nafasnya terdengar semakin cepat mengalir dari lubang hidung dan mulutnya, sedang dari mulut itu masih menetes darah yang merah.

Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian, “Apakah tidak sebaiknya Sawung Sariti segera mendapat pengobatan?

Sawung Sariti menggeleng lemah, katanya, “Obat yang paling baik, telah aku dapatkan, Paman.

Apakah itu?” tanya Kebo Kanigara.

Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang sayu. Jawabnya, “Di manakah Kakang Arya Salaka?

Arya Salaka ternyata sudah berjongkok di belakang Mahesa Jenar, berdua dengan Karang Tunggal.

Mendekatlah Arya,” kata Mahesa Jenar.

Kakang...” Sawung Sariti tidak meneruskan kata-kata, namun matanya telah memancarkan segenap perasaan yang tersimpan di dadanya.

Tenangkan hatimu Adi,” pinta Arya Salaka mengulangi kata-kata Kebo Kanigara. Dan sekali lagi Sawung Sariti tersenyum.

Biarlah anak ini aku bawa kembali ke Pamingit,” kata Kebo Kanigara. “Mungkin Paman Sora Dipayana dapat mengobatinya.”

Sebaiknyalah demikian, Kakang,” jawab Mahesa Jenar, “Dan biarlah Arya Salaka menjemput ibunya dan ibu Sawung Sariti.”

Mendengar Mahesa Jenar menyebut-nyebut ibunya, berdesislah Sawung Sariti. Katanya lemah, “Tolonglah Kakang Arya, jemputlah ibuku sekali.”

Baiklah Adi,” jawab Arya, “Akan aku bawa Bibi Lembu Sora bersama ibuku ke Pamingit.”

Sawung Sariti masih mencoba tersenyum walau wajahnya semakin sayu. Katanya, “Terimakasih Kakang.”

Kebo Kanigara pun kemudian bangkit sambil mengangkat tubuh Sawung Sariti perlahan-lahan. Dalam pada itu terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan, “Paman, aku telah menyulitkan Paman.”

Jangan berpikir demikian Sawung Sariti,” jawab Kebo Kanigara. “Adalah kewajiban manusia untuk saling membantu. Mungkin pada suatu saat aku akan memerlukan bantuanmu pula.”

Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi terharu. Apakah Kebo Kanigara akan berbuat demikian manisnya pula seandainya dirinya berhasil membunuh Arya Salaka?

Hem...” Ia menggeram. Perasaan sesal meronta-ronta di dalam dadanya. Sesal atas segala macam pekertinya yang jauh tersesat ke daerah nafsu.

Mereka pun kemudian berjalan ke arah yang berbeda-beda. Arya Salaka dan Mahesa Jenar ke Sarapadan, sedang Kebo Kanigara mendukung Sawung Sariti ke Pamingit.

Yang berdiri kebingungan adalah Karebet. Ia memandang Arya Salaka dengan permintaan, apakah boleh pergi bersamanya.

Tidakkah Kakang Karang Tunggal pergi bersama Paman Kebo Kanigara?” tanya Arya Salaka, “Barangkali Paman Kebo Kanigara perlu bantuan Kakang, mendukung Adi Sawung Sariti. Di Pamingit nanti kita bertemu. Barangkali Kakang Karang Tunggal banyak mampunyai ceritera yang menarik.”

Oh!” Karebet seperti tersadar dari mimpi. Bukankah ia dapat membantu pamannya itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah Adi, aku membantu Paman Karang Jati.” Dan berlari-larilah Karebet menyusul pamannya.

Ketika ia telah berjalan di belakang pamannya, berkatalah ia perlahan-lahan, “Paman, biarlah Adi Sawung Sariti aku dukung.

Kebo Kanigara menoleh. Tapi ia tidak segera menjawab. Karena itu hati Karang Tunggal menjadi berdebar-debar. Akhirnya ia berjalan sambil menundukkan kepalanya.

Hatinya berdesir ketika pamannya itu bertanya, “Kenapa kau berada di sini, Karebet?”

Kepala Karebet menjadi semakin tunduk. Ia benar-benar takut kepada pamannya itu.

Kenapa?” ulang Kebo Kanigara.

Karebet masih belum dapat menjawab. Karena itu hatinya menjadi semakin kecut.

Tiba-tiba berkatalah Karang Jati, “He, Karebet. Kau akan ikut aku ke Pamingit?

Ya, Paman,” jawab Karebet singkat.

Bagus, kau akan dapat menemui kawan-kawanmu dari pasukan Nara Manggala,” sambung Kebo Kanigara.

Karebet terkejut bukan buatan. “Nara Manggala?” ulangnya.

Ya,” jawab Kebo Kanigara acuh tak acuh. “Ki Gajah Alit, dan para pejabat rahasia Demak, Ki Paningron.”

Benarkah keduanya di sini?” desak Karebet semakin terkejut.

Kenapa?” tanya Kebo Kanigara.

Karebet terdiam. Sekali lagi pandangan matanya terbanting di tanah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Karebet...” kata Kebo Kanigara kemudian, “Seharusnya kau menjadi gembira. Bukankah kau akan bertemu dengan perwira-perwira dari pasukan Demak? Aku dengar, kau pun telah menjadi lurah Wira Tamtama.”

Ya, Paman, tetapi…” Karebet tak dapat meneruskan kata-katanya.

Tetapi kenapa?” desak Kebo Kanigara.

Sekali lagi Karebet terbungkam.

Akhirnya terdengar Kebo Kanigara berkata dengan suara yang berat, “Karebet, apakah yang sebenarnya terjadi?”

Karebet masih berjalan dengan muka tunduk di belakang pamannya. Ia tidak berani mengatakan apa yang telah terjadi sehingga ia diusir dari Kraton Demak. Bahwa ia masih hidup dan lepas dari kemarahan Sultan yang lebih besar lagi, adalah karena Sultan sejak semula telah tertarik kepada keperwiraan dan kecekatannya, sehingga kasih yang dilimpahkan kepadanya agak berlebihan dibanding dengan para prajurit lainnya.

Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku sudah tahu apa yang kau lakukan di Demak, Adol bagus. Kau sangka di seluruh kolong langit ini hanya kau sendiri seorang laki-laki?”

Hati Karebet menjadi semakin berdebar-debar. Dan karena itu wajahnya menjadi semakin tumungkul memandang ujung-ujung jari kakinya yang bergerak-gerak karena langkahnya.

Tiba-tiba ia terkejut ketika dengan tiba-tiba pula pamannya berhenti. Bahkan tanpa sengaja ia mengerutkan pundaknya. Ia menyangka bahwa pamannya akan memarahinya.

Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun sayang benar kepada kemenakannya yang nakal itu. Maka katanya, “Karebet, bagaimanakah pertimbanganmu? Apakah kau akan menemui para perwira dari prajurit Demak itu?”

Beberapa saat Karebet diam. Ia menjadi berlega hati ketika pamannya tidak memaki-makinya. Setelah debar jantungnya mereda, ia berkata, “Aku kira lebih baik tidak, Paman.”

Nah, kalau demikian, jangan ikuti aku. Pergilah ke Banyubiru. Setelah semuanya selesai, aku akan ke sana mengantarkan Arya Salaka. Aku akan menemuimu. Dan kau harus berkata sebenarnya apa yang telah terjadi dan apa yang pernah kau lakukan.”

Baik Paman,” jawab Karebet. “Aku sekarang berada di rumah Ki Buyut atau yang dikenal Ki Lemah Telasih.”

Nah, pergilah. Apakah kau sudah tahu jalan yang harus kau tempuh?” tanya Kebo Kanigara. Sebenarnya ia tahu bahwa hampir seluruh jalan di sekitar pegunungan Merapi, Merbabu, Slamet, Ungaran, Murya, Sindara, Sumbing, Lawu, Kelut, Kawi sampai di daerah barat dan timur telah dilintasinya.

Karebet pun kemudian mengambil jalan lain untuk langsung pergi ke Banyubiru. Daerah yang tidak terlalu dekat. Namun berjalan kaki bagi Karebet adalah pekerjaannya sehari-hari.

———-oOo———-

II

Kebo Kanigara berhenti sejenak melihat langkah kemenakannya itu. Karebet benar-benar memiliki tubuh idaman bagi setiap laki-laki. Apalagi bagi mereka yang mesu raga, olah keprawiraan. Badannya tegap, berdada bidang. Tangan-tangan serta kaki-kakinya kokoh kuat seperti baja. Sedang geraknya lincah cekatan seperti burung sikatan. Dan Karebet mempunyai modal yang cukup lengkap. Selain tubuhnya yang serasi, ia pun memiliki wajah yang tampan. Tetapi wajahnya yang tampan itulah yang menyebabkan ia diusir dari Demak.

Kebo Kanigara tidak yakin bahwa kemenakannya itu benar-benar membunuh orang Demak. Cara Paningron menceriterakannya telah menimbulkan kecurigaan. Senyum-senyum yang aneh. Dan ia telah memaklumi maksudnya.

Pada saat itu bintang-bintang di langit telah bergeser jauh dari tempat semula. Lamat-lamat terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Dalam keheningan malam itu terdengar Sawung Sariti berbisik, “Kenapa Kakang Karebet paman perintahkan ke Banyubiru? Aku ingin berkenalan dengan pemuda yang perkasa itu.”

Kebo Kanigara kini telah berjalan lagi. Langkahnya tegap dan agak cepat. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab “Barangkali lebih baik demikian, Sawung Sariti. Sedang kau, pada masa-masa yang akan datang akan dapat mengenalnya lebih dekat.

Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam. Terasa seolah-olah beribu-ribu jarum menusuk-nusuk dadanya dari dalam. Dengan lirih ia berdesis, “Mudah-mudahan aku mempunyai waktu.”

Jangan berangan-angan demikian.” Kebo Kanigara menasihati, “Berdoalah supaya lukamu sembuh kembali.” Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun dihinggapi perasaan cemas melihat anak muda dalam dukungan tangannya itu. Karena itu ia berjalan semakin cepat, supaya segera sampai ke Pamingit.

Dalam pada itu Arya Salaka dan Mahesa Jenar berjalan ke arah yang berlawanan. Sekali-kali Arya memandang ke langit yang bersih. Perlahan-lahan ia berkata, “Hujan sudah jauh berkurang, Paman.”

Sudah kita lampaui mangsa kesanga,” sahut pamannya. “Mudah-mudahan hari-hari yang akan datang tidak selalu diliputi oleh awan yang kelam.”

Hari-hari yang cerah,” desis Arya Salaka.

Kemudian untuk sesaat mereka berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengar Arya berkata, “Paman, ternyata Bugel Kaliki tidak sekuat yang aku sangka. Bukankah ia termasuk tokoh yang sejajar dengan Sima Rodra dan sebagainya?”

Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi pengaruh keadaan telah menyebabkan ia kehilangan pengamatan. Ia benar-benar telah putus asa. Hilangnya beberapa orang sahabatnya menjadikan Bugel Kaliki berhati kecil. Apalagi kali ini ia melihat kehadiranku dan Kakang Kebo Kanigara bersama-sama. Sedang sebelum itu pun ia sudah harus bekerja berat. Bukankah kau dan Karebet telah melawannya dengan gigih? Karebet benar-benar anak luar biasa. Apalagi dengan Sangkelat di tangannya. Yang lebih mempercepat kekalahannya adalah bongkah di punggungnya. Sejak semula aku melihat, betapa ia melindungi punggungnya itu, sehingga aku berpikir bahwa orang itu pasti memiliki kelemahan di punggungnya itu. Demikianlah ketika tanganku mengenai tengkuknya, ternyata Bugel Kaliki tak mampu melawannya.

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia yakin, bahwa apabila ia bertempur, tidak saja ia harus mempergunakan tenaganya, tetapi juga otaknya, sehingga dapat diketahuinya, kekuatan dan kelemahan lawan.

Kembali mereka berdiam diri. Ujung malam itu ditandai oleh suara kokok ayam jantan dari desa di hadapan mereka, Surapadan.

Tiba-tiba Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Kakinya serasa gemetar, dan ingin meloncat berlari mencari pondok yang dikatakan oleh Titis Anganten. Tiga halaman dari gardu di mulut jalan desa. Tetapi ia menahan dirinya, sebab gurunya berjalan di sampingnya.

Dalam keriuhan suara ayam jantan itu, terdengar Mahesa Jenar berkata, “Ibumu dan bibimu berada di desa itu Arya?”

Ya paman,” jawab Arya.

Adakah kau tadi pergi bersama Sawung Sariti?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.

Arya menjadi ragu-ragu. Namun ia menjawab pula, “Ya paman”.

Apakah yang terjadi?” berkata Mahesa Jenar pula.

Kami bertemu dengan Bugel Kaliki. Untunglah kakang Karebet tiba-tiba saja berada di tempat itu pula,” jawab Arya bimbang.

Sebelum itu apakah yang terjadi?” desak Mahesa Jenar.

Kembali Arya menjadi ragu-ragu. Ia tidak segera menjawab. Apakah pamannya tahu bahwa ia lebih dahulu bertempur melawan Sawung Sariti? Dalam kebimbangan itu terdengar Mahesa Jenar berkata, “Arya aku tidak yakin luka di dadamu itu karena tangan Bugel Kaliki sebab ia tidak bersenjata tajam, bahkan kalau kau tersentuh tangannya maka akibatnya akan sama seperti yang diderita oleh Sawung Sariti. Karena itu aku ingin tahu, siapakah yang melukaimu?.”

Mulut Arya menjadi berat seberat perasaannya untuk menyebut nama adiknya. Ia mencoba untuk berusaha melindunginya, namun pertanyaan gurunya itu benar-benar mendesaknya. Karena itu, betapapun beratnya ia terpaksa berkata, “Sawung Sariti, paman.”

Aku sudah menduga,” desis Mahesa Jenar. “Dan kaupun telah melukai pundaknya.”

Ya, paman,” Arya tidak dapat mengelak lagi.

Lukamu tidak berbahaya, tetapi apakah kau melukai Sawung Sariti dengan Kiyai Suluh?.”

Tidak paman, aku melukainya dengan pedang yang diberikan oleh Karang Tunggal.”

Karang Tunggal sudah ada pada waktu itu?,” tanya Mahesa Jenar.

Sudah paman,” Sahut Arya, kemudian diceritakannya apa yang diketahuinya. Sejak ia pergi bersama Sawung Sariti sehingga melihat Karebet bertempur melawan Sawung Sariti dibawah pohon nyamplung Dari Karebet ia mendengar, bahwa agaknya Sawung Sariti telah menunggunya disitu.

Mahesa Jenar mengangguk-angguk namun yang meloncat dari mulutnya adalah, “itulah gardu dimulut lorong.”

Kembali dada Arya berdebar cepat sekali. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke tempat ibunya menyembunyikan diri. Namun ia masih mendengar gurunya bergumam, “untunglah kau tidak menyentuh adikmu dengan Kiyai Suluh. Sebab dengan demikian setiap orang, juga pamanmu Lembu Sora, eyangmu Sora Dipayana akan melihat kesaktian pusaka itu. Dan kaulah pembunuh yang sebenarnya dari adik sepupunya.”

Arya menundukkan wajahnya. “Ya untunglah yang demikian tidak terjadi.”

Sesaat kemudian Arya berhenti disamping gardu di mulut lorong desa Sarapadan itu. Dan terdengarlah ia bergumam. “Kita membelok ke kiri paman, tiga halaman dari gardu ini.”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia mengikuti saja Arya yang melangkah perlahan menyusuri lorong itu sambil menghitung halaman di kanan jalan. Namun halaman di desa kecil itu ternyata cukup luas.

Ketika Arya Salaka dan Mahesa Jenar telah melampaui halaman yang ketiga, di dadanya serasa telah menggetarkan seluruh tubuhnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Halaman ketiga ini dipagari oleh dinding batu yang sebagian telah rusak. Regolnya runtuh dan rumah yang berdiri di halaman itupun sudah tidak tegak lagi. Sebuah gubuk bambu beratap ilalang.

Di sinikah ibu beserta bibi itu?,” desis Arya Salaka ragu-ragu.

Ya,” sahut Mahesa Jenar pasti.

Tetapi….,” kata-kata Arya tertutup.

Eyangmu Titis Anganten telah mencoba mempergunakan perhitungan sebaik-baiknya. Kau pasti menduga bahwa Ibu dan Bibimu berada dirumah yang paling baik di desa ini?.”

Arya mengangguk.

Orang lainpun akan menduga demikian. Karena itulah maka ibu dan bibimu berhasil bersembunyi.” sahut Mahesa Jenar.

Oh”, Arya menarik napas. ia menyadari kebodohannya.

Kemudian dengan dada berdebar-debar ia melangkahi bongkah kayu yang berserak serak disamping regol halaman itu. Ia terhenti ketika ia sudah dimuka pintu.

Ketuklah,” desis Mahesa Jenar. Perlahan lahan Arya mengetuk pintu rumah itu. Dan dari dalam rumah itu terdengar sapa perlahan, suara laki-laki tua. “Siapa?.”

Aku kakek,” sahut Arya Salaka.

Aku siapa?,” orang itu menegaskan.

Arya telah menerima pesan dari Titis Anganten bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya, supaya orang dirumah itu percaya bahwa kedatangannya sudah persetujuan Titis Anganten. Orang yang menitipkan dua orang pengungsi kepadanya.

Aku kek, burung elang dari lereng bukit,” sahut Arya. Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar menggamit tangannya tetapi ketika Arya Salaka menganggukkan kepalanya, tahulah Mahesa Jenar maksud jawaban itu.

Kemudian terdengarlah langkah perlahan menuju ke pintu. Dan sesaat kemudian terdengarlah derak pintu lereg itu terbuka. Seorang lelaki tua berdiri terbongkok bongkok dimuka pintu sambil berusaha mengamati tamunya.

Masuklah,” orang tua itu mempersilahkan.

Terimakasih kek, tetapi adakah sepasang pohon Wregu itu masih disini?,” bertanya Arya Salaka seperti pesan Titis Anganten.

Orang tua itu yakin sudah bahwa kedua orang yang berdiri di muka rumahnya itu adalah orang-orang setidak-tidaknya suruhan orang yang menitipkan kedua pengungsi kepadanya. Karena itu ia menjawab, “Ya, ya, aku telah menjaganya dengan baik.”

Arya Salaka dan Mahesa Jenar melangkah masuk. Dipersilahkannya mereka duduk di bale-bale bambu. Berderak-deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang gagah itu memberati bale-bale.

Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan terdengarlah ia berkata, “Nyai telah datang utusan dari orang yang membawa nyai berdua kemari.”

Sudahkah kau yakin kakek?” terdengar suara seorang wanita.

Aku yakin, nyai,” jawab orang itu.

Dan sesaat kemudian dari sentong kanan keluarlah dua orang wanita. Jauh lebih tua dari lima enam tahun yang lampau. Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu tanpa sadar Arya menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia melihat betapa muridnya menjadi gemetar.

Siapakah kau?,” bertanya salah seorang daripadanya.

Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak mengenalinya. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar. “Adakah Nyai lupa kepadaku?,”

Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah dan dengan ragu-ragu ia berkata, “Adi Mahesa Jenar.”

Ya, aku Mahesa Jenar,” jawab Mahesa Jenar.

Oh,” terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin cerah. “Lalu siapa anak muda ini?.”

Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri tidak mengalami banyak perubahan. Tetapi Arya Salaka yang sedang tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan Banyu Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara tigabelas tahunan. Dan sekarang ia adalah seorang pemuda perkasa. Bertubuh kekar dan berdada bidang. Karena itulah maka Mahesa Jenar berkata, “Nyai, bertanyalah kepadanya siapakah namanya?.”

Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya berdesir ketika melihat anak itu gemetar. Dan kemudian tiba-tiba saja anak muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk kaki ibunya. “Ibu….”

Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau kah itu.”

Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Kerongkongannya serasa tersumbat batu. Sedangkan matanya menjadi panas.

Wanita itu kini yakin. Anak itu adalah anak yang pernah dibelainya enam tahun lalu, anak yang tidur dipangkuannya, dicium keningnya. Namun sering pula dimarahinya karena kenakalannya. Tiba-tiba tangannya yang lemah memeluk kepala Arya Salaka dan menekankan ke dadanya. Dan terasa tiba-tiba dada yang tipis itu menggelombang. Meledaklah sebuah tangis kegembiraan. “Arya, bukankah kau Arya Salaka?”

Juga Arya tidak mampu berkata sepatahpun. Seabagai laki laki yang tabah menghadapi setiap bahaya maut yang mengancamnya, Arya adalah seorang berhati baja. Namun kali ini ia tidak kuasa menahan diri. Meneteslah sebutir air mata.

Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia tidak tahu apakah yang bergejolak didalam dadanya.. Anak ini pada saat terakhir sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya seperti ini. Menekankan kepala anak ini ke dadanya.Kini anak itu tidak berdiri pada telapak kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai Gajahsora tak sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu seperti enam tahun lampau, diciumnya keningnya dan dibasahi dahi anak itu dengan air mata.

Nyai Lembusora pun terharu melihat pertemuan itu. Tanpa sesadarnya dari matanya juga mengalir air mata. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara suaminya dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka sebagai kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan demikian iapun terharu melihat pertemuan itu, setelah anak itu hilang selama enam tahun didsisi ibunya.

Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia gembira, segembira Arya Salaka sendiri. Ia akan dapat menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan kepercayaan Gajahsora kepadanya meskipun ia harus mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula kepada Kebo Kanigara.

Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-putus karena isaknya, “Kemana kau selama ini Arya?, ayahmu tak kunjung kembali dan kau meninggalkan aku seorang diri dalam sepi dan duka

Arya ingin menjawab. Ingin bercerita bahwa ia sama sekali tidak bermaksud meninggalkan ibunya. Ia ingin mengatakan bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejap pun terhapus dari angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya serasa menjadi semakin besar pula. Karena itu ia hanya dapat menelan ludahnya beberapa kali.

Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya berdiri, terkejutlah Nyai Gajahsora. Katanya, “Oh, kau sudah besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu, seperti belahannya dalam cermin.

Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun suaminya telah pergi selama enam tahun, namun setiap ungkapan kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak berkurang. Dan dalam suasana yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan dirinya. Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah seseorang yang akan menantinya? atau mencemaskannya ?. Dan tiba-tiba pula teringatlah ia kepada Rara Wilis, seorang gadis yang setia menanti, meskipun umurnya selalu menghantuinya. Hari demi hari…..

Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Dengan sudut matanya disambarnya setiap wajah yang ada diruangan itu. Kalau kalau ada diantara mereka yang melihat perubahan wajahnya.

Hem,” ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya berkata, “jangan berangan-angan seperti pemuda meningkat dewasa.”

Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusora pun segera berkemas-kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke Pamingit. Meskipun Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan tentang keadaan adik sepupunya.

Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah yang sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak terimakasih atas perlindungan yang diberikan.

Eh,” sahut kakek tua itu. “Sudah menjadi kewajiban setiap warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang yang aku lakukan sekedar menerima Nyai berdua dan memberikan sekedar tempat untuk beristirahat.”

Aku tidak akan melupakan kau, kek,” sahut Arya Salaka. “Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini.”

Terimakasih ngger, terimakasih.” Jawab orang itu.

Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka berempat menuju Pamingit. Didalam dada mereka masing-masing bergetarlah angan angan menyongsong hari yang akan datang. Nyai Ageng Gajahsora menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang hilang dan kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya Salaka memandang langit yang cerah secerah hatinya. Sedang Mahesa Jenar menundukkan kepalanya menghitung masa lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah selesai. Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada ayah bundanya., kemudian ia sendiri akan ke Karang Tumaritis menanyakan panembahan Ismaya, apa yang harus dilakukan atas Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sesudah itu datanglah saatnya mengurus dirinya sendiri.

Perlahan lahan langit yang ditaburi bintang itu menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari balik bukit telah menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun semakin redup karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan seakan ikut berdendang bersama mereka yang sedang berjalan berempat itu menyanyikan lagu riang gembira menyongsong hari yang cerah.

Demikianlah mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi. Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya.

Langit biru, batang batang jagung yang hijau. Air yang jernih sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan. Desa-desa yang menjorok seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun bergoyang ditiup angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau burung-burung liar yang riang berloncatan dari dahan ke dahan.

Tetapi ketika mereka hampir sampai di bawah pohon nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat Bugel Kaliki. Kalau mayat itu masih disana, pasti akan mengejutkan Nyai Ageng berdua. Tetapi mereka tidak dapat menempuh jalan lain. Mereka harus melampaui jalan di bawah pohon nyamplung itu.

Paman,” tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada Mahesa Jenar. “Bagaimana dengan mayat Bugel Kaliki?.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “lihatlah dan kalau masih ada singkirkan sementara. Nanti kita selesaikan mayat itu sebaik-baiknya.”

Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata, “Ibu dan Bibi, perkenankanlah aku mendahului. Ada sesuatu yang akan aku lihat lebih dahulu.

Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora, “Apakah keadaan di Pamingit masih belum baik Arya?.”

Tidak ibu,” jawab Arya, “kedadaan sudah terlalu baik. Tetapi parit yang menyilangi jalan disebelah pohon nyamplung yang tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir dan terlalu dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain.”

Oh,” Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik nafas lega, maka berkatalah ibu Arya, “pergilah.”

Arya pun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta bibinya menjadi terkejut dan ngeri.

Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat itu sudah tak ditemuinya di sana. “Hilang,” pikirnya. Yang dilihatnya hanyalah beberapa bekas darah yang mengalir dari lukanya, luka Sawung Sariti. Dengan dada yang berdebar-debar, ia melihat pakaiannya. Beberapa noda darah masih melekat dan mewarnai bajunya dengan noda-noda merah kehitam-hitaman. Tetapi luka didadanya tak mengalirkan darah lagi. Ia yakin bahwa ibu dan bibinya telah melihat luka itu. Tetapi mereka berdua tak mengucapkan sepatah pertanyaan pun. “Ah!” desisnya. “Adalah hal yang lumrah bahwa dalam daerah pertempuran seseorang mengalami luka di tubuhnya.”

Ketika ia menengok ke belakang, dilihatnya ibunya, bibinya serta Mahesa Jenar sudah berjalan semakin dekat. Cepat-cepat ia berusaha menghapus bekas-bekas darah yang mewarnai tanah di bawah pohon nyamplung itu. Namun sebuah pertanyaan melingkar-lingkar di kepalanya, di manakah mayat Bugel Kaliki? Apakah ia masih belum benar-benar mati dan kemudian bangkit kembali?

Tetapi Arya Salaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Ia terpaksa berpura-pura berjalan ke parit yang menyilang jalan di sebelah pohon nyamplung. Ia tersenyum sendiri ketika ia melihat aliran airnya yang bening kemercik di antara batu-batu kecil yang berserak-serakan di atas pasir. Aliran air di parit itu masih seperti kemarin. Tidak lebih dari setinggi betis. “Hem,” gumam Arya, “Tidak mungkin parit sebesar ini menjadi berarus deras dan dalam.”

Ibu serta bibinya itu pun menjadi semakin dekat. Dari jauh mereka melihat Arya Salaka membungkuk-bungkuk kemudian duduk di tanggul parit di bawah pohon nyamplung. Tetapi mereka tidak tahu apakah yang sudah dikerjakan oleh anak itu.

Ketika itu Arya sedang memungut sebatang pedang yang dipergunakan melawan Sawung Sariti, serta sebatang pedang Sawung Sariti sendiri, yang kemudian keduanya dipergunakan oleh Sawung Sariti untuk melawan Bugel Kaliki.

Nyai Ageng Gajah Sora beberapa kali memandang langit yang biru bersih. Di Sarapadan, kemarin setetes pun tak turun hujan. Kalau demikian maka di bagian timur pasti hujan lebat kalau parit itu benar-benar banjir.

Ketika mereka sampai di tepi parit itu, maka Nyai Ageng Gajah Sora pun menjadi heran. Parit itu tidak lebih dari sebetis dalamnya. “Sudah tidak banjir lagi, Arya?” ia bertanya.

Tidak Ibu,” jawab Arya.

Tampaklah beberapa pertanyaan masih tersimpan di dalam wajah ibunya, namun tak satupun yang terkatakan.

Ketika mereka sudah melampaui parit itu dan berjalan menyusur jalan kecil, maka berbisiklah Mahesa Jenar, “Bagaimana dengan mayat itu?

Hilang,” bisik Arya singkat.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Hilang?” ia mengulang.

Ya, hilang!” jawab Arya.

Aneh,” desis Mahesa Jenar sambil menarik nafas. Pada saat ia melihat Bugel Kaliki terbaring di tanah, ia sudah yakin bahwa orang itu telah terbunuh. Tetapi Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata lagi, meskipun tampak juga ia sedang berpikir.

Di perjalanan itu, tidak banyak yang sempat mereka pertanyakan. Mereka sibuk dengan angan-angan di kepala masing-masing. Sedang matahari merayapi bola langit dengan tekunnya, semakin lama semakin tinggi. Cahaya yang cerah memancar dan terbanting di atas batu-batu padas yang kemerah-merahan.

Arya mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi garengpung. Teringatlah ia pada masa kanak-kanaknya. Sehari-harian ia mengejar binatang-binatang semacam itu. Apabila didapatnya, disimpannya didalam ketupat janur yang masih kosong.

Kita sudah memasuki ujung musim kemarau,” desisnya.

Suara garengpung itu?” tanya gurunya.

Ya,” jawab Arya.

Kembali mereka berdiam diri. Dan mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat dikejauhan, disela-sela batang-batang jagung yang telah rusak, desa yang mereka tuju, jantung Daerah Perdikan Pamingit.

Tiba-tiba langkah mereka menjadi semakin cepat tanpa mereka sengaja. Mereka ingin segera sampai untuk melihat apa yang telah terjadi dan ingin segera bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi. Sanak keluarga dan tetangga-tetangga yang baik hati.

Ketika mereka menginjakkan kaki mereka di pusat pemerintahan Pamingit itu, Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi terkejut. Beberapa buah rumah hancur terbakar dan beberapa lagi menjadi porak poranda.

Beginikah Pamingit sekarang?” keluh Nyai Ageng Lembu Sora.

Tetapi itu hanya bekas-bekas keganasan mereka, orang-orang dari segerombolan hitam, Bibi,” sahut Arya, “Sedang orang-orang itu sendiri kini sudah dibinasakan.”

Tidakkah mereka akan datang mengganggu lagi?” tanya Nyai Ageng Lembu Sora.

Tidak Bibi. Mudah-mudahan tidak. Tuhan akan melindungi kita selama kita berada di atas kebenaran,” jawab Arya, namun di dalam hatinya ia meneruskan, “Kebenaran dalam firman-firman Tuhan, bukan kebenaran dalam tafsiran kita masing-masing, sebab akan berlipat-lipatlah dosa kita kalau kita mengaburkan batas antara kebenaran sejati dengan kebenaran yang sekadar menguntungkan kita sendiri.”

Beberapa orang Pamingit yang melihat kedatangan mereka menjadi saling berbisik, “Itulah, Nyai Ageng Lembu Sora telah kembali.”

Dan jawab yang lain, “Syukurlah kalau Nyai Ageng selamat. Tak ada kabar beritanya selama ini, kemana Nyai Ageng pergi.”

Dan beberapa orang kemudian menemuinya di perjalanan itu sambil membungkuk-bungkuk mengucapkan selamat. Nyai Ageng Lembu Sora menyambut salam itu dengan senyum yang tulus. Senyum yang memancarkan kegembiraan hatinya serta pertanyaan syukur bahwa ia masih sempat bertemu dengan mereka.

Ketika mereka menginjak halaman rumah Nyai Ageng Lembu Sora, di hadapan alun-alun yang tak begitu luas sekali lagi hati mereka melonjak. Nyai Ageng Lembu Sora bahkan menjadi terpaku di regol halaman. Rumah itu telah hancur menjadi abu. Tinggal beberapa bagiannya yang masih tersisa dan roboh berserak-serakan.

Dengan menekankan tangan di dadanya, terdengarlah ia bergumam, “Ya ampun. Malapetaka telah menimpa Pamingit.” Dan di dalam hatinya Nyai Ageng Lembu Sora itu berkata, “Aku telah mencoba mencegah Ki Ageng supaya tidak terlalu memanjakan nafsu, namun agaknya tak dihiraukannya. Sekarang hukuman Tuhan telah menimpa keluarga Pamingit.”

Ia menjadi terkejut ketika Arya berkata, “Bibi, Eyang dan beberapa orang lain berada di banjar desa sebelah. Marilah kita pergi ke sana.”

Bibinya tidak menyahut. Namun tampak dari matanya sebutir airmata yang menetes.

Maka pergilah mereka bersama-sama ke Banjar Desa, yang ditempati untuk sementara waktu oleh para pemimpin Pamingit.

Ketika mereka sampai di Banjar itu, ternyata beberapa orang telah berada pula di sana. Di antara mereka, Arya melihat pula ayahnya, Gajah Sora.

Kedatangan mereka itu ternyata telah menarik perhatian. Semua orang mengangkat wajahnya dan bergumam di dalam hati mereka. “Itulah mereka datang.”

Yang paling terkejut di antara mereka justru Nyai Ageng Gajah Sora. Seperti orang bermimpi ia melihat suaminya, Ki Ageng Gajah Sora duduk di antara beberapa orang itu. Beberapa kali ia mengedipkan matanya, namun yang ditatapnya itu masih tetap berada di tempatnya. Bahkan tiba-tiba Gajah Sora pun berdiri. Telah sekian lama ia menahan keinginannya untuk mengetahui keselamatan isterinya. Dan sekarang isterinya itu datang. Karena itu maka ia pun segera melangkah ke pintu menyongsong kedatangan isterinya itu.

Dada Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar bergoncang. Yang berdiri di muka pintu itu adalah suaminya. Bukan dalam mimpi. Baru saja hatinya melonjak-lonjak karena anaknya yang hilang telah kembali kepadanya. Sekarang tiba-tiba suaminya yang pergi lebih dahulu dari anaknya, berdiri pula di hadapannya.

Meskipun demikian antara percaya dan tidak, Nyai Ageng berdesis, “Arya, apakah itu benar ayahmu?

Ya, Ibu. Itulah Ayah Gajah Sora,” jawab Arya perlahan-lahan.

Nyai Ageng Gajah Sora tak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia pun segera berlari dan bersimpuh di kaki suaminya sambil menangis sejadi-jadinya.

Sekali lagi dada Mahesa Jenar seperti diguncang. Seorang isteri yang setia telah menemukan suaminya kembali. Di Banyubiru, ketika Gajah Sora itu datang bersamanya dari Gunung Tidar, Mahesa Jenar melihat Nyai Ageng Gajah Sora menerima kedatangan suaminya dengan membersihkan kakinya dengan air dingin yang jernih. Pada saat itu ia telah berangan-angan, alangkah sejuknya penerimaan yang demikian itu di hati suaminya. Sekarang Nyai Ageng Gajah Sora tidak saja membasuh kaki suaminya dengan air yang bening, tetapi ia telah membasuhnya dengan air mata.

Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu atas pertemuan itu. Untuk beberapa kali ia berdiam diri seperti patung dan membiarkan isterinya bersimpuh sambil menangis.’Namun kemudian setelah ia tersadar dari pesona itu, diangkatnya isterinya supaya berdiri dan diajaknya ia masuk ke dalam banjar desa itu. Maka kemudian suasana Banjar Desa itu menjadi gembira dan mengharukan. Meskipun kadang-kadang Nyai Ageng Gajah Sora masih meneteskan air mata, namun air mata yang memancarkan rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukannya dengan anak dan sekaligus suaminya.

Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi bergembira pula. Ia ikut bersyukur bersama kakak iparnya itu. Keluarga yang seakan-akan telah terpecah belah, kini mereka telah berkumpul kembali dalam suatu lingkungan yang bahagia. Namun meskipun demikian, hatinya menjadi kurang tentram. Suaminya tidak ada diantara mereka. Bahkan setelah mereka duduk beberapa saat pun, Ki Ageng Lembu Sora tidak juga menampakkan diri. Meskipun demikian, ia tidak sampai hati untuk menanyakannya.

Tetapi Nyai Ageng Lembu Sora tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan gelisah. Di dalam peperangan, dapat saja segalanya terjadi. Karena itu maka ia menjadi bercemas hati.

Beberapa saat kemudian, datanglah seorang Pamingit ke banjar desa itu. Kepada Wulungan yang duduk di dekat pintu, ia berkata, “Kakang Wulungan, adakah angger Arya Salaka telah datang?

Ya,” jawab Wulungan, “Belum terlalu lama.”

Beserta Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora?” Orang itu berjalan pula.

Ya, beserta keduanya,” jawab Wulungan pula.

Orang itu berhenti sejenak, kemudian ia berkata pula perlahan-lahan, “Ki Ageng Lembu Sora minta mereka datang ke pondoknya. Ki Ageng tak dapat hadir di banjar, pagi ini.

Wulungan mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu kalau Sawung Sariti terluka. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Sebab ia sudah menduga bahwa Nyai Ageng Lembu Sora belum diberitahukan akan hal ini. Karena itu ia berkata, “Baiklah, aku diberitahu akan hal ini.” Karena itu ia berkata, “Baiklah, aku persilahkan Nyai Ageng Lembu Sora nanti segera datang.

Setelah orang itu pergi, kecemasan benar-benar mencekam dada Nyai Ageng Lembu Sora. Dengan tergagap ia bertanya, “Kenapa dengan Ki Ageng Lembu Sora?

Tidak apa-apa, Nyai,” jawab Wulungan. “Ki Ageng Lembu Sora dalam keadaan sehat walafiat. Mungkin ada yang harus diselesaikan di pondok Ki Ageng. Maka sebaiknya Nyai Ageng pergi ke sana. Marilah aku antarkan.” Kemudian pandangan mata Wulungan pun beredar berkeliling, kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar, Gajah Sora dan yang lain-lain, dengan melontarkan pertanyaan, “Bagaimanakah dengan Angger Arya Salaka dan yang lain?

Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang telah mengetahui keadaan Sawung Sariti pun segera menjawab hampir bersamaan, “Aku ikut serta.”

Marilah,?” sahut Wulungan. Dan sesaat kemudian hampir semua orang di banjar desa itupun pergi ke pondok Ki Ageng Lembu Sora yang tidak begitu jauh dari banjar desa itu. Nyai Ageng Lembu Sora, Nyai Ageng Gajah Sora, Gajah Sora sendiri, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, diantar oleh Wulungan. Jarak yang hanya beberapa ratus tombak itu, bagi Nyai Ageng Lembu Sora terasa begitu panjangnya. Berbelit-belit lewat jalan-jalan sempit, di antara dinding-dindingbatu halaman-halaman rumah yang sudah sangat dikenalnya. Rumah Si Santa, rumah Si Gersik, Dandang, pekatik suaminya, dan rumah-rumah lain yang sering dilewatinya. Dan halaman-halaman rumah-rumah itu seakan-akan menjadi bertambah panjang. Jauh berlipat-lipat dari yang pernah dilihatnya sebelum terjadi peperangan.

Beberapa saat kemudian sampailah mereka ke satu halaman yang sedang. Rumah itu pun pernah dilihatnya. Rumah Ki naripan. Di situlah Lembu Sora berada selama rumahnya sendiri belum dapat didiami

Nyai Ageng Lembu Sora menjadi semakin cemas ketika dari lubang pintu ia melihat beberapa orang berada di dalam rumah.

Seakan-akan jarak yang terentang di hadapannya itu akan diloncatinya.

———-oOo———-

III

DEMIKIAN Nyai Ageng Lembu Sora sampai di muka pintu, segera ia berlari masuk. Beberapa orang telah berada di ruangan itu. Dan ketika tiba-tiba matanya bertemu pandang dengan suaminya, terlontarlah dari bibirnya ungkapan kelegaan hatinya. “Oh!”

Tetapi sesaat kemudian kembali dadanya berguncang ketika pandangan matanya terbanting di atas bale-bale bambu, dimana sesosok tubuh sedang berbaring, dikerumuni oleh beberapa orang. Mertuanya, Ki Ageng Sora Dipayana, seorang yang belum dikenalnya dan dua orang gadis yang belum pernah dilihatnya pula. Ketika orang-orang itu melihat kehadirannya, segera mereka menduga bahwa itulah Nyai Ageng Lembu Sora, dan karena itu segera mereka menyibak. Barulah kemudian Nyai Ageng Lembu Sora melihat dengan jelas siapakah yang terbaring di atas bale-bale bambu itu. Anak laki-lakinya, Sawung Sariti.

Sesaat ia menjadi terbungkam melihat tubuh yang pucat dan memejamkan mata itu. Tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia memekik sambil berlari memeluk tubuh Sawung Sariti, “Sariti!” Terdengar suaranya meninggi dan kemudian kata-katanya hilang tenggelam dalam tangisnya yang meledak.

Sawung Sariti mendengar jerit itu. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia masih merasa betapa mesra ibunya memeluk tubuhnya sambil membasahinya dengan air mata.

Ibu,” desisnya perlahan-lahan.

Ngger, kenapa kau?” tanya ibunya sambil menangis. Diciumnya kening anaknya beberapa kali.

Tak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari cengkereman keadaan itu. Semua orang menundukkan kepalanya. Sawung Sariti adalah satu-satunya anak Nyai Ageng Lembu Sora. Dan sekarang jiwa anak itu berada di ujung bahaya.

Tetapi Sawung Sariti sendiri tersenyum dengan penuh keikhlasan. Sekali lagi ia mencoba memandang semua orang yang hadir di ruangan itu. Ibunya, uwanya, suami istri Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, ayahnya, eyangnya yang telah mendidiknya dengan tekun dan mengharapnya dapat menyelamatkan daerah ini dari terkaman orang-orang dari golongan hitam, Kebo Kanigara yang perkasa, yang telah mendukungnya sampai ke tempat ini, Mahesa Jenar yang mengagumkan, baik kekuatan jasmaniahnya maupun rohaniahnya, serta sifat-sifatnya yang sebagian menurun kepada muridnya Arya Salaka, Rara Wilis dan gadis lincah yang bernama Endang Widuri. Akhirnya ia melihat wajah kakek sepupunya itu, betapa sejuk dan lunak, selunak hati gurunya. Tiba-tiba terdengar bibirnya berdesis, “Kakang Arya, kemarilah.”

Suara itu perlahan sekali, tetapi karena bilik itu dicengkam oleh kesepian, Arya Salaka pun mendengar suara itu dengan jelas, bahkan ia menjadi terkejut karenanya. Seperti kehilangan kesadaran, ia melangkah maju dan berjongkok di samping bibinya.

Ketika Arya Salaka sudah berjongkok di samping bale-bale pembaringannya, maka sekali lagi Sawung Sariti tersenyum. Hampir tidak kedengaran ia berkata, “Bagaimana dengan luka di dadamu, Kakang?”

Arya Salaka menjadi tergagap. Kenapa yang ditanyakan justru luka di dadanya itu. Maka jawabnya, “Baik Adi. Sudah baik.”

Suatu kenangan yang tak dapat terhapuskan,” bisik Sawung Sariti kemudian, “Di dadamu, Kakang, akan tergores sebuah garis bekas luka itu. Dan garis itu tak akan hilang. Apabila Kakang nanti bercermin di air Rawa Pening, maka Kakang akan melihat goresan luka itu. Dan teringatlah Kakang kepadaku.”

Hati Arya Salaka berdesir. Dengan sepenuh perasaan ia berkata, “Aku akan selalu mengenangnya. Dan peristiwa itu tak akan berulang.”

Ya, tak akan berulang kembali,” desis Sawung Sariti. Suaranya menjadi bertambah lemah. Meskipun Ki Ageng Sora Dipayana telah mencoba mengobatinya dengan ramuan daun-daunan yang diketahuinya, namun keadaan Sawung Sariti menjadi bertambah berbahaya.

Kakang,” kembali Sawung Sariti berdesis, “Kau maafkan aku?”

Tak ada yang dapat dimaafkan Adi, sebab kau tak bersalah,” jawab Arya.

Sawung Sariti tersenyum, katanya, “Jangan berkata begitu. Aku tahu aku bersalah. Kau maafkan kesalahan itu, Kakang?”

Ya, ya tentu, tentu,” jawab Arya cepat-cepat.

Uwa Gajah Sora akan memaafkan aku juga?” bisik Sariti kemudian.

Tentu, tentu,” jawab Arya pula.

Kakang telah memaafkan aku, Uwa Gajah Sora berdua juga akan memaafkan aku, Eyang Wanamerta, Paman Pandan Kuning, dan Sawungrana….”

Jangan sebut-sebut itu, Adi,” potong Arya Salaka. “Lupakanlah. Mereka semua sudah memaafkanmu.”

Tetapi adakah Tuhan memaafkan aku pula?” kata Sariti tiba-tiba.

Dada Arya Salaka berguncang. Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora Dipayana pun segera berjongkok di sampingnya. Mereka sudah tidak dapat mempertahankan nyawa itu. Tuhan telah memanggilnya. Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana berbisik ditelinga anak muda itu. “Sebutlah nama Tuhan. Tuhan Maha Pengampun.”

“….Tuhan Maha Pengampun…..” Kata kata itu hampir tak terdengar, namun Sawung Sariti telah mengucapkannya. Dengan tenangnya ia menutup matanya.

Sebuah jerit yang tinggi membelah keheningan suasana. Nyai Ageng Lembu Sora memekik dan memanggil nama anaknya. Namun Sawung Sariti telah pergi. Dengan air mata yang berlinang Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik iparnya. Namun usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu satunya anak yang akan menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi tempat menumpahkan harapan serta cita-citanya. Namun anak itu kini telah pergi dan tak akan kembali. Karena itu seakan-akan nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya. Kalau demikian maka akan lebih baik baginya seandainya nyawa anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri boleh menggantikan anaknya menghadap Tuhannya.

Lembu Sora masih berdiri seperti patung. Bibirnya bergetar dan tubuhnya menggigil. Matanya yang tajam menjadi suram dan berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya, tetapi kemudian bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang pucat pasi. Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum keihlasan. Dan tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan memancar gambaran peristiwa yang pernah terjadi. Anak itu terlampau jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah yang telah mendorongnya tampil kedepan. Dengan penuh harapan dan khayalan masa mendatang. Dimana dikayalkan kepada anak itu, kekuasaan dan kamukten yang sempurna. Tanah Perdikan Pangratunan.

Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan yang tak terkira telah menghentak dadanya seperti akan pecah. Demikian dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya mejadi lemah. Perlahan lahan ia melangkah ke sudut ruangan itu. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seolah hendak menyembunyikan segenap kenangan yang datang silih berganti. Hanya sesaat saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang memenuhi ruangan itu.

Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya. Meskipun nyawanya sendiri hampir direnggut tangan adiknya namun ia tak sampai hati melihat mayatnya terbujur diam dihadapannya. Karena itu, maka tanpa disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon sawo ia terhenti. Suara tangis bibinya masih terdengar jelas. Akhirnya ia berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo yang jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.

Seluruh Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-satunya kepala daerah perdikan mereka gugur pada saat anak muda yang berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak saja orang Pamingit, namun orang Banyubirupun ikut berkabung. Mereka ikut merasakan betapa daerah perdikan belahan tanah BanyuBiru itu kehilangan pemimpinnya. Pemimpin bagi masa depan.

Sehari-hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka disibukkan oleh persiapan pemakaman jenasah pahlawan yang masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam melawan Hantu Bongkok yang sakti.

Ketika fajar pagi berikutnya pecah di Timur, semua persiapan telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan pemakaman Sawung Sariti dengan upacara kebesaran. Seluruh penduduk Pamingit tumplak blak berjejal disepanjang jalan yang akan dilewati iringan jenazah. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap pahlawannya, yang telah menjadi tawur bagi kesejahteraan dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu menjadi bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan Demak, Paningron dan Gajah Alit.

Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan ditengah tengah reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja reruntuhan itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan Banyu Biru, bahkan kedua tamu dari Demak itu duduk saja diatas balok kayu yang berserak-serakan di sekitar keranda itu.

Di keempat penjuru tampaklah beberapa orang laskar Pamingit berjaga-jaga dengan tombak di tangan. Sedang di alun-alun telah siap laskar kehormatan yang akan mengantarkan jenasah sampai ke peristirahatannya terakhir.

Keranda pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan abu merupakan perpaduan pandangan yang menggetarkan. Laskar yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta para pemimpin yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan rangkaian bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan Banyu Biru yang sedang berada di Pamingit.

Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung cemara disisi alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu diberangkatkan. Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di banjar desa disahut oleh setiap kentongan yang berada di Pamingit, yang berada di gardu-gardu, di langgar, dan disetiap rumah yang memilikinya. Dan dari sisi keranda itu menggemalah bunyi sangkakala.

Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk mengawal jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika jenasah diangkat oleh beberapa orang, diantaranya Wulungan, Bantaran, Penjawi dan kehormatan yang diberikan untuk pahlawan itu oleh Titis Anganten, Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, maka berbicaralah Gajah Alit atas nama pemerintahan Demak. Gajah Alit yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara Manggala itu menyatakan betapa besar terimakasih dan penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah mempertahankan tanahnya, rakyatnya dan kebesarannya.

Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan dada yang bergejolak. Ia mendengar sesorah itu dirangkapi suara hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di lengan anaknya. Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena itu ia menjadi bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi. Namun adakah karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama anaknya pada saat-saat terakhir. Kini anaknya gugur sebagai pahlawan. Karena tangan Bugel Kalikilah yang telah membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah bertempur melawan demit itu.

Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan, sekali lagi Nyai Ageng Lembu Sora memekik tinggi. Ia kemudian meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora dan Rara Wilis. Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi sangat beriba hati. Didekatinya isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan dibisikkan di telinganya kata-kata pemupus, “Sudahlah Nyai anakmu pergi menghadap Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia gugur sebagai pahlawan. Ikhlaskan dia supaya ia menghadap Tuhan dengan tenang”.

Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan kata-kata suaminya. Namun amatlah sulit baginya untuk memadukan perasaannya dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan suaminya, hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya menjatuhkan dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng Lembu Sora tak tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.

Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya tubuh itu masuk ke Banjar Desa.

Dalam pada itu keranda jenazah mulai bergerak. Di ujung barisan berjalanlah seorang anak muda yang tegap perkasa, dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya Salaka yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak.

Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Dan sekali sekali ia menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di otaknya. Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya, dan sesekali ia berdoa semoga Tuhan menerima adiknya disisinya. Kalau kemudian matanya terasa panas, Arya segera mengangkat mukanya seolah-olah ada yang dicarinya diantara belaian mega yang putih dihembus angin lembut dari pegunungan.

Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan ditepi jalan meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan dengan hati yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti adalah satu-satunya putera kepala daerah perdikan mereka, bahkan putera yang agak terlalu dimanjakan.

Betapa sedih ibunya. Betapa sedih ayahnya,” desis mereka.

Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan ketempat pemakaman, sedang arwahnya berjalan menghadap Tuhannya.

Di belakang keranda itu berjalanlah kedua perwira dari Pasukan Demak, disisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan kepala tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula dibelakangnya dan disampingnya adalah Ki Ageng Lembu Sora.

Barisan pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap orang yang dilaluinya dengan serta merta mengikuti dibelakangnya mengantar sampai ke makam.

Pamingit benar-benar berkabung.

Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan terakhir sebagai seorang pahlawan. Apapun yang pernah dilakukan, namun ia adalah anak yang berani. Sehingga setelah ia gugur, adalah menegakkan pemerintahan ditanah kelahirannya.

Di belakang mereka yang sedang mengantarkan jenazah itu, didalam pondok yang kecil, terbaringlah Galunggung dengan lemahnya. Beberapa orang duduk disampingnya dan mencoba membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa kali ia membukakan matanya, namun kemudian ia pingsan kembali.

Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik, maka Galunggung pun menjadi sadar. Sadar akan dirinya. Perlahan ia bangkit dan duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba untuk minum, didengarnya bunyi kentongan. “Tanda apakah itu?,”terdengar ia bertanya lemah.

Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan,” jawab salah seorang bawahannya yang sedang merawatnya.

Apa katamu?,” kata Galunggung membelalakkan matanya.

Bawahan Galunggung itu terkejut melihat sikapnya. Namun ia menjawab juga, “Ya jenazah angger Sawung Sariti dimakamkan.”

Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?” berkata Galunggung.

Ya” jawab bawahannya itu.

“Omong Kosong!,” bentaknya.

Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba menjelaskan, “Angger Sawung Sariti terbunuh ketika ia sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.”

Dada Galunggung bergoncang keras. Dan tiba-tiba ia berteriak, ”Kau berkata sebenanya?”

Ya”  jawab orang itu sambil menyeka peluh di keningnya.

Gila, gila!,” Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri sambil memaki habis habisan. Tetapi tenaganya lemah. Sehingga sekali lagi ia terbanting ditempat pembaringannya. Galunggung pingsan kembali.

Tetapi tidak lama kemudian Galunggung membuka matanya kembali. Ia segera bangkit dan merenggut kain penyejuk dikepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan yang sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang kehilangan ingatan ia berdiri tegak dan berteriak. “He, kau tahu kenapa Sawung Sariti mati?”

Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab sekenanya, “tidak.”

Sawung Sariti mati karena penghianatan. Ternyata Bugel Kaliki bekerja sama dengan Arya Salaka. Mereka bersama-sama membunuh Sawung Sariti!,” teriak Galunggung dengan mata bertambah liar.

Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel Kaliki,” sahut bawahannya.

Bodoh, Bodoh kalian,” teriak Galunggung. “Kalian tahu apa. Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku harus membalas dendam.”

Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka menjadi bingung. Dan mereka menjadi terkejut ketika tiba-tiba Galunggung menyambar pedang salah satu dari mereka dan tiba-tiba ia meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi halaman. Sesaat kemudian ia sudah hilang dibalik regol halaman itu.

Beberapa orang bawahannya menjadi bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi sesaat kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang berbahaya. Karena itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-tidaknya melaporkan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Karena itu maka merekapun bergegas meninggalkan halaman itu.

Kemana?,” tanya salah seorang dari mereka.

Menyusul ke makam,” jawab yang lain.

Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam, dimana jenazah pahlawan yang masih sangat muda itu di makamkan.

Pada saat itu, keranda jenazah berhenti disamping liang kubur yang sudah dipersiapkan. Ketika jenazah sudah dibaringkan, doapun dipanjatkan.

Pemakaman itu berlangsung dengan selamat. Segala sesuatu seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan meninggalkan onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang masih baru pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok disamping gundukan tanah itu. Bibirnya bergerak mengucapkan beberapa patah kata, namun tak seorangpun yang mendengarnya. Lembu Sora sendiri agaknya telah berhasil menguasai perasaannya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menerima segala peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur berantakan.

Sesaat kemudian makam itu telah sunyi kembali. Seonggok tanah dan sepasang maejan baru berada di tengah-tengahnya. Di atasnya bergerak-gerak dalam belaian angin pegunungan, daun-daun dan bunga-bunga kamboja yang putih bersih. Sepi, sesepi hati Lembu Sora. Hanya kadang-kadang terdengar ciap burung pipit yang beterbangan mencari makanan buat anak-anaknya yang ditinggalkan di atas sarang.

Di perjalanan pulang itulah mereka melihat tiga orang berjalan bergegas-gegas ke arah mereka. Ki Ageng Sora Dipayana yang berjalan di paling depan bersama-sama dengan Paningron dan Gajah Alit segera bertanya kepada mereka.

Apa yang terjadi?”.

Orang itu pun berceramah tentang Galunggung. Mereka menyangka bahwa Galunggung telah pergi ke makam dan mengamuk di sana. Tetapi ternyata Galunggung tidak ada diantara mereka, karena itu mereka menjadi sangat cemas karenanya. Galunggung adalah gambaran diri seorang yang mabuk pada kekuasaan, pangkat dan penghargaan.  Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan sekarang orang itu agaknya kehilangan keseimbangan pikirannya. Sebab dengan hilangnya Sawung Sariti, segala cita-citanya ikut lenyap pula.

Wulungan….”, Ki Ageng Lembu Sora memanggil.

Wulungan pun segera berjalan di sampingnya.

Lihatlah, apa yang dilakukan oleh anak gila itu,” desisnya.

Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan. Dan Wulungan pun segera berjalan mendahului orang-orang yang pulang dari makam itu.

Ketika Galunggung meninggalkan regol halaman, ia memang tidak bermaksud pergi ke makam. Otaknya yang dipengaruhi oleh bermacam-macam persoalan itu ternyata tidak dapat lagi bekerja dengan baik. Dengan pedang telanjang ia berlari-lari ke banjar desa.

Di dalam banjar desa itu, beberapa orang perempuan sedang mencoba menenangkan hati Nyai Ageng Lembu Sora yang beberapa kali jatuh pingsang kembali. Sekali-kali ia menangis melolong-lolong, seperti anak-anak yang kehilangan golek kesayangannya. Namun semakin lama ia menjadi semakin tenang.

Tetapi sesaat kemudian, mereka digaduhkan oleh kedatangan Galunggung. Pedangnya yang telanjang itu diayun-ayunkan sambil berteriak memaki-maki. Dan karena itu bubarlah perempuan-perempuan desa itu bercerai berai.

Perempuan-perempuan itu berteriak-teriak dan berlari-larian. Mereka pada umumnya telah mengenal siapakah Galunggung itu. Seorang yang menakutkan bagi perempuan-perempuan, apalagi perempuan-perempuan muda. Sekarang orang yang menakutkan itu membawa pedang sambil berteriak memaki-maki.

Nyai Ageng Lembu Sora terkejut juga melihat kedatangan Galunggung. Sesaat ia lupa pada keadaan dirinya sendiri. Ketika sebagian dari perempuan-perempuan itu telah berlarian keluar, maka Galunggung pun masuklah ke banjar desa sambil berkata, “He, di mana Arya Salaka?”.

Galunggung!”, panggil Nyai Ageng Lembu Sora.

Aku mencari Arya Salaka”, jawab Galunggung.

Kenapa dengan Arya Salaka?”, tanya Nyai Ageng.

Pengkhianat. Dibunuhnya Sawung Sariti bersama-sama dengan Bugel Kaliki,” jawab Galunggung.

Nyai Ageng Lembu Sora mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau keliru Galunggung. Mereka berdua telah berjuang bersama-sama melawan Bugel Kaliki itu.”

Omong kosong!”, bentak Galunggung.

Galunggung!”, potong Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau kenal aku bukan?”

Ya, ya. Nyai Ageng Lembu Sora,” jawab Galunggung.

Nah, kalau demikian dengar kata-kataku,” sahut Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau terlalu letih barangkali. Beristirahatlah.”

Tidak!” jawab Galunggung, matanya semakin bertambah liar. “Aku harus membunuh Arya Salaka.”

Semua orang yang masih tinggal di dalam banjar itu melihat betapa mata Galunggung itu menjadi merah dan bola matanya bergerak-gerak dengan buasanya. Nyai Ageng Lembu Sora yang telah mengenalnya dengan baik menjadi ngeri juga memandangnya. Apalagi perempuan-perempuan lain. Mereka menjadi kemetar dan mencar-cari jalan untuk lari ke luar apabila Galunggung itu berbuat sesuatu.

Jangan sembunyikan monyet itu,” bentaknya.

Jangan membentak-bentak aku Galunggung,” jawab Nyai Ageng Lembu Sora, “Aku adalah ibu Sawung Sariti itu, dan aku adalah Nyai Ageng Lembu Sora, istri kepala daerah perdikanmu.”

Sejenak Galunggung terdiam. Ia berhadapan dengan istri kepala daerah perdikannya. Tetapi sesaat kemudian otaknya yang sudah tidak wajar lagi itu menyentak-nyentak kembali. Dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar seperti suara hantu yang kegirangan.

Diam!” bentak Nyai Ageng Lembu Sora.

Tetapi Galunggung tidak mau diam. Tertawanya bertambah keras.

Nah, katanya kau juga sudah berkhianat seperti Arya Salaka. Kalau demikian, akulah tinggal satu-satunya orang yang setia. Setia kepada Sawung Sariti dan setia kepada cita-citanya. Mempersatukan tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Lembu Sora sendiri pun sudah tidak setia lagi. Kalau begitu semua harus aku lenyapkan. Arya Salaka, Lembu Sora dan monyet bangkok yang sudah dibebaskan dari Demak itu.”

Galunggung!” teriak Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau sudah gila!”

Tetapi Galunggung tertawa terus. Di antara derai tertawanya ia berkata, “Kalian, perempuan-perempuan ini pun akan aku bunuh pula, sebab kalian tidak mau menunjukkan di mana Arya Salaka berada.”

Jangan mengigau,” potong Nyai Ageng Lembu Sora, tetapi hatinya pun menjadi bergetar. Juga Nyai Ageng Gajah Sora, menjadi gemetar. Galunggung agaknya telah benar-benar kehilangan pikiran wajarnya. Dan ketika pedangnya itu diayun-ayunkan, bergetarlah setiap dada orang yang melihatnya. Beberapa orang menjadi menggigil dan yang lain menjadi lemas tak berdaya.

Kalian tak akan dapat lari. Kalau kalian mencoba meloncat keluar, aku akan dapat mengejar kalian. Dan kalian akan aku bunuh satu persatu. Satu demi satu!” Kembali suara tertawanya membelah ruangan banjar desa yang tidak terlalu lebar itu.

Galunggung…” kata Nyai Ageng Lembu Sora. Namun suaranya sudah agak gemetar, “Kau telah mengkhianati Ki Ageng Lembu Sora. Kepala daerah perdikanmu.”

Akan aku bunuh dia. Sebab orang itu tidak setia kepada cita-citanya. Kenapa tidak dibunuhnya Arya Salaka. Dan kenapa dibiarkannya Gajah Sora itu kembali? Pengkhianat!” teriaknya.

Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung telah menjadi gila dan tidak dapat mendengarkan kata-katanya. Karena itu, ia pun menjadi semakin ngeri. Apalagi ketika kemudian setapak demi setapak sambil tertawa berkepanjangan, Galunggung melangkah maju. “Tak ada gunanya kalian lari.”

Tetapi perempuan-perempuan itu memekik-mekik dan mereka menghambur keluar dari ruangan itu. Beberapa orang yang masih sadar mencoba menarik tangan Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora sambil berbisik, “Selamatkan diri Nyai Ageng berdua.”

O!” teriak Galunggung. “Kemana kalian akan menyelamatkan diri?

Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri. Agaknya mereka berdualah yang pertama-tama harus dibinasakan. Karena itu mereka pun menjadi ketakutan dan gemetar sehingga keduanya menjadi saling berpegangan dengan eratnya.

Namun di antara perempuan-perempuan itu, tidaklah semua menjadi ketakutan dan kehilangan akal. Tidak semua berlari-lari sambil berteriak-teriak. Ketika Galunggung benar-benar tak dapat mendengarkan kata-kata Nyai Ageng Lembu Sora, dan ketika ia melangkah maju setapak demi setapak, maka tanpa berjanji tampillah dua orang gadis, berdiri tegak dengan tenangnya di hadapan dan membelakangi Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Gajah Sora itu.

Keduanya adalah Rara Wilis dan Endang Widuri. Maka terdengarlah bisik Rara Wilis perlahan, “Tenangkan hati Nyai. Akan aku coba mencegah perbuatan orang itu.

Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora terkejut, bahkan Galunggung yang gila itu pun terkejut melihat ketenangan dua orang gadis itu. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora masih belum mengenal terlalu banyak, siapakah mereka itu.

Yang mereka ketahui hanyalah nama kedua gadis itu, dan bahwa kedua gadis itu bukanlah gadis Pamingit dan bukan pula gadis Banyubiru.

Nini…” panggil Nyai Gajah Sora, “Kemarilah.”

Tetapi Rara Wilis dan Endang Widuri tidak bergerak lagi dari tempatnya. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangan mereka tertuju ke mata pedang Galunggung yang berkilat-kilat tajam. Meskipun demikian Rara Wilis menjawab, “Biarlah aku coba, Nyai.”

Jangan Nini,” Nyai Ageng Lembu Sora pun mencoba mencegahnya. Ia tahu benar betapa berbahayanya Galunggung bagi perempuan. Apalagi gadis-gadis cantik itu.

Sejenak Galungung memandangi keduanya. Mula-mula matanya menjadi bersinar-sinar. Sambil tertawa dalam gilanya, “Hai gadis-gadis cantik, jangan berdiri di situ. Biarlah aku selesaikan urusanku. Nanti kau boleh ngunggah-unggahi. Kau akan menjadi istri kepala daerah perdikan Pamingit dan Banyubiru. Kau dan kau.” Ujung pedangnya bergerak-gerak menunjuk ke wajah Rara Wilis dan Endang Widuri. Namun kedua gadis itu tidak beranjak dari tempatnya.

Nini,” panggil Nyai Ageng Lembu Sora cemas, “Menyingkirlah.”

Wilis menarik nafas. Ia sudah beberapa kali menghadapi lawan. Bahkan ia pernah behadapan dengan orang yang sedang terganggu syarafnya. Gila.

Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan hati Galunggung,katanya, “Galunggung, kalau ada persoalan biarlah persoalan itu diselesaikan. Persoalan antara kau dan Arya Salaka atau antara kau dan Paman Lembu Sora. Tetapi kami perempuan-perempuan di sini, tidaklah tahu persoalan itu. Dan kalau kau bunuh kami pun persoalanmu tidak akan selesai.”

Sekali lagi Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi keheran-heranan. Kata-kata Rara Wilis diucapkan las-lasan, kata demi kata. Sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kecemasan apalagi ketakutan.

Galunggung mengerutkan keningnya. Matanya tiba-tiba menjadi suram. Meskipun otaknya tak wajar lagi, namun lamat-lamat ia menjadi teringat bahwa ia pernah melihat gadis-gadis itu. Satu atau dua kali tetapi dimana dan kapan. Akhirnya wajahnya menjadi tegang ketika kemudian teringat olehnya, dimana ia bertemu dengan kedua gadis itu. Sehingga terlontarlah dari mulutnya, “He bukankah kau gadis-gadis gila dari Gedangan?

Kau masih mengenal kami?” jawab Widuri. “Bukankah kau pernah mengunjungi kami di Gedangan? Bersama Harimau betina dari Gunung Tidar dan kemudian Sepasang Uling dari Rawa Pening?”

Gila!” teriak Galunggung. Matanya menjadi liar kembali. Kedua gadis itu ternyata pernah menghadapi laskarnya sebagai lawan yang tangguh. Bahkan bukankah mereka pernah bertempur melawan Jaka Soka dan istri Sima Rodra? Tetapi otak Galunggung itu benar-benar telah tidak dapat berputar. Pikirannya hanyalah sesaat terpencar di kepalanya. Kemudian kembali gilanya mempengaruhinya.

Karena itu maka sekali lagi ia tertawa, “Bagus, bagus. Kalian akan menjadi istri yang baik. Menepilah, jangan biarkah perempuan itu melarikan diri.”

Jangan maju lagi,” potong Rara Wilis.

Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora sekali lagi terkejut. Mereka tidak percaya apa yang dikatakan oleh Rara Wilis. Tetapi sekali lagi mereka mendengar gadis itu memerintah, “Galunggung, tetap di tempatmu.”

Galunggung yang hampir saja melangkah maju, terhenti juga. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajamnya. Matanya telah memerah, semerah darah. Kemudian ia berteriak nyaring, “Pergilah atau kau akan lebih dahulu mati?”

Nyai Ageng berdua di belakang kedua gadis itu benar-benar menjadi cemas, mereka tidak mau mengorbankan orang lain untuk keselamatan mereka. Karena itu Nyai Ageng Gajah Sora berkata, “Biarlah kami selesaikan urusan kami nini. Menyingkirlah.”

Tenangkan hati Nyai Ageng berdua,” sahut Wilis, dan kedua perempuan yang ketakutan itu menjadi semakin tidak mengerti.

Dalam pada itu Rara Wilis dan Widuri sudah tidak melihat kesempatan lain, kecuali mengusir orang gila itu dengan kekerasan. Karena itu tiba-tiba Widuri berbisik, “Serahkanlah kepadaku, Bibi.”

Rara Wilis meredupkan matanya. Ia menjadi ragu-ragu. Gadis kecil ini masih terlalu sukar untuk mengendalikan dirinya. Kalau kemudian Galunggung itu terbunuh oleh Widuri, masih belum diketahui apakah Ki Ageng Lembu Sora membenarkannya. Karena itu maka ia menjawab, “Aku sajalah yang menyelesaikannya, Widuri.”

Ia bersenjata,” jawab Widuri, “sedangkan bibi tidak. Apalagi bibi tidak siap dengan pakaian wajar untuk bertempur.”

Kau juga tidak Widuri,” sahut Wilis. Ketika Galunggung kemudian tertawa kembali sambil melangkah maju. Wilis berkata, “Berikan kalungmu itu kepadaku. Aku pernah menggunakan segala macam senjata, selain kekhususan dalam bermain pedang. Rantaimu itu akan lebih baik daripada sulur-sulur kayu yang pernah aku pakai berlatih dengan eyang Pandan Alas.”

Widuri ragu-ragu sejenak. namun Wilis berkata tegas, “serahkanlah. Orang gila itu sudah hampir mulai.”

Widuri tidak dapat berbuat lain daripada melepaskan kalung peraknya. Kemudian ia melangkah surut berdiri disamping Nyai Ageng Gajah Sora yang menjadi bertambah cemas. “Pergilah, pergilah,” teriaknya.

Biarlah nyai,” sahut Widuri, “Bibi Wilis akan dapat menjaga diri.”

Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung sudah berdiri selangkah dimuka Wilis. Pada saat itu, Rara Wilis terpaksa menyangkut ujung kain panjangnya pada sabuknya.

———-oOo———-

IV

Pada saat itulah pedang Galunggung teracung didadanya. Sambil tertawa ia berkata, “sayang dada ini akan tembus oleh senjataku.”

Rara Wilis mengerutkan keningnya, mata orang itu benar-benar mengerikan. Namun Rara Wilis adalah gadis yang tabah. Karena itu ia bergeser dari tempatnya. Bahkan ia telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia tidak memegang rantai Widuri di pangkalnya dan menggunakan Cakra yang tersangkut dirantai itu untuk melawan Galunggung. Tetapi Rara Wilis memegang pada ujungnya dimana cakra itu tersangkut. Bahkan Cakra itu dilepaskannya, dan diserahkan kepada Widuri. Widuri melihat bagaimana Rara Wilis mempergunakan senjatanya. Karena itu ia segera memakluminya, bahwa Rara Wilis agaknya hanya ingin mengusir Galunggung dari banjar desa itu.

Ketika sekali lagi suara Galunggung menggelegar, Rara Wilis membentaknya dengan nada yang tinggi, “Diam, dan tinggalkan tempat ini!.

Tiba-tiba tawa Galunggung berhenti. Ia memandang Rara Wilis dengan mata merah, katanya, “Apa maumu?.”

Tinggalkan tempat ini,” ulang Rara Wilis.

Galunggung memandang semakin tajam. Gadis ini memang cantik. tapi baginya, bagi otaknya yang sudah tidak waras lagi, lebih baik menjadi Kepala Perdikan yang kaya raya daripada menuruti perintah itu. Jarak jangkau pada kedudukan kepala daerah perdikan disangkanya terlampau pendek. Bukankah tinggal membunuh Arya Salaka, Gajah Sora dan Lembu Sora saja. Mudah sekali, mudah sekali. Karena itu ia menggeram, “jangan gila. Jangan menghalangi aku!”

Kau yang gila,” bantah Rara Wilis.

Galunggung menjadi benar-benar marah. Dan tiba-tiba ia menakut-nakuti Wilis dengan pedangnya. Pedang yang telanjang itu diacung-acungkannya dengan gerakan menghentak-hentak. Berdesirlah dada Nyai Ageng GajahSora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Namun Rara Wilis bergeserpun tidak.

Jangan berlaku seperti Buta Terong,” teriak Widuri yang tidak dapat menahan gelinya melihat solah Galunggung.

Mendengar kata-kata itu Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi heran. Galunggung yang marah dalam kegilaannya itu dianggap sebagai suatu pertunjukan yang mengasyikkan oleh gadis ini.

Meskipun Galunggung telah hampir gila, namun kata-kata Widuri itu telah memanaskan kupingnya. Karena itu ia berteriak,”tutup mulutmu atau aku akan menyobeknya.”

Widuri benar-benar nakal. Ia malahan tertawa kecil. Dan karena Galunggung tak dapat menahan diri lagi. Langsung ia meloncat dengan pedang terulur, tidak menyerang Rara Wilis tetapi menyerang Endang Widuri.

Bagaimanapun Galunggung mencoba mempergunakan setiap kemampuan yang ada dalam dirinya, namun dengan lincahnya Widuri berhasil menghindarkan dirinya. Seperti seekor kijang ia melompat kesamping. Tetapi ia tidak berani menentang maksud Rara Wilis, karena itu ia tidak membalasnya. Malahan ia lari seperti seekor kelinci dan bersembunyi di belakang Rara Wilis. Namun tawanya masih saja terdengar, meskipun gadis nakal itu berusaha untuk menahannya.

Wilis melihat sikap Widuri itu dengan menahan nafas. Ketika Widuri sudah berdiri dibelakangnya ia berbisik, “Jangan terlampau nakal Widuri.”

Aku tidak dapat menahan geli bibi,” jawabnya. Namun ia tidak berani lagi mengganggu orang gila itu.

Galunggung telah benar-benar menjadi marah. Pedangnya kemudian diputar-putarnya diatas kepala. Sambil berteriak-teriak ia meloncat menyerang Rara Wilis. Namun Rara Wilis sudah bersedia. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping, kemudian rantai di tangannya pun diurainya.

Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora meskipun tidak memiliki kemampuan bertempur dan tata bela diri namun mereka adalah istri-istri kepala daerah perdikan, yang dalam kedudukannya sekali dua kali pernah dilihatnya perkelahian, meskipun hanya dalam latihan-latihan laskar-laskar mereka. Karena itu, ketika mereka melihat bagaimana Endang Widuri menghindar dan bagaimana Rara Wilis dengan gerak sederhana membebaskan dirinya dari serangan Galunggung, mereka pun menyadari, bahwa wajarlah kalau kedua gadis itu sama sekali tidak takut menghadapi Galunggung.

Maka, ternyata dalam perkelahian berikutnya, Galunggung tidak lebih daripada seorang raksasa rucah (tak berguna) yang bertempur melawan kesatria-kesatria Pandawa. Meskipun ia berjuang mati-matian, namun yang dapat dilakukan hanyalah meloncat-loncat tak karuan. Bahkan sekali dua kali rantai Rara Wilis telah menyentuh tubuhnya, dan membuat bekas luka yang nyeri. Kulitnya seperti terkelupas dan darah menetes dari luka-luka itu. Namun Wilis tidak benar-benar hendak melukainya, karena itu, sengatan rantai itu pun tidak terlampau berbahaya.

Tetapi ketika Galunggung menjadi semakin menggila, Rara Wilis pun menjadi muak. Karena itu serangannya dipertajam, dan Galunggung menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian masih saja ia berteriak dan memaki-maki.

Akhirnya serangan Rara Wilis semakin terasa berat. Pangkal rantai perak itu mematuk-matuk seluruh permukaan kulitnya. Bahkan pipinya, hidungnya dan dahinya. Kulit Galunggung itu telah dipenuhi oleh jalur-jalur merah dan lecet-lecet berdarah.

Dalam kesibukannya mempertahankan diri itulah Galunggung mendengar suara Rara Wilis, “Tinggalkan tempat ini. Menghadaplah Ki Ageng Lembu Sora, dan mintalah maaf kepadanya.”

Persetan dengan orang itu,” jawab Galunggung, tetapi belum lagi mulutnya terkatub, pangkal rantai itu benar-benar mengenai bibirnya. “Gila!” teriaknya, dan darah mengalir dari bibir yang tebal itu.

Jagalah mulutmu,” bentak Rara Wilis, “Pergi dan turuti perintahku.”

Galunggung tidak menjawab. Tetapi terasa bahwa ia tak akan dapat melawan gadis itu. Karena itu tiba-tiba matanya yang liar melingkar-lingkar mencari pintu keluar dari ruangan yang celaka itu.

Sesaat kemudian ketika beberapa kali lagi tubuhnya disakiti oleh rantai Rara Wilis, Galunggung meloncati pintu dan berlari ke halaman. Rara Wilis tidak segera mengejarnya ketika ia melihat Galunggung berhenti. Orang gila itu berdiri dengan mengacung-acungkan pedangnya kepada Rara Wilis yang berdiri di pintu sambil memaki habis-habisan. Akhirnya Galunggung berkata, “Aku tidak dapat membunuhmu. Sayang, kau terlalu cantik. Tetapi kalau lain kali kau berani melawan aku lagi, aku tidak mau memaafkan.”

Sekali lagi Widuri tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa tertahan-tahan, sedang kedua tangannya menutup mulutnya.

Jangan banyak tingkah,” teriak Galunggung dari halaman. “Gadis kecil itu akan aku lumatkan kalau ia berani menghina aku lagi, kepala daerah perdikan Pangrantunan lama.”

Rara Wilis tidak menjawab. Ia melangkah setapak maju sambil memutar rantainya. Melihat sikap Rara Wilis, Galunggung mundur beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba ia memutar tubuhnya dan menghambur lari menyusup regol. Namun di kejauhan suaranya masih terdengar, “Awas kalau kau sekali lagi berani melawan aku. Aku cerai kau.

Wilis tertegun di tempatnya. Apakah ia harus menangkap orang gila itu. Ia akan menjadi sangat berbahaya bagi penduduk dan orang-orang yang akan dijumpainya. Beruntunglah kalau ia bertemu Arya Salaka atau Lembu Sora. Tetapi kalau para prajurit mengeroyoknya beramai-ramai, maka nasibnya akan sangat menyedihkan.

Pada saat ia termangu-mangu itulah terasa dua pasang tangan memeluknya sambil terisak-isak. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora mengucapkan terima kasihnya dengan uraian air mata.

Duduklah Nyai Ageng,” kata Wilis, lalu kepada Widuri ia berkata, “Widuri, lihatlah di luar regol, kalau-kalau Galunggung berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang ditemuinya, tetapi jangan berbuat terlampau jauh.”

Baik, Bibi,” jawab Widuri. Dan ia pun segera melangkah keluar setelah ia menerima rantainya kembali.

Dengan langkah yang cepat, Widuri berjalan di jalan kecil di muka halaman banjar desa itu. Kemudian ia membelok ke kanan, menyusur jalan satu-satunya itu. Tiba-tiba ia berhenti. Di kejauhan ia melihat Galunggung berdiri berhadap-hadapan dengan seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Dengan tangkasnya Widuri menyelinap, dan kemudian menyusup halaman, ia pergi mendekati orang gila itu. Sekali-kali Widuri harus meloncati pagar-pagar batu, dan sekali-kali ia harus menyusup gerumbul-gerumbul liar yang masih berserakan di sana-sini, di halaman-halaman yang kosong dan terbentang di antara rumah-rumah kecil.

Ketika ia sudah mendekati tempat Galunggung berdiri, maka ia pun mendengar apa yang dipercakapkan mereka.

Galunggung…” terdengar orang yang tinggi besar itu berkata, “Marilah kita pergi ke banjar desa. Sebentar lagi Ki Ageng Lembu Sora akan datang. Darinya kau akan mendengar beberapa keterangan yang perlu.”

Yang terdengar adalah derai tertawa Galunggung. Kemudian jawabnya, “Aku temui di sini seorang pengkhianat lagi.”

Jangan berkata begitu,” sahut lawan bicaranya, orang tinggi itu.

Ketika Widuri sempat mengintip mereka, maka tahulah Widuri, bahwa orang yang tinggi itu adalah salah seorang pemimpin laskar Pamingit, yang pernah didengarnya dipanggil dengan nama Wulungan, meskipun ia belum mengenal langsung.

Kau tinggal memilih Kakang Wulungan, Lembu Sora, Gajah Sora, Arya Salaka atau Galunggung” kata Galunggung kemudian.

Apanya yang harus aku pilih?” tanya Wulungan.

Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat. Sepeninggal Sawung Sariti, akulah yang paling berhak atas kedudukan yang sudah dicapainya. Sebab akulah kawan yang paling setia. Dan akulah yang telah memberinya berbagai jalan untuk mencapai cita-citanya itu” jawab Wulungan.

Wulungan pun kemudian melihat mata Galunggung yang liar itu. Maka katanya, “Katakanlah itu kepada Ki Ageng.

Akulah kepala daerah perdikan sekarang” kata Galunggung.

Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit, ikutlah aku.” Wulungan menjadi tidak sabar lagi.

Apa kau bilang?” bantah Galunggung, “Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit? Omong kosong. Akulah kepala daerah perdikan itu.” Mata Galunggung menjadi semakin merah dan liar, bahkan ujung pedangnya sudah mulai bergerak-gerak. Kemudian orang gila itu berteriak, “Pengkhianat ini harus aku selesaikan.

Sebelum Wulungan sempat berkata sesuatu, Galunggung sudah menyerangnya. Untunglah Wulungan cekatan. Ia berhasil menghindar dan sekali lagi ia mencoba mencegah Galunggung. “Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu sendiri. Ki Ageng Lembu Sora akan menghukummu.”

Sekali lagi Galunggung menyerang sambil berteriak, “Akulah yang akan menghukumnya.”

Sekali lagi Wulungan terpaksa meloncat menghindari, namun Galunggung yang gila itu tidak mau berhenti. Bahkan ia menyerang semakin buas. Sehingga kemudian, terpaksa Wulunganpun mencabut pedangnya dan di jalan desa itu pun terjadilah suatu perkelahian antara Galunggung, pemomong Sawung Sariti yang otaknya digoncangkan oleh kekecewaan, melawan Wulungan yang terpaksa membela dirinya.

Karena itu, Wulungan telah melawannya dengan pedang pula, maka Widuri tidak menampakkan diri. Ia masih saja berada di balik pagar sambil mengintip apa yang terjadi. Tetapi akhirnya ia tidak puas dengan lubang retak pagar batu itu, sehingga kemudian ia meloncat dan duduk dengan enaknya di atas pagar.

Wulungan dan Galunggung melihat kehadirannya. Mata Galunggung yang liar itu menyambarnya beberapa kali. Kemudian ia berteriak, “He gadis gila. Kubunuh kau.”

Widuri tertawa sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berjuntai. Tetapi ketika ia akan menjawab, terdengar Wulungan berkata, “He Ngger, kembalilah ke banjar desa. Orang ini dapat berbahaya bagimu.”

Tetapi Widuri tidak beranjak dari tempatnya. Kakinya masih berjuntai. Sambil tersenyum ia menjawab, “Tidak, Paman Wulungan. Aku tidak takut kepadanya, karena di sini ada Paman Wulungan.”

Ah,” desis Wulungan. Sekali lagi matanya menyambar gadis itu. Tampaknya Widuri memang tidak takut sama sakali. Namun Wulungan tidak begitu senang melihat sikapnya, semata-mata karena Wulungan mencemaskan keselamatan gadis itu. Sebab Wulungan masih belum tahu, siapa sebenarnya Endang Widuri.

Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk memikirkan nasib Widuri. Serangan Galunggung semakin lama menjadi semakin garang, bahkan kemudian membabi buta. Mula-mula Wulungan selalu mencoba untuk mempertahankan diri saja, sambil menunggu kedatangan rombongan dari makam, dengan demikian ia mengharap dapat menangkap Galunggung hidup-hidup. Tetapi agaknya tidak dapat berlaku demikian. Serangan Galunggung benar-benar berbahaya baginya. Karena itu, Wulungan kemudian terpaksa membalas setiap serangan Galunggung. Sehingga akhirnya pertempuran itu pun menjadi bertambah sengit.

Meskipun demikian, Wulungan yang otaknya tidak terganggu, masih selalu berusaha untuk berhati-hati. Serangan-serangannya tidak mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Ia ingin melumpuhkan lawannya tanpa membahayakan jiwanya.

Tetapi Wulungan bukanlah Rara Wilis atau Endang Widuri. Wulungan dalam ilmu tata bela diri berada dalam tataran yang sama dengan Galunggung. Karena Wulungan tidak bertempur dalam puncak ilmu yang dimilikinya, maka dengan tidak disangka-sangka, sebuah goresan menyobek pundaknya. Wulungan terkejut dan dengan satu lontaran panjang ia melangkah surut. Terasa betapa pedihnya pundak kiri yang terluka itu. Ketika ia sempat melihat luka itu, betapa ia menjadi marah. Darahnya mengalir melumuri baju dan menetes membasahi tanah kelahirannya oleh tangan kawan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia menggeram pendek, dengan suara gemetar. “Galunggung, apakah kau sudah benar-benar gila?.

Galunggung tertawa keras, sambil menunjuk luka di pundak itu ia berkata: “Kakang Wulungan, luka itu hanyalah sebuah luka yang kecil. Meski demikian kau telah menjadi pucat dan ketakutan. Karena itu berjongkoklah. Inilah kepala daerah perdikan yang baru.

Wulungan tidak dapat menahan hatinya yang bergelora. Meskipun ia telah lama bergaul dalam satu lungkungan suka duka dengan Galunggung, namun sifat-sifat Galunggung sejak lama tidak disukainya. Kini, orang itu telah melukai dan menghinanya. Dengan demikian, maka seperti tergugahlah semua ketidak senangannya akan sifat-sifat Galunggung itu. Karena itu, maka untuk terakhir kalinya ia berkata, “atas nama Ki Ageng Lembu Sora, aku memperingatkan kau sekali lagi untuk yang terakhir.

Persetan dengan Lembu Sora. Sebentar lagi aku bunuh dia sesudah aku membunuhmu” jawab Galunggung dengan sombongnya.

Mendengar jawaban itu, hati Wulungan benar-benar terbakar. Ternyata Wulungan benar-benar gila. Gila dengan pedang di tangan adalah sangat berbahaya. Karena itu, maka Wulungan tidak menunggu Galunggung menyerangnya. Wulungan menyerang. Pedangnya terjulur. Meskipun demikian pedang itu tidak mengarah lambung, dada atau leher lawan. Betapapun marahnya Wulungan, namun ia tidak bermaksud membunuh lawannya itu.

Tetapi karena keragu-raguan itulah maka Galunggung sempat menghindarkan diri. Pedang Wulungan yang mengarah kepala itu dapat dihindarinya. Dengan tertawa nyaring Galunggung memutar pedangnya, dan dengan dahsyatnya ia membalas serangan Wulungan. Tetapi Galunggung tidak berpikir wajar. Ia tidak ragu-ragu dalam setiap ayunan pedangnya. Karena itu serangannya sangat berbahaya. Wulungan terkejut melihat sambaran pedang Galunggung. Untunglah ia sempat membungkukkan kepalanya.

Dan berdesing pedang itu tidak lebih senyari diatas kepalanya.

Dengan demikian akhirnya Wulungan mengambil keputusan untuk melawan Galunggung dengan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia harus menyelamatkan dirinya, meskipun seandainya ia terpaksa membunuh lawannya. Maka, kemudian adalah perkelahian yang seru. Galunggung menyerang seperti angin ribut, sedang Wulungan bertahan dan menyerang kembali seperti Srigala yang marah.

Widuri yang melihat pertempuran itu kini tidak tertawa-tawa lagi. Ia melihat bahaya yang mengancam keduanya. Justru karena ilmu yang mereka miliki berada pada tingkatan yang sama, maka mereka berdua mempunyai kesempatan yang sama. Membunuh atau di bunuh.

Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu berlangsung. Apakah ia harus mencegah perkelahian itu, membantu Wulungan atau membiarkannya.

Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu berlangsung terus. Desak-mendesak silih berganti. Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing, sebab mereka masing-masing tidak mau dadanya ditembus oleh pedang lawan. Dalam keadaan itu, Wulungan sudah tidak teringat lagi, apakah Galunggung itu akan ditangkapnya hidup atau mati. Yang ada dikepalanya adalah pilihan hidup atau mati.

Gemerincing pedang beradu telah mengejutkan daun-daun dan bunga-bunga luar disekitarnya. Burung-burung dan belalang beterbangan menjauhi bunyi yang mengerikan itu yang sesekali diselingi oleh teriakan Galunggung memaki.

Dalam keadaan yang demikian, Widuri menjadi semakin berbimbang hati. Tetapi lambat laun dilihatnya bahwa keseimbangan itu meskipun perlahan-lahan sekali. Wulungan ternyata memiliki suatu keuntungan, bahwa Galunggung tidak menggunakan otaknya dengan baik. Dalam nafsu gilanya, Galunggung telah kehilangan sebagian pengamatan diri, sehingga ia bertempur tanpa mempergunakan perhitungan yang cermat.

Sedang Wulungan, meskipun kemarahan telah memuncak dan membakar dadanya, namun dalam olah pedang ia masih dapat melihat segala kemungkinan dengan baik.

Widuri yang melihat perkelahian itu menarik nafas lega. Ia benar-benar gadis aneh, namun kadang berbuat seperti orang dewasa. Memang umurnya sedang menginjak masa peralihan. Sebelah kakinya memasuki masa kedewasaan, sebelah kakinya masih berada didunia anak-anak. Dalam masa pancaroba itu Widuri sering berbuat yang aneh-aneh. Sekali nafsunya untuk berkelahi melonjak lonjak didalam dadanya, tetapi ia kadang menunjukkan sifat keibuan yang sejuk.

Pada saat itu Widuri dapat melihat keadaan dengan baik. Ketika ia melihat kelebihan Wulungan, maka dibiarkannya pertempuran berlangsung. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka tanpa campur tangan orang lain. Dengan demikian Ki Ageng Lembu Sora pasti akan menerima keadaan yang terjadi dengan tanpa campur tangan orang lain. Tanpa perasaan sesal dan kecewa. Tanpa menyalahkan siapapun di luar lingkungan kekuasaannya.

Tetapi tiba-tiba terjadilah hal diluar dugaannya. selagi Widuri menonton dengan enaknya, dilihatnya Galunggung dengan tiba-tiba mencakup segenggam pasir. Sebelum Wulungan sempat berbuat, ditebarkannya pasir ke matanya.

Wulungan terkejut, dengan gerak naluriah ia memejamkan matanya, namun beberapa butir pasir telah menyakitkan matanya, sehingga karenanya gerakannyapun terpengaruh pula.

Pada saat yang demikian itu terdengar Galunggung tertawa nyaring. Berbareng dengan suara itu terdengar Wulungan mengumpat, “Gila kau Galunggung.” Dan Wulungan mencoba membuka matanya, namun mata itu telah menjadi kabur. Ia tidak dapat melihat lawannya dengan jelas selain bayangannya yang hitam seperti bayangan hantu. Yang dilakukan oleh Wulungan hanyalah meloncat mundur sejauh-jauhnya untuk mendapatkan waktu membersihkan matanya itu, namun Galunggung pun meloncat menyusulnya.

Widuri melihat kecurangan itu. Perasaan muaknya tiba-tiba bangkit kembali. Dengan serta merta ia melompat turun, dan berkatalah gadis itu dengan nada nyaring, “He Galunggung, kau telah berbuat curang.”

Galunggung tidak mau mendengarkan kata-kata itu. Lawannya telah hampir lumpuh. Alangkah mudahnya untuk membunuhnya pada saat yang demikian itu. Pada saat berbahaya itu Wulungan mendengar suara Widuri. Ia masih sempat memikirkan nasib gadis yang kehadirannya adalah sebagai seorang tamu Pamingit. Karena itulah ia berteriak, “pergilah ngger, pergilah.

Pedang Galunggung sudah terjulur kearah perut Wulungan. Betapapun sakit mata Wulungan, namun ia mencoba untuk melihat gerak Galunggung. Namun sekali lagi ia hanya melihat bayangan hantu hitam menerkamnya. Dalam keadaan putus asa, Wulungan menggerakkan pedangnya seperti baling-baling. Ia mencoba untuk melindungi dirinya. Namun ia sadar bahwa usahanya itu adalah usaha yang sia-sia.

Tetapi ternyata bayangan yang hitam tidak segera menyentuh tubuhnya dengan ujung pedangnya. Bahkan kemudian ia mendengar Galunggung memaki-maki habis-habisan. Wulungan segera mengusap matanya, dan membersihkannya dengan ujung kainnya. Ketika ia membuka matanya, meskipun masih agak kabur, ia melihat Galunggung bertempur. Hampir ia tidak percaya pada matanya yang kabur itu. Galunggung bertempur dengan gadis yang duduk berjuntai di atas pagar batu tadi. Dengan mulut ternganga ia melihat perkelahian itu. Benar-benar mengagumkan. Gadis kecil itu bertempur dengan rantai putih berkilat-kilat di tangannya. Dan yang tak dapat dimengerti, pertempuran itu seperti perkelahian antara kucing dan tikus. Galunggung benar-benar mirip seekor tikus raksasa yang sama sekali tak berdaya menghadapi kucing kecil itu.

Ketika mata Wulungan itu telah sembuh kembali, dan kembali ia dapat melihat setiap garis di wajah Galunggung, maka timbullah rasa malunya. Malu kepada gadis itu. Karena itu, kemudian ia pun berkata, “Angger yang perkasa. Lepaskanlah tikus itu. Biarlah aku yang menangkapnya.”

Kau sudah baik, Paman?”, tanya Widuri.

Mudah-mudahan aku dapat melawannya,” sahut Wulungan. Suaranya datar dan rata, namun di dalamnya mengandung tekanan kemarahan yang meluap-luap. Marah kepada Galunggung atas segala perbuatan gilanya dan kelicikannya.

Widuri kemudian melepaskan lawannya. Kembali ia menonton sebuah perkelahian yang sengit. Galunggung masih saja berteriak-teriak memaki-maki, namun akhirnya semakin terasa, bahwa Wulungan akan menguasai keadaan.

Dalam kesulitan, orang gila itu mencoba untuk berbuat sekali lagi. Menutup mata lawannya dengan pasir. Tetapi Wulungan bukan orang gila, yang dapat berbuat kesalahan serupa untuk kedua kalinya. Karena itu, ketika ia melihat Galunggung membukuk, dan dengan tangan kirinya mencakup segenggam pasir, Wulungan meloncat dengan cepatnya. Secepat kilat. Gerakan yang belum pernah dilakukan selama hidupnya. Tetapi didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, maka ia telah melakukan suatu perbuatan yang seakan-akan berada di luar kemampuannya.

Terdengarlah kemudian suatu pekik ngeri. Darah yang merah memancar dari lambung Galunggung. Kemudian tubuh itu terdorong surut beberapa langkah.

Ketika Wulungan mencabut pedangnya, ia melihat Galunggung itu masih tegak berdiri dengan pedang ditangannya. Matanya yang merah menjadi bertambah liar. Kemudian dari mulutnya yang berbusa terdengarlah ia menggeram, “Wulungan, kau tinggal memilih, Lembu Sora atau Galunggung.” Galunggung yang luka parah itu mencoba maju setapak. Tetapi keseimbangan sudah hilang, dan jatuhlah ia terguling di tanah.

Meskipun demikian, matanya yang liar masih saja memandangi Wulungan dengan kemarahan yang meluap-luap. Tetapi tiba-tiba ia menyeringai kesakitan. Kemudian terdengarlah ia berteriak, “He Wulungan, kau berani menyakiti aku?

Wulungan tegak seperti patung. Ia melihat mulut Galunggung yang berbusa-busa itu masih memaki-maki, dan kemudian Galunggung itu menggeliat menahan sakit.

Widuri bukan seorang gadis berhati kecil. Tetapi ia belum pernah menyaksikan peristiwa semacam itu. Ia belum pernah melihat seorang berjuang melawan maut dengan cara demikian. Karena itu, ia menutup kedua matanya dengan tangan-tangannya yang kecil sambil berkata nyaring, “Kasihan orang itu, Paman.”

Galunggung masih mencoba berdiri, tetapi ia tidak mampu lagi berbuat demikian. Kemudian nafasnya menjadi semakin cepat mengalir. Meskipun demikian masih terdengar ia berkata, “Hai, Wulungan. Berjongkoklah. Aku adalah kepala daerah perdikanmu.”

Wulungan akhirnya menjadi beriba hati. Bagaimana pun juga ia pernah mengalami suka duka bersama-sama bertahun-tahun. Menyerahkan diri masing-masing dalam lingkungan yang sama. Berbuat bersama-sama untuk perbuatan yang terkutuk. Untunglah Wulungan sempat menyadari kesalahan-kesalahannya, sedang Galunggung telah benar-benar terbenam dalam cita-cita gilanya. Karena itu, kemudian Wulungan melangkah maju dan berjongkok di samping kawannya yang gila itu. Dengan suara yang berat ia berkata, “Maafkan aku, Adi Galunggung.”

Mata Galunggung yang marah itu terbelalak, sambil memaki, “Setan, panggil aku Ki Ageng.

Maafkan aku Ki Ageng” sahut Wulungan.

Wajah Galunggung yang tegang itu menjadi mengendor. Kemudian tampak ia tersenyum. Tersenyum gila. Wulungan adalah orang pertama sesudah Ki Ageng Lembu Sora. Sekarang ia telah memihaknya. Karena itu pekerjaannya untuk merebut tanah perdikan Pamingit menjadi semakin mudah. Katanya, “Bagus, kau memihak aku?

Dengan wajah kosong, Wulungan mengangguk, “Ya, Ki Ageng.”

Sekali lagi Galunggung tersenyum. Namun kemudian wajahnya menjadi tegang kembali. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata lemah dan gemetar, “Akhirnya tercapai juga cita-citaku.”

Oleh kata-katanya sendiri Galunggung menjadi tenang. Matanya tidak seliar semula. Tetapi nafasnya telah satu-satu meluncur dari hidung, sedang darahnya telah membasahi tanah kelahirannya. Akhirnya Galunggung menutup matanya sambil tersenyum bangga. Kata-kata yang terakhir keluar dari mulutnya, “Panggil aku Ki Ageng. Ki Ageng Galunggung.” Dan kata-kata itu hampir tak sampai pada akhirnya. Dan Galunggung mati dengan penuh kebanggan dalam kegilaan.

———-oOo———-

V

Wulungan menundukkan kepalanya. Dadanya bergolak seperti darah dijantungnya itu mendidih. Perlahan lahan ia mengangkat mukanya dan menoleh ke arah Endang Widuri yang masih berdiri tegak ditepi jalan. Tetapi Wulungan kini tidak memandangnya sebagai seorang gadis yang nakal, yang tidak tahu akan bahaya, tetapi kini ia memandangnya sebagai penyelamat jiwanya. Karena itu sambil berjongkok ia menunduk hormat, “Angger, betapa besar terimakasihku kepada angger yang telah menyelamatkan nyawaku. Aku sama sekali tak menduga angger mampu berbuat sedemikian rupa mengagumkan.”

Wajah Widuri menjadi kemerahan mendengarkan pujian itu. Karena itu, malahan  ia tidak dapat berkata sepatah katapun selain berdesis, “ah.”

Tetapi Wulungan masih berdiri diatas lututnya. “Aku tak akan dapat membalas budi angger. Mudah mudahan Tuhan mengaruniakan Kasihnya yang berlimbah.”

Widuri menjadi semakin malu. Ia tidak tahu apa yang akan diucapkan dan apa yang akan dilakukan. Karena itu tiba-tiba ia memutar tubuhnya berlari ke banjar desa sambil berteriak, “aku akan ke banjar desa paman.

Wulungan menarik nafas. Perlahan ia berdiri sambil bergumam, “Hem, alangkah bangga orang tuanya.”

Ketika Widuri telah hilang di balik tikungan, kembali Wulungan merenungi mayat Galunggung. Sekali-kali ia menebarkan pandangan berkeliling, tetapi Pamingit benar-benar seperti dicekam kesepian yang mengerikan.

Sebenarnya beberapa perempuan yang tinggal di rumah ditepi jalan itu menjadi ketakutan, dan menutup pintu mereka rapat-rapat. Seorang dua orang yang sempat mendengar teriakan Galunggung menjadi berbimbang hati, “Apakah yang sebenarnya terjadi?” Tetapi, mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka menunggu sampai suami mereka kembali dari perlayatan.

Ketika sekali lagi Wulungan memandang keujung jalan di kejauhan, dilihatnya orang pertama yang datang dari makam. Kemudian kedua dan seterusnya. Iringan itu berjalan perlahan lahan menuju ke arahnya.

Melihat kedatangan mereka, Wulungan menjadi berdebar-debar. Apakah ia tidak berbuat kesalahan? tetapi ia telah berbuat demikian untuk membela dirinya, mempertahankan hidupnya.

Tubuh Galunggung yang terkapar di jalan itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan yang lain-lain.

Apa yang terjadi Wulungan?” terdengar suara Ki Ageng Lembu Sora datar.

Wulungan mengangguk hormat. Kemudian dijawabnya, “Kami bertengkar dan inilah akhirnya.

Lembu Sora melihat luka di pundak Wulungan, karena itulah ia tahu bahwa Wulungan telah bertempur sengit melawan Galunggung. Ia melihat pedang Galunggung masih ditangannya, sedang pedang Wulungan ada belum disarungkan.

Sarungkan pedangmu Wulungan” berkata Ki Ageng Lembu Sora.

Wulungan menjadi gugup. Cepat-cepat ia menyarungkan pedangnya.

Kami tidak menyalahkan engkau” kembalim terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata.

Wulungan tersentak, kemudian sekali lagi ia membungkuk sambil berkata, ”Terima kasih Ki Ageng

Orang Pamingit menjadi saling berpandangan dan menebak-nebak apakah sebenarnya yang telah terjadi. Beberapa orang menjadi kecewa. Pengikut Galunggung bergumam di dalam hati mereka, “kenapa Galunggung terbunuh?.

Ki Ageng Lembu Sora dapat melihat gelora hati mereka. Mereka memandang Wulungan dengan marah. Bahkan di antaranya terpancarlah perasaan dendam dan benci. Seperti Galunggung yang menggantungkan harapannya kepada Sawung Sariti, maka demikianlah beberapa orang yang telah menerima janji dari padanya. Karena itu, maka kematiannya benar-benar disesalkan. Tetapi, disamping mereka yang mendendam Wulungan karena peristiwa itu, beberapa orang berdiri tegak di belakangnya. Tak ada kata-kata yang mereka ucapkan, namun dari wajah mereka terpancarlah janji, ”Jangan cemas Kakang Wulungan, kami akan bersama-sama memikul akibatnya

Tetapi karena itu alangkah sedih Lembu Sora. Kematian anaknya telah memukul jantungnya sedemikian parah. Sekarang ia melihat sinar mata bermusuhan diantara rakyatnya. Karena itu dengan sedih ia berkata, “telah banyak korban jatuh. Daerah perdikan ini telah basah kuyup oleh darah putra terbaik. Sergapan gerombolan liar telah menghancurkan sendi kehidupan kita. Marilah kita jadikan Sawung Sariti korban yang terakhir, dan Galunggung yang lenyap karena kehilangan keseimbangan jiwa, adalah contoh mereka yang kehilangan akal karenanya.” Kemudian Lembu Sora mengangkat wajahnya memandang kepada orang Pamingit yang berada di sekitarnya, “siapa akan menyusul?

Suasana dicengkam oleh kesepian. Tak ada yang terdengar selain desah nafas tegang di antara kemerisik daun-daun yang digerakkan angin. Orang-orang Pamingit yang memandang Wulungan dengan marah, serta orang-orang yang berdiri tegak di belakang Wulungan, menundukkan wajah mereka.

Sesaat kemudian terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata, “Para pemimpin laskar Pamingit harus menghadap aku sebelum matahari terbenam. Tak seorang pun berhak memberikan tafsiran atas peristiwa ini selain aku sendiri.”

Kemudian kepada Wulungan ia berkata, “Wulungan, ikut aku.

Wulungan menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Baik Ki Ageng.”

Kepada orang-orang Pamingit yang lain, Lembu Sora berkata, “Selenggarakan pemakamannya baik-baik.

Kemudian orang-orang yang berdiri berjejal-jejal itu mulai mengalir seperti air di dalam parit. Sebagian menuju ke banjar desa, sedang sebagian lagi ke rumah masing-masing. Perlahan-lahan jalan desa itu menjadi sepi kembali, selain beberapa orang yang sedang merawat tubuh Galunggung dan dibawanya ke pondoknya.

Besok, sekali lagi mereka akan menyelenggarakan pemakaman. Galunggung tidak dimakamkan dengan upacara kebesaran seperti Sawung Sariti. Namun pemakaman itu pun akan diselenggarakan sebaik-baiknya.

Dalam perjalanan ke banjar desa, Mahesa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara yang berjalan di sampingnya, “Kakang, mayat Bugel Kaliki lenyap.”

Kebo Kanigara menoleh, matanya menjadi redup, tetapi kemudian ia tersenyum, “Aku belum memberitahukan kepadamu.”

Kenapa?” tanya Mahesa Jenar.

Ketika aku membawa kembali Sawung Sariti yang terluka aku telah meminta beberapa orang Pamingit untuk mengubur mayat itu” jawab Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya ia bergumam, “Sederhana sekali.

Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum, “Ya, sederhana sekali. Apa kau sangka mayat itu hidup kembali? Kalau ia dapat hidup kembali maka mayat-mayat yang lain pun akan hidup pula. Dengan demikian sekali lagi kita harus berjuang melawan mereka.”

Mahesa Jenar tertawa. Menggelikan sekali. Arya Salaka pun kemudian diberitahunya pula. “Ah,” sahut anak muda itu. “Aku menjadi gelisah karenanya.

Ketika mereka sampai di banjar desa, mereka melihat perempuan-perempuan sedang sibuk mengerumuni Rara Wilis dan Endang Widuri yang duduk di samping Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Mereka tak habis-habisnya bertanya kenapa mereka dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan penuh kekaguman mereka bertanya-tanya, bagaimana mereka dapat memiliki ilmu tata bela diri. Pertanyaan- pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Rara Wilis mencoba pula untuk menjawab satu demi satu.

O,” sahut salah seorang, “Jadi orang tua berjanggut putih itukah yang bernama Ki Ageng Pandan Alas?

Ya, itu kakekku” sahut Rara Wilis.

Pantas, pantas Nini menjadi gadis perkasa,” kata yang lain.

 Ketika orang-orang yang datang dari pemakaman, setelah membasuh kaki mereka, memasuki banjar desa itu, maka perempuan itupun mengundurkan diri mereka untuk mempersiapkan minum serta makanan yang akan mereka hidangkan.

Demikianlah Pamingit dan Banyubiru telah melampaui suatu masa yang menyedihkan. Suatu masa yang tak dapat mereka lupakan. Ketika kemudian malam tiba, dan masing-masing telah terbaring di pembaringan, terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi. Meskipun gambaran-gambaran yang datang di dalam kenangan masing-masing tidak sama, tergantung dari apa yang pernah mereka lihat, dengar dan alami, namun mereka mempunyai persamaan kesimpulan. Bahkan Lembu Sora sendiri merasakan betapa kelakuannya hampir saja menenggelamkan kedua tanah perdikan itu. Tetapi dengan demikian, akhirnya ia menjadi ikhlas. Ikhlas atas segala kesedihan yang menimpanya. Ikhlas atas kematian anak satu-satunya. Demikianlah agaknya Tuhan menghendaki, memberinya peringatan dan membawanya kembali ke jalan yang telah digariskan.

Di pondok itu, Mahesa Jenar duduk bersama-sama dengan Paningron, Gajah Alit, Gajah Sora dan Kebo Kanigara. Di bawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah mereka memancarkan kesungguhan pembicaraan yang sedang mereka lakukan.

Pekerjaanku sudah selesai Kakang Tohjaya,” terdengar Gajah Alit berkata, “Sultan menghendaki penyelesaian yang sebaik-baiknya antara Banyubiru dan Pamingit. Kini agaknya penyelesaian itu telah ditemukan tanpa pertumpahan darah antara keduanya. Kalau kemudian jatuh korban, itu adalah karena perjuangan mereka mempertahankan tanah mereka dari sergapan setan-setan liar yang ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang seterusnya mereka ingin merampas jalan ke tahta Demak.”

Gajah Alit berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Tetapi selain dari itu, aku mempunyai pekerjaan yang lain pula. Aku mendapat perintah untuk membawa Kakang Tohjaya kembali ke Demak.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, ia bertanya, “Sebagai tawanan?

Tidak. Sama sekali tidak,” sahut Paningron cepat-cepat. “Persoalan yang ada beberapa tahun yang lalu di Demak kini telah dilupakan. Tidak saja kini. Sebenarnya sejak semula Sultan tidak pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepada Kakang Tohjaya. Tetapi meskipun demikian, tak apalah kalau Kakang ketahui, bahwa memang Sultan menjadi murka karena Kakang meninggalkan istana. Namun hanya sementara. Akhirnya Sultan mengambil keputusan untuk tidak mencari dan memanggil Kakang kembali, sebab akhirnya Sultan tahu apa yang Kakang lakukan. Disamping pengabdian Kakang kepada sesama, Kakang gigih mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

Hem!” Sekali lagi Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tak pernah kesetiaannya kepada tanah dan pemerintahannya menjadi goncang, seperti Sultan tak pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepadanya. Tak pernah ia berpikir untuk menolak seandainya Sultan memanggilnya, meskipun sebagai tawanan. Mahesa Jenar menyesal pula, bahwa ia begitu saja pergi meninggalkan istana pada saat itu. Tetapi masa itu telah lampau. Yang penting baginya, bagaimanakah selanjutnya. Dan kini ia harus memberi jawaban, Kanjeng Sultan Trenggana memangilnya.

Adi…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Aku tidak dapat menolak apa pun yang diperintahkannya kepadaku. Namun aku ingin semaya. Aku ingin mendapat waktu untuk melengkapi saranku menghadap Sultan. Aku telah berjanji untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena aku telah berjanji pula pada diri sendiri, bahwa aku tak akan mengakhiri usahaku itu sampai kapanpun, sebelum keris-keris itu dapat diketemukan.

Gajah Alit tersenyum. Jawabnya, “Tepat. Kanjeng Sultan pun telah menebak apa yang akan kakang katakan. Dan karena itu Sultan memberi Kakang waktu. Tanpa batas. Kapan pun Kakang kehendaki membawa atau tidak membawa kedua keris itu, kakang akan diterima kembali. Sebab seandainya Kakang tidak dapat menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, itu tidak berarti bahwa apa yang telah Kakang lakukan dapat dilupakan. Sebab berhasil atau tidak, namun Kakang telah berjuang dengan mempertaruhkan jiwa dan raga Kakang.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Sampaikan sembah sujudku kepada Baginda. Aku tetap setia kepada sumpahku. Mudah-mudahan Tuhan berkenan memberi aku jalan untuk menghadapkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu.”

Kemudian ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing menundukkan kepalanya sambil merenungkan pembicaraan itu.

Di luar, malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang berhamburan di langit yang biru. Selembar-selembar mega yang putih mengalir dihembus angin.

Malam itu adalah malam terakhir Paningron dan Gajah Alit berada di Pamingit. Mereka pada pagi harinya, terpaksa kembali ke Demak, untuk melaporkan apa yang telah dilakukannya. Mengantarkan kembali Gajah Sora. Penyelesaian yang baik antara Pamingit dan Banyubiru. Tertumpasnya gerombolan-gerombolan liar yang mencoba menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak, sehingga karenanya Demak tidak perlu mengirimkan pasukan bantuan kepada Banyubiru dan Pamingit. Rangga Tohjaya yang tidak mau melepaskan kewajiban yang dibebankannya sendiri di atas pundaknya, mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Tetapi tidak saja Paningron dan Gajah Alit yang pergi meninggalkan Pamingit. Gajah Sora dan Arya Salaka pun akhirnya beberapa hari kemudian, merasa bahwa mereka harus kembali ke tanah perdikannya. Mereka harus segera mengatur kembali pemerintahan tanah yang selama ini mengalami kegoncangan. Rakyat Banyubiru harus segera mengetahui bahwa akhirnya Ki Ageng Gajah Sora akan berada kembali di antara mereka. Karena itu, akhirnya mereka pun minta diri. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri tidak pula ketinggalan. Mereka ingin menyaksikan, betapa tanah yang seakan-akan telah kehilangan pamornya itu, kini menemukan kembali dirinya.

Perpisahan itu benar-benar mengharukan. Betapa semedhot-nya orang-orang Pamingit ketika mereka melihat laskar Banyubiru, rampak dalam barisan yang tertib, siap berjalan menempuh jalan yang menghubungkan kedua tanah perdikan yang dikepalai oleh dua orang bersaudara. Kakak-beradik yang hampir saja saling membinasakan. Untunglah bahwa Tuhan berkehendak lain.

Laskar itu akhirnya berjalan mendahului di bawah pimpinan Bantaran, Panjawi dan Jaladri. Laskar yang gagah berani itu berjalan menuruti jalan yang berliku-liku di lereng pegunungan, seperti seekor ular raksasa yang menjalar menuruni tebing, mendaki lereng-lereng bukit kecil menuju ke Rawa Pening.

Untuk sementara Ki Ageng Sora Dipayana tetap tinggal di Pamingit. Orang tua itu masih ingin mendampingi putera bungsunya yang masih belum dapat melupakan apa yang baru saja terjadi. Karena itu ia tidak ikut serta pergi ke Banyu Biru bersama putera sulungnya.

Sementara itu Titis Anganten yang tidak mempunyai kepen­tingan-kepentingan lain, kecuali menuruti hasrat hati menikmati hari tuanya  dengan kegemarannya merantau dan berjalan dari satu tempat ke tempat lain, melihat daerah-daerah yang belum pernah dikun­jungi, berziarah ke tempat-tempat yang dianggap suci, terpaksa memenuhi pemintatn sahabatnya, Ki Ageng Sora Dipayana untuk tinggal menemaninya di Pamingit.

Tetapi Ki Ageng Pandan Alas lebih senang pergi bersama-sama dengan cucunya ke Banyu Biru. Meskipun ia tidak mempunyai kepentingan apapun, selain cucunya itu, namun ia tak dapat di­tahan-tahan lagi. Karena itu maka ia pun berkemas-kemas untuk ikut serta dalam rombongan ke Banyu Biru.        –

Rombongan itu ternyata terpaksa menunda-nurda keberangkatannya. Ada-ada saja sebabnya. Ketika mereka sudah bersiap di halaman banjar desa. mereka terpaksa masuk kembali ke dalam banjar. Nyai Ageng Lembu Sora mengharap mereka untuk makan siang lebih dahulu, sebelum menempuh perjalanan.

Tak baik menolak rejeki” berkata Ki Ageng Gajah Sora sambil tersenyum.

Makan besar” sela Arya Salaka.

Tak seberapa” sahut Ki Ageng Lembu Sora, ”sekedar pernyataan terima kasih dari rakyat Pamingit.

Alangkah nikmatnya makan bersama.

Di langit matahari berjalan terus. Semakin lama semakin tinggi. Ketika telah dicapainya titik puncak, maka kembali matahari itu menurun ke arah barat.

Akhirnya rombongan itu pum bersiap pula. Beberapa ekor kuda untuk mereka telah menanti di halaman. Sejenak, sebelum Mahesa Jenar meloncat ke punggung kuda, berbisiklah Ki Ageng Lembu Sora, ”Ki Rangga Tohjaya, ternyata Ki Rangga telah membuat aku kembali menjadi manusia.”

” Kenapa aku?” bertanya Mahesa Jenar.

Baru pada saat-saat terakhir aku mengagumi sikap Ki Rangga”  sahut Ki Ageng Lembu Sora tanpa menjawab per­tanyaan Mahesa Jenar. Tetapi pembicaraan itu terhenti. Tiba-tiba mereka melihat Nyai Ageng Lembu Sora berlari dan dengn serta merta memeluk Arya Salaka yang sudah berdiri di sampinq kudanya. Sambil menangis terisak-isak ia berkata, ”Arya, adikmu Sawung Sariti telah tak ada lagi. Karena itu, kaulah menjadi ganti anakku. ”

Arya menundukkan wajahnya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Yang terdengar kemudian kembali suara Nyai Ageng Lembu Sora. Kali ini kepada Ki Ageng Gajah Sora. ”Kakang, biarlah aku ngempek kamukten. Kalau kakang berkenan di hati, biarlah aku ikut serta mengaku Arya Salaka sebagai anakku.

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya, sebelum ia menjawab terdengar Nyai Ageng Gajah Sora berkata, ”Adi, anakku adalah anakmu. ”

Tangis Nyai Ageng Lembu Sora bertambah nyaring, serta pelukannya menjadi bertambah erat, seakan-akan tak mau melepaskannya lagi.

Tak seorang pun mengganggunya. Bahkan mereka ikut serta merasakan betapa dalam luka yang menggores hati isteri kepala Tanah Perdikan Pamingit itu. Luka yang tidak akan dapat sembuh kembali apa pun obatnya.

Sesaat kemudian barulah tangis itu mereda. Perlahan-lahan Arya dilepaskan. Di antara isak yang masih terdengar berkatalah Nyai Ageng Lembu Sora, ”Maaflah kalau aku mengganggu per­jalanan ini.”-­

”Arya akan sering berkunjung kemari, adi” sahut Nyai Ageng Gajah Sora.

”Terima kasih” desis Nyai Ageng Lembu Sora, sedang dari matanya masih menetes sebutir-sebutir air matanya.

Akhirnya rombongan itu pun dilepas pergi. Kuda-kuda itu berjalan beriring-iringan. Orang-orang Pamingit menyaksikan dengan bangga dan melepas mereka dengan lambaian tangan sampai mereka hilang di balik kelokan jalan. Hanya kepulan debu yang putih yang masih mereka lihat naik ke udara.

Di perjalanan itu Widuri menjadi gembira. Dilarikannya kudanya di paling depan. Di mukanya terbentang lembah dan dipagari oleh bukit-bukit kecil. Sekali-kali perjalanan itu menurun, namun kadang-kadang harus mendaki lereng-lereng bukit yang berbaris seperti sebuah benteng yang kokoh kuat.

Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari telah condong. Widuri mengerutkan keningnya. Mereka berangkat terlalu siang. Mereka tidak akan dapat mencapai Banyubiru sebelum matahari terbenam. Sedang perjalanan itu tidak akan dapat cepat, karena Nyai Ageng Gajah Sora belum dapat menunggang kuda dengan baik. Meski demikian Widuri kadang-kadang memacu kudanya jauh ke depan. Kemudian sambil menanti kawan-kawannya ia berhenti diatas sebuah punhtuk yang menjorok. Dari sana ia dapat melihat, betapa luasnya tanah yang terbentang di hadapannya. Betapa besar alam. Dan betapa Maha Besar Sang Pencipta, yang telah mencipta langit dan bumi. Beribu, berjuta kali lipat dari apa yang dilihatnya itu, dari apa yang gumelar di hadapannya.

Rombongan itu berjalan terus. Meskipun perlahan-lahan namun mereka tetap maju, semakin lama semakin dekat dengan Banyubiru. Matahari yang mengapung di langit telah membayanglah punggung-punggung bukit. Sesaat kemudian membayanglah warna kuning tajam di atas pegunungan Candik Ala.

Widuri tersenyum memandang warna itu. Tiba-tiba teringatlah olehnya warna-warna Candik Ala beberapa tahun yang lalu di Gedangan. Pada saat tiba-tiba saja mereka disergap oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Tetapi Uling itu telah tak ada lagi. Mereka telah dibinasakan oleh Arya Salaka.

Hem!” gumamnya, “Alangkah gagahnya anak itu.” Tiba-tiba wajah Widuri menjadi kemerah-merahan. Segera ia menoleh ke arah rombongannya. “Mudah-mudahan mereka tidak mendengar,” pikirnya. Gadis itu menjadi malu sendiri. Malu kepada pengakuannya, bahwa ia telah mengagumi Arya Salaka.

Karena itu sekali lagi ia melarikan kudanya ke punthuk yang lain, sambil berusaha mengusir angan-angannya tentang anak muda dari lereng bukit Telamaya itu. Namun setiap kali ia berusaha melupakan, setiap kali angan-angan itu muncul kembali.

Agaknya jauh di belakangnya, berjalanlah dengan kecepatan sedang seluruh rombongan. Gajah Sora mendampingi istrinya bersama Arya Salaka. Di belakangnya, Ki Ageng Pandan Alas berjajar dengan Kebo Kanigara yang kadang-kadang menjadi cemas melihat kenakalan anaknya yang jauh di depan.

Di belakang mereka, berkuda Mahesa Jenar, dan di sampingnya Rara Wilis. Tidak banyak yang mereka percakapkan di perjalanan. Hanya kadang-kadang saja Rara Wilis bertanya-tanya tentang daerah yang mereka lewati.

Ketika Candik Ala membayang di langit, bertanyalah Rara Wilis, “Sudahkah kita sampai ke daerah tanah perdikan Banyubiru?

Mahesa Jenar menggeleng, jawabnya, “Aku tidak tahu pasti, manakah batas antara kedua tanah perdikan itu.”

Rara Wilis mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangannya kemudian beredar memandangi hutan-hutan yang masih bertebaran di lembah. “Tanah itu belum digarap” katanya.

Masih cukup dengan sawah-sawah yang sudah ada,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi perkembangan penduduk Banyubiru demikian pesatnya. Dan hutan-hutan itu menanti tangan-tangan yang akan menggarapnya.

Rara Wilis terdiam. Di perjalanan antara Pamingit dan Banyubiru, hampir tak dijumpainya pedesaan. Agaknya rakyat Banyubiru dan Pamingit lebih senang dedukuh pada pedukuhan yang tidak terlalu jauh jaraknya satu sama lain. Meskipun demikian sekali-kali mereka melewati pedukuhan pula. Pedukuhan-pedukuhan kecil, yang seakan-akan terpisah dari induk tanah perdikan mereka. Namun mereka pun merupakan sendi-sendi kehidupan yang tak dapat dilupakan.

Adakah Kakang akan menetap di Banyubiru?

Mahesa Jenar tersentak mendengar pertanyaan Rara Wilis yang tiba-tiba itu. Untuk sesaat ia tidak tahu bagaimana ia harus menjawabnya. Dipandanginya saja wajah gadis yang duduk di atas punggung kuda di sampingnya itu. Ketika Rara Wilis merasa betapa sepasang mata yang tajam memandanginya, ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.

Tanpa disengaja, Mahesa Jenar mengamat-amati wajah itu dengan seksama. Sejak semula ia memang mengagumi kecantikan Rara Wilis. Tetapi sejak perjuangannya mencari Nagasasra dan Sabuk Inten meningkat, serta usahanya untuk mengembalikan Arya Salaka hampir sampai pada titik puncaknya, ia tidak mempunyai waktu lagi untuk selalu memperhatikan wajah itu. Sekarang tiba-tiba ia mempunyai waktu itu. Namun hatinya menjadi tergoncang karenanya. Di wajah yang cantik itu, tampaklah beberapa bintik air mata.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Baru sekarang dilihatnya kesayuan yang membayang di wajah yang cantik itu. Betapa gadis itu mengorbankan remajanya untuk memberinya kesempatan melakukan pengabdian mutlak kepada sesama dan kepada Tuhannya. Dua pengabdian yang tak mungkin dipisah-pisahkan. Mungkin pada saat-saat mendatang bukan berarti bahwa ia akan dapat mengabdikan pengabdian itu, namun ia sudah mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.

Mahesa Jenar menjadi iba kepada gadis itu. Ia merasa bahwa sudah terlalu lama ia membiarkan gadis itu menahan hatinya, tanpa mendapat perhatiannya sama sekali. Telah terlalu lama ia membiarkan gadis itu merasa betapa sepi hidupnya. Tiba-tiba ia ingin menjelaskan kepada gadis itu, mengapa ia bersikap demikian. Perlahan-lahan terdengar Mahesa Jenar berkata, “Wilis, kalau sampai sedemikian lama aku berdiam diri, itu karena aku ingin hidup kelak tidak terganggu oleh kesanggupan dan janji diri. Aku ingin hidup tentram setelah aku menyelesaikan pekerjaanku. Aku harap kau dapat mengerti, bahwa apa yang aku lakukan adalah demi kebahagiaan kita kelak, bukan semata-mata aku membiarkan diriku melakukan pekerjaan yang aku senangi tanpa mempertimbangkan pendapatmu. Sebab ...”

Kakang!” potong Rara Wilis. Gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang Mahesa Jenar tidak kalah tajamnya. Katanya meneruskan, “Kenapa Kakang berkata demikian? Apakah aku pernah menyatakan penyesalan atas semua yang pernah terjadi selama ini berjuang untuk suatu pengabdian, untuk memenuhi kewajiban yang Kakang letakkan di pundak Kakang? Sampai sekarang pun aku telah berusaha untuk membantu Kakang, setidak-tidaknya membesarkan hati Kakang agar Kakang dapat melakukan kuwajiban itu dengan tenang. Tentang diriku sendiri? Aku telah lama melupakan kepentingan itu. Aku telah biasa hidup dalam kesepian. Sejak ibuku meninggal dunia.” Rara Wilis tak dapat meneruskan kata-katanya. Air matanya menjadi semakin deras mengalir dan tangannya menjadi sibuk untuk mengusapnya.

Maafkan aku Wilis,” desis Mahesa Jenar. Ia menyesal telah mengatakan apa yang tersimpan didalam hatinya. Ia menyesal bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sama sekali tak dikehendaki oleh Rara Wilis.

Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berkata, “Wilis, sekarang semua kewajiban itu sudah selesai.

Rara Wilis terkejut. Ia mengangkat wajahnya yang basah. Seakan-akan ia ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.

Pekerjaanku telah selesai” ulang Mahesa Jenar meyakinkan.

Bagaimana dengan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?” tanya Rara Wilis.

Keris itu sudah aku ketemukan” jawab Mahesa Jenar.

Sudah Kakang ketemukan?” Wajah Rara Wilis tiba-tiba menjadi cerah. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi suram kembali. Katanya, “Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku. Atau hati Kakang menjadi patah dan tidak mau mencari kedua keris itu lagi?

Cepat-cepat Mahesa Jenar menyahut, “Tidak, tidak Wilis. Aku sama sekali tidak akan menghentikan usahaku seandainya kedua pusaka itu belum dapat diketemukan. Tetapi kini kedua keris itu benar-benar telah dapat diketemukan.

Perlahan-lahan wajah Rara Wilis menjadi cerah kembali. Namun dari kedua biji matanya yang hitam bulat masih memancar berbagai pertanyaan. Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tak terucapkan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengartikan. Karena itu ia berkata, “Wilis, kau tak perlu bercemas hati tentang kedua keris itu. Sudah sejak lama aku mengetahui, di mana kedua keris itu berada. Namun sampai saat ini belum tiba masanya kedua pusaka itu kembali ke istana.

Di manakah kedua keris itu?” tiba-tiba Rara Wilis bertanya. Mahesa Jenar ragu sejenak. Karena itu maka Rara Wilis segera berkata, “Maafkan, barangkali aku tidak perlu mengetahuinya.

Tidak apa Wilis,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat. “Kau boleh mengetahui beberapa bagian. Keris itu kini ada dalam simpanan Panembahan Ismaya.

Panembahan Ismaya?” Rara Wilis terkejut.

Ya. Panembahan itulah yang telah mengambil kedua keris itu dari Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar, “Namun apa yang dilakukan itu benar-benar tanpa pamrih. Panembahan hanya ingin menyelamatkannya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk lagi. Kemungkinan kedua pusaka itu jatuh di tangan orang-orang seperti Sima Rodra, Bugel Kaliki dan sebagainya.”

Darimana Kakang tahu?” tanya Rara Wilis.

Dari Panembahan Ismaya sendiri” jawab Mahesa Jenar.

Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Tiba tiba saja persoalan yang seakan menghimpit dadanya seberat gunung Anakan terasa berguguran. Sebab selama ini kedua keris itu masih menjadi teka teki, iapun ikut serta merasakan betapa berat penanggungan hati Mahesa Jenar.

Meskipun ia tidak tahu menhapa Mahesa Jenar tidak segera menyerahkan keris itu ke Demak namun ia tidak bertanya-tanya lagi. Sebab persoalannya telah menjadi jelas dan Mahesa Jenar tidak perlu lagi merantau dan berjuang mati-matian untuk mencarinya.

Rara Wilis kemudian berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolaklah angan- angan seorang gadis. Seorang gadis yang telah berdiri di ambang pintu idaman.

Yang berbicara kemudian adalah Mahesa Jenar, “Karena itu Wilis. Kita telah mempunyai waktu untuk berbicara tentang diri kita.

Wajah Rara Wilis menjadi merah. Dadanya serasa berdesir. Waktu yang ditunggu- tunggu akhirnya akan datang. Namun ia tidak menjawab.

Segala kesulitan telah kita lampaui,” Mahesa Jenar meneruskan, “Mudah-mudahan kita tidak terlalu tua untuk mulai dengan suatu kehidupan baru.”

Betapa menyenangkan kata-kata itu. Namun Rara Wilis telah melampaui masa pergolakan jiwa. Karena itu ia dapat menanggapinya dengan wajar, dengan hati yang mengendap. Katanya, “Tidak Kakang. Tidak semua kesulitan telah selesai. Dalam hidup yang baru itu, kesulitan-kesulitan lain justru baru akan mulai. Kesulitan-kesulitan yang sekarang belum dapat kita bayangkan.

Mahesa Jenar tersenyum. Senyum yang memancar dari hatinya yang cerah. “Kau benar Wilis.

Kemudian keduanya berdiam diri. Angan-angan mereka terbang mengawang bersama mega-mega putih di langit. Tanpa dirasa, hari telah menjadi gelap. Bintang- bintang telah berhamburan menggantung di sisi bulan yang masih muda. Jarak mereka berdua pun telah menjadi semakin jauh dari Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara. Maka berkatalah Mahesa Jenar kemudian, “Marilah kita susul mereka.

Mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Ketika mereka telah berada tepat di belakang Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara, mereka melihat Endang Widuri pun telah memperlambat kudanya dan kemudian berhenti di tepi jalan menunggu kawan-kawan seperjuangannya.

Angin malam berdesir menggerakkan daun-daun dan ujung batang-batang ilalang. Suara angup dan belalang saling bersahutan, menggores sepi malam. Rombongan itu berjalan dengan tenangnya. Sekali-sekali mendaki dan sekali-kali menurun.

Kita belum melampaui laskar yang mendahului kita?” tanya Endang Widuri.

Mereka telah sampai atau setidak-tidaknya hampir memasuki Banyubiru” jawab Arya Salaka.

Bukankah kita juga hampir sampai?” tanya gadis itu pula.

Ya!” jawab Arya, “Dari balik bukit di hadapan kita itu kita akan dapat melihat dataran di hadapan bukit Telamaya dan Rawa Pening.

Widuri tidak berkata-kata lagi. Ia mengharap agar perjalanan itu lekas berakhir. Malam nanti ia dapat beristirahat dengan tenang. Dan besok pagi, mulailah masa istirahatnya. Ia akan dapat menikmati lembah di sekitar Rawa Pening dengan tenang tanpa suatu kegelisahan apapun. Ia tidak perlu berpikir tentang Uling Putih dan Uling Kuning, Nagapasa, Lawa Ijo dan sebagainya. Dengan getek ia dapat bermain-main di Rawa itu, sambil mengail. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika rombongan itu sampai di punggung bukit. Sebentar lagi akan tampaklah nyala-nyala lampu yang memancar dari lubang-lubang pintu. Atau obor-obor di simpang-simpang jalan yang gelap. Karena itu tiba-tiba ia mempercepat jalan kudanya, kembali mendahului rombongan itu.

Namun tiba-tiba ketika ia mencapai punggung bukit itu, ia terkejut. Di hadapannya, di lereng bukit Telamaya, dilihatnya api menjilat ke udara. Bukan obor, tetapi seperti beribu-ribu obor.

Melihat nyala api itu, Endang Widuri tertegun. Tiba-tiba ia berteriak nyaring, “Kebakaran!

———-oOo———-

 Bersambung ke Jilid 26

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (24)

I.

Gajah Alit tidak segera menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Ditebarkannya pandangan matanya melingkari ruangan itu. Baru kemudian ia berkata, “Biarlah Kakang Gajah Sora berceritera. Kakang pasti tidak akan percaya seandainya aku yang mengatakannya.”

Kau terlalu sering berdusta,” sahut Mahesa Jenar.

Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi tidak berkepanjangan, sebab kemudian Gajah Sora berkata, “Apa yang dapat aku ceriterakan? Yang aku ketahui, Baginda memerintahkan lewat Adi Gajah Alit, bahwa aku diperkenankan kembali ke Banyubiru.”

Tidak hanya itu,” sela Gajah Alit.

Agaknya Adi Paningron lah yang paling tahu,” jawab Gajah Sora.

Semua mata berkisar ke wajah Paningron. Wajah yang tenang dan pendiam. Namun sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

“Baiklah,” katanya, “Kalau aku yang harus berceritera. Tetapi aku tidak dapat berceritera seperti Adi Gajah Alit.”

“Ah…” desis Gajah Alit.

Demikianlah yang sebenarnya,” Paningron meneruskan, “Kebetulan aku mengetahui beberapa persoalan. Setelah Baginda menganggap bahwa Kakang Gajah Sora benar-benar tidak bersalah, maka sebenarnya pada saat itu Kakang Gajah Sora sudah dapat dibebaskan. Sejak pertemuan kami di Rawa Pening, Baginda menjadi pasti bahwa Gajah Sora benar-benar tidak bersalah. Aku dan Adi Gajah Alit telah meyakinkan Baginda. Namun Baginda menghendaki, agar usaha mencari kedua pusaka itu menjadi semakin gigih. Terutama Baginda mengharap ayah Kakang Gajah Sora dan sahabat-sahabatnya berjuang mati-matian, dengan harapan untuk dapat segera membebaskan Kakang Gajah Sora. Tetapi keadaan berkembang ke arah yang tak dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak kehilangan jejak atas perkembangan daerah perdikan Banyubiru. Baru beberapa saat kemudian kami ketahui bahwa Banyubiru berada dalam kesulitan. Mula-mula kami tidak pasti, apa yang menyebabkan. Tetapi terasa adanya ketegangan dalam pemerintahan rakyat Banyubiru seakan-akan kehilangan pegangan. Kehilangan kiblat. Pada saat yang demikian itulah Baginda menganggap Gajah Sora harus kembali ketanahnya. Harus kembali kepada ayahnya yang sedang berjuang mati-matian untuk menegakkan kembali apa yang dimilikinya. Sora Dipayana telah berjuang hampir sepanjang umurnya untuk persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini. Pada saat-saat yang demikian, kami ketahui pula, bahwa orang-orang dari golongan hitam telah memancing di air keruh. Dan inilah bahaya yang sebenarnya, yang akan mengancam Banyubiru, Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu, akhirnya Gajah Sora akan diserahkan kembali, kembali kepada Ki Ageng Sora Dipayana.

Yang mempercepat tindakan Baginda adalah berita terakhir yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru terancam perang saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perang yang telah lama dinanti-nantikan oleh golongan hitam. Perang yang akan menumpas seluruh kehidupan rakyat Banyubiru dan Pamingit. Perang yang akan memadamkan sama sekali nyala api yang pernah dikobarkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana di atas tanah perdikan Pangrantunan.”

Paningron diam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian tangannya meraih mangkuk, dan meneguk seteguk air jahe yang hangat.

Agaknya kalangan istana sudah mengetahui semua yang terjadi di Banyubiru” sela Mahesa Jenar.

Tidak seluruhnya,” sahut Paningron, “Utusan dan bahkan pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di Banyubiru dan Pamingit.”

Mahesa Jenar tersenyum. Seharusnya ia sudah memaklumi sebelumnya. Seharusnya ia kenal, bagaimana orang-orang seperti Paningron dan kawan-kawannya bekerja. Kadang-kadang mereka dijumpainya seperti penjual daun, penjual kayu dan sayur-sayuran. Kadang-kadang mereka ditemuinya sebagai seorang saudagar yang kaya raya, yang menjelajah kampung untuk mencari dagangan.

Sejenak kemudian Paningron meneruskan, “Tetapi hubungan antara Demak dan Banyubiru tidaklah semudah yang kita kehendaki. Itulah sebabnya, kadang-kadang kita terlambat berbuat sesuatu. Itu pulalah sebabnya kali ini kami terlambat juga. Untunglah bahwa pertempuran antara laskar Arya Salaka dan laskar Pamingit itu di Banyubiru dapat dihindarkan.”

Aku yakin akan hal itu,” potong Ki Ageng Gajah Sora, “Selama Arya masih berada di dekat adi Mahesa Jenar.”

Aku hampir tak berdaya,” jawab Mahesa Jenar, “Pertempuran itu sudah berada di ujung hidung Arya Salaka. Untunglah Ki Ageng Sora Dipayana berusaha sekuat tenaga. Lebih dari itu agaknya Tuhan telah mengambil keputusan, bahwa Banyubiru dan Pamingit akan diselamatkan dari bencana kemusnahan.”

Kakang benar,” sahut Gajah Alit, “.”Kalau pertempuran itu tak dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan Pamingit akan menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan hitam dari daerah yang berserak-serak itu. Dari Gunung Tidar, Nusakambangan, Rawa Pening, Mentaok dan Lembah Gunung Cerme

Demikianlah kemudian pembicaraan mereka berkisar dari satu soal ke soal lain. Bahkan kemudian Paningron dan Gajah Alit tidak dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, katanya, “Tak seorang pun yang mampu membunuh Nagapasa dan Sima Rodra seorang diri. Namun Kakang Kebo Kanigara dan Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu.”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Adakah Adi melihat peristiwa itu?

Kami tidak,” jawab Gajah Alit, “Tetapi orang-orang kami menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya Salaka telah mampu bertempur seorang melawan seorang dengan Lawa Ijo. Sungguh suatu kemajuan di luar dugaan ayahnya. Itulah agaknya yang mendorong Kakang Gajah Sora untuk menilai sendiri kemampuan Arya Salaka itu.

Mahesa Jenar tersenyum.

Gajah Sora pun kemudian berceritera, bagaimana mereka bertiga bergegas untuk sampai ke Banyubiru, ketika mereka mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah sedemikian gawat. Namun mereka terlambat. Meskipun demikian mereka berlega hati. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran justru antara laskar Banyubiru bersama-sama dengan laskar Pamingit melawan laskar golongan hitam di Pamingit. Mereka jumpai Banyubiru telah kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke Pamingit. Namun pertempuran di Pamingit itupun telah selesai. Seorang petugas yang ditanam oleh Paningron melaporkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka justru pergi ke Banyubiru, karena Pasingsingan mendahului mereka.

Nah, Adi Mahesa Jenar…” tanya Gajah Sora kemudian, “Bagaimana dengan Pasingsingan?

Kemudian Mahesa Jenar lah yang berceritera. Pasingsingan terbunuh oleh Pasingsingan.

Ceritera tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Lain kali akan aku ceriterakan selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan yang lain-lain.”

Mereka juga belum mengetahui?” tanya Gajah Sora.

Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Belum. Belum seorang pun yang tahu.

Sejenak merekapun berdiam diri. Dalam saat-saat yang demikian, Mahesa Jenar mengamat-amati pakaian yang dikenakan oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik nafas panjang. Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit itupun pernah dipakainya. Pakaian perwira pengawal raja. Beskap hitam, sabuk kuning keemasan dan ikat kepala biru. Kain panjang, sapit urang, celana hitam berpelisir kuning. Sebilah keris berwarangka emas terselip di pinggangnya. Sedang Paningron pun memakai pakaian kebesarannya. Mirip dengan pakaian Gajah Alit, tetapi ia tidak berikat pinggang kuning, stagennya agak berwarna emas dengan permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang Paningron terselip sebilah keris dengan warangka gayaman.

Tetapi ketika Mahesa Jenar sedang berangan-angan, berkatalah Gajah Sora, “Adi Mahesa Jenar, banyak yang ingin aku ketahui, dan banyak yang ingin aku dengarkan, tetapi baiklah lain kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu menyampaikan sujud kepada Ayah, Sora Dipayana.”

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Aku kira demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama dengan kita.”

Meskipun demikian…” Gajah Sora meneruskan, “Adi Paningron mempunyai satu kepentingan lain, yang barangkali Adi Mahesa Jenar mengetahuinya.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, ia bertanya, “Apakah itu?

Tidak begitu penting,” sahut Paningron.

Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia menunggu persoalan apa pula yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah tentang dirinya, atau yang lain?

Paningron memandang kepada Gajah Alit. Belum lagi mendengar sepatah kata pun, ia telah mengangguk-angguk. Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Tidak penting, Kakang.”

MAHESA JENAR menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati.

Kemudian berkatalah Paningron, “Ada dua masalah yang akan aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku berhadapan dengan Kakang Mahesa Jenar. Hal ini Kakang Gajah Sora sendiri pun belum mengetahuinya.

Apakah soalnya?” sela Mahesa Jenar.

Yang pertama,” sahut Paningron, “Adalah Kakang Mahesa Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah bentuknya orang yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

Mahesa Jenar menjadi ragu. Ia sekarang tahu pasti siapakah orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi sebelum menjawab, terdengar Gajah Sora berkata, “Telah aku katakan. Orang itu berjubah abu-abu.”

Adakah orang itu berhubungan dengan ceritera Pasingsingan yang terbunuh oleh Pasingsingan?” tanya Paningron pula.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia menjawab, “Tidak. Pasingsingan yang membunuh Pasingsingan bukanlah orang itu.”

Paningron mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang kawannya yang gemuk bulat. Katanya, “Soal itu perlu juga aku sampaikan.

Silahkan Kakang” jawab Gajah Alit sambil tersenyum.

Adakah orang lain di rumah ini?” tanya Paningron. Mahesa Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis dan Endang Widuri tidak nampak sejak tadi. Wulungan yang mengerti maksud Mahesa Jenar, berkata, “Mereka sudah tidur sejak tadi.

Siapa?” sahut Paningron.

Anakku” jawab Kebo Kanigara.

O, tak apalah.” Paningron meneruskan, “Aku akan berkata tentang Nagasasra dan Sabuk Inten.” Tetapi ia berhenti. Dengan sudut matanya ia memandang ke arah Wulungan.

Berkatalah,” desak Mahesa Jenar, “Orang itu bisa kita percaya.”

Sebelum ceriteraku sampai pada masalah yang kedua,” kata Paningron, “Kami mengetahui sesuatu tentang pusaka-pusaka itu.

Gajah Sora dan Mahesa Jenar mengerutkan alisnya, sedang Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.

Ini juga salah satu sebab yang menentukan, bahwa Baginda benar-benar yakin, bahwa Kakang Gajah Sora tidak menyimpan pusaka-pusaka itu.” Paningron meneruskan, “Pada suatu saat, Kakang Arya Palindih melihat seseorang membawa kedua pusaka itu.”

Gajah Sora terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar.

Siapakah orang itu?” tanya Gajah Sora.

Seperti yang kau katakan,” jawab Paningron, “Berjubah abu-abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata kepadanya, apakah Kakang Palindih pernah melihat benda-benda yang dibawanya. Ternyata benda-benda itu adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

Hem…” Gajah Sora berdesis.

Tentu saja Kakang Arya Palindih bertanya kepadanya, darimana pusaka-pusaka itu didapatnya. Dan orang itu berkata terus terang bahwa keduanya diambil dari Banyubiru,” Paningron meneruskan. “Tetapi ketika kedua pusaka itu diminta oleh Kakang Palindih, orang itu berkeberatan. Sehingga akhirnya terpaksa Kakang Palindih mencoba memaksanya. Tetapi orang itu luar biasa. Kakang Palindih tak mampu melawannya. Dan kedua pusaka itu lenyap kembali.”

Gajah Sora menggeram. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berpikir, “Pasti, tak seorang pun mampu menangkapnya.

Tetapi...” kata Paningron, “Bahwa Kakang Gajah Sora terbukti tidak bersalah, Kakang Palindih menjadi yakin karenanya. Dan ini adalah salah satu sebab pula yang meyakinkan Baginda.”

Paningron berhenti sejenak. Diteguknya wedang jahe di mangkuknya. Kemudian ia meneruskan, “Tetapi kemudian orang itu muncul kembali.

Kapan?” bertanya Gajah Sora

Dan inilah ceritera yang kedua,” sahut Paningron, “Ketika seorang prajurit diusir dari istana, maka beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amatinya sampai beberapa saat. Kalau-kalau orang baru itu berbuat sesuatu.

Kenapa diusir?” tanya Mahesa Jenar.

Seorang anak muda yang perkasa,” jawab Paningron. “Tak seorang pun seangkatannya yang dapat menyamai keperwiraannya. Ia diketemukan oleh Baginda di halaman masjid, ketika Baginda hendak bersembahyang. Anak muda itu sedemikian tergesa-gesa, sehingga ia dapat meloncat mundur sambil berjongkok melampaui sendang di halaman masjid itu.”

Berdebarlah dada Kebo Kanigara mendengar ceritera itu. Ia tahu bahwa kecakapan yang demikian itu jarang-jarang dimiliki oleh seseorang. Namun ia tidak bertanya.

Karena kecakapannya…” Paningron melanjutkan, “Dalam waktu yang singkat, ia telah diangkat menjadi pimpinan kelompok Wira Tamtama dengan anugrah pangkat Lurah. Tetapi sayang, bahwa ia kemudian berbuat suatu kesalahan.”

Apakah kesalahannya?” tanya Mahesa Jenar.

Ia telah membunuh seseorang yang bernama Dadung Ngawuk” jawab Paningron.

Membunuh orang?” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Apa soalnya?

Orang baru, yang mencoba memasuki Wira Tamtama. Namun orang itu terlalu sombong. Maka anak muda itupun marah dan dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak kinang” jawab Paningron. Mendengar jawaban itu Gajah Alit tertawa. Bahkan ia hampir tak dapat menahan suara tertawanya itu. Mula-mula yang melihat Gajah Alit itu tertawa, menjadi heran, namun akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora mengetahuinya, “Membunuh dengan sadak kinang.”

Paningron tersenyum, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum pula. Namun Arya Salaka menjadi tegang. Ia tak tahu kenapa mereka tertawa karenanya.

Tetapi tiba-tiba Gajah Alit berhenti tertawa. Alisnya berkerut dan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Tanpa disengajanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip. Paningron dan Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi tegang.

Tetapi sesaat kemudian, juga Paningron seperti orang yang tersentak dari mimpinya. Bahkan terlontar dari mulutnya, “Oh!

Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tak apa-apa Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan kambuh kembali.”

Mahesa Jenar masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi Arya Salaka dan Wulungan. Sehingga akhirnya Kebo Kanigara bertanya, “Bukankah anak muda itu bernama Mas Karebet?

Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut. Namun tanggapan mereka berbeda-beda. Arya Salaka terkejut, karena sahabatnya itu terpaksa membunuh seseorang tanpa dipikirkan akibatnya. Sehingga ia terpaksa diusir dari istana. Sedang Mahesa Jenar terkejut karena Mas Karebet telah membunuh Dadung Ngawuk dengan sadak kinang. Ia mengurai lebih jauh keterangan itu. Sehingga Baginda mengusirnya dari istana.

Akhirnya Paningron berkata, “Maafkan kakang Kebo Kanigara, aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut juga Jaka Tingkir adalah putra Ki Kebo Kenanga, dan bukankah kakang Kebo Kanigara itu kakak Kebo Kenanga?

Tak apalah. Justru aku berterima kasih kepada adi berdua. Dengan demikian aku tahu apa yang dilakukan oleh anak itu” kata Kebo Kanigara. “Siapakah Dadung Ngawuk itu?” ia bertanya.

Paningron memandang Arya sesaat, kemudian ia menjawab perlahan-lahan, “Simpanan Baginda.”

Hem…” Kebo Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka menjadi semakin bingung. “Bukankah Dadung Ngawuk itu seorang yang sombong, yang melamar menjadi seorang Wira Tamtama?

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Ia tidak berkata sepatah katapun. Dengan sudut matanya, ia melihat Kebo Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah keringat dingin.

Tetapi,” Paningron meneruskan, “Bukan seluruhnya kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang memancing-mancing keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu tampan. Dan Baginda terlalu kasih dan percaya kepada Lurah Wira Tamtama yang baru itu. Bahkan lebih daripada Nara Manggala seperti Adi Gajah Alit itu.

Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya, “Kemudian apakah yang ingin adi berdua ketahui dari kami?

Kami mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di Banyubiru” jawab Paningron.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi ragu. Demikian pula Arya Salaka. Memang Karebet pernah muncul di Banyubiru. Namun mereka berdiam diri.

Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya” kata Gajah Alit.

Sesaat suasana menjadi sepi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri.

Kemudian terdengar Paningron meneruskan, “Keluarga terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet. Mereka berusaha untuk membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka telah kehilangan harapan. Keluarga mereka yang ingin menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan anak-anak yang dapat dibunuh seperti membunuh cacing. Ketika pada suatu saat, beberapa orang keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan anak muda itu, maka mereka beramai-ramai mengeroyoknya. Pada saat itulah orang berjubah abu-abu itu muncul. Tak seorangpun mampu melawannya. Bahkan orang berjubah itu berkata, Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita berkata, bahwa ia akan merajai pula Jawa.”

Kembali mereka berdiam diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya Salaka sibuk menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja. Sedang Wulungan sama sekali tak mengetahui ujung dan pangkal pembicaraan itu.

Angin malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah tidak terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah hanyut disapa angin pegunungan.

Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk menunda ceritera mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat.

Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan mereka masing-masing masih membumbung tinggi. Kebo Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan pelanggaran di halaman istana. “Ah,” pikirnya, ”benar-benar anak nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba. Seharusnya ia menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak bersalah seluruhnya

Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa depannya disamping masa depan sahabatnya yang gemilang. Namun ia tidak iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini ayahnya telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah. Ia belum berhasil menemukan ibunya. Ia masih belum berani menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya. Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata ayahnya, namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di hadapan orang-orang lain ini.

Memang demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu untuk melahirkannya.

Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa Jenar adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau orang berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu? Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua pusaka itu akan diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat kandel, dan apakah kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. “Aku akan menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya. “Sekarang biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan Banyubiru.”

Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari, namun mereka tetap berbaring diam.

Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di pojok desa, dan ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak buahnya diceriterakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah Sora telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana.

Sisa malam berjalan dengan tenangnya, dibungai oleh bintang pagi di tenggara, bertengger di atas punggung bukit. Mereka yang berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap dibuai mimpi.

Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama. Pagi-pagi benar, sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh, segera mereka bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera mempersiapkan diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan kini bahkan bertambah dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron dan Gajah Alit.

Rara Wilis dan Widuri pun terkejut bercampur gembira ketika mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah kembali dengan selamat.

Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu mendahului, kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan apa yang telah mencegahnya.

Gajah Sora yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah-olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi heran. Alangkah lincah dan tangkasnya. “Ah, tidaklah aneh,” bisik hatinya, “Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh Nagapasa.” Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik pada gadis itu. “Sayang,” hatinya berbisik terus, “Aku tak punya anak gadis seperti itu.”

Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak kokoh, kuat seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar, kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya sudah tak dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak berubah selama ia berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi tanah perdikannya, Arya Salaka sudah akan mampu dibujur-lintangkan apabila ada mara bahaya datang. Terhadap Mahesa Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan ilmunya sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra?

Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu. Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai, tapi tak seorang pun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha menahan perasaan masing-masing.

Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka sampai di sebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar, “Baiklah aku melihat rumah Bahu Jatisari ini.”

Lihatlah,” jawab Mahesa Jenar, “Rumah itu masih tampak sepi.”

Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti menunggu. Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka, dan bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu. Tidak lama kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah mereka membayangkan kekecewaan dan kemarahan.

Apa yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan telah berada di dalam rombongan itu kembali.

Perampokan yang biadab,” jawab Wulungan, “Rumah itu telah hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah merampoknya.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora, “Kasihan rakyat Pamingit.

Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas rakyat Pamingit yang mengungsi. Widuri yang berkuda paling depan, meloncat turun dari kudanya, ketika dilihatnya sebuah golek terkapar di tanah.

Apa yang kau ambil itu?” tanya ayahnya, Kebo Kanigara.

Golek,” jawab Widuri. “Anak yang mempunyai golek ini mesti mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh ibunya berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.”

Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya.

Di pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri, “Gadis kecil yang manis.”

Ayahnya tersenyum. Sebagai seorang gadis Widuripun perasa, ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata. Dan ia akan tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira.

Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung kuda. Dan Widuri pun berpacu kembali.

Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan dengan sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari golongan hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak sendi-sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan demikian mereka tak akan mampu lagi untuk kembali mengadakan keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat ditempuh dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg. Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya mayat yang masih belum terurus. Dengan demikian mereka harus berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana seharusnya. Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi lambat.

Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan cahaya merah berpancaran di wajah langit yang kelabu, berdebar-debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan rombongan itu menjadi kian cepat. Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar bergumam, “Pamingit!”

Kebo Kanigara yang mendengar gumam itu menoleh kepada Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat kemudian pandangan matanya berkisar pada anaknya.

Widuri.…” Ia memanggil.

Widuri menarik tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah sampai berada di samping ayahnya, terdengarlah ayahnya berkata, “Widuri, itulah Pamingit.”

Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan di hati Widuri. Berbeda dengan pada saat ia pertama kali melihat pedukuhan di lereng bukit Telamaya. Terhadap Pamingit itu, ia merasa tidak berkepentingan sama sekali. Ia datang kemari karena ayahnya datang kemari pula. Berbeda dengan perasaan-perasaan orang lain, apalagi Mahesa Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya semua orang yang diperlukan untuk menempatkan kembali batas antara Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, dan Ki Ageng Gajah Sora. Adalah suatu kebetulan bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa perlu untuk mengirimkan orang-orangnya yang akan dapat menjadi saksi pertemuan itu.

Selain Mahesa Jenar, Rara Wilis pun diganggu oleh angan-angannya sendiri. Ia tidak tahu benar persoalan-persoalan apa yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi firasatnya mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Mahesa Jenar hampir selesai. Ia tidak tahu bagaimana dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Namun ia berdoa di dalam hati, mudah-mudahan segera ia dapat menikmati cerahnya matahari. Tiba-tiba tanpa disadarinya, Rara Wilis menghitung-hitung umurnya sendiri. Gadis-gadis desanya yang sebaya dengan dirinya pada umumnya telah mempunyai dua tiga orang anak. Mengingat hal itu hatinya menjadi berdebar-debar. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir angan-angannya yang mengganggunya itu.

Mereka kini telah hampir memasuki pusat pemerintahan. Tanah Perdikan Pamingit. Ternyata daerah inilah yang paling banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan rumah-rumah penduduk dan banjar-banjar desa menjadi reruntuhan dan abu. Namun meskipun demikian daerah ini telah banyak penghuninya. Rumah-rumah yang masih tegak telah dipenuhi oleh para pengungsi.

Sekarang Wulungan yang berkuda paling depan. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Terasa jantungnya hendak meledak ketika melihat daerahnya menjadi hancur. Tapi tak satu pun yang dapat dilakukan. Apalagi ketika di hadapannya terbentang halaman bekas rumah kepala daerah perdikan Pamingit, di samping alun-alun. Halaman itu kini telah rata. Tak sebatang tiangpun yang masih tegak, yang dapat mengangkat kemewahan rumah ini pada masa lampau.

Rombongan itu berhenti di regol halaman. Mereka diam membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang menyapu pemandangan yang mengerikan itu.

Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua orang laskar Pamingit muncul menyongsong rombongan itu, Wulungan bergegas-gegas menemui mereka.

Di manakah Ki Ageng?” tanya Wulungan.

Di banjar desa sebelah,” jawab salah seorang dari kedua orang itu. “Marilah ikut kami.”

Kemudian, kedua orang itupun berjalan bergegas-gegas ke arah yang ditunjukkan, sedang Wulungan dan seluruh rombongan mengikutinya. Mereka menyusup lewat jalan sempit dan langsung memotong arah.

Matahari telah tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tampak nyala api pelita, memancar dari lubang pintu.

Itulah banjar desa yang masih separo tegak,” kata orang yang menjemput rombongan itu. Sekali lagi terdengar Wulungan menggeram. Ia sendirilah yang memimpin pembangunan banjar desa itu, dahulu. Demikianlah akhirnya rombongan itu memasuki halaman banjar desa.

Ketika mereka yang ada di dalam banjar desa itu mengetahui kedatangan rombongan itu, segera merekapun menyambutnya. Yang pertama-tama melampaui telundak pintu, adalah seorang tua yang bertubuh kecil. Ki Ageng Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika di dalam gelap dilihatnya sebuah rombongan yang agak besar.

Kepada Wulungan, yang berada di paling depan, orang tua itu berkata, “Rombonganmu menjadi besar, Wulungan?

“Sebuah oleh-oleh yang tak terduga-duga, Ki Ageng,” jawab Wulungan.

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak perlu bertanya untuk kedua kalinya, sebab segera Ki Ageng Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan langsung meloncat sujud di kaki ayahnya.

Kau…” desis orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan betapa darahnya serasa mengalir semakin cepat.

Gajah Sora, Ayah,” jawab Gajah Sora.

Hem...” orang tua itu menggeram. Diangkatnya wajahnya menengadah ke langit. Terasa sesuatu di pelupuk matanya.

Kau telah diperkenankan pulang kembali?” tanya ayah yang bahagia itu.

Ya, Ayah,” jawab Gajah Sora.

Orang Tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keremangan ujung malam. Dilihatnya dua orang gadis dan dua orang asing dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya, kedua orang asing itu agaknya dua orang yang datang dari Demak. Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya dengan hormat, “Adakah Anakmas berdua datang bersama-sama dengan anakku, Gajah Sora?”

Paningron dan Gajah Alit yang juga sudah turun dari kudanya seperti yang lain juga, membalas hormat bersama-sama. Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab, “Benar Ki Ageng. Kami datang bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerenyitkan alisnya. Timbullah seleret kebimbangan di dalam hatinya. Apakah anaknya Gajah Sora masih perlu diawasi? Namun tak sepatah kata pun pertanyaan yang melontar dari mulutnya. Yang kemudian dilakukan oleh orang tua itu adalah mempersilahkan tamu-tamunya masuk ke dalam banjar desa yang telah tidak utuh lagi itu.

———-oOo———-

II

Maka duduklah mereka berdesak-desakan di dalam ruangan yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana dengan beberapa orang Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu mereka.

Rara Wilis sejak kedatangannya, sebenarnya ingin melihat, apakah kakeknya benar-benar berada di Pamingit, namun orang tua itu belum dilihatnya berada di antara mereka.

Setelah mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki Ageng Sora Dipayana, “Ruangan ini kami pergunakan untuk sementara. Rumah-rumah yang lain telah musnah dimakan api. Karena itulah maka kami terpaksa berpencaran. Kami menempati pondok-pondok yang tersebar. Kami baru memberitahukan kepada sahabat-sahabat kami, bahwa Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas Kebo Kanigara, bahkan Gajah Sora dan tamu-tamu kami yang lain telah datang. Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah ruangan sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru telah kami panggil.”

Dan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata terbukti kemudian. Terdengarlah dari beberapa jurusan suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang datang berturut-turut dan berdesak-desakkan di muka pintu. Mereka adalah orang-orang Banyubiru. Di antaranya tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sendang Papat dan yang lain-lain. Mereka hampir tidak percaya ketika seseorang mengatakan kepada mereka, bahwa bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah datang pula Ki Ageng Gajah Sora.

Agaknya Ki Ageng Gajah Sora tanggap pada keadaan. Ia tidak bisa mempersilahkan mereka masuk karena ruangan yang sempit. Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke pintu.

Orang-orang Banyubiru itu rasa-rasanya seperti sedang bermimpi, ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora benar-benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian mereka tersadar, berebutlah mereka mengulurkan kedua tangan mereka, untuk menyambut salam kepala daerah perdikan mereka yang mereka kasihi. Mereka menyambut tangan Ki Ageng Gajah Sora dengan penuh gairah, seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi.

Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat kesetiaan anak buahnya.

Sesaat kemudian terdengarlah suara para pemimpin laskar Banyubiru itu seperti seribu burung bersama-sama berkicau, berebut dahulu bertanya tentang seribu satu macam persoalan dan pengalaman Ki Ageng Gajah Sora. Sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora menjawab, “Ceriteraku akan panjang sekali. Besok sajalah aku ceriterakan kepada kalian. Yang pasti bagi kalian sekarang, bahwa aku telah tiba kembali dengan selamat di hadapan kalian, tanpa cacat dan tanpa cidera. Aku datang seperti saat aku pergi.”

Beberapa orang Banyubiru itu belum puas mendengar jawaban yang hanya terlalu pendek. Mereka masih ingin mendengar uraian Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya lebih panjang lagi. Tetapi sekali lagi sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora berkata, “Kalau kalian sedang haus sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau kalian lagi lapar sekali, janganlah makan terlalu banyak.”

Ah,” terdengar mereka bergumam. Tetapi akhirnya mereka pun sadar, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan dapat berceritera dalam keadaan yang sedemikian.

Duduklah dahulu,” Ki Ageng Gajah Sora meneruskan. “Di halaman atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa menghabiskan waktu kita sambil berbicara tentang apa saja.

Kemudian orang-orang Banyubiru itupun meninggalkan pintu itu. Mereka bertebaran di halaman, duduk di bawah pepohonan, di akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah mereka dengan ceritera mereka masing-masing tentang Ki Ageng Gajah Sora. Mereka mencoba menebak-nebak dan mereka-reka, apakah yang sekiranya telah terjadi dengan kepala daerah Perdikan mereka.

Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di muka pintu. Ia melihat anak buahnya duduk bertebaran di halaman. Di dalam ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh. Sekali Ki Ageng Gajah Sora melemparkan pandangannya ke langit, awan yang tipis mengalir dihembus angin yang lembut. Bintang-bintang menjadi suram disaput oleh selapis mendung.

Mudah-mudahan tidak turun hujan,” gumam Gajah Sora. “Kalau terjadi demikian, alangkah susahnya. Apalagi di pondok-pondok yang kecil yang ditempati bersama lima enam keluarga beserta anaknya.”

Tiba-tiba gumam Ki Ageng Gajah Sora terhenti, ketika dilihatnya sesosok tubuh perlahan-lahan mendatangi banjar itu. Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada bidang, hampir seperti dirinya. Ia melihat bahwa orang yang mendatanginya itu agak ragu. Sekali-kali langkahnya terhenti, tetapi kemudian dilanjutkannya.

Gajah Sora mengangkat dahinya. Terbayanglah apa yang selama ini dialami. Meskipun ia mendapat perlakuan yang baik, namun sangat terbatas. Ia sudah tahu seluruhnya, peran apakah yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora. Dan yang datang dengan ragu-ragu itu adalah adiknya.

Adiknya, yang dengan sengaja pernah menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang sulit. Ia tahu betul bahwa adiknya itu bernafsu untuk memiliki kekuasaan yang lengkap, seperti apa yang pernah dimiliki oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana.

Wajah Ki Ageng Gajah Sora menjadi tegang sekali ketika langkah Ki Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya beberapa langkah di hadapannya. Keduanya tegak seperti dua patung yang hampir serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang Pamingit dan Banyubiru yang melihat peristiwa itu menjadi tegang pula. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa yang seharusnya mereka lakukan.

Suara di dalam banjar desa yang tinggal separo itu masih riuh. Terdengar suara Gajah Alit seperti air yang mengalir, diselingi oleh gelak tertawanya yang menonjol daripada suara orang-orang lain. Nadanya tinggi agak sumbang. Adalah pembawaannya sejak anak-anak, apabila ia menjadi seorang periang dan senang berkelakar dalam keadaan apapun. Paningron, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya kadang-kadang saja terdengar tertawanya menyentak, sedang Arya Salaka dan Rara Wilis tampak hanya tersenyum-senyujum tertawa terkekeh-kekeh. Apalagi ketika sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora selama di Demak.

Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang pintu, tidak begitu tertarik pada ceritera Gajah Alit. Hanya kadang-kadang saja tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia mendengar ceritera Gajah Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana Senapati Demak yang bulat pendek itu tertawa.

Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguh-sungguh ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora merenggangkan kakinya. Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam tata gerak bela diri, ia melihat bahwa ada sesuatu di antara renggang kaki Gajah Sora, juga sepasang kaki yang renggang.

Cepat-cepat Widuri mengamit tangan ayahnya sambil berbisik, “Ayah, kenapa dengan Paman Gajah Sora?”

Kebo Kanigara segera memaklumi. Ia dapat melihat lewat samping kaki Gajah Sora. Di dalam gelap, dilihatnya seseorang yang sudah dikenalnya, Ki Ageng Lembu Sora.

Pertemuan itu menjadi terganggu. Semua melihat perubahan wajah Widuri dan Kebo Kanigara. Dengan cemas Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, “Ada apa Anakmas?

Putra Ki Ageng yang muda telah datang,” jawab Kebo Kanigara.

Segera orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia meloncat berdiri dan langsung melangkah ke luar pintu. Hampir saja ia melanggar Ki Ageng Gajah Sora yang masih berdiri membelakangi pintu.

Lembu Sora…” kata orang tua itu, “Inilah kakakmu yang sudah lama kau tunggu.

Kata-kata orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada Lembu Sora. Sebenarnya iapun sama sekali tak bermaksud apa-apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam pondoknya, berlepas baju karena udara yang panas, datanglah utusan ayahnya, memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak terasa tubuhnya gemetar, dan dengan serta merta timbullah keinginannya untuk memeluk kaki saudara tua yang pernah disengsarakannya itu untuk minta maaf. Lembu Sora segera meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan tergesa-gesa, ia mengenakan baju itu di sepanjang jalan, sambil berteriak, “Cari Sawung Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap Kakang Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan.”

Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar desa itu, dan melihat bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti sikap seekor gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya nanti tidak tiba-tiba saja memukul kepalanya selagi ia sedang memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang berada di muka pintu itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu-raguannya itu, dan karena kesadaran diri akan kesalahannya yang bertimbun-timbun, ia beberapa kali terhenti. Bahkan yang terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak dapat lagi memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia melihat ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia pun menarik kakinya merenggang.

Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan itu, kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang untuk minta maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan memaafkannya atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah kakaknya akan memukul hancur kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya. Karena itu sekali lagi ia memaksa diri, mengusir ketakutannya untuk melihat kesalahan dirinya sendiri. Dengan langkah yang gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Yang dilakukan hanyalah mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya berdesir lambat, “Kakang Gajah Sora….”

Gajah Sora masih berdiri tegang. Di belakangnya, di mulut pintu telah berdiri beberapa orang berdesak-desakan. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit. Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah baginya untuk melenyapkan segala kenangan pahit yang harus ditelannya. Semuanya itu adalah akibat dari perbuatan adiknya itu.

Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan di hati anaknya yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya selama ini. Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi pada saat terakhir, Lembu Sora telah menemukan kembali jalan kebenaran. Karena itu ia berkata, “Adikmu telah lama menunggumu. Dalam limpahan kasih keluarga Pangrantunan, ia telah menemukan titik-titik terang dalam hidupnya.”

Gajah Sora menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong, disambutnya tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak saja menggenggam tangannya itu erat-erat, tetapi diciumnya, dan dibasahinya tangan itu dengan air mata.

Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya itu, kini perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam hatinya.

Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki yang tak mengenal takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan setinggi awan, yang berkelana di langit biru, yang karenanya telah melupakan tata subasita, bahkan telah melupakan kulit daging sendiri, kini seperti kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air mata sambil menggenggam tangan kakaknya.

Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya. Dikenangkannya pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa mereka sering bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau Gajah Sora sedang asyik membuat mainan dari kayu atau dari bambu, kemudian datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang-kadang Gajah Sora yang belum puas menikmati permainannya pun menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu kembali. Tetapi Lembu Sora mempertahankan dengan tangisnya. Kalau demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan hati Gajah Sora. Ia tidak akan meminta permainan itu kembali.

Seperti saat ini. Pada saat-saat yang demikian itulah letak kelemahan Gajah Sora. Kelemahan yang dimiliki sejak masa kanak-kanaknya. Sejak ia harus bekerja keras membantu ayah bundanya, membangun tanah perdikan Pangrantunan.

Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora berkata, “Kakang, aku iri hati melihat kamukten Banyubiru. Aku ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa rinduku kepada suatu masa yang gemilang dari perjalanan hidupku, dengan memiliki daerah bekas tanah perdikan Pangrantunan seutuhnya,”  seandainya demikian, maka Gajah Sora pasti akan hancur dengan sendiri. Pastilah dengan gemetar ia berkata, ”Terserahlah Lembu Sora.” Tetapi, tetapi seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan tangan bertolak pinggang. Menuding di depan hidungnya sambil berteriak, “Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah milikku.” Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya, dan akan dijawabnya dengan lantang, “Marilah Lembu Sora, lampaui mayatku dahulu.”

Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Lembu Sora tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru, dan Lembu Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya sendiri. Baru saja, dalam saat yang pendek dialami, betapa pahitnya daerah Pamingit yang dilanda oleh arus peperangan. Betapa pedih hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-rumah dan banjar-banjar desa, mendengar pekik tangis perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk memperpanjang hidupnya. Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret ke jalan-jalan.

Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah yang bertingkah mengundangnya. Ternyata dalam sejarah hidup manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata: perang, perang, perang!

Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu dirindukan.

 Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan ceritera-ceritera yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan pedagang asing di pantai Nusantara. Negara-negara Parangakik, Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam kebiadaban api peperangan.

Dan peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran Majapahit.

Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian, setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang membelit dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang menghujam ke dalam jantung kalbunya. Dan ia belum terlambat.

Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan-lahan. “Masuklah Lembu Sora.

Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi ia mengangguk dan melangkah ke pintu.

Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya adalah Ki Ageng Sora Dipayana.

Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya, bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat laskar Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya.

Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan di atas firman-Nya.

Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu. Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena marah.

Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.

Perempuan,” bisik Sawung Sariti.

Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.

Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib? Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?” Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.

Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari Demak itu di sini?”tanya Galunggung tiba-tiba.

Sawung Sariti mengerutkan keningnya. “Entahlah,” jawabnya, “Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat laskar Demak, dahulu.”

Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya, “Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.

Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang tinggi.

Laskarnya,”  sahut Galunggung, “apakah kira-kira hanya dua orang itu saja?

Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti, “Barangkali ia mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah Paman Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.”

Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab Galunggung.

Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.

Marilah kita pergi,” ajak Sawung Sariti.

Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?” tanya Galunggung.

Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya, “Buat apa?”

Dan Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorang pun yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti. Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun. Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh kegelapan.

Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan yang masuk ke Demak, pencegatan itu dilakukan oleh golongan hitam.

Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman, “Siapakah yang berada di dalam?

Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang.

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya, “Seseorang memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?”

Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis. Dari lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam. Maka salah seorang menjawab, “Ya, Ki Ageng, salah seorang di antaranya adalah Rara Wilis.

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Aku sudah rindu kepadanya,” katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Angger Rara Wilis agaknya eyangmu telah datang.”

Ya, Eyang,” jawabnya, “Aku sudah mendengar suaranya.”

Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang prajurit dalam pakaiannya.

Silahkan Ki Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.

Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku kira hanya orang-orang kita sendiri, tetapi agaknya ….” suaranya terputus, lalu sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil berkata, “Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau katakan, Ki Ageng?” Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun tangannya terancung kepada Gajah Sora.

Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil membungkuk hormat ia menjawab, “Terimakasih, Paman.”

Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa cucunya Rara Wilis. “Kau bertambah kurus Wilis,” katanya.

Rara Wilis menundukkan wajahnya.

Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya. Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri, “Tidak Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset. Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.”

Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.

Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.

Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas. Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam suasana yang menyenangkan.

Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak menentu. Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok. Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga. Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang lenyapnya laskar hitam dari Pamingit. Namun agaknya malam telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing dibawa ke pondok yang sudah disediakan, meskipun berpencar-pencar.

Malam menjadi sepi. Namun Ki Ageng Gajah Sora tidak segera dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru benar-benar menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, yang kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari mereka Gajah Sora juga mendengar bahwa anaknya, Arya Salaka, benar-benar luar biasa. Jaladri pernah melihat Arya Salaka bertempur melawan Lawa  Ijo. Tidak saja dalam pertempuran besar beberapa hari yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun pernah dilihatnya. Ia sama sekali tidak menyangkal ceritera itu. Bukan sekadar ceritera yang berlebih-lebihan, namun ceritera itu benar-benar terjadi. Dirinya sendiri pernah membuktikan betapa anak muda yang bernama Arya Salaka itu mampu melawannya.

Selagi Ki Ageng Gajah Sora duduk bersama dengan anak-anak Banyubiru, sebelum ia diantar ke pondoknya, Arya Salaka telah mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara. Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ketika gurunya dan Kebo Kanigara telah berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu menunggu kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di tempat itu bersama-sama mereka. Sedang di pondok sebelah adalah tempat untuk beristirahat kedua prajurit dari Demak, Paningron dan Gajah Alit.

Ketika Arya Salaka sedang merenungi titik-titik yang jauh di dalam gelap malam, tiba-tiba dilihatnya seseorang lewat di muka pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti perempuan. Orang itu berhenti sejenak, lalu melambaikan tangannya kepada Arya Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri mendekatinya. Sambil membungkuk hormat, ia bertanya, “Adakah sesuatu, Eyang Titis Anganten?

Aku ingin mengatakan kepadamu dalam pertemuan tadi, namun aku tidak sampai hati merusak suasana yang gembira itu. Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari keluarga Banyubiru dan Pamingit,” jawab Titis Anganten.

Cepat hati Arya bergeser ke ibunya. Dahulu orang tua itulah yang memberitahukan kepadanya, bahwa ibunya selamat. Dan sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan Pamingit yang tercecer.

Ya,” sahut Arya, “Agaknya Eyang Sora Dipayana tidak ingat lagi kepada ibu.”

Ah. Jangan berkata begitu Arya,” potong Titis Anganten, “Eyangmu sudah tahu, kalau ibumu aku selamatkan. Agaknya ia segan untuk dengan tergesa-gesa menyuruhku mengambilnya. Karena itu dibiarkannya saja sampai aku datang membawanya kembali.”

Arya menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur menyangka eyangnya melupakan ibunya.

Sekarang…” Titis Anganten meneruskan, “Aku ingin mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu datang tanpa disangka-sangka.”

Terimakasih, Eyang,” jawab Arya, “Di manakah Ibu sekarang?”

Masih di pengungsiannya,” sahut Titis Anganten, “Aku kira keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak keberatan, jemputlah. Tak usah orang-orang tua seperti aku.”

Baik Eyang,” sahut Arya, “Tunjukkan aku tempatnya.”

Tidak terlalu jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di Sarapadan,” jawab Titis Anganten.

Sarapadan,” ulang Arya.

Ya, desa kecil yang tak berarti. Aku memang menyangka desa itu tak akan menarik perhatian. Dan ternyata memang demikian. Orang-orang dari golongan hitam itu sama sekali tak tertarik untuk singgah. Dan hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang dapat aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit datang dari Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya laskarmu datang pula bersama gurumu dan Kebo Kanigara yang mengaggumkan itu,” kata Titis Anganten.

Di mana letak dusun itu?” tanya Arya.

Titis Anganten memberinya sekadar petunjuk, namun kemudian katanya tanpa berprasangka, “Ah, aku kira lebih baik pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.”

Arya mengerutkan keningnya. Sesuatu berdesir di dalam hatinya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang mengganggunya apabila ia mendengar nama saudara sepupunya. Namun ia tidak dapat berkata sesuatu kepada Titis Anganten.

Arya...” Orang tua itu meneruskan, “Aku kira Sawung Sariti telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku kira ia pun mengenal Sarapadan. Apalagi ibunya pun di sana.

Arya masih berdiam diri, dan agaknya Titis Anganten tidak memperhatikan anak muda itu. Sebab ia segera berkata pula, “Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun bersedia.”

Baiklah Eyang,” jawab Arya. Namun tidaklah baik baginya untuk mengajak orang tua itu. Dengan demikian ia akan menjadi anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu tanpa pertolongan orang lain, namun pergi bersama Sawung Sariti pun ia agak segan-segan.

Tetapi anak itu sudah baik,” pikirnya. Sementara itu kakinya melangkah tlundak pintu langsung ke pembaringan gurunya.

Paman,” katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya masih belum tidur.

Mahesa Jenar mengangkat kepalanya, “Ada apa Arya?”

Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten.

Kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.

Arya Salaka menganguk sambil menjawab, “Ya, Paman.”

Kau tidak menunggu Ayah?” tanya Kebo Kanigara yang berbaring di bale-bale, di samping Mahesa Jenar.

Tiba-tiba Arya ingin mengejutkan ayahnya. Kalau ayah datang nanti mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya. Bukankah Sarapadan tidak begitu jauh? Meskipun seandainya ayahnya dahulu datang, kemudia baru ibunya pun, akan dapat menggembirakan hati ayahnya itu.

Karena itu ia menjawab, “Tidak Paman. Aku ingin mengejutkan hati Ayah.”

Dengan siapa kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.

Eyang Titis Anganten bersedia mengantarkan aku kalau aku memerlukannya. Kalau tidak, maka Eyang menyuruhku mengajak Sawung Sariti,” jawab Arya Salaka.

Mahesa Jenar bangkit dan duduk di bale-bale itu. Tampak ia sedang berpikir. Di dalam dadanya berdesir pula perasaan seperti perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun berdiam diri.

Aku segan untuk meminta Eyang Titis Angenten mengantarku,” kata Arya Salaka.

Apakah Sarapadan tidak jauh?” tanya Kebo Kanigara.

Tidak,” sahut Arya, “Menurut eyang Titis Anganten, Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.”

Pergilah,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Tetapi berhati-hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa siapapun. Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat. Juga tidak perlu Sawung Sariti. Setiap orang Pamingit akan dapat menunjukkan letak desa itu.”

Baiklah Paman,” sahut Arya. Kemudian ia pun minta diri kepada gurunya dan kepada Kebo Kanigara. Ia bermaksud untuk pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu jauh. Jalur jalannya pun telah ditunjukkan oleh Titis Anganten. Sehingga ia akan dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya kepada siapa saja yang akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda atau penjaga gardu.

———-oOo———-

 III

Maka segera Arya pun berangkat. Malam menjadi semakin dalam. Namun bintang di langit bertebaran di segala penjuru. Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan suara-suara anjing liar yang berebut makanan. Sekali-kali di kejauhan terdengar suara buruang hantu menggetarkan udara.

Tiba-tiba di sudut desa, Arya terhenti. Dilihatnya dua orang berdiri sebelah-menyebelah di kedua sisi jalan. Namun segera Arya mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan pengawalnya yang setia, Galunggung.

Bukankah kau ini Kakang Arya Salaka?” sapa Sawung Sariti.

Ya, Adi,” jawab Arya.

Ke manakah Kakang akan pergi di malam begini?” tanya Sawung Sariti pula.

Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Kalau ia berkata sebenarnya maka ada kemungkinan Sawung Sariti akan ikut serta. Padahal, meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, namun berjalan bersama-sama dengan adiknya, ia masih terasa segan. Tetapi ia tidak menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab dengan berterus terang. “Aku akan menjemput Ibu ke Sarapadan.”

Adakah Bibi Gajah Sora di Sarapadan?” bertanya Sawung Sariti.

Ya,” jawab Arya singkat.

Kalau demikian, ibuku juga di sana?” tanya Sawung Sariti pula.

“Ya,” jawab Arya pula.

Dari mana Kakang tahu?” desak Sawung Sariti.

Eyang Titis Anganten,” sahut Arya Salaka.

Sawung Sariti mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak. Kemudia ia berkata, “Aku pergi bersama-sama dengan Kakang.”

Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena itu ia menjawab, “Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku akan berterima kasih.”

Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian terdengar ia berkata, “Kita ikut.”

Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.

Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring-iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang tersangkut di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu. Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.

Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka Banyubiru. Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.

Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu” pikirnya. Dan kadang-kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu. Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang dalam dingin malam.

Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya. Dan berkatalah ia dengan serta merta, ”Adi apakah benar jalan ini jalan ke Sarapadan?”

Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan heran, ”Ya inilah jalan itu. Kenapa?”

Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Dikejauhan di wajah taburan bintang dilangit ia melihat sepasang pohon siwalan. Katanya, ”bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon siwalan itu?”

Siapa bilang?” bertanya Sawung Sariti.

”Eyang Titis Anganten” jawab Arya Salaka.

Eyang Titis Anganten keliru” sahut Sawung Sariti.

Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa Titis Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak mungkin orang tua itu salah.

Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab, “Adi, eyang Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang Titis Anganten akan salah jalan dalam jarak empat lima bulak saja?”

Aku adalah anak Pamingit” jawab Sawung Sariti, “sejak bayi aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal Sarapadan?

Memang, sebenarnyalah demikian.

Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang berbisik, “Pilihlah jalan sendiri.”

Karena itu Arya berkata, “Adi, barangkali ada jalan lain ke Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang Titis Anganten pada saat itu.”

Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua itu daripada kepadaku?” bertanya Sawung Sariti.

Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya, “Adi, baiklah aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar-benar seorang perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan itu tak aku ketemukan, aku akan kembali ke Pamingit. Mengajak orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan kepadanya, bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat menemukan jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang Titis Anganten jaraknya beribu-ribu kali lipat.”

Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan terdekat ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata, “Baiklah kakang Arya, kau lewat jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal baik-baik. Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan, namun jalan yang akan kau tempuh itu agak terlalu jauh.”

Tidak apalah adi” jawab Arya, “lalu bagaimana dengan adi Sawung Sariti?”

Aku akan mengambil jalan ini” sahut Sawung Sariti.

Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita bisa pulang bersama-sama” berkata Arya Salaka.

Tidak perlu” jawab Sawung Sariti, “kita sudah berselisih jalan di sini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput ibuku, kau jemput ibumu.”

Arya menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku. Namun Arya masih mencoba berkata, “Apakah kata ibu-ibu kita itu nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang bersama-sama.”

Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti, “Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung Sariti.”

Hem!” terdengar Arya mengeluh.

Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.

Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit. Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau menyusur tepi parit. Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil. Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan terus sampai dimasukinya desa Sarapadan.

Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya, “Jalan itu pun akan sampai ke Sarapadan.”

Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu berprasangka.

Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng yang terjal. Di sana segala sesuatu akan dapat terjadi. Satu sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah membawanya lewat jalan lain.

Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat. Sedang Galunggung pun menggeram tak habis-habisnya. Ketika Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan kemudian bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit, memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun mengetahuinya.

Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain. Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam. Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh. Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka telah lenyap pula.

Kakang Arya akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung Sariti.

Ya,” jawab Galunggung singkat.

Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung Sariti meneruskan.

Belum pasti” jawab Galunggung, ”anak itu lebih senang berjalan di jalan, daripada menyusur pematang dan tanggul-tanggul”

Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di dalam kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak sepupunya.

Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia mengharap bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki. Mungkin akan didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan berlipat-lipat pula.

Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah Galunggung, “Angger Sawung Sariti. Kita masih mempunyai kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah, lewat pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah.

Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti, “Kita cegat Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan mana yang dilewati.”

Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung, “Kita cegat Angger Arya di sebelah pohon nyamplung.”

Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin baik juga.”

“Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan, “Kita harus segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”

Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian menyusur pematang, menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya tak dapat melihatnya.

Demikianlah, dengan bergegas-gegas kedua orang itu berjalan memotong arah. Mereka berjalan di atas pematang-pematang, tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka. Karena Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka ia dapat memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan yang dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah mereka berjalan dengan sangat hati-hati, menyusur batang-batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka terjun ke anak sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang bersilang di atas anak sungai itu, mereka memotong jalan. Mereka mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan dapat mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung.

Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil menikmati angin malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis Anganten. Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah cemas, bahwa ia akan tersesat.

Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya parit. Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit.

Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik di dalam parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil memperhatikan airnya.

Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di tepi jalan. Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian juga Galunggung, harus sudah siap. Meskipun kemampuan bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya Salaka, namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama-sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua.

Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung yang rimbun. Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik, menyampaikan kabar yang mengerikan.

Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan. Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu, pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit.

Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat. Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-main dengan percikan airnya.

Tetapi, akhirnya dari balik tikungan itupun muncul sebuah bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam keremangan malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan kecil di muka pohon nyamplung itu.

Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah. Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan sangat berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus melakukan tugas-tugas mereka yang berat.

Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang.

Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu sama sekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan, bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.

Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat, makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain. Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang itu bukanlah yang mereka tunggu.

Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan, “Bukan itu orangnya, Angger.

Setan!” Sawung Sariti mengumpat, “Ada juga malam-malam orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang sama sekali ini.”

Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.

Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut Galunggung.

Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula.

Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.

Galunggung pun kemudian berdiam diri. Orang itu sudah semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah Arya Salaka.

Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada yang ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil memeluk lututnya.

Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan. “Gila!” pikirnya, “Apa kerjaannya orang itu?

Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu muncul di tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba-tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya?

Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah. Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ, maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka akhirnya Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu. “Apa pekerjaanmu di sini?” bentaknya.

Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar, jawabnya, “Aku, aku tidak apa-apa.”

Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung Sariti.

Kenapa?” tanya orang itu.

Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti “Tetapi pergi sekarang.”

Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah darimana ia datang.

Jangan ke sana,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau orang itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.

Ke mana?” tanya orang itu.

Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang berlawanan.

Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu.

Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi semakin marah

Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.”

Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,” jawab orang itu, “Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini harus berada di sini.

Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.

Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja seperti patung.

Galunggung akhirnya tidak sabar sama sekali melihat orang itu masih berdiri di sana dengan mulut ternganga. Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Binasakan saja orang itu, sebelum anak itu datang.

Jangan, jangan!” teriak orang itu.

Jangan berteriak,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya mendengarnya. Namun dengan demikian waktu mereka menjadi semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini. Karena itu, akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus disingkirkan. Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi membentaknya, “Pergi, cepat!”

Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja seperti orang yang kehilangan kesadaran. Karena itu maka Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya dengan paksa. Karena itu katanya, “Singkirkan dia, Galunggung.”

Galunggung yang sejak tadi sudah kehilangan kesabaran segera menggeram sambil meloncat. Pedangnya tepat mengarah ke hulu hati orang yang masih berdiri kebingungan itu. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang tak pernah dibayangkan. Dalam mimpi pun tidak. Orang itu, dengan tangkasnya memiringkan tubuhnya. Dengan demikian, maka pedang Galunggung menyentuhpun tidak. Sehingga Galunggung terseret oleh kekuatan sendiri dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan. Pada saat ia berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah genggaman mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan yang kuat, ia terseret kedepan. Ia kemudian tidak mampu menolong dirinya, ketika tiba-tiba terbanting tertelungkup, masuk persawahan yang basah.

Sawung Sariti melihat peristiwa itu dengan mata yang terbelalak, yang dilihatnya adalah Galunggung itu terjerembab. Karena itulah, hatinya menjadi menyala-nyala. Pedangnya pun cepat bergerak ke dada orang yang menyakitkan hati itu.

Tetapi sekali lagi Sawung Sariti terkejut, pedangnya pun sama sekali tak menyentuh orang itu. Dengan demikian Sawung Sariti akhirnya mengetahui, bahwa orang itu bukanlah sekadar seorang yang berkeliaran di malam hari dalam keadaan yang belum tenang benar. Dengan gerakan-gerakannya dan caranya membebaskan diri, baik dari tikaman pedang Galunggung maupun dari tusukan pedangnya sendiri, tahulah Sawung Sariti, bahwa orang itu sebenarnya orang yang berilmu.

 Dengan demikian, Sawung Sariti menjadi bertambah gelisah dan marah. Usahanya untuk membinasakan Arya Salaka belum berhasil, dan kini dijumpainya lawan yang tak dapat diperingan.

Ternyatalah kemudian, ketika Sawung Sariti mengulangi serangannya, maka dengan tangkasnya orang itu berkisar dan meloncat, namun terdengar mulutnya berkata, “Ki Sanak, aku tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Kenapa kalian berusaha untuk membunuh aku.”

Sawung Sariti sudah benar-benar dibakar oleh nyala kemarahannya, maka terdengar ia menjawab, “Kau telah mengganggu pekerjaanku. Karena itu kau harus binasa.”

Aku tidak mengganggu Ki Sanak. Aku hanya sekadar memenuhi mimpiku sore tadi, bahwa aku harus datang di bawah pohon nyamplung ini,” sahut orang itu.

Omong kosong!” bentak Sawung Sariti, sementara itu pedangnya berputar semakin cepat dalam ilmu keturunan Pangrantunan. Suatu ilmu yang sukar dicari bandingnya. Apalagi Sawung Sariti memiliki kelincahan yang cukup, sehingga pedangnya seakan-akan berubah seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya.

Lawannya itu pun berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan dirinya. Seperti bayangan saja, ia meloncat-loncat dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya sama sekali tak memiliki berat. Ia meloncat dari sana kemari, berputar dan melingkar, kemudian mirip dengan seorang yang sedang bermain-main berputar di udara. Ia selalu menghindari saja setiap serangan yang datang.

Dalam pada itu Galunggung pun telah bangun kembali. Wajahnya dikotori oleh lumpur liat yang basah. Beberapa kali ia mengibas-kibaskan rambutnya. Ikat kepalanya telah hilang terlempar jauh.

Setan!” geramnya. Tetapi ia pun terbelalak ketika ia melihat orang yang akan dibunuhnya itu bertempur melawan Sawung Sariti. Ia tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang itu dapat menyelamatkan diri sampai beberapa lama. Sedangkan agaknya Sawung Sariti telah benar-benar berusaha membunuhnya.

Karena itu, maka timbullah maksud Galunggung untuk membantu momongannya. Dengan hati-hati mendekati pertempuran itu. Ia melihat pedang Sawung Sariti bergulung-gulung seperti asap putih yang melibat lawannya, namun ia melihat lawannya itu seperti anak kijang yang menari-nari keriangan di padang rumput yang hijau. Berloncatan kian-kemari, bahkan sekali-kali orang itu berkata nyaring, “Katakanlah Ki Sanak. Apa salahku?”

Persetan!” teriak Sawung Sariti. Ia sudah lupa bahwa Arya Salaka akan dapat mendengar teriakannya itu. Bahkan pedangnya menjadi semakin cepat berputar.

Galunggung kemudian tak mau membiarkan pertempuran itu berlangsung lama lagi. Ia masih ingat bahwa kedatangan mereka di tempat itu adalah menunggu Arya Salaka. Karena itu, sekuat-kuatnya, ia ingin membantu Sawung Sariti. Sebab sebenarnya Galunggung pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan.

Dengan garangnya Galunggung meloncat sambil menggeram. Pedangnya lurus memotong gerakan bayangan yang sedang menghindari serangan Sawung Sariti. Namun malanglah nasibnya. Tiba-tiba terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai pelipisnya. Demikian dahsyatnya, sehingga terasa seakan-akan bintang-bintang yang melekat di langit rontok bersama-sama menimpa dirinya. Sekali lagi Galunggung terlempar ke sawah. Kini ia jatuh terlentang. Namun, tiba-tiba dadanya berdesir ketika terasa bahwa pedangnya sudah tak berada di tangannya lagi.

Dengan susah payah ia mencoba menguasai dirinya. Perlahan-lahan Galunggung mengangkat wajahnya. Dan sekali lagi jantungnya berdentang keras ketika dilihatnya, pedangnya sudah berada di tangan lawan Sawung Sariti itu. Dengan demikian, kini ia menyaksikan sebuah pertarungan pedang yang nggegirisi. Masing-masing bergerak dengan tangkas dan tangguhnya. Namun akhirnya terasa bahwa lawan Sarung Sariti itu memiliki kekuatan dan kecepatan melampaui Sawung Sariti sendiri. Dengan demikian, beberapa saat kemudian, Sawung Sariti sudah harus mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ternyata ia telah salah langkah. Sebelum melawan Arya Salaka, sudah harus ditemuinya lawan yang tangguh dan bahkan memiliki tata gerak yang melampauinya.

Dalam kesibukan angan-angannya, tiba-tiba bagai seleret pedang Sawung Sariti melihat bayangan yang muncul dari tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu. Dalam sekejap, segera Sawung Sariti dapat mengetahuinya, bahwa orang itu adalah Arya Salaka. Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar karena kegelisahan dan kecemasan bercampur baur dengan kemarahan yang meluap-luap. Namun Sawung Sariti adalah anak muda yang licik. Tiba-tiba ia tersenyum di dalam hatinya, ketika terpikir olehnya, “Baiklah Kakang Arya kujadikan kawan kali ini. Urusan kita dapat kita selesaikan besok atau lusa.”

Sebenarnyalah yang datang itu adalah Arya Salaka. Mula-mula ia berjalan saja seenaknya sambil menikmati sejuknya angin malam. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika dilihatnya di bawah pohon nyamplung, dua orang yang sedang bertempur mati-matian. Apalagi keduanya telah memegang pedang ditangan. Karena itu Arya menjadi tertegun sejenak. Siapakah mereka yang bertempur itu? Dengan hati-hati ia melangkah mendekati. Tanpa disengaja tangannya meraba-raba lambungnya. Dan terasa sebuah benda tersentuh tangannya, Arya menjadi tenang. Sebab ia tidak tahu, siapakah yang bertempur dengan senjata itu. Kalau perlu ia harus melibatkan diri, di lambungnya terselip Kyai Suluh. Pusaka Pasingsingan yang ngedab-edabi.

Dengan demikian Arya melangkah semakin dekat. Dan alangkah terkejutnya ketika ia mengenal kedua orang yang bertempur itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Adi Sawung Sariti, apakah yang terjadi? Kakang Karang Tunggal, berhentilah.”

Sawung Sariti tidak mendengar teriakan Arya Salaka. Ia bertempur terus, bahkan ia mengharap Arya membantunya. Tetapi ketika sekali lagi ia mendengar Arya memanggil namanya dan nama Karang Tunggal, Sawung Sariti menjadi bimbang. Apakah Arya Salaka telah mengenal lawannya itu.

———-oOo———-

IV

Karang Tunggal pun segera meloncat mundur beberapa langkah untuk membebaskan dirinya dari libatan serangan Sawung Sariti yang mengalir seperti banjir, sambil berkata nyaring, “Selamat datang Adi Arya Salaka.”

Akhirnya Sawung Sariti pun terpaksa berhenti bertempur. Dadanya berdegup ketika ternyata Arya benar-benar telah mengenal lawannya itu.

Maka ia pun bertanya, “Apakah Kakang Arya telah mengenal orang ini?”

Ya,” jawab Arya Salaka, “Ia adalah Kakang Karang Tunggal.”

Hem!” geram Sawung Sariti. Pikirannya menjadi berputar-putar dilibat oleh berbagai pertanyaan. Kalau orang ini telah mengenal Arya Salaka, maka adakah hubungannya dengan kehadirannya di bawah pohon nyamplung ini?

Kakang Karang Tunggal, apakah yang terjadi sehingga Kakang bertempur melawan adi Sawung Sariti?”

Bertanyalah kepada adikmu,” jawab Karang Tunggal.

Arya mengalihkan pandangannya kepada Sawung Sariti. Matanya menyorotkan pertanyaan yang bergolak di hatinya. Untuk beberapa saat Sawung Sariti berdiam diri. Ia agak bingung, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sehingga terpaksa terluncurlah pertanyaan dari mulut Arya, “Kenapa Adi Sawung Sariti bertempur dengan kakang Karang Tunggal?”

Aku belum mengenalnya,” desis Sawung Sariti.

Apalagi Adi belum mengenalnya,” desak Arya Salaka.

Aku tidak tahu apa sebabnya,” jawab Sawung Sariti, “Tiba-tiba saja aku telah bertempur dengan orang itu.”

Arya mengerutkan keningnya. Sedang Karang Tunggal tertawa perlahan-lahan. “Aneh,” desisnya. “Aku juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja aku sudah bertempur melawan Adi yang kau sebut Sawung Sariti itu.”

Wajah Sawung Sariti menjadi merah mendengar sindiran itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, terdengar Karang Tunggal meneruskan, “Aku merasa bahwa aku telah diserangnya.”

Kau mengganggu aku,” bantah Sawung Sariti.

Menyentuhpun aku tidak,” sangkal Karang Tunggal.

Arya menjadi bingung. Tetapi ia merasa, bahwa keduanya belum berkata sebenarnya.

Suatu kesalahpahaman,” desis Arya. “Memang hal itu mungkin sekali terjadi. Namun sekarang aku perkenalkan kalian masing-masing.”

Bukan kesalahpahaman,” jawab Karang Tunggal, “Tetapi adi Sawung Sariti sengaja menyerang aku tanpa sebab.”

Bukan tanpa sebab,” sahut Sawung Sariti yang mulai merah kembali, “Kau mengganggu aku.”

Apamu yang aku ganggu?” tanya Karang Tunggal.

Sawung Sariti terdiam. Sudah tentu ia tidak dapat mengatakan apa yang sebenarnya sedang dilakukan. Namun keringat dinginnya mengalir semakin deras ketika Karang Tunggal berkata, “Aku hanya datang kemari dan duduk di bawah pohon nyamplung ini. Apa salahku?”

Sawung sariti masih belum dapat menjawab. Namun terdengar giginya gemeretak.

Yang terdengar adalah kata-kata Karang Tunggal, “Dan kenapa aku kau usir dari sini tanpa sebab? Dan aku harus berjalan ke jurusan yang kau tentukan?”

Sawung Sariti menggeram. Namun ia belum menemukan jawaban yang tepat. Sedang Karang Tunggal berkata terus, “Apakah dengan demikian aku mengganggumu? Apakah kau sedang menunggu seseorang di sini dengan pedang terhunus?”

Dada Sawung Sariti semakin berdebar-debar. Sedang Arya mengangkat alisnya. Apakah benar yang dikatakan oleh Karang Tunggal itu? Sawung Sariti menunggu seseorang dengan pedang terhunus? Kalau demikian siapakah yang ditunggunya? Pertanyaan itu tiba-tiba datang mengganggunya.

Tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti membentak keras-keras, “Jangan mengigau!”

Aku berkata sebenarnya,” sahut Karang Tunggal. Tiba-tiba kembali Arya diganggu oleh angan-angan yang tak menyenangkan hatinya. Apakah maksud Sawung Sariti sebenarnya? Dan kenapa tiba-tiba saja anak itu telah mendahuluinya? Karena itu tiba-tiba terloncat dari mulut Arya, “Apakah yang sebenarnya terjadi?”

Sudah aku katakan,” sahut Karang Tunggal, “Anak muda itu menunggu seseorang dengan pedang terhunus.”

Apa pedulimu?” tukas Sawung Sariti, “Daerah ini adalah daerah yang belum tenang. Orang-orang dari gerombolan hitam setiap saat berkeliaran di daerah ini. Apa salahnya aku duduk di bawah pohon ini dengan pedang terhunus?

Tiba-tiba Karang Tunggal tertawa. Tertawa seorang pemuda yang berdarah jantan, namun darah itu masih belum mengendap di dasar jantungnya. Ia sebenarnya telah mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh Sawung Sariti. Mula-mula ketika ia melihat Arya Salaka, ia ingin menyusul sahabatnya itu, yang berjalan bersama-sama dengan adik sepupunya, namun maksudnya diurungkan, ketika dilihatnya Arya berpisah dengan Sawung Sariti. Bahkan timbullah kecurigaannya kepada adik sepupu Arya. Dengan demikian ia mengikutinya dan mendengarkan semua percakapannya dengan Galunggung. Karena itulah sengaja ia mendahului Arya dan duduk di bawah pohon nyamplung itu. Ia tahu benar bahwa dengan demikian Sawung Sariti akan marah kepadanya.

Tetapi tidak mengapa. Sebab dengan demikian ia sudah berusaha mencegah kemungkinan itu terjadi. Meskipun ia sendiri tidak yakin, apakah dengan serangan diam-diam itu Arya akan dapat dikalahkan, namun hal yang demikian itu benar-benar berbahaya.

Terbawa oleh sifat-sifatnya yang aneh, yang dipenuhi oleh api yang menyala-nyala di dalam dadanya, Karang Tunggal yang juga bernama Mas Karebet dan mempunyai sebutan Jaka Tingkir itu memandang kehidupan sebagai suatu kancah perjuangan. Namun kejantanannya menuntut setiap perjuangan harus dilakukan dengan adil dan jujur.

 Karena itulah maka ia menjadi muak melihat cara Sawung Sariti untuk mencapai maksudnya. Ia pernah mendengar dari Ki Lemah Telasih, apa yang sebenarnya terjadi di Banyubiru. Pergolakan antarkeluarga. Pergeseran kamukten dan perjuangan untuk mempertahankan pusaka. Tafsirannya yang tepat mengatakan, bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah rentetan dari peristiwa-peristiwa itu.

Dengan demikian, akhirnya ia berkata di antara suara tertawanya yang berderai, “Hai anak-anak muda. Kenapa kalian menyembunyikan tangan kalian di balik punggung. Kenapa kalian tidak berani mengangkat dada, berkata dengan lantang? Ayo kita pertaruhkan tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Sadumuk bathuk, sanyari bumi. Mukti atau mati.”

Darah Sawung Sariti menjadi mendidih di dalam dadanya. Ia kini hampir tak dapat mengelak lagi. Agaknya Karang Tunggal telah mengetahui seluruhnya. Karena itu ia menggigit bibirnya, sedang tangannya memegang pedangnya semakin erat. Di dalam hati ia berkata, “Apa boleh buat. Kalau aku harus berhadapan dengan Arya Salaka. Aku laki-laki juga seperti dia.”

Arya Salaka masih berdiri tegak di tempatnya. Ia dapat menangkap apa yang dikatakan oleh Karang Tunggal. Dan kini ia tahu benar apa yang sedang dilakukan oleh Sawung Sariti. Karena itu dadanya pun berdesir cepat.

Di tempat itu, di bawah pohon nyamplung yang rimbun, berdirilah tiga orang anak muda yang masih berdarah panas. Anak-anak muda yang mudah terbakar oleh perasaan sendiri. Mereka masih mengukur harga diri dengan sifat-sifat kepahlawanan yang sempit. Dalam kesempitan perasaan, mereka menilai diri masing-masing dengan keberanian mereka melihat darah.

Demikianlah maka terjadilah ketegangan yang memuncak. Masing-masing menyiapkan diri untuk mempertaruhkan diri demi kehormatan nama mereka dengan gegayuhan mereka. Mereka tidak sadar, bahwa di dunia ini ada cara lain yang jauh lebih baik daripada cara yang mereka tempuh.  Dalam keadaan yang demikian, mereka melupakan bahwa ayah-ayah mereka akan dapat menyelesaikan persoalan dengan cara yang baik, dengan laki-laki sejati, tanpa setetes darah pun yang tertumpah.

Seandainya, pada saat itu hadir seorang dari ayah-ayah mereka, atau Mahesa Jenar, atau Kebo Kanigara, maka keadaannya pasti akan berbeda. Namun yang terjadi adalah, tak seorang pun dari mereka yang hadir. Tak seorang pun yang dapat memberi peringatan kepada anak-anak itu. Yang tertua diantara mereka adalah Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal adalah seorang anak muda yang sifat-sifatnya yang aneh.

Akhirnya Sawung Sariti tidak tahan lagi membiarkan hatinya bergolak tanpa ujung pangkal. Karena itu dengan lantangnya ia berkata kepada Karang Tunggal, “Hai anak perkasa, apa maksudmu sekarang?”

Tidak apa-apa,” jawab Karang Tunggal, “Aku hanya ingin melihat seseorang berlaku jantan. Tidak dengan sembunyi-sembunyi dan curang.

Persetan dengan ocehanmu!” bentak Sawung Sariti, “Kau kira aku tidak berani berhadapan seperti laki-laki?

Nah, itulah kata-kata jantan,” sahut Karang Tunggal, “Apa katamu Adi Arya Salaka?

Mulut Arya Salaka tiba-tiba seperti terkunci. Ia sama sekali tidak mengharapkan hal yang demikian itu terjadi. Tetapi ia pun tidak mau, apabila kelak ia benar-benar menjadi korban tusukan dari belakang. Dalam saat yang pendek itu pun segera ia dapat menangkap maksud yang tersirat dari perbuatan adik sepupunya itu. Menyingkirkan dirinya, untuk kelak memiliki Pamingit dan Banyubiru sekaligus.

Karena Arya masih berdiam diri, maka berkatalah Sawung Sariti, “Kakang Arya Salaka, apa boleh buat. Biarlah aku tidak tedheng aling-aling. Aku ingin kemukten atas tanah Banyubiru sekaligus selain tanah Pamingit.”

Hem!” Hanya itulah yang terdengar dari mulut Arya Salaka. Apabila selama ini, ia sudah berusaha melupakan segenap peristiwa yang terjadi atas dirinya karena pokal adik sepupunya itu, maka kini tiba-tiba terungkit kembali. Peristiwa demi peristiwa. Pada saat dirinya hampir saja dicincang di halaman rumah sendiri, kemudian setelah ia menyingkir, ia pun selalu dikejar-kejar. Apabila seorang yang bernama Sarayuda tidak menolongnya, maka ia pun kini tidak akan dapat melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Juga dikenangnya apa yang terjadi di Gedangan. Kenangannya itulah yang perlahan-lahan membakar dirinya. Dan kini, adiknya itu berdiri di hadapannya dengan pedang terhunus.

Jawab permintaanku,” sambung Sawung Sariti, “Banyubiru, Pamingit dan nyawamu.”

Adi Sawung Sariti,” jawab Arya dengan gemetar, “Jangan memaksa aku membela diri.”

Aku sebagai saksi!” Tiba-tiba Karebet berteriak, “Siapa pun yang kalah dan menang, harus menghindarkan diri dari dendam yang menimpa dari kalian terbunuh, adalah nasib malang yang menimpa diri. Aku tidak akan membuka mulutku kepada siapa pun. Tetapi kematian adalah bukan tujuan kalian terbunuh. Karena itu hindarkanlah. Namun kalian harus berjanji, bahwa kalian akan menerima keputusan yang kalian buat bersama.”

Suasana di bawah pohon nyamplung itu menjadi bertambah tegang. Dada ketiga anak muda itu bergetar cepat karena darah mereka yang bergolak. Pada saat itu Galunggung masih terkapar di tanah liat yang becek, di antara tanaman-tanaman jagung muda. Kepalanya masih terasa pening. Dengan susah payah ia berusaha untuk dapat duduk dengan tegak. Dalam keadaan itu, hatinyapun bertambah tegang. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu terdengar Karang Tunggal berkata, “Pertemuan yang demikian adalah jauh lebih baik daripada dendam yang membara di hati kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan bahwa aku adalah saksi. Dan kalian tidak akan mendendam di hati. Dengan demikian, setelah pertemuan ini selesai, selesailah urusan kalian. Laki-laki sejati tidak akan menelan ludahnya kembali.

Darah Sawung Sariti kini benar-benar telah mendidih. Sedang Arya Salaka dapat memaklumi maksud Karang Tunggal. Anak muda itu tidak mau melihat pertentangan dan dendam yang berlarut-larut. Namun cara penyelesaian ini pun sangat tidak menyenangkan hatinya. Yang sudah bulat hatinya adalah Sawung Sariti. Hidup atau matinya telah dipertaruhkan untuk mencapai maksudnya.

Demikianlah maka ketika darahnya telah bergelora membakar kepalanya, terdengarlah ia berteriak, “Kakang Arya Salaka. Melawan atau tidak melawan, aku akan menyerangmu dan berusaha membunuhmu. Itu adalah ketetapan hatiku. Dan aku telah menantimu di sini.”

Arya tidak sempat menjawab ketika ia melihat Sawung Sariti meloncat maju ke hadapannya. Beberapa langkah saja dimukanya dengan pedang yang terjulur lurus ke depan. Dengan gerak naluriah Arya mundur selangkah. Tangannya sudah siap mencabut pusaka Kyai Suluh. Namun sebelum itu dilakukan terdengarlah Karang Tunggal berkata, “Biarlah perkelahian ini menjadi adil. Kalian berdua tidak bersenjata, atau kalian berdua memegang pedang.” Sawung Sariti dan Arya Salaka tidak segera menjawab. Mereka masih berdiri di atas kaki masing-masing yang renggang. Namun sepintas lalu, berkisarlah di otak Karang Tunggal. Ia telah mendengar ilmu Sasra Birawa yang dimiliki oleh Arya Salaka dan ilmu Lebur Saketi di dalam diri Sawung Sariti. Agaknya kedua ilmu itu lebih berbahaya daripada pedang. Dengan demikian mereka tidak akan mempergunakan ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Apabila mereka akan mempergunakan, mereka harus melepaskan senjatanya, sehingga dengan demikian ada kesempatan padanya untuk mencegah terbenturnya kedua ilmu itu. Sedang pertempuran dengan pedang antara dua orang yang selincah Sawung Sariti dan Arya Salaka, biasanya tidak akan sampai pada bahaya yang sebenarnya terhadap jiwa mereka. Ia akan dapat mencegahnya apabila perlu, juga apabila salah seorang darinya telah terluka dan meneteskan darah.

Karena itu, segera ia berkata, “Adi Arya, pakailah pedang ini.”

Karang Tunggal tidak menunggu jawaban. Segera ia meloncat dan menyerahkan pedang Galunggung kepada Arya Salaka. Seperti orang yang terbius oleh keadaan yang dihadapinya, Arya menerima pedang itu dengan hati yang kosong.

“Nah, di tangan kalian telah tergenggam pedang,” kata Karang Tunggal, “Terserah kapan kalian akan mulai. Tetapi setetes darah yang mengalir dari tubuh kalian, akan merupakan keputusan jantan. Dan kalian harus menerima keputusan itu tanpa syarat.”

Arya Salaka dapat mengerti arti kata-kata Karang Tunggal. Namun Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarnya. Ketika ditangan Arya telah tergenggam pedang, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan kecepatan kilat ia meloncat dan menusuk dada kakak sepupunya. Namun Arya Salaka telah membayangkan bahwa hal yang demikian itu akan terjadi. Karena itu segera ia menghindar. Pedang Galunggung di tangannya itupun segara bergerak menyambar seperti elang di udara. Sawung Sariti segara meloncat ke samping. Matanya telah menjadi merah oleh api kemarahan dan nafsu. Karena itu kemudian kembali ia melontarkan dirinya menyerang Arya Salaka seperti datangnya angin ribut.

Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam perkelahian yang dahsyat. Arya Salaka dan Sawung Sariti adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Tenaga jasmaniah mereka sedang berkembang dengan suburnya. Perkembangan tubuh yang selalu dipupuk dan dipelihara dalam cara masing-masing. Arya Salaka telah berkembang dalam lingkaran ilmu keturunan Pengging, sedang Sawung Sariti menjadi perkasa karena ilmu keturunan Pangrantunan. Dua ilmu yang dahsyat, yang pada masa-masa lampau menjadi pasangan yang mengerikan untuk menghadapi kekuatan golongan hitam.

Karang Tunggal menyaksikan pertempuran itu dengan seksama. Ia melihat betapa keduanya sambar-menyambar dengan tangkasnya seperti sepasang burung rajawali yang bertempur di udara. Namun sesaat kemudian keduanya telah berubah menjadi seekor harimau yang garang dengan kuku-kukunya yang tajam melawan seekor banteng yang kokoh kuat dengan tanduk-tanduknya yang runcing mengerikan. Tetapi Karang Tunggal sama sekali tidak mencemaskan mereka. Ia melihat kekuatan dan ketangkasan pada kedua belah pihak. Karena itu ia bersyukur bahwa keduanya telah bertempur dengan senjata. Kalau saja mereka bertempur dengan tangan mereka, maka ia pasti akan melihat bahwa tiba-tiba saja akan berbenturanlah ilmu Sasra Birawa dan Lebur Saketi. Kalau ilmu itu tidak seimbang maka salah seorang di antaranya pasti akan hancur lumat bagian dalam tubuhnya.

Pedang di tangan Sawung Sariti berputar dengan cepatnya. Semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan. Bahkan kemudian seakan-akan berubah menjadi ribuan mata pedang yang menusuk dari ribuan arah. Namun Arya Salaka adalah murid dari perguruan Pengging lewat seorang yang bernama Mahesa Jenar. Karena itu pedangnya pun mampu membentengi dirinya seperti sebuah bola baja yang melingkari tubuhnya. Tak seujung jarum pun dapat ditembus oleh tajam pedang lawannya.

Bahkan Arya Salaka tidak saja mampu mengurung dirinya dengan bola baja yang kokoh dan kuat, namun sekali-kali serangannya pun menyambar dengan dahsyatnya. Tidak terlalu sering, namun setiap sambaran pedangnya cukup mendebarkan hati lawannya.

Demikianlah mereka tenggelam semakin dalam, dalam pertempuran yang menyeramkan itu. Masing-masing telah mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya. Mereka melingkar-lingkar dan berputar-putar dalam satu daerah yang dilindungi oleh rimbunnya pohon nyamplung. Sekali-kali mereka berloncatan sambar-menyambar, mengelilingi pokok pohon nyamplung yang besar itu. Pedang mereka berkilat-kilat seperti tatit yang beterbangan di langit. Benturan-benturan kedua senjata itu sedemikian dahsyatnya sehingga bunga api memercik di udara.

Karang Tunggal akhirnya mengagumi juga ketangkasan mereka. Kelincahan dan keprigelan Sawung Sariti dan ketangguhan serta ketangkasan Arya Salaka merupakan tanding yang dapat menghentikan denyut jatung.

Namun kekuatan jasmaniah Arya Salaka ternyata melampaui kemampuan Sawung Sariti. Tempaan yang bertahun-tahun disepanjang perantauan, menuruni lembah dan tebing-tebing, perburuan di hutan-hutan dan pergulatan melawan ombak lautan, telah menjadikan tubuh Arya Salaka sekokoh belit karang. Otot-ototnya seakan-akan telah mengeras, sekeras besi. Kulitnya yang merah kehitam-hitaman terbakar matahari setiap hari itu seolah-olah menjadi lapisan tembaga yang melindungi tubuhnya dari setiap bahaya yang menyentuhnya.

Karena itulah maka akhirnya kesegaran tubuh Arya Salaka telah ikut serta menentukan pertempuran itu. Benturan-benturan yang terjadi di antara kedua pedang itu tampak, bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada Sawung Sariti.

Demikianlah pada suatu ketika, Sawung Sariti kehilangan keseimbangan sesaat setelah pedangnya beradu dengan pedang Arya Salaka. Karena dorongan yang keras, Sawung Sariti terdesak selangkah surut, serta tubuhnya terputar setengah lingkaran. Pada saat yang demikian, dengan kecepatan yang luar biasa pedang Arya Salaka terjulur ke dadanya. Sawung Sariti cepat berusaha menghindarkan diri. Ia memutar tubuhnya setengah lingkaran pula dalam arah yang sama, sedang ia mengangkat pedangnya, berusaha untuk menangkis serangan lawannya. Sebagian Sawung Sariti berhasil. Pedangnya memukul pedang Arya Salaka ke samping. Namun kekuatan Sawung Sariti pada saat ia melingkar tidaklah sepenuh kekuatan Arya Salaka. Sehingga dengan demikian, pedang Arya masih menyentuh pundak kanannya. Sebuah goresan telah menyobek kulit Sawung Sariti. Dan dari luka itu melelehlah cairan yang berwarna merah segar. Darah.

Sawung Sariti terkejut, ketika terasa sebuah goresan menyengat pundaknya. Ia segera meloncat mundur. Tanpa disengaja tangan kirinya meraba pundaknya. Dan cairan yang hangat terasa di telapak tangannya. Terdengarlah ia menggeram dan giginya gemeretak.

Pada saat itu Karang Tunggal meloncat ke depan dan berdiri di antara mereka. Dengan lantang ia berkata, “Keputusan telah jatuh. Darah telah menetes dari luka.

Sawung Sariti memandang Karang Tunggal dengan mata yang berapi-api. Darahnya serasa mendidih di dalam dadanya. Katanya tidak kalah lantangnya, “Apa maksudmu?”

Perjanjian kita mengatakan, keputusan diambil secara jantan. Kalau darah telah menetes, pertempuran berakhir, dan selesailah persoalan kalian,” sahut Karang Tunggal.

Apa keputusan itu?” tanya Sawung Sariti.

Seperti yang kita janjikan. Bukankah kalian sedang bertaruh di atas tanah Pamingit dan Banyubiru?” jawab Karang Tunggal.

Mata Sawung Sariti menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah benar-benar memuncak.

Tidak ada pertaruhan apa-apa!” Tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka yang sudah berhasil menenangkan diri. “Marilah kita lupakan persoalan kita.”

Karang Tunggal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Betapa besar jiwa sahabatnya itu.

Bagus,” katanya, “Kalian tetap pada kedudukan kalian masing-masing sebagai putra kepala daerah perdikan yang terpisah.”

Bagi Sawung Sariti semuanya itu seakan-akan merupakan ejekan atas kekalahannya. Didorong oleh harga diri dan dilambari oleh nafsu yang melonjak lonjak, maka Sawung Sariti telah lupa pada segalanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada darahnya yang bersumber dari saluran yang sama dengan Arya Salaka. Lupa akan sifat kepribadian yang sejak lama mencekam tata kehidupan daerah ini. Ia sudah tidak memperdulikan lagi segala galanya. Dengan suara nyaring ia berkata “Laki laki tidak mengenal darah yang menetes dari luka. Ayo kakang Arya Salaka, bersiaplah. Kita bertempur antara hidup dan mati.”

Dada Arya bergetar mendengar tantangan ini, ia tidak menghendaki hal demikian terjadi. Namun terasa pula bahwa dendam yang membara didada adiknya itu tak akan padam. Karena itu ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Ia menyesal mengapa tidak mengajak gurunya atau ayahnya menjemput ibunya. Kalau demikian keadaannya mungkin berbeda. Tetapi didalam hatinya melontarlah kata-kata “kalau Sawung Sariti tidak melakukannya sekarang, maka akan akan datanglah saatnya pertentangan yang memuncak. bara api yang tersimpan didalam dada anak itu bagai bara api yang tersembunyi didalam sekam. Setiap saat akan berkobar membakar dirinya.”

Dalam pada itu Karang Tunggalpun menjadi kecewa. Sawung Sariti ternyata tidak berjiwa besar. Karena itu akhirnya ia berkata “kenapa kau mengingkari janji ?”.

Aku tidak pernah berjanji. Dan aku sudah berkata, melawan atau tidak, aku akan bunuh kakang Arya Salaka,” jawab anak muda yang mata gelap itu.

Suasana dibawah pohon nyamplung kini benar benar dicekam oleh ketegangan yang memuncak. Gemersik daun daunnya yang rimbun terdengar seperti lagu maut yang membelai hati ketiga anak-anak muda yang sedang berdiri mematung dibawahnya.

Arya Salaka masih berdiri dalam kebimbangan hati. Apa yang harus dilakukan?

Tiba-tiba terdengar Sawung Sariti berkata seperti guruh dimulai hujan. “Jangan tegak seperti patung. Aku ulangi, melawan atau tidak, aku akan membunuhmu. Bersiaplah. Aku akan mulai.”

Tunggu dulu,” sahut Arya Salaka.

Tetapi Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia telah meloncat seperti seekor serigala lapar menerkam mangsanya. Demikian cepat dan tiba-tiba sehingga Arya dan Karang Tunggal menjadi terkejut karenanya. Arya sama sekali tidak menduga Sawung benar-benar akan mengancam jiwanya pada saat ia sedang mencoba mencegah perkelahian. Karena itu ia agak gugup. Ia melihat pedang adik sepupunya yang besar dan panjang tiba-tiba saja terjulur kedadanya. Dengan segala kemampuan yang ada padanya ia mencoba memukul pedang tersebut. Namun terlambat. pedang Sawung berhasil mematuk dadanya. Kemudian sebuah goresan yang panjang membekas menyilang. Perasaan pedih menjalar menyusur segenap sarafnya. Arya berdesis perlahan. Untunglah ia tangkas, sehingga goresannya tidak dalam. Namun demikian darah yang mengalir dari luka itu, seakan akan minyak yang akan menyiram api kemarahan anak muda dari Banyubiru. Arya Salaka bukan anak dewa ataupun malaikat dari langit. Karena itu, maka iapun memiliki sifat-sifat anak muda pada umumnya. Darahnya yang panas, serta jiwanya yang meledak-ledak. Selagi Arya Salaka masih memiliki sifat-sifat manusia pada umumnya. Marah, dendam dan nafsu mempertahankan diri.

Demikian akhirnya Arya telah kehilangan semua kesabaran serta kelunakan hati. Yang didalam dadanya kini adalah kemarahan yang menyala nyala seperti api membakar hutan kering di lereng bukit dalam arus angin yang kencang. Hilanglah kini pengamatannya atas adik sepupunya. Yang ada di hadapannya kini adalah lawan yang sedang mempertaruhkan hidup atau mati. Karena itulah maka sambil menggeram keras Arya meloncat dengan tangkasnya, kemudian seperti badai ia menyerang Sawung Sariti. Namun Sawung Sariti telah bertekad bulat untuk bertempur mati-matian.

Namun, Sawung Sariti pun telah bertekad bulat. Ia telah memutuskan untuk bertempur mati-matian. Ia tidak akan mau hidup bersama-sama dengan kakak sepupunya dalam lingkungan langit yang sama. Kakak sepupunya atau ia yang harus mati.

Maka terulang kembali pertempuran sengit dibawah pohon nyamplung. Pertempuran antara dua anak muda yang darahnya sedang mendidih sampai kekepala.

Karang Tunggal kini berdiri seperti tonggak. Ia benar-benar menjadi kecewa. Ia kini tidak bisa berharap bahwa dendam diantara keduanya akan terhapus karena ucapan jantan. Karena itulah ia melangkah perlahan-lahan menepi dan duduk ditepi jalan bersandar pokok pohon nyamplung.  Untuk menghilangkan kejengkelan hatinya, tiba-tiba Karang Tunggal berteriak keras-keras, “Aku tidak peduli lagi dengan kalian. Apa yang terjadi kemudian, aku tidak turut campur. Juga seandainya kalian mati bersama-sama, aku akan berdendang lagu Kinanti, sama sekali bukan Megatruh!”

Meskipun kata-kata Karang Tunggal itu bergetar memenuhi udara, namun Sawung Sariti dan Arya Salaka tak mendengarnya. Perhatian mereka sepenuhnya telah tertumpah pada perjuangan mereka untuk mempertahankan hidup masing-masing.

Pertempuran kali inipun semakin lama menjadi semakin memuncak. Masing-masing telah melepaskan segenap ilmu pedang mereka. Ilmu pedang dari perguruan Pengging melawan ilmu pedang dari perguruan Pangrantunan. Dua ilmu yang seimbang dan dimiliki oleh dua orang anak muda dalam tataran yang seimbang pula.

Namun, sekali lagi nampak, betapa kekuatan jasmaniah Arya Salaka berada selapis lebih dari Sawung Sariti. Itulah sebabnya maka Sawung Sariti berusaha mempergunakan kelincahannya untuk memukul lawannya. Namun agaknya Sawung Sariti tidak akan berhasil. Sebab Arya Salaka pun mampu bertempur dalam kelincahan yang mengagumkan. Bahkan kemudian keduanya seakan-akan berubah menjadi bayangan yang melayang-layang secepat sikatan menyambar belalang.

Pedang Sawung Sariti bergerak dalam bidang-bidang yang mendatar, mematuk dan kemudian berputar seperti baling-baling. Sedangkan pedang Arya Salaka mengambil garis-garis silang untuk mematahkan serangan Sawung Sariti dan kemudian bergerak melingkari dirinya, untuk kemudian dengan dahsyatnya, sedahsyat angin pusaran, pedang itu melibat lawannya. Dalam benturan-benturan yang terjadi, semakin jelas, betapa kekuatan tubuh Arya Salaka melampaui kekuatan lawannya. Maka ketika Arya Salaka tidak lagi dapat mengendalikan diri, pedangnya menyambar dengan cepat dan kerasnya ke arah leher lawannya. Namun kelincahan Sawung Sariti pun tidak kalah daripada lawannya. Cepat ia merendahkan diri dan pedangnya menyilang, melindungi tubuhnya. Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Seperti bunga api menghambur di udara. Dalam benturan itu, Arya telah mengerahkan segenap kekuatannya, bahkan ia telah mempergunakan ayunan pedangnya serta berat badannya untuk memperkuat serangannya. Dengan demikian, kekuatan yang menghantam pedang Sawung Sariti jauh melampaui kekuatan Sawung Sariti. Dengan demikian, ia terlontar mundur, sedang pedangnya bergetar cepat. Terasa jari-jarinya menjadi panas dan nyeri. Cepat ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya, namun secepat itu pula sekali lagi pedang Arya Salaka memukul pedang Sawung Sariti. Kali ini Sawung Sariti tak dapat lagi menyelamatkan pedangnya. Dengan kerasnya pedangnya terpukul jatuh ditanah. Sawung Sariti menggeram keras karena terkejut dan nyeri-nyeri ditangannya.

Dengan cepatnya ia melontar mundur sejauh-jauhnya. Namun Arya pun mampu bergerak secepat itu, sehingga ketika Sawung Sariti berjejak di atas tanah, ujung pedang Arya seakan-akan telah melekat di dadanya. Sekali lagi ia mencoba menjauhkan diri dari ujung pedang itu, namun Arya Salaka pun melontar maju dengan kecepatan yang sama. Akhirnya Sawung Sariti berhenti. Tangannya bergetar, namun tak sesuatu dapat dilakukan. Sedang ujung pedang Arya masih saja menekan dadanya.

Melihat keadaan kedua anak muda yang bertempur itu, Karang Tunggal menjadi tegang. Tanpa sesadarnya, ia meloncat berdiri dengan wajah tegang menanti apa yang akan terjadi.

———-oOo———-

V

Pada saat itu, Arya benar-benar telah menguasai lawannya. Dengan satu gerakan yang sederhana, ujung pedangnya akan menembus dada adik sepupunya itu. Namun tiba-tiba tatit dari ujung langit memancar di udara. Seleret sinar jatuh di wajah adiknya yang tegang kaku. Bergetarlah dada anak muda dari Banyubiru itu. Ia pernah melihat wajah yang sedemikian itu di Gedangan, beberapa tahun lampau. Kalau ia mau, pada saat itu Sawung Sariti telah terbunuh dengan ujung tombak pusakanya. Tetapi pada saat itu ia tidak dapat membunuhnya. Perasaannya dirisaukan oleh kenangan masa-masa silam. Masa kanak-kanak dan masa-masa mereka bergaul sebagai saudara. Seperti juga pada saat yang serupa, kini tangan Arya Salaka yang memegang pedang itu bergetar, bergetar karena getaran di dalam jiwanya. Getaran perasaan seorang kakak. Betapa pun kemarahan telah membakar dadanya, namun Arya masih sadar, bahwa Sawung Sariti adalah adik sepupunya.

Dalam kerisauan itu tiba-tiba terdengar suara Sawung Sariti lantang, seperti apa yang dikatakan beberapa tahun yang lampau, “Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku.”

Arya Salaka memandang wajah adiknya. Tangannya masih bergetar. Namun mulutnya tiba-tiba seperti terkunci. Bahkan kemudian kembali terdengar Sawung Sariti berkata, “Kali ini bunuhlah aku, supaya aku tidak membunuhmu kelak.”

NAFAS Arya Salaka berjalan semakin cepat. Bukan karena kelelahan, tetapi karena perasaannya yang bergolak demikian dahsyatnya. Bergolakan perasaan yang telah menggoncangkan nalarnya. Dengan mata yang suram ia mengamat-amati wajah adiknya dengan seksama. Wajah yang masih memancarkan perasaan dendam dan benci. Namun karena itulah maka Arya Salaka menjadi kasihan melihatnya. Ia menangkap getaran perasaan adiknya. Betapa ia tidak rela menerima keadaan itu. Karena itu tiba-tiba terdengarlah suaranya gemetar, “Adi Sawung Sariti. Berjanjilah demi Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa kau akan melupakan gegayuhan yang sesat itu. Kemudian biarlah kita menikmati hidup tenang. Lepas dari rasa dendam dan prasangka.”

Kakang,” jawab Sawung Sariti, “Aku sudah berkata, kau atau aku yang harus lenyap. Kita tak akan dapat hidup bersama di bawah cahaya matahari yang sama.”

Arya Salaka mengangkat alisnya. Dadanya berdentang keras mendengar jawaban Sawung Sariti.

Dalam pada itu, Karebet pun menjadi heran melihat peristiwa itu. Alangkah bersih jiwa Arya Salaka. Sebaliknya, betapa keras kepala adik sepupunya itu. Dengan demikian, Karang Tunggal pun terpaksa menahan nafasnya, menanti apa yang kira-kira akan terjadi. Di dalam lumpur yang becek, Galunggung masih duduk dengan mulut ternganga. Pertempuran yang terjadi benar-benar telah merampas segenap kesadarannya. Dan kini ia melihat Sawung Sariti dalam bahaya.

Arya Salaka masih tegak di tempatnya. Pedangnya masih melekat di dada adiknya dengan gemetar. Secepat getaran di dadanya sendiri. Bahkan tiba-tiba tangannya menjadi lemas, dan karena itu pedangnyapun semakin tunduk ke tanah.

Sawung Sariti melihat keadaan kakaknya. Ia melihat pedang itu semakin renggang dan tunduk. Mula-mula ia merasa aneh, kenapa kakaknya itu tidak membunuhnya, seperti beberapa tahun yang lalu, meskipun ia telah mengancamnya. Kemudian ia merasakan sesuatu yang tak dapat dimengerti sendiri menjalar di hatinya. Perasaan segan dan lebih dari itu.

Meskipun demikian Sawung Sariti tidak mau dipengaruhi oleh perasaannya. Ia tidak mau disebut sebagai seorang pengecut, yang takut menentang maut. Karena itu ia masih mencoba berkata, “Jangan menjadi laki-laki cengeng. Aku telah mengangkat dadaku. Bunuhlah aku.” Namun suara Sawung Sariti sudah tidak selantang tadi. Bahkan suara itu terasa bergetar dan ragu.

Hem!” Arya Salaka menggeram. Kini pedangnya sudah benar-benar terkulai. Dengan mata yang sayu ia berkata, “Adi Sawung Sariti, masihkah hatimu segelap itu?

Kembali terasa sesuatu berdesir di dada Sawung Sariti. Kakaknya itu benar-benar tak mau membunuhnya. Tetapi ia berkata tidak seperti getaran-getaran di hatinya, “Apa pedulimu tentang hatiku? Kalau kau sobek dadaku, akan kau lihat warna hati itu.”

Arya menjadi kecewa. Seperti Karang Tunggal juga menjadi sangat kecewa. Karena itu Arya berkata putus asa, “Baiklah Adi. Ambillah pedangmu. Kita tentukan sekali lagi. Siapakah yang akan mati di antara kita.”

Sekali lagi dada Sawung Sariti bergoncang. Kesempatan itu masih didapatnya. Aneh. Apakah Arya Salaka tidak melihat kemungkinan dadanya sendiri, akan tembus oleh pedangnya, atau barangkali kakaknya itu yakin bahwa ia tak akan dapat mengalahkannya? Namun bagaimanapun juga, kesempatan itu benar-benar mengacaukan perasaannya. Dan karena itulah ia tidak segera bergerak memungut pedangnya. Malahan matanya dengan penuh pertanyaan memandang Arya dan Karebet berganti-ganti. Getaran di dalam dadanya semakin lama menjadi semakin keras. Akhirnya terdengarlah suara lamat-lamat jauh dari dalam relung hatinya berbisik, “Sawung Sariti, alangkah luasnya hati Arya Salaka, seluas lautan yang sanggup menampung air dari mana pun datangnya.” Dan karena itulah maka ia masih berdiri mematung.

Dalam kesepian yang mencekam itu, tiba-tiba terdengarlah dari balik gerumbul-gerumbul di tepi parit, seseorang berkata, “Persetan kalian, perempuan-perempuan cengeng.”

Semua yang mendengar suara itu terkejut. Serentak mereka menoleh ke arahnya. Dan tampaklah sebuah bayangan yang bergerak-gerak di balik gerumbul-gerumbul di tepi parit. Dan suara itu berkata lagi, “Aku telah mencoba menyabarkan diri, menunggu kalian saling membunuh. Tetapi aku tidak telaten. Kalian berperasaan seperti perempuan cengeng. Kenapa kalian tidak bertempur dan membunuh secara jantan?”

Dada ketiga anak muda yang berdiri di bawah pohon nyamplung itu menjadi semakin berdebar-debar, dan bayangan itu masih saja berada di sana sambil meneruskan kata-katanya, “Aku telah menunggu untuk mengurangi darah yang melumuri tanganku. Setidak-tidaknya aku hanya tinggal membunuh dua di antara kalian bertiga atau satu, apabila kalian laki-laki dan bertempur seperti laki-laki. Tetapi tidaklah demikian. Karena itu maka kalian telah memberatkan pekerjaanku. Membunuh kalian bertiga dengan tanganku.”

Tidak seorang pun dari ketiga orang dibawah pohon nyamplung itu yang bergerak. Semua berdiri mematung dengan hati yang tegang. Mereka menunggu untuk mengetahui siapakah yang berbicara itu.

Berdesirlah dada mereka, dan darah mereka seakan-akan membeku ketika mereka melihat bayangan di belakang gerumbul itu meloncat dengan tangkasnya, melangkahi pohon-pohon perdu seperti seekor burung gagak yang berwarna kelam di malam yang gelap. Mereka menjadi semakin terkejut lagi ketika bayangan itu telah berdiri di antara mereka, di bawah pohon nyamplung itu. Ternyata bayangan itu adalah seorang yang bertubuh bongkok dan berwajah mengerikan, seperti wajah hantu.

Bugel Kaliki,” desis Sawung Sariti.

Orang bongkok dari lembah Gunung Cerme itu tertawa berderai.

Katanya, “Kau pasti mengenal aku dengan baik.”

Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Kemudian hantu bongkok itu berkata pula, “Nah, aku juga ingin melihat bahwa kau dan anak murid Mahesa Jenar ini laki-laki. Tetapi aku kecewa. Karena itu biarlah aku yang membunuhmu. Dan yang seorang ini aku tidak tahu, apakah hubunganmu dengan kedua anak ini.Namun karena kau hadir juga di sini, maka kau pun akan aku binasakan.”

Karang Tunggal pun pernah mendengar tentang Bugel Kaliki. Ia tahu benar bahwa Bugel Kaliki adalah tokoh sakti dari golongan hitam seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua, Sura Sarunggi dan sebagainya. Namun terdorong oleh jiwa kejantanannya yang meluap-luap dalam dadanya, seperti sifat-sifatnya yang melonjak-lonjak dipenuhi oleh daya hidupnya, maka ia pun marah bukan buatan. Dengan berdiri tegak dan bertolak pinggang, ia berkata lantang, “Hai Bugel Kaliki, kalau kau belum mengenal aku, akulah yang bernama Karang Tunggal, yang disebut juga Mas Karebet dalam panggilan Jaka Tingkir.”

Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran melihat sikap anak muda yang seakan-akan tak mengenal takut kepadanya itu. Maka katanya, “Sudahkah kau kenal nama Bugel Kaliki dengan baik?”

Aku sudah cukup mengenal,” jawab Karebet, “Bugel Kaliki adalah tokoh sakti dari lembah Gunung Cerme.”

Bugel Kaliki tertawa. Katanya di antara derai tertawanya, “Bagus, kau telah mengenal namaku. Tetapi kenapa kau berani bertolak pinggang di hadapanku?

Kemarahan Karebet menjadi semakin memuncak. Jawabnya, “Aku tidak mau kau hinakan dengan kata-katamu. Apakah kau kira membunuh kami bertiga ini semudah membunuh cacing?

Sekali lagi Bugel Kaliki tertawa, lebih keras dari semula, sehingga tubuhnya berguncang-guncang.

Diam!” bentak Karebet, “Aku muak melihat tampangmu. Apalagi kalau kau sedang tertawa.”

Bugel Kaliki terkejut, sehingga tertawanya berhenti. Bukan main. Anak itu berani membentak-bentaknya. Karena itu matanya mejadi buram dan redup. Dipandangnya Karang Tunggal dengan seksama. Perlahan-lahan ia berjalan ke arah anak muda itu. Arya Salaka dan Sawung Sariti tiba-tiba menjadi tegang. Apakah ia harus berdiri membiarkan Karang Tunggal mengalami bencana. Tiba-tiba terasa pula perasaan dendam di antara mereka. Mereka merasa bahwa kini nasib mereka serupa. Mereka bersama-sama akan mengalami bencana, apabila Bugel Kaliki benar-benar bertindak atas mereka. Apalagi di dalam relung hati Sawung Sariti telah memancar sepercik api yang menerangi kegelapan hatinya itu. Maka ketika mereka melihat Bugel Kaliki melangkah perlahan-lahan mendekati Karang Tunggal, tanpa mereka sengaja, Arya dan Sawung Sariti pun melangkah maju.

Melihat kedua anak muda yang lain bergerak, Bugel Kaliki berhenti. Pandangan matanya yang buas berganti-ganti hinggap diwajah Arya dan Sawung Sariti. Kedua anak muda inipun ternyata tidak gentar menghadapinya. Sehingga dengan demikian Bugel Kaliki menjadi semakin marah. Dan terdengarlah ia berteriak, “Apakah kalian bertiga tidak takut menghadapi aku, Bugel Kaliki dari Gunung Cerme?”

Selama kami berpijak pada kebenaran, tak ada yang kami takuti,” jawab Arya Salaka.

Gila!” geram Bugel Kaliki, “Kau berdua telah terluka. Membunuh kalian akan sama mudahnya dengan membunuh semut.”

Aku sudah siap untuk mati sejak tadi,” sahut Sawung Sariti, “Namun jangan mimpi, kami akan menyerahkan leher kami tanpa perlawanan. Dan kalau aku mati karena tanganmu, maka aku akan mendapat penghormatan sebagai seorang laki-laki dari Pamingit. Bukan karena pertentangan antara keluarga sendiri. Aku sekarang menyesal bahwa aku telah melawan kakang Arya Salaka.

Arya Salaka dan Karang Tunggal bergetar hatinya mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu. Ketika mereka memandangi wajah Sawung Sariti, tampaklah betapa ia berkata dari dasar hatinya. Karena itu didalam dada Arya Salaka terdengar suara berbisik, “Terimakasih adikku. Mudah-mudahan kau mendapat sinar terang dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Dalam pada itu Bugel Kaliki menjadi bertambah-tambah marah juga. Ia mengharap bahwa seharusnya ketiga anak muda itu menjadi ketakutan, menggigil dan berjongkok minta ampun. Tetapi ternyata mereka telah menengadahkan dada mereka. Bahkan anak yang bernama Karang Tunggal itu masih saja berdiri bertolak pinggang. Karena kemarahannya itu tiba-tiba Bugel Kaliki berkata nyaring, “Hai tikus-tikus yang tak tahu diri. Kalian telah berbuat kesalahan pada akhir hayat kalian.Hem. Alangkah menyenangkan apabila aku melihat kalian meronta-ronta dan menderita sakit pada saat ajal tiba.”

Kata-kata itu diucapkan oleh seorang iblis yang mengerikan. Karena itu, maka dada ketiga anak muda itu pun berdesir pula. Namun mereka bukanlah tikus-tikus seperti yang dikatakan oleh orang bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, meskipun desiran didada mereka terasa seperti menggores jantung, namun mereka tidak menjadi gentar.

Terdengarlah Karang Tunggal menjawab, “Omong kosong. Kau ingin menakut-nakuti kami, supaya kami menjadi menggigil dan kehilangan nafsu perlawanan kami.

Jawaban itu benar-benar membakar hati Bugel Kaliki. Seperti tatit ia meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal. Gerakan Bugel Kaliki benar-benar demikian cepatnya dan tidak terduga-duga sehingga tak seorang pun mampu mencegahnya, bahkan Karang Tunggal pun tak mampu mengelakkan. Namun gerakan Bugel Kaliki bukanlah serangan yang sebenarnya. Ia menampar saja karena marah, meskipun demikian tangan Bugel Kaliki adalah tangan hantu yang seakan-akan gumpalan timah yang keras. Karena itulah maka tamparan itu pun seolah-olah seperti ayunan bandul timah yang berat, menghantam pipi Karang Tunggal.

Meskipun Karang Tunggal mencoba mengelak, namun kecepatannya bergerak tidak dapat memadai kecepatan Bugel Kaliki, sehingga karena itu maka tangan Bugel Kaliki itu pun tak dapat dihindari. Namun demikian, Jaka Tingkir itu tak terpelanting dan terbanting jatuh. Kepalanya hanya tergeser sedikit dan ia terdorong mundur beberapa langkah.

Bugel Kaliki melihat kenyataan itu. Ia sudah mengatur kekuatan geraknya. Menurut dugaannya anak yang sombong itu akan terpelanting dan jatuh berguling ditanah. Tetapi Karebet ternyata tidak demikian. Bahkan terasa seolah-olah ada lambaran yang membatasi tangannya dan tubuh anak itu. Karena itu, maka Bugel Kaliki menjadi berdebar-debar. Dengan pandangan mata yang buas ia memandang Karebet seperti hendak ditelannya hidup-hidup. Dari mulutnya tiba-tiba terlontar kata-katanya, “Setan, dari mana kau miliki aji Lembu Sekilan itu?”

Karebet kini telah tegak kembali. Ia telah mengetrapkan ilmunya sejak ia melihat kedatangan hantu yang dapat bergerak secepat tatit itu. Memang ia sudah menyangka, bahwa Bugel Kaliki pada suatu saat akan bergerak secepat itu. Karena itu, ia pun selalu bersiaga. Namun ia tidak menjawab pertanyaan hantu bongkok itu.

Arya Salaka pun tergetar melihat peristiwa itu. Sejak pertemuannya yang pertama dengan Karang Tunggal, ia telah mengagumi ketangguhan dan ketangkasannya. Kini ia menyaksikan betapa Karebet berhasil mempertahankan keseimbangannya dari dorongan tangan Bugel Kaliki. Apalagi Sawung Sariti. Dadanya bergoncang ketika ia mendengar Bugel Kaliki berkata, bahwa anak muda yang bernama Karang Tunggal itu memiliki aji Lembu Sekilan. “Kalau demikian,” Pikirnya, ”ia tidak bersungguh-sungguh ketika melawan aku. Alangkah bodohnya aku ini. Kalau ia terapkan Lembu Sekilan, maka aku pasti sudah binasa karena pedangnya. Sebab aku tak dapat mengenalinya, dan ia dapat sekehendak hatinya menusuk dadaku dari arah yang disukainya

Dalam pada itu terdengar Bugel Kaliki berkata, “Kalau demikian, kaulah yang harus dibinasakan lebih dahulu. Sebab ajimu itu, apabila kelak benar-benar dapat kau matangkan, maka kau akan menggulung jagad. Tetapi sekarang, belum. Ternyata kau masih bergetar karena dorongan tanganku. Kalau aku hantam sekuat tenagaku, meskipun kau melambari dirimu dengan Lembu Sekilan, namun iga-igamu rontok seluruhnya.”

Karang Tunggal masih tetap berdiam diri, namun ia benar-benar telah bersiaga. Kalau datang serangan yang tiba-tiba dan dengan sepenuh tenaga, ia pun telah bersiap mengelak.

Nah, bersiaplah untuk mati. Kalian bertiga akan aku binasakan secepat-cepatnya sebagai pembalasan dendam atas kematian sahabat-sahabatku,” kata Bugel Kaliki seterusnya.

Karang Tunggal, Arya Salaka dan Sawung Sariti sadar bahwa Bugel Kaliki pasti berusaha untuk melaksanakan kata-katanya. Karena itu segera mereka pun bersiap. Tanpa berjanji Arya Salaka dan Sawung Sariti bergerak mengambil tempat masing-masing. Mereka berdiri sebelah menyebelah dari hantu Bongkok itu, sehingga mereka dapat mengambil garis perkelahian yang berbeda-beda. Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki mendengus dan kemudian tertawa pendek. Setelah itu, ia pun mulai bergerak menyerang Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal telah benar-benar siap. Ia kali ini berusaha membebaskan dirinya dari tangan Bugel Kaliki. Dan ketika Bugel Kaliki mencoba mengulangi serangannya, datanglah serangan Arya Salaka dan Sawung Sariti bersama-sama. Bugel Kaliki menggeram marah. Terpaksa ia menghindari kedua ujung pedang itu. Namun gerakannya sedemikian tangkasnya, sehingga sesaat kemudian ia pun telah berhasil meloncat menyerang Arya Salaka. Ia menyilangkan pedangnya di muka dadanya. Tetapi Bugel Kaliki menggeliat di udara, dan serangannya telah berubah mengarah lambung. Arya terkejut melihat perubahan itu. Untunglah Sawung Sariti dengan pedangnya yang panjang menyerang langsung dengan garis mendatar, memotong gerakan Bugel Kaliki. Sekali lagi Bugel Kaliki menggeram. Ternyata anak-anak itu benar-benar bukan anak-anak kecil. Ketika ia melihat perkelahian antara Arya Salaka dan Sawung Sariti, memang ia telah mendapat gambaran tentang ilmu kesaktian anak itu, namun kini ia telah membuktikannya.

Namun Bugel Kaliki adalah seorang iblis yang mengerti. Ketika pedang Sawung Sariti itu terjulur, Bugel Kaliki melantingkan kesamping. Dengan demikian Sawung Sariti terseret kekuatannya yang dikerahkan seluruhnya. Bugel Kaliki terkejut. Ia melihat Sawung Sariti sedang mencoba mempertahankan keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian ia menyerang, melihat serangan itu, tetapi ia terhalang oleh adiknya. Yang kemudian dilakukan adalah menjulurkan pedangnya, diatas punggung Sawung Sariti menanti kedatangan Bugel Kaliki. Tetapi perlawanan itu tak banyak berarti bagi Bugel Kaliki. Dengan cepatnya ia melontar diri ke arah anak muda dari Pamingit itu. Tetapi sekali lagi Bugel Kaliki menggeram, bahkan mengumpat-umpat tak habis-habisnya ketika tiba-tiba tubuhnya tertumbuk dengan Karang Tunggal yang sengaja menghalang-halangi geraknya. Dengan demikian Bugel Kaliki terhenti ditempatnya, namun Karang Tunggal terpelanting beberapa langkah dan jatuh berguling-guling. Untunglah bahwa ia berhasil menempatkan dirinya sehingga tidak menimpa Sawung Sariti dan Arya Salaka.

Gila!” teriak Bugel Kaliki, “Kau tidak mati karena benturan ini?”

Sebagaimana kau lihat,” sahut Karang Tunggal yang sudah berhasil berdiri. Ternyata aji Lembu Sekilan telah menyelamatkannya, meskipun ia terpaksa terpelanting jatuh. Namun ia tidak mengalami luka pada tubuhnya.

Kesempatan itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sawung Sariti dan Arya Salaka. Secepat-cepatnya mereka mempersiapkan diri mereka untuk menanti serangan-serangan yang baru. Tetapi pertempuran yang baru sebentar itu telah memberi mereka gambaran bahwa umur mereka tidak akan terlalu panjang lagi.

Bugel Kaliki segera bersiap maju. Matanya menjadi bertambah merah karena kemarahan yang menyala di dadanya semakin menjadi-jadi pula. Ketika anak muda itu ternyata mampu bertahan beberapa saat menghadapinya. Karena itu ia menggeram tak henti-hantinya dan mengumpat tak habis-habisnya.

Ketika Bugel Kaliki telah siap dengan serangannya, tiba-tiba ia terkejut sehingga ia tegak mematung. Ia melihat anak yang bernama Karang Tunggal itu meraih sesuatu dari dalam bajunya dan ketika tangannya itu ditariknya, ia telah menggengam sebilah keris yang memancarkan cahaya yang buram, seperti bara. Dan tiba-tiba pula dari mulutnya terdengarlah ia berdesis, “Sangkelat.”

Ya,” sahut Karang Tunggal, “Inilah Kyai Sangkelat.”

Setan!” Hantu itu bergumam. Namun hatinya berdebar-debar cepat sekali. Apalagi ketika ia melihat keris itu tidak bercahaya berkilat-kilat seperti pernah didengarnya. Dan pernah juga ia mendengar ceritera, bahwa Sangkelat yang demikian itu menyatakan bahwa jiwa keris itu telah luluh dalam jiwa pemegangnya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Karang Tunggal membenarkan dugaannya bahwa yang dipegang itu adalah Kyai Sangkelat.

Arya dan Sawung Sariti pun berdebar-debar pula melihat keris itu. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun terasa bahwa wesi aji yang bercahaya buram itu mempunyai pembawaan yang luar biasa. Apalagi ketika mereka mendengar Bugel Kaliki menyebut nama keris itu, “Sangkelat.” Dan nama keris itu pernah didengarnya.

Bagi Arya Salaka, keris yang bernama Kyai Sangkelat itu telah memperingatkan kepadanya bahwa ia pun membawa pusaka yang dapat diandalkan pula, meskipun belum setingkat Kyai Sangkelat. Karena itu, dengan gerak diluar sadarnya, pedang di tangannya berpindah ke tangan kirinya, dan tiba-tiba tangan kanannya telah memegang sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kekuning-kuningan.

Melihat pisau itu, Bugel Kaliki terkejut untuk kedua kalinya. Sekali lagi mulutnya berdesis, “Kyai Suluh.”

Ya,” sahut Arya pendek.

Hem!” geram Bugel Kaliki, “Dari mana kalian mendapat benda-benda aneh itu? Sangkelat dan Suluh. Bukankah Kyai Suluh itu pusaka Pasingsingan?

Ya,” sahut Arya.

Persetan dengan pusaka-pusaka itu!” Tiba-tiba ia berteriak. Suara menggema berulang-ulang. Namun terasa dalam nada suaranya bahwa kedua pusaka itu benar-benar mempengaruhi perasaannya.

Melihat kedua kawan senasibnya memegang pusaka-pusaka yang dapat mempengaruhi lawannya, Sawung Sariti berbesar hati pula. Dengan demikian perlawanan mereka pasti akan bertambah panjang. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat merubah keseimbangan pertempuran itu. Maka karena itulah ia berkata dengan suara nyaring, “Kakang, berikan pedang itu kepadaku apabila tak kau pergunakan lagi.”

Arya memandangi adiknya. Ia telah memegang pusaka yang cukup menggetarkan. Karena itu, dengan tidak berkeberatan diserahkannya pedang di tangan kirinya kepada adiknya. Sambil menerima pedang itu Sawung Sariti bergumam, “Akan aku coba ilmu pedang rangkap yang pernah diturunkan Eyang Sora Dipayana kepadaku.”

Pusaka-pusaka itu tak ada artinya bagi kalian. Bahkan aku akan berterima kasih kepada kalian, karena setelah kalian mati, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi milikku,” kata Bugel Kaliki pula.

Karang Tunggal yang mempunyai sifat-sifat aneh itu tertawa.Jawabnya,”Jangan berpura-pura. Suaramu gemetar.”

Bukan main marahnya hantu dari Gunung Cerme itu mendengar hinaan yang keluar dari mulut anak-anak. Karena itu ia pun segera meloncat, membuka serangan yang dahsyat.

 Namun anak-anak muda pun telah bersiaga. Segera anak-anak itu bergerak pula memberikan perlawanan yang gigih. Kyai Sangkelat, Kyai Suluh, dan permainan pedang rangkap Sawung Sariti, yang mengagumkan. Kedua pedang itu tampaknya seperti saling membelit dan mematuk-matuk berganti-ganti. Tetapi di antara mereka bertiga Bugel Kaliki seakan-akan dapat bergerak-gerak seperti asap yang tak dapat mereka sentuh dengan senjata-senjata mereka.

Namun meskipun demikian, Bugel Kaliki pun tak dapat berbuat sekehendak hatinya atas ketiga lawan-lawannya yang masih sangat muda itu. Meskipun ketiga-tiganya bukan berasal dari satu perguruan, namun mereka dapat bekerja bersama dalam susunan yang rapi. Mereka mencoba sekuat-kuat mungkin saling mengisi dan saling memperkuat serangan diantara mereka. Apalagi dengan kedua pusaka yang menggetarkan hati di tangan Karebet dan Arya Salaka, maka Bugel Kaliki benar-benar harus berhati-hati. Meskipun demikian ia adalah tokoh tua yang sudah kenyang makan pahit getir perkelahian, pertempuran dan segala macam kekerasan. Bugel Kaliki dapat membunuh lawannya dan kemudian duduk di atas bangkai itu sambil makan seenaknya.

Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dalam keadaan demikian, seakan-akan kedua belah pihak berada dalam keseimbangan. Karang Tunggal ternyata berada dua tiga lapis diatas kemampuan Arya Salaka. Aji Lembu Sekilannya, meskipun tidak dapat melawan kekuatan tenaga Bugel Kaliki sepenuhnya, namun ia dapat menghindarkan dirinya dari sentuhan-sentuhan kecil hantu dari Gunung Cerme itu. Dengan demikian, maka seakan-akan Karebetlah yang memimpin kedua kawannya yang lain. Ialah yang mengambil sikap dan menentukan permainan yang mengagumkan, namun telah membuat Bugel Kaliki bertambah marah.

Tetapi, setelah mereka bertempur beberapa saat, tampaklah tenaga Sawung Sariti mulai susut. Selain kelelahan yang telah menjalari seluruh tubuhnya, darah juga mengalir dari lukanya. Meskipun tidak terlalu deras, namun apabila ia menggerakkan tangannya sepenuh tenaga, darah itu meleleh semakin banyak. Demikian juga darah dari dada Arya yang telah tergores oleh pedang Sawung Sariti. Namun ketahanan jasmaniahnya ternyata lebih besar daripada adik sepupunya itu. Melihat keadaan itu, Karebet menjadi berdebar-debar. Dengan demikian ia harus bekerja sekuat tenaganya. Tenaga yang seakan-akan mempunyai persediaan yang tak kering-keringnya didalam tubuhnya. Memang selain sifat-sifatnya yang aneh, tubuh Karebet pun aneh pula. Meskipun ia memeras segenap kekuatan dan tenaganya sejak pertempuran itu dimulai, namun semakin lama, seakan-akan ia menjadi semakin segar dan kuat.

Bugel Kaliki yang bermata tajam, setajam burung hantu, melihat kelemahan itu. Karebet adalah anak yang sangat berbahaya dengan Kiai Sangkelat di tangannya. Karena itu maka yang pertama-tama harus disingkirkan supaya tidak mengganggu adalah Arya Salaka atau Sawung Sariti.

Dalam pada itu, terasalah tekanan-tekanan yang erat pada Arya Salaka dan Sawung Sariti. Bugel Kaliki telah mangerahkan serangan-serangannya kepada kedua anak itu berganti-ganti sambil menghindarkan diri dari serangan-serangan Kiai Sangkelat yang menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya.

Ketika mereka sedang sibuk dengan pertempuran itu, dimana perhatian mereka seluruhnya terampas oleh usaha mereka mempertahankan diri, terjadilah suatu peristiwa yang tak mereka duga-duga. Galunggung, yang duduk lemas ditanah yang becek, ketika melihat kehadiran hantu dari Gunung Cerme itu, menjadi seakan-akan membeku. Ia tahu benar siapakah Bugel Kaliki. Dengan demikian ia menjadi putus asa. Semua impiannya kini telah benar-benar menjadi lenyap seperti awan disapu angin. Impiannya tentang tanah yang berpuluh-puluh bahu. Kekuasaan atas Pamingit dan Banyubiru. Kekayaan dan kemewahan. Sebab dengan kehadiran hantu bongkok itu harapan untuk hidup bagi Sawung Sariti menjadi semakin tipis. Tetapi ketika ia melihat pertempuran di antara mereka, di antara Bugel Kaliki melawan ketiga anak-anak muda itu hatinya menjadi hidup kembali. Darahnya serasa mulai mengalir. Ia melihat bagaimana ketiga anak muda itu dengan gigih mempertahankan diri mereka. Bahkan anak muda yang bernama Karebet itu dapat bergerak menyambar-nyambar seperti burung alap-alap di langit. Dengan demikian pikirannya perlahan-lahan dapat berjalan kembali. Mula-mula ia ingin mencoba membantu melawan Bugel Kaliki namun hal itu tidak akan berarti. Apalagi senjatanya kini tidak ada di tangannya lagi.

Tiba-tiba timbullah pikirannya yang bersih. Dengan sagat hati-hati ia merangkak masuk ke dalam tanaman jagung muda itu semakin dalam. Kemudian tiba-tiba kekuatannya seperti kembali menjalari tubuh. Dengan serta merta, ketika ia sudah cukup dalam di balik pohon-pohon jatung itu Galunggung meloncat dan berlari sekencang-kencangnya seperti dikejar hantu, kembali ke Pamingit. Siapa pun yang akan dijumpainya pertama-tama, akan diberitahukan kepadanya bahwa Arya Salaka dan Sawung Sariti sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.

Pada saat itu keadaan Sawung Sariti telah bertambah payah. Perlawanannya telah menjadi semakin kendor. Kedua pedangnya yang semula bergerak seperti gumpalan asap yang bergulung-gulung melindungi dirinya, kian lama menjadi kian kendor. Sedangkan serangan Bugel Kaliki menjadi semakin garang pula.

Demikianlah, pada suatu saat Bugel Kaliki berhasil menerobos lawan-lawannya langsung menyerang Sawung Sariti. Dengan kecepatan yang masih dapat dilakukan, Sawung Sariti menyilangkan kedua pedangnya dengan kekuatan raksasanya, sehingga tiba-tiba kedua pedangnya itu pun bergetar dan jatuh di tanah. Sawung Sariti menjadi gugup. Pada saat itu Bugel Kaliki mengulangi serangannya langsung ke dada Sawung Sariti. Serangan itu datang sedemikian cepatnya, sehingga Sawung Sariti telah benar-benar kehilangan kesempatan untuk menghindar.

Karang Tunggal dan Arya menjadi terkejut pula melihat Bugel Kaliki dapat bergerak secepat itu, menerobos serangan-serangan mereka. Dengan secepat yang dapat dilakukan, Karang Tunggal meloncat menyerang sejadi-jadinya. Kyai Sangkelat langsung terjulur lurus ke lambung Bugel Kaliki. Sedang Arya, yang berada dalam jarak yang lebih jauh, tak mampu meloncat mencapai lawannya. Maka ia hanya berusaha untuk menyelamatkan Sawung Sariti yang sedang kehilangan keseimbangannya.

———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 25

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (23)

I.

Tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab, “Kalau kau dapat menunjukkan bahwa kau memiliki akik Kelabang Sayuta, akupun akan membuktikan pula bahwa sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri yang lengkap seperti katamu.”

 Mendengar jawaban itu, hati Pasingsingan berdesir. Ketika ia meraba jari-jarinya, ia menjadi berdebar-debar. Namun katanya kemudian, “Akik itu sudah aku berikan kepada muridku Lawa Ijo. Sesaat sebelum ia mati, diberikannya akik itu kepada Endang Widuri.”

Hem...” desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. “Kau sedang mengarang sebuah ceritera.

Bertanyalah kepada Endang Widuri.” Pasingsingan itu menegaskan.

Pasingsingan di samping Mantingan itu menoleh kepada Endang Widuri. Kemudian ia berkata, “Ciri Pasingsingan hanya melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri yang lain, apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut lebih dari seribu macam pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada padaku.”

Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya. Sambil berteriak ia memaki-maki, “Setan, iblis, thethekan. Tetapi akik Kelabang Sayuta itu milikku.”

Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,” bantah Pasingsingan di samping Mantingan. “Tetapi akik itu sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada Pasingsingan yang seorang itu lagi.

Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek, katanya, “Sudahlah Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, yang madeg guru di Mentaok. Jangan terlalu banyak persoalkan di antara kita kini.”

Diam!” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo. “Aku beri kau waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri urusanku.”

Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut Pasingsingan di samping Mantingan, “Kalau kau yakin dapat membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan demikian, maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu, bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap manusia. Bukan sebagai hantu-hantu yang berkeliaran dari satu kuburan kelain kuburan, mencari mayat.”

Hem. Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi. Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan lantang ia melanjutkan, “Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau akan terkubur di sini.”

Jangan begitu Ki Sanak,” jawab Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. “Penyelesaian dengan pengertian, jauh lebih baik daripada penyelesaian dengan tetesan darah dari tubuh kita. Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh rasa dendam yang tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas dengan dendam. Dengan demikian maka sepanjang umur kita, kita tidak akan dapat menikmati ketenangan.”

Pengecut!” potong Pasingsingan dari Mentaok. “Aku adalah laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku Kyai Suluh. Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya, setelah kau menolak kesempatan yang pertama.”

Jangan,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan, “Kita masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Jangan mengancam dan menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita berbicara sebagai manusia dengan manusia. Kita berbicara tanpa tabir di wajah kita. Kita bicara antara hati kita yang dilambari dengan kejujuran pada diri kita masing-masing, betapa hitamnya noda-noda yang melekat pada tubuh kita masing-masing.

Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang yang menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap Ngampar, hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya, “Apakah alasanmu? Apakah untungnya kita berbicara dari hati ke hati?

Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas, katanya, “Bagaimanapun kotornya hati kita, namun kita adalah manusia. Kita memiliki hari-hari lampau dan hari-hari mendatang. Kita memiliki hari-hari yang cemerlang, namun kita memiliki juga hari-hari yang suram. Karena itu, janganlah kita tenggelam dalam kegelapan. Putus asa dan bunuh diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk terus-menerus.”

Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata, “Persetan dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami dengan hiasan kata-kata.” Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia berkata, “Sudahkah senjatamu itu siap?

Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat. Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan Sura Sarunggi, ia masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta kawan-kawannya. Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam dadanya berteriak nyaring, “Hai Umbaran, yang berdiri di hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan Anggara.

Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada Sura Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang yang mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi, sebagaimana senjata-senjata yang dipergunakan oleh murid-muridnya, Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening.

 Pasingsingan, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa pada saat-saat terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah didapatkan oleh kedua saudara seperguruan itu. Meskipun pada masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu bukanlah Umbaran beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya ia memutuskan, bahwa ia harus berjuang dengan senjatanya itu. Kemudian terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-getaran di jantungnya, “Hai orang-orang yang tak tahu diri, yang telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir karena kebaikan hatimu. Angkatlah wajahmu. Pandanglah angkasa yang suram sebagai aba-aba dari isi bumi ini, dan tundukanlah kemudian wajahmu itu sebagai penghormatan terakhir pada ibu pertiwi. Kemudian hadapilah aku sebagai lawanmu, yang akan mengantarkan nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal.

Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Senjata bukanlah alat terakhir untuk menemukan kesepakatan.

Tak ada yang akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi, “Kita berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup bersama-sama dalam satu naungan langit yang luas ini.

Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang, “Tidak adakah jalan lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak pada orang yang menamakan diri Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri di pihak Pasingsingan yang seorang lagi. Sesudah itu, biarlah kami menentukan keadaan kami tanpa campur tanganmu.”

Tunggu…” Pasingsingan di samping Mantingan mencoba untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam pekik lantang Sura Sarunggi. “Bagus. Itulah kata-kata jantan. Sudah siapkah kau?

Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak kalah lantangnya, “Aku lebih senang menempuh jalan lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang tak dapat aku elakkan, silahkanlah.

Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya, “Meskipun kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai guntur dan petir, tetapi kau belum mampu menjaring angin, maka kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.

Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha Kuasa,” jawab Pasingsingan itu. “Kepada-Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas hukum-hukum-Nya.

Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat kemudian bergema kembali suara cemetinya menyusur lereng-lereng bukit. “Hai, langit yang muram, angin yang kencang. Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.” Sura Sarunggi menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan. Kemudian ia pun bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran melawan orang berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan itu.

Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan garangnya. Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin ribut. Namun Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah abu-abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati panjangnya berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-remang. Demikianlah, mereka tenggelam dalam satu perkelahian yang dahsyat. Sura Sarunggi, iblis dari Rawa Pening itu bertempur seperti angin topan. Ia meloncat-loncat dengan dahsyatnya mengelilingi lawannya, dan menyerangnya dari segenap penjuru. Namun Pasingsingan itupun tidak membiarkan dirinya tersekat dalam lingkaran cemeti lawannya. Dengan tangkasnya ia melontarkan dirinya, sekali-kali memotong serangan lawannya. Dan bahkan kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti bukit Telamaya yang tak tergoyahkan oleh angin dan badai.

Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan ilmu mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata mereka hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar seperti angin pusaran.

Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila Pasingsingan yang sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan dan kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama menyerangnya, maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih ingin menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani. Jaka Soka tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan hitam yang lain. Dengan laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung Tidar dan lain-lainnya di Pamingit. Karena itu selama ia masih mendapat kemungkinan, ia harus menyingkir dari halaman itu.

Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah mempersiapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia menggeram dengan marahnya, “Lihatlah betapa orang yang berani menyebut dirinya Pasingsingan itu akan hancur lumat oleh cemeti Sura Sarunggi.”

Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu dengan seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun akan segera mulai bertempur.

Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia berkata, “Hai orang yang sombong, yang berani mengaku bernama Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat terakhirmu.”

Jangan berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan, “Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?

Jangan mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo.

Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku harapkan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan. “Tetapi jangan terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.

Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa akhirnya ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu ia berteriak, “Jangan mencoba meringankan kesalahanmu. Bersiaplah aku akan mulai.

Umbaran…” tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak suara seorang kakak terhadap adiknya. Mendengar nama itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang diberikan oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila orang menyebutnya dengan ketakutan, “Pasingsingan.” Karena itu tiba-tiba ia menjadi bingung. Dalam kebingungan itulah ia berteriak, “Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku, Pasingsingan, yang telah membunuhnya.”

Ya, Umbaran telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu, “Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi, baginya masih ada jalan kembali.

Diam!” bentak guru Lawa Ijo. Darahnya yang beku itu tiba-tiba mendidih kembali. Radite dan Anggara yang lenyap dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya.

Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-bentaknya itu masih tetap tenang dan berkata, “Jangan marah Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau masih mempunyai kesempatan kembali ke perguruan kita. Guru kita yang bergelar Pasingsingan dengan cita-cita yang putih.

Diam!” Pasingsingan berteriak semakin keras. “Sayang, bahwa kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu menangkap ajaran- ajarannya, sehingga kau salah duga terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah kehilangan kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan. Karena itu kau memilih jalanmu sendiri.

Omong kosong,” bantah guru Lawa Ijo, “Apakah kau selama ini juga mentaati ajaran-ajarannya? Apakah kau selama ini bersih dari noda-noda yang dilemparkan oleh kehidupan disekitar kita kepadamu?

Tidak, Umbaran,” jawab orang itu. “Aku merasa, betapa kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha untuk mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi kesalahan-kesalahan baru yang akan menambah beban kehidupan sukmaku.

Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku sekarang. Tetapi aku berhak menuntut masa depanku sebaik-baiknya” kata guru Lawa Ijo.

 “Aku bangga terhadap mereka yang berjuang buat masa depannya. Namun mereka jangan mengorbankan masa depan orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu.” Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun cukup jelas bagi guru Lawa Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah menyusup ke tulang sungsumnya. Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh nafsu yang bergelora berlebih- lebihan, kini benar-benar telah menjadi sekeras batu, meskipun dengan sekuat tenaga ia berusaha membendungnya. Bahkan akhirnya ia berkata lantang, “Jangan menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah kau menjelang kebahagiaan masa depanmu dengan mengorbankan orang lain pula? Manakah perempuan yang aku hadiahkan kepadamu itu? Bukankah ia mati karena ketamakanmu?

Umbaran!” potong orang berjubah yang berdiri disamping Mantingan. “Aku minta jangan kau sebut-sebut itu lagi.”

Ha, kau menjadi ketakutan? Kau lihat noda-noda yang melekat di tubuhku, namun tak kau lihat kotoran-kotoran yang bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu? Mana perempuan itu? Mana…?”

Jangan kau sebut itu, Umbaran,” kata orang itu.

Biar, biar aku ulang seribu kali,” sahut guru Lawa Ijo. “Perempuan itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan kita. Dan kau berjanji tidak akan mengganggu gugat lagi. Sekarang perempuan itu mati. Mati. Mati….”

Cukup!” potong orang itu keras-keras. Namun kemudian ia menundukkan wajahnya. Tangan kirinya perlahan-lahan diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora.

Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai tubuhnya terguncang-guncang. Ia tertawa dan tertawa untuk memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura Sarunggi dan lawannya ia berkata, “Lihat, apa yang bisa dilakukan oleh Anggara, penjagamu itu. Lihatlah, sebentar lagi ia akan binasa.”

Orang yang berdiri di samping Mantingan itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan memandang kepada adik seperguruannya yang sedang bertempur. Mereka berputar-putar dengan lincahnya, lontar-melontar seperti sepasang garuda yang sedang berlaga. Tangan mereka berkembang seperti sayap dengan senjata masing-masing. Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak mengerikan, sedangkan sinar kuning pisau belati lawannya menyambar-nyambar seperti petir di langit yang kelam. Ujung cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan, ke mana ia harus mematuk. Namun ujung belati lawannya seperti mempunyai mata, yang dapat melihat setiap serangan dari arah manapun juga.

Maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan dahsyat. Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan bengis, sedang Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh.

Ketika mereka sudah berkelahi beberapa saat, Sura Sarunggi menjadi semakin heran. Lawannya dapat bertempur dengan gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah dikenalnya. Mirip dengan Pasingsingan sahabatnya itu. Karena itu timbullah beberapa pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-benar Pasingsingan…? “Tidak mungkin!” Pertanyaan itu dibantahnya sendiri.

Anggara pada saat itu memang sengaja bertempur dengan ciri-ciri perguruan Pasingsingan. Ia sengaja menunjukkan, bahwa dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-ilmu ajaib dari orang yang bernama Pasingsingan itu. Bahkan beberapa gerak diulangnya supaya menjadi jelas bagi lawannya.

Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras. Dan Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih memandangi Sura Sarunggi dan Anggara.

Jangan membeku seperti batu,” tegur Umbaran, “Sekarang apa katamu?

Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke arah Umbaran, jawabnya, “Marilah kita lupakan masa lampau. Marilah kita bina bersama masa depan perguruan kita.

Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan mengigau lagi. Pergi dan bawa adikmu itu, atau kau berdua binasa.” Umbaran meneruskan, “Jangan mimpi aku berlutut di bawah kakimu dan menyerahkan perempuan untuk kedua kalinya.

Jangan bicara tentang perempuan!” Radite membentak. Kesabarannya telah menjadi semakin tipis. Hatinya yang luka karena perempuan, kini terungkap kembali.

Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat kembali akan perjanjian kita. Kita tidak akan saling mengganggu,” sahut Umbaran.

Aku tidak akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang telah kau miliki, ciri-ciri khusus Pasingsingan yang kau pakai, sedang kau tak akan mengganggu gugat perempuan itu,” jawab Radite. “Tetapi aku berhak mengganggu gugat segala perbuatanmu yang terkutuk.

Kau iri hati” kata Umbaran.

Tidak,” jawab Radite, “Aku mempunyai kepentingan sendiri. Aku tidak mau menanggung beban dosamu lebih banyak lagi karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian Pasingsingan kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah menarik diri dari persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Angganten dan lain-lain. Bahkan kau telah menempatkan dirimu sebagai lawan. Nah, aku akan menghentikan semuanya itu.

Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan?” jawab Umbaran. Sengaja ia ingin memanaskan hati Radite. Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.

Tetapi dengan demikian Radite menjadi marah. Peristiwa itu adalah peristiwa yang paling pedih dalam hidupnya, karena itu setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu, setiap kali ia kehilangan kesabaran.

Umbaran…” kata Radite dengan lantang, “Kesabaran seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian.

Umbaran menjadi berdebar-debar. Apakah Radite benar-benar akan marah dan menyerangnya? Tetapi tak ada pilihan lain. Sura Sarunggi telah bertempur dengan gigihnya.

Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya. Radite masih berusaha menguasai perasaannya, sedang Umbaran menjadi berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang berat. Ia tidak segarang biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-raguannya itulah ia masih berdiri tegak.

Ketika keduanya sedang berusaha menekan perasaan masing-masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi kentongan, yang dipukul bergelombang-gelombang. Rog-rog asem.

Setan,” desis Pasingsingan, “Mereka datang.

Radite mengangkat wajahnya. Lamat-lamat terdengar kentongan itu menjalar. Ia tidak tahu tanda apakah itu. Karena itu, ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.

Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi bertambah bingung. Akhirnya ia kehilangan kejernihan dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa tanda itu mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau Pamingit. Mahesa Jenar atau Sora Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia menjadi mata gelap. Sebab menyingkirpun tak ada kesempatan pula.

Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat dengan garangnya sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan menyambar leher Radite. Radite terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba itu. Sebenarnya ia masih mengharap agar mereka tidak perlu mempergunakan kekerasan, apalagi dengan tetesan darah. Tetapi Umbaran telah menyerangnya. Dengan demikian ia tak dapat berbuat lain daripada melawannya. Maka sesaat kemudian kedua Pasingsingan itupun telah bertempur pula. Masing-masing memegang pisau belati panjang di tangannya. Umbaran dan Radite adalah dua orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari guru yang sama. Karena itu mereka pun bertempur dengan ilmu yang sama pula. Tetapi ilmu mereka masing-masing telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan pengaruh keadaan dan waktu. Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin kasar, keras dan kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap dalam tataran yang bersih. Meksipun demikian tidak berarti bahwa Umbaran telah melampaui Radite dalam ketahanan tempurnya.

Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari bentuk mereka. Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari jubah mereka yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang menyambar-nyambar mengerikan.

Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan darah yang bergelora. Hatinya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu yang ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup udara maut. Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncat-loncat, menyerang dengan sengitnya. Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap bagian-bagian tubuh Radite.

Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu, terdengar Umbaran berteriak, “Kalau kau masih belum mampu melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan mengharap keluar dari halaman ini dengan ragamu.

Radite diam saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya dalam lekuk-lekuk hatinya yang terdalam, masih juga bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi ia sadar pula, bahwa apabila ia tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang bernama Umbaran itu akan banyak menimbulkan bencana. Kalau benar-benar ia berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka keadaan akan sangat berbahaya. Ia dapat menghadap Sultan Demak dengan laskar segelar sepapan, dan memaksanya untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia menyatakan diri sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu. Dengan landasan kekuatan golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya, beserta kesesatan pandangan beberapa orang kawula Demak atas kepercayaan mereka, bahwa siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk Inten akan mampu merajai Nusantara, maka Umbaran akan mendapatkan pengikut-pengikutnya.

Atau orang yang berotak licin itu dapat menempuh jalan lain. Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk menimbulkan bencana. Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung daerah demi daerah. Namun kemudian sebagai Umbaran yang berwajah manis, ia menghadap Sultan dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan demikian ia akan mendapatkan banyak kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat melawan kekuasaan Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu ia harus mencuri keris-keris itu kembali.

Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin sengit. Masing-masing bertekad untuk memenangkan pertempuran. Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar dan bengis, namun Radite bukan anak-anak yang baru dapat berdiri. Radite memiliki kematangan ilmu melampaui Umbaran, meskipun pada dasarnya Umbaran berguru lebih dahulu kepada Pasingsingan Sepuh. Tetapi karena Umbaran kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya, maka akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya mengisap ilmu yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang murid dari perguruan yang sama itu berhadapan dan bertempur mati-matian.

Selain mereka yang bertempur, tak seorang pun yang menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang semakin memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada pertempuran itu.

Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka Soka. Kalau ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga Mantingan dan kawan-kawannya berhasil menguasai diri mereka, maka akan celakalah nasibnya. Dengan diam-diam dan sangat hati-hati ia berkisar, setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah yang baik untuk menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan tanah perdikan yang seolah-olah menjadi panas, sepanas bara api baginya. Maka, dengan tidak menarik perhatian, akhirnya Jaka Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap dan kemudian menghilang dari halaman itu. Bagi Jaka Soka, lebih baik hidup di antara anak buahnya dan perempuan-perempuan yang dikumpulkan selama ini, daripada mati di Banyubiru. Ia tidak peduli apa yang dikatakan orang atasnya. Apakah orang akan mengatakannya pengecut, apakah penakut, ia tidak keberatan. Sebab pada dasarnya, meskipun golongan hitam itu nampaknya bekerja bersama-sama, namun mereka sama sekali tak memiliki kesetiakawanan yang jujur. Apabila mereka terbentur pada kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat dianggapnya tidak berlaku.

Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya seperti angin topan. Meskipun demikian, tarasa betapa lambatnya perjalanan itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga berkali-kali ia terpaksa mencambuknya.

Ketika dari kejauhan tampak api yang menyala, terdengar giginya gemertak. Tangannya yang memegang tombak pusaka Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia menyesal, bahwa ia terlambat.

Di belakangnya berpacu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Kedua orang itu pun tak kalah gelisahnya. Juga kedua orang itu menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera mengabarkan kepada mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan hitam yang pergi ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memacu kuda mereka dengan darah yang bergolak.

Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah sepi malam di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang yang menutup pintu serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin gelisah mendengar derap kuda itu. Mereka memeluk anak-anak mereka semakin erat di dada mereka sambil berdoa, semoga Yang Maha Kuasa melindungi mereka dari bencana.

Arya Salaka melihat dua tiga orang menyelinap ke halaman ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia tidak memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak begitu tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian terdengar bunyi kentongan, mereka menyesal. Agaknya orang-orang itu adalah para pengawas, yang harus mengamat-amati kedatangan orang-orang Banyubiru. Namun mereka tak dapat memutar kuda mereka kembali. Dengan demikian waktu mereka akan semakin habis.

Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang menyala-nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak, “Terus ke rumahmu, Arya.”

Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki belakangnya.

Api,” jawab Arya.

Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan terdengarlah suara Mahesa Jenar tanpa menghentikan kudanya, “Itu adalah suatu cara untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu”.

Kembali Arya Salaka menggeretakkan giginya. Dengan cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti gurunya. Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Ketika mereka semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada merekapun semakin berdebar-debar pula.

Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan keadaannya, sehingga dengan berteriak ia bertanya, “Bagaimana dengan api itu paman?”.

Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat dibelakangnya, “Jangan perdulikan”, jawabnya “mereka hanya ingin menarik perhatian kita. Tempat yang menyala itu adalah tempat-tempat yang tak berarti. Mudah-mudahan laskarmu telah berusaha untuk menyelesaikannya. Bukankah api itu telah surut?”.

Ya”, sahut Arya. Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang sebenarnya tidak terletak di daerah api itu.

———-oOo———-

II

Demikianlah mereka bertiga memacu kuda-kuda mereka semakin cepat dan cepat. Mereka berpacu bersama angin basah yang bertiup menghanyutkan awan yang kelabu. Kilat memancar-mancar di udara seperti sedang bersabung, diantar oleh bunyi guruh yang menggelegar memukul tebing-tebing perbukitan.

Arya Salaka menjadi tidak sabar lagi. Ketika ia melihat sepasang beringin di alun-alun, hatinya seperti meronta-ronta. Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun yang mencurigakan.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari Arya Salaka. Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda mereka dimuka halaman. Mereka harus memasuki halaman itu dalam kesiagaan penuh. Namun Arya Salaka tidak sempat berpikir demikian. Ia langsung melampaui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara di atas kudanya yang masih berlari seperti di kejar hantu.

Arya!”, teriak Mahesa Jenar.  Tetapi Mahesa Jenar tak mampu menghentikannya. Seperti anak panah Arya langsung menyerbu masuk ke halaman.

Di halaman itu masih bertempur dengan sengitnya, Sura Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite. Mereka bertempur dalam tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu mereka.

Yang paling gelisah dari mereka adalah Umbaran. Ia sadar sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang Banyubiru, maka akan berakhirlah kisah petualangannya. Karena itu, dalam kegelisahannya ia sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus bertindak cepat dan menguntungkan. Karena itu ia memutuskan untuk membunuh salah seorang lawannya atau orang-orang Banyubiru yang datang untuk mengurangi lawannya. Sesudah itu, kalau perlu ia akan melarikan diri saja, meskipun kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau ia berhasil membunuh salah seorang dari mereka, ia akan dapat mempengaruhi keadaan, meskipun hanya sekejap. Dan kelebihan waktu yang sekejap itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.

Demikianlah ketika ia mendengar derap kuda langsung memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa langkah, kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-keras, dan pisau belati panjangnya meluncur seperti tatit ke dada Arya Salaka. Arya terkejut melihat sinar kuning menyilaukan terbang kearahnya. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk mengelak. Kudanya sendiri berlari cepat menyongsong sinar yang berkilat-kilat itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut bukan kepalang. Maut yang menyambar itu demikian cepatnya sehingga mereka tak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak keras, “Arya, bungkukkan badanmu”.

Arya Salaka telah kehilangan keseimbangan perhitungannya. Karena itu tak ada yang dapat dikerjakan. Ia mencoba membungkuk merapat ke punggung kuda, namun pisau itu telah dekat sekali. Tetapi tak sempat dilihatnya adalah sambaran pisau yang kedua. Pisau belati panjang yang seakan-akan mengejar pisau yang pertama.  Pisau inipun tak kalah cepatnya, meluncur dari arah yang lebih rendah dari pisau yang pertama, sehingga kedua pisau itupun seperti kilat di langit yang sambar menyambar.

Tuhan adalah penentu dari semua kejadian. Demikianlah pisau itu pun tak terlepas dari pengaruh tangan Nya.

Pisau belati yang kedua, yang dilemparkan oleh Pasingsingan yang seorang lagi, meluncur dari arah yang berbeda serta lebih rendah dari arah pisau yang pertama, berhasil mengenai pisau yang pertama. Sentuhan itu dapat mempengaruhi arah pisau-pisau itu. Sehingga dengan demikian, selisih arah yang hanya setebal jari mengukit arah yang pertama, telah menyelamatkan Arya Salaka. Meskipun ia belum berhasil merapatkan tubuhnya sepenuhnya, namun pisau-pisau itu tak menyentuh kulitnya. Hanya ikat kepalanya sajalah yang tersambar dan terbawa oleh pisau-pisau itu. Namun meskipun demikian, dada Arya Salaka berdesir keras. Ia menggeram sambil menggigit bibirnya. Maut serasa telah hinggap diujung rambutnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpekik kecil. Mereka meloncat bersama-sama maju, namun kemudian mereka melihat Arya Salaka masih duduk di atas punggung kudanya yang meluncur cepat di halaman itu, yang kemudian melingkar memutar di samping gandok.

Bagaimana kau Arya?”, teriak Mahesa Jenar.

Nafas Arya masih meloncat-loncat tak teratur. Dadanya berdebar cepat dan jantungnya seperti berdentang-dentang. Namun ia sempat menjawab terbata-bata, “Baik paman”.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas panjang. Tetapi kelegaannya itu tidak terlalu lama. Mereka ditegangkan kembali oleh kenyataan yang dilihatnya di halaman. Dalam remang-remang cahaya obor di pendapa, mereka melihat Mantingan, Wilis, Widuri dan Wirasaba berdiri dalam satu kelompok hampir berhimpitan dengan kaku, di pendapa mereka melihat Wanamerta duduk lemas seperti orang yang kehilangan akal, sedang Sendang Parapat pun duduk bersandar tiang. Tangannya memegang senjatanya, namun senjata itu terkulai di lantai. Sedang beberapa penjaga diregol jatuh tersungkur di tanah, dan mereka yang berada di gardu telah kehilangan kemampuan bergerak.  Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menjadi semakin terkejut ketika mereka melihat dua lingkaran pertempuran. Dan hampir-hampir dada mereka meledak ketika mereka melihat tiga orang yang memakai jubah abu-abu dan bertopeng kasar.

Apakah sebenarnya yang telah terjadi”, gumam Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara berdiam diri. Keningnya berkerut-kerut. Umbaran ternyata telah menyerang Radite dengan membabi buta, ketika ia tidak berhasil membunuh Arya Salaka. Pada saat itu, ia telah mencoba untuk melarikan diri, namun Radite bukan anak-anak yang dapat dikelabuhinya, sehingga dengan beberapa loncatan ia telah berhasil menahan Pasingsingan yang menghantui Demak pada saat itu.

Tiba-tiba halaman itu digetarkan oleh pekik kecil. Widuri tiba-tiba berhasil menguasai kesadarannya, ketika dilihatnya ayahnya memasuki halaman. Kemudian ia meloncat maju. Mula-mula ia seperti melihat malaikat hadir di halaman itu. Maka ketika ayahnya berdiri tegak mengamati keadaan, ia menghambur lari kepadanya, “Ayah”, panggilnya. Seperti anak ayam yang terancam elang, Widuri bersembunyi di balik sayap-sayap induknya. Kebo Kanigara pun menjadi terharu karenanya. Meskipun ia tidak melepaskan perhatiannya kepada keadaan sekelilingnya, namun dipeluknya anak itu erat-erat. Pada saat itu Rara Wilis pun menjadi bertambah tenang, sebab mereka masih dapat mengharap perlindungan dari orang-orang yang dibanggakannya. Demikianlah ketegangan yang mencekik leher orang-orang di halaman itu menjadi semakin terurai. Kedatangan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka benar-benar telah membebaskan mereka dari kecemasan. Bukan karena mereka cemas dan takut bahwa mereka akan terbunuh, namun mereka cemas dan takut bahwa mereka tidak dapat mempertahankan pusat pemerintahan Banyubiru, dan karena itulah kini mereka yakin bahwa Banyubiru akan dapat diselamatkan.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih berdiri tegak tak bergerak. Hanya pandangan mata mereka sajalah yang beredar dari satu titik ke titik yang lain. Ketika kemudian mata Mahesa Jenar bertemu pandang dengan Rara Wilis berdesirlah hatinya.  Rara Wilis kemudian menundukkan wajahnya, namun hatinya melonjak. Pada wajah gadis itu, Mahesa Jenar dapat melihat ketegangan yang selama itu mencekam hatinya.

Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara bergumam perlahan-lahan, “Widuri, apakah yang terjadi? Bukankah kalian selamat?”.

Widuri tidak senakal dan semanja biasanya. Kini benar-benar ia berusaha menempatkan diri. Karena itu ia menjawab perlahan-lahan, “Tiga hantu bertemu di sini, Ayah. Ditambah seorang lagi, yang datang bersama salah seorang dari hantu-hantu itu.”

Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi ragu, apakah yang harus dilakukan. Tetapi disamping itu, ia pun bersyukur kepada Yang Maha Agung bahwa anak serta sahabat-sahabatnya telah diselamatkan.

Berbeda dengan Mahesa Jenar. Ia telah memiliki beberapa pengetahuan yang lebih banyak daripada Kebo Kanigara. Ia telah mengenal lebih dalam mengenai Pasingsingan. Karena itu cepat otaknya bekerja dan menemukan pemecahan dari teka-teki yang dihadapinya. Teringatlah ia kepada ketiga murid Pasingsingan yang bernama Radite, Anggara dan Umbaran. Teringatlah ia kepada dua orang petani yang bernama Paniling dan Darba di Pudak Pungkuran. Karena itu Mahesa Jenar segera mengetahui bahwa kedua orang berjubah abu-abu di antara mereka adalah Radite dan Anggara, sedang yang lain adalah Umbaran. Mahesa Jenar juga memastikan bahwa yang bertempur melawan Sura Sarunggi itu adalah salah seorang dari kedua petani dari Pundak Pungkur itu, sedang yang bertempur di antara dua orang yang berpakaian mirip itu adalah Umbaran melawan salah seorang saudara seperguruannya. Tetapi yang manakah di antara keduanya yang bernama Radite dan yang manakah yang Umbaran?

Karena itulah kemudian Maheswa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara, “Kakang, ingatkah Kakang kepada dua orang petani di Pudak Pungkuran?

Ya,” sahut Kebo Kanigara. Sebenarnya ingatannya pun mulai merayap kepada kedua orang petani itu. Karena itu, pertanyaan Mahesa Jenar telah mendorongnya kepada suatu kepastian tentang tiga orang hantu berjubah abu-abu itu.

Tuhan Maha Besar,” Mahesa Jenar meneruskan, “Mereka datang kemari pada saat yang tepat. Karena salah seorang dari mereka itu pulalah maka Arya Salaka dapat diselamatkan.”

Ya,” jawab Kebo Kanigara. Pada saat itu dua buah pisau belati panjang yang berwarna kuning terbang ke arah Arya Salaka. Baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara melihat salah seorang dari mereka berjongkok. Orang itulah yang telah menolong Arya dari usaha pembunuhan yang dilakukan oleh yang lain. Dan orang itulah pasti salah seorang dari Radite atau Anggara. Tetapi ketika kemudian keduanya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang riuh, maka mereka tidak dapat mengenal lagi yang manakah di antara keduanya yang telah menolong Arya. Karena itu mereka tidak dapat segera berbuat sesuatu, sebelum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan sebaik-baiknya.

Namun Mahesa Jenar tidak mencemaskan keadaan. Ia yakin bahwa Radite dan Anggara akan dapat menyelesaikan pekerjaan mereka. Di Rawa Pening dahulu, Sima Rodra dan Pasingsingan tak mampu melawan kedua orang itu pula, sedangkan pada saat itu Radite dan Anggara harus menyembunyikan gerak-gerak khusus dari perguruan Pasingsingan. Apalagi kini mereka dapat bergerak dengan leluasa tanpa pengendalian diri. Mereka tidak perlu takut-takut bahwa mereka akan dikenal, sebab agaknya kehadiran mereka pada saat itu dengan ciri-ciri kekhususan mereka, adalah karena Radite dan Anggara telah menemukan suatu cara pemecahan.

Karena itulah akhirnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara malahan berkisar menepi. Arya pun telah turun dari kudanya. Kini jantungnya telah tidak berdentang-dentang lagi. Ia berdiri tidak jauh dari gurunya, sambil memperhatikan setiap keadaan. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba ada tiga orang yang berjubah dan bertopeng. Sedang sepasang di antaranya saling bertempur.

Pertempuran di halaman itu semakin sengit, Sura Sarunggi mengumpat di dalam hati. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara benar-benar mempengaruhi perasaannya. Ia telah melihat sendiri apa yang telah dialami oleh Sima Rodra dan Nagapasa. Kedua orang itu pulalah yang telah membinasakan mereka. Sedang kini tiba-tiba ada setan, gendruwo, thethekan yang mengganggu. Orang berjubah itu benar-benar mengacaukan rencana. Kalau tak ada mereka, ia pasti akan berhasil menghindari pertempuran ketika didengarnya kentongan rog-rog asem. Tetapi sekarang tak ada kesempatan untuk meninggalkan halaman itu. Tetapi justru karena itulah maka Sura Sarunggi, seorang yang mempunyai nama yang besar di antara mereka, yang tahu akibat-akibat dari perbuatannya, menjadi semakin marah. Senjatanya meledak-ledak seperti guruh di langit. Menyambar, melingkar, mematuk mengerikan. Senjata itu dapat menyerang lawannya tidak saja dari muka atau dari samping, tetapi ujungnya tiba-tiba dapat mematuk pula dari arah punggung lawannya. Untunglah yang melawannya adalah Anggara yang memiliki kelincahan melampaui ujung cemeti itu. Setiap kali ia meloncat-loncat menghindari dari ujung senjata lawannya itu, selincah sikatan menyambar belalang di rerumputan. Bahkan ujung pisaunya pun mematuk-matuk mengerikan, seolah-olah telah berubah menjadi puluhan, bahkan ratusan pisau yang bergerak bersama-sama.

Kemudian Sura Sarunggi itu tidak lagi memperhitungkan apa yang akan terjadi atas dirinya. Tetapi yang ada dibenaknya adalah bertempur mati-matian untuk membinasakan orang yang telah berani merusak rencananya itu. Sesudah itu, apakah ia harus mengalami nasib seperti Sima Rodra, apakah ia masih akan bernasib baik, tidaklah menjadi soal baginya.

Demikianlah pertempuran antara Sura Sarunggi dengan Anggara segera mencapai saat-saat yang menentukan. Ketika Anggara melihat lawannya berjuang pada tataran terakhir, ia pun segera memusatkan segela kemampuannya. Sehingga lambat laun, tampaklah bahwa petani miskin dari Pudak Pungkuran itu dapat mendesak lawannya. Sambil menggeram marah, Sura Sarunggi berusaha untuk melepaskan segala kesaktiannya. Namun ternyata Anggara memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Sehingga akhirnya Sura Sarunggi tak dapat berbuat lain daripada melepaskan ilmu terakhir, yang dinamainya Uler Kilan. Ilmu yang luar biasa dahsyatnya. Meskipun pada dasarnya ilmu ini adalah ilmu gerak, namun Uler Kilan memiliki daya keampuhan yang nggegirisi. Sentuhan-sentuhan ilmu ini dapat menyebabkan lawannya menjadi nyeri dan panas, seperti tersentuh oleh ulat yang paling berbahaya berlipat seperti tersentuh oleh bisa ulat yang paling berbahaya berlipat seribu. Dengan berteriak nyaring, Sura Sarunggi melenting tinggi. Kemudian menyambar lawannya dengan tangannya yang mengembang. Sedang tangannya yang lain masih juga mempermainkan cambuknya yang meledak-ledak mengerikan.

Anggara yang melihat perubahan gerak lawannya, segara mengetahui, bahwa orang yang berkepala besar itu telah melepaskan ilmu terakhirnya. Karena itu, iapun melontar mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak. Sebab, sudah pasti, untuk melawan ilmu sakti itu, ia pun harus mempergunakan rangkapan pula.

Sura Sarunggi kemudian bertempur benar-benar seperti Ular Kilan. Jauh berbeda dengan gerak-gerak sebelumnya. Ia melenting-lenting dari satu tempat ke tempat lain dengan loncatan-loncatan panjang. Kemudian kembali ia menyerang dengan telapak tangannya. Disusul dengan ledakan cambuknya memecah desir angin malam.

Akhirnya Anggara pun tak mempunyai pilihan lain. Dalam sesaat ia telah berhasil membangun diri dalam kekuatan rangkapannya. Ilmu yang disusunnya bersama-sama dengan kakak seperguruannya, Radite, berdasarkan ilmu yang diterimanya dari gurunya. Ilmu yang tak kalah ampuhnya, yang dinamai Naga Angkasa. Tiba-tiba Anggara dalam pakaian Pasingsingan itu mengembangkan tangannya, seperti seekor burung garuda. Jubahnya seolah-olah menjadi sayap-sayap yang selalu bergerak-gerak ditiup angin. Dalam kesiagapan tertinggi ia menanti lawannya menyerangnya kembali.

Demikianlah kedua orang itu bertempur dalam tingkatan terakhir. Sura Sarunggi menjadi heran, kenapa Pasingsingan ini tak melepaskan aji Gelap Ngampar atau Alas Kobar, tetapi ia lebih senang melawan ilmunya dengan ilmu gerak pula. Namun Naga Angkasa pun membawa udara yang aneh, yang seolah-olah mempengaruhi kesadaran lawannya. Naga Angkasa tidak sepanas Alas Kobar, namun pengaruhnya jauh melampauinya, sehingga dengan demikian, terasa bahwa ilmunya sendiri, Uler Kilan menjadi susut daya kemampuannya. Meskipun demikian, Sura Sarunggi bukan tokoh yang baru lahir kemarin sore. Berpuluh-puluh tahun ia menekuni ilmunya. Karena itu, didesaklah ilmu itu sampai tapis. Dengan demikian, maka perlawannyapun menjadi bertambah sengit.

Namun kembali kepada sumber kekuatan, yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Bagaimanapun setan dan iblis berusaha membangun kerajaan dengan dalih apapun juga, namun akhirnya kekuasaan Tuhanlah yang akan menang. Dan akan mulailah kerajaan Sorga yang abadi.

Semakin lama, semakin jelas, bahwa Naga Angkasa yang dahsyat itu, benar-benar dapat mendesak ilmu yang dinamainya Uler Kilan. Meskipun demikian, Uler Kilan yang kasar dan bengis itu benar-benar merupakan ilmu terkutuk dan luar biasa. Apalagi kemungkinan Sura Sarunggi itupun mempergunakan ilmunya yang lain, yang disebutnya Welut Putih, yang dapat meluluri kulitnya dengan keringatnya, sehingga ia menjadi selicin belut. Kemudian Anggara terpaksa untuk kedua kalinya melepaskan ilmunya yang lain, ilmu yang benar-benar diterima dari gurunya secara murni, Alas Kobar, setelah ia berusaha menjauhkan lawannya dari pendapa. Sebab ia sadar, bahwa Alas Kobar akan memancar ke segala arah, sehingga dengan demikian ia memerlukan jarak untuk membebaskan orang-orang lain dari pengaruhnya.

Terasa kini oleh Sura Sarunggi, bahwa lawannya itupun benar-benar bernama Pasingsingan. Tetapi ia tetap tidak mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. Meskipun demikian ia tidak mau berpikir lebih banyak lagi. Ketika terasa udara panas menyerangnya, iapun segera membentengi diri, untuk membebaskan panas yang melibatnya. Namun dengan demikian, terasa bahwa ilmunya menjadi semakin susut. Kemampuannya tidak sedahsyat mula-mula. Naga Angkasa yang dirangkapi Alas Kobar benar-benar menjadikannya cemas.

Tetapi kini benar-benar ia tak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri. Karena itu, bagaimanapun juga, ia harus mengurai segenap kemampuannya. Bahkan akhirnya ia menjadi seolah-olah putus asa, dan bertempurlah ia membabi buta.

Dalam keadaan yang demikian itulah, akhirnya Sura Sarunggi benar-benar kehilangan perhitungan. Ketika Anggara menyerangnya dengan dahsyat, ia mencoba untuk mengelakkan diri dengan melenting tinggi. Uler Kilan itu benar-benar telah membebaskannya, namun ketika ia berusaha untuk menyerang lawannya dengan cambuknya di tangan kiri dan kekuatan-kekuatan ilmu gerak Naga Angkasa, ia berhasil menangkap ujung cambuk Sura Sarunggi. Direnggutkannya cambuk itu kuat-kuat, namun Sura Sarunggi tak akan melepaskan senjatanya. Memang hal itu telah diperhitungkan oleh Anggara. Dengan demikian, karena Anggara merasa bahwa Naga Angkasa dapat melampaui, setidak-tidaknya menyamai kekuatan lawannya, ia mempunyai kemenangan waktu. Sura Sarunggi tersentak selangkah maju, namun selangkah itu telah menentukan saat terakhirnya. Ketika ia meluncur maju, pada saat yang bersamaan, Anggara meloncat maju. Pisau belati panjangnya bergerak dengan cepatnya menyambar leher lawannya. Tetapi Sura Sarunggi tak mau mati. Dengan gerak naluriah, ia terpaksa melepaskan cambuknya dan membungkukkan diri. Kali ini ia terbebas dari sambaran pisau itu, tetapi untuk kedua kalinya Anggara menyerang dengan tangannya mengenai tengkuk lawannya. Kekuatan Anggara benar-benar mengagumkan. Meskipun saat itu Sura Sarunggi dalam lambaran ilmunya, namun dengan kekuatan Naga Angkasa, pukulan tangan Anggara benar-benar seperti sambaran petir yang menghantam dari langit.

Demikianlah maka pertempuran itu sampai pada akhirnya. Sura Sarunggi, seorang yang selama ini menjadi tempat berlindung beberapa orang dari golongan hitam di Rawa Pening, dan yang telah melahirkan dua orang kakak-beradik Uling Putih dan Uling Kuning ke dalam lingkungan golongan hitam, kini tak dapat menghindarkan diri dari terkaman maut. Karena pukulan tangan Anggara yang berlambaran ilmu dahsyat itulah, maka terdengar gemeretak tulang lehernya. Sekali ia menggeliat dan melenting tinggi, kemudian ia terjatuh beberapa langkah dari lawannya. Meskipun demikian ia masih berusaha berdiri dan dengan mata yang merah menyala-nyala ia mengumpat dalam bahasa kasar, “Setan belang, iblis laknat. Terkutuklah kau oleh jin dan peri….” Kemudian Sura Sarunggi kehilangan segenap kekuatannya. Ia tak dapat mengumpat-umpat lagi, bahkan akhirnya ia terhuyung-huyung dan kemudian jatuh diam. Maut telah merenggutnya dari kehidupannya yang penuh dengan noda-noda hitam.

Suaranya yang kasar dan keras itu telah mempengaruhi suasana di halaman itu. Semua orang menoleh kepadanya. Agak jauh di depan gelap mereka melihat orang berjubah itu berdiri tegak. Beberapa langkah di hadapannya terkapar lawannya.

Mantingan dan Wirasaba melihat peristiwa itu seperti peristiwa-peristiwa rentetan-rentetan kejadian-kejadian yang mengambang dalam hatinya. Ia menyaksikannya dengan perasaan yang kosong, setelah hatinya terampas oleh ketegangan yang terus-menerus. Meskipun demikian, sesuatu memancar di dalam dada mereka. Ketika melihat Sura Sarunggi jatuh tersungkur, menyalalah kelegaan di dada mereka. Sedang Rara Wilis dan Endang Widuri kini telah benar-benar menjadi tenang. Mereka telah dapat menilai, keadaan dengan baik. Mereka telah dapat meyakinkan diri mereka, bahwa Sura Sarunggi dan Pasingsingan yang datang bersama hantu Rawa Pening itu pasti akan dapat dikalahkan. Kehadiran Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menjadi kunci penyelesaian apabila kedua orang berjubah yang lain tak mampu memenangkan pertempuran. Juga apabila kedua orang bertopeng yang tak mereka kenal itu, akhirnya akan mengambil alih perbuatan-perbuatan kedua orang yang lain itu. Apalagi kemudian mereka melihat bahwa salah seorang dari dua orang yang menggoncangkan hati mereka telah dapat dikalahkan.

Pasingsingan, guru Lawa Ijo itupun tak kalah terkejutnya mendengar sahabatnya mengumpat-umpat. Dengan satu loncatan panjang, guru Lawa Ijo melontar ke samping untuk mendapat waktu melihat apa yang terjadi atas Sura Sarunggi. Lawannya pun tidak melihat, bagaimana sahabatnya itu jatuh tersungkur di tanah, untuk kemudian tidak bangun kembali.

Terdengarlah Umbaran menggeram. Suaranya bergulung-gulung di belakang topengnya yang kasar. Kemudian terdengarlah ia berteriak putus asa, “Ayo, majulah bersama-sama. Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu. Bersama-sama mati pulalah Mantingan, dan perempuan-perempuan yang tak tahu diri. Inilah Umbaran, tak akan mundur setapak.” Suaranya menggelegar seperti suara guruh yang mengumandang di lembah yang berawa itu. Namun di balik suara yang garang itu, terasa betapa kecemasan dan keputusasaan menguasainya.

Anggara masih berdiri di tempatnya, namun ia telah memutar tubuhnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih tegak seperti patung, dan Radite yang langsung berhadapan dengan Umbaran itupun belum juga bergerak. Bahkan kemudian terdengar Radite itu berkata, “Umbaran, Anggara terpaksa membunuhnya.”

Persetan dengan Sura Sarunggi,” jawab Umbaran.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Mereka kini tahu dengan tepat, bahwa yang bertempur dengan Umbaran adalah Radite. Dan kini mereka telah dapat membedakan, yang manakah Radite dan yang manakah Umbaran. Meskipun demikian, mereka tak akan mengganggu dua orang yang kakak-beradik seperguruan itu menyelesaikan masalah mereka.

Umbaran…” kata Radite, “Pergunakanlah saat-saat terakhir ini sebaik-baiknya. Pandanglah langit yang luas dan menjadi lapang pulalah hatimu. Menyebutlah nama Tuhan, dan kemudian bertobatlah.”

Kenapa aku harus bertobat?” teriak Pasingsingan, “Aku telah menempuh suatu perjuangan yang mengasyikkan, yang telah membentuk diriku menjadi seorang yang bercita-cita. Aku sadar dan tahu akibat-akibat dari perjuanganku. Aku tahu bahwa suatu kali aku harus memilih, mukyi atau mati

Hem” Radite mengeluh, “jangan begitu. Tak ada di dunia ini manusia yang bebas dari kesalahan. Kau, aku, Anggara, Anakmas Mahesa Jenar dan Anakmas Kebo Kanigara itupun memiliki dosa masing-masing. Karena itu terhadap orang yang telah bertobat, tak seharusnya dilakukan sesuatu. Sebab kami sendiri pun bernoda. Kami akan memaafkan kau. Demikian juga guru kita. Hanya orang-orang yang terlepas dari dosalah yang berhak menghukum setiap orang yang telah bulat-bulat pasrah diri ke dalam lingkungan kebenaran. Dan orang yang demikian itu tidak ada di dunia ini. Karena itu apabila kau benar-benar bertobat, pasrah diri dengan tulus dan jujur, tak akan ada orang yang mendendammu.

Bah!” jawab Umbaran, “Akan kau pikat aku dengan mulutmu. Bertempurlah dengan sikap jantan. Jangan membujuk dan menikam aku dari belakang.

Kejantanan seseorang tidaklah ditentukan dengan atau oleh senjata,” sahut Radite, “Tetapi ditentukan oleh caranya menyelesaikan persoalan. Bagaimana ia menghargai cinta atas sesama, cinta yang dilimpahkan Tuhan kepadanya.”

Marilah kita selesaikan persoalan ini dengan cara yang sudah kita mulai,” kata Umbaran dengan lantang. “Aku telah bertekad untuk membunuh dan mengikat kalian di belakang kaki-kaki kuda. Kalau kau akan berbuat demikian atasku, ayolah, majulah bersama-sama.

Kalau kami berbuat demikian atasmu, Umbaran…” kata Radite, “Maka dosa kami akan berlipat ganda. Sebab kami tahu bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa dan bertentangan dengan perikemanusiaan. Dan dengan demikian, tak akan ada bedanya, siapakah yang dapat menikmati cinta abadi, dan manakah yang masih hidup dalam kegelapan.

Tiba-tiba Pasingsingan yang juga bernama Umbaran itu tertawa dan tertawa. Suaranya menggelegar mengumandang. Namun ia tidak melepaskan aji Gelap Ngampar, sebab ia tahu, bahwa tidak akan ada gunanya. Tetapi ia tertawa karena berbagai perasaan bergulat di dalam dadanya. Marah, kecewa, cemas dan putus asa. Pada saat yang demikian, seakan-akan berdatangan kenangan masa lampaunya. Sejak masa kanak-kanaknya yang kelam. Ayahnya bukanlah seorang yang dapat dibanggakan. Ia adalah seorang penjudi besar, yang hampir setiap malam tak pernah menjenguk rumahnya. Seorang yang sanggup membunuh kawan bermainnya hanya karena uang seduwit, apalagi dalam persoalan-persoalan yang lebih besar. Sebagai lazimnya penjudi, ayahnya adalah seorang yang mabuk pada nafsu-nafsu keduniawian yang lain, makan, minum tuak dan perempuan. Meskipun ayahnya tidak termasuk dalam lingkungan penjahat, namun apa yang dilakukan tidaklah kalah kejam dan bengis daripada para penjahat. Ibunya mula-mula hanya menahan hati. Dengan sedih ia berusaha hidup dan menghidupi anaknya, Umbaran. Tetapi lambat laun, perempuan itupun hanyut dalam arus kemiskinan jiwa. Ketika seorang laki-laki datang dan menyatakan belas kasihannya ketidakpuasannya selama ini kepada suaminya dan kesulitan yang disandangnya. Laki-laki datang dengan berbagai kesenangan. Uang, perhiasan dan nafsu. Maka berulang kalilah hal yang demikian itu terjadi. Laki-laki itu datang untuk kedua, ketiga, keempat dan ketigapuluh kalinya. Sejak itu Umbaran menjadi liar. Tak ada perhatian atasnya sebagai anak-anak yang memerlukan cinta kasih orang tuanya. Ayahnya sibuk dengan dadu dan warna-warna di meja judi, sedang ibunya sibuk melayani laki-laki yang datang mengisi kekosongan hatinya selama itu.

Umbaran yang kecil, melihat kehidupan dari segi yang kelam. Mula-mula ia merasa sedih. Kemudian ia membenci laki-laki yang datang hampir setiap hari apabila ayahnya pergi. Ia benci kepada ayahnya yang hampir menguras habis segala kekayaan dan harta benda yang pernah dimiliki. Ia benci kepada segala-galanya. Akhirnya ia menerima keadaan itu sebagai hal yang sewajarnya. Sebagai hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Ia menganggap bahwa saat yang pendek dalam dunia ini harus diteguknya senikmat-nikmatnya. Tanpa menghiraukan masa-masa mendatang, tanpa menghiraukan jaman yang abadi yang akan ditandai oleh pengadilan bagi segenap umat manusia. Pada saat manusia harus menjawab tanpa dapat menyembunyikan peristiwa yang bagaimanapun kecil dan gelapnya. Sebab pengadilan Tuhan mengenal setiap manusia. Tuhan akan melihat, meskipun hanya setetes darah yang pernah ditumpahkan, selembar rambut yang pernah digugurkan, tanpa dapat dipungkiri. Tetapi Umbaran tidak mengenal itu. Tak seorangpun yang pernah memperkenalkannya dengan kerajaan sorga. Tak seorangpun yang pernah berceritera kepadanya tentang kehadiran nabi-nabi di dunia.

Umbaran tak pernah mendengar semuanya itu. Ketika akhirnya ia mendengar juga, hatinya telah menjadi sekeras batu. Meskipun kadang-kadang hatinya terketuk juga, namun nafsunya yang melonjak-lonjak, yang dipupuknya sejak kanak-kanaknya, telah mendesak cahaya-cahaya yang menyorot ke dalam hatinya. Sehingga kemudian ia telah bertekad untuk menutup pintu serapat-rapatnya dari segenap pekabaran tentang kerajaan Allah yang Abadi. Kalau terasa padanya, adanya kekuatan-kekuatan di luar kekuatan dirinya, di luar kekuatan manusia, maka ia mencoba untuk mencarinya pada alam, pada batu-batu besar, pada pohon-pohon beringin tua, pada relung-relung goa. Kepada kerajaan setan, ia mengabadikan dirinya untuk mendapat kekuatan-kekuatan ajaib. Namun kekuatan-kekuatan yang dilambari oleh kekuatan hitam, yang arahnyapun untuk membuat malapetaka dan bencana bagi umat manusia.

Karena itulah ketika hatinya menjadi gelap, maka gelaplah seluruh isi bumi. Tak ada sedikitpun cahaya yang dapat memberinya arah. Ketika ia harus berhadapan dengan Radite itupun, baginya seakan-akan dihadapkan ke tepi suatu jurang yang dalam dan kelam. Tetapi ia sudah bertekad untuk melompat ke dalamnya. Ia tidak tahu apakah di dalamnya akan dijumpainya istana gading yang indah, atau di sana akan dijumpainya kandang serigala lapar yang siap untuk menyobek-nyobek kulit dagingnya. Namun ia tidak peduli itu. Ia sudah basah kuyup di tengah-tengah arus sungai yang deras. Tak ada jalan kembali.

Dengan tanpa berkata sepatah kata pun, akhirnya Umbaran membangunkan segenap kekuatan yang ada padanya. Ketika kemudian semua kenangan masa lampaunya telah menghindar dari benaknya, suara tertawanya pun menjadi surut, dan akhirnya terdiam. Demikian mulutnya terkatup, dengan serta merta direnggutnya topeng yang selama ini menutupi wajah aslinya. Dan tampaklah wajah tampan seorang yang telah melampaui setengah abad. Matanya yang bulat bersinar-sinar penuh nafsu, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Dengan geram topeng itu dibantingnya, dan terdengarlah ia berkata, “Radite, tak ada artinya lagi bagiku topeng dan jubah ini. Sekarang Umbaran berhadapan dengan Radite dalam penentuan saat terakhir.”

Terdengarlah Radite menarik nafas. Ia mengeluh dalam hati melihat kekerasan hati Umbaran. Namun perlahan-lahan tangannya bergerak membuka topengnya pula. Jawabnya, “Marilah kita tidak berpura-pura lagi, tidak menjadikan diri kita orang-orang aneh yang hanya mengalutkan orang lain yang melihat kita. Marilah kita kembali kepada diri kita, manusia yang kercil, dan tak berarti. Marilah kita yang kecil ini mempersiapkan diri kita untuk mengharap Yang Maha Agung. Umbaran, berjanjilah. Persoalanmu akan selesai, dan akibatnya persoalan-persoalan lain pun akan selesai pula. Pengikut-pengikutmu pun akan sadar dari kekeliruannya, bahwa apa yang akan dicapainya selama ini tak akan bermanfaat bagi bebrayan manusia.”

Umbaran menggeram. Sekali lagi suara tertawanya terlontar mengerikan, katanya, “Jangan mengigau lagi, Radite. Bersiaplah.”

Sebelum Radite menjawab, Umbaran telah menyerangnya kembali. Dengan gerak yang dahsyat penuh nafsu kemarahan ia mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan mirip dengan orang yang kehilangan akal. Meskipun demikian, gerak-gerak yang dilontarkan menjadi semakin berbahaya. Dalam keputusasaan, ia hanya mampu berpikir, “Marilah kita mati bersama-sama.”

———-oOo———-

III

Radite kemudian telah kehilangan kesempatan untuk mengajak saudara seperguruannya itu menemukan jalan kembali. Kesalahan yang telah dilakukannya beberapa puluh tahun lampau seharusnya tak terulang lagi. Pada saat seakan-akan ia membuka pintu seluas-luasnya kepada Umbaran untuk melakukan kejahatan. Pada saat ia menyerahkan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan karena nafsunya yang tak terkendalikan. Meskipun pada saat itu, ia sama sekali tidak menduga, bahwa saudara seperguruannya itu tidak meneruskan naluri gurunya yang bijaksana dan penuh pengabdian kepada manusia, yang di dasarnya dengan sinar cinta yang abadi.

Demikianlah pertempuran itu kembali berlangsung dengan sengitnya. Umbaran yang putus asa bertempur seperti gelombang laut yang ganas, bergulung-gulung menghantam apapun yang ada di hadapannya, sedang Radite melayaninya seperti seekor burung rajawali, yang setiap saat mampu melontarkan diri ke udara, menghindari ancaman gelombang yang bagaimanapun dahsyatnya, untuk kemudian menukik dengan kuku-kukunya yang tajam dan paruhnya yang runcing, menghantam lawannya. Tak seorang pun yang berani mencampuri pertempuran itu. Apalagi Mantingan, Wirasaba, atau Wilis.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak beranjak dari tempatnya. Sedang Widuri masih berpegangan ujung baju ayahnya, seperti anak-anak yang takut hilang di tengah-tengah pasar yang ribut. Arya Salaka masih juga berdiri seperti patung. Namun hatinya berdebar menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan pertempuran itu dengan tegang pula. Mereka sadar bahwa yang dihadapinya adalah persoalan yang sama sekali berbeda dengan persoalan yang sedang berlangsung di Pamingit. Radite dan Umbaran tidak bertempur karena tanah perdikan Banyubiru, tidak karena mereka berebut Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak karena mereka berdua ingin memiliki kesempatan untuk menuju ke singgasana Demak. Kalau Umbaran bertempur dengan nafsu yang meluap-luap untuk mempertahankan cita-citanya tanpa mengenal surut, maka Radite bertempur dengan harapan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, menghentikan kejahatan yang akan selalu dilakukan oleh Umbaran. Radite sendiri sama sekali tidak ada nafsu untuk memiliki pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, tak ada nafsu untuk menjadi tetua para sakti dan tak ada nafsu untuk menempuh jalan ke singgasana Demak. Sebab ia tahu bahwa itu bukanlah haknya. Setiap orang yang mencoba untuk merebut hak itu tanpa wahyu keraton padanya, tanpa wahyu yang dilimpahkan oleh Yang Maha Esa, maka mereka pasti akan mengalami kegagalan, bahkan kehancuran, apabila mereka tidak segera menyadari kesalahannya.

Demikianlah pertempuran yang sengit itu berlangsung tanpa gangguan. Seakan-akan mereka mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah mereka.

Dalam gelap malam yang semakin pekat itu, bayangan mereka melontar-lontar melingkar-lingkar dengan cepatnya. Kini mereka telah tak bersenjata lagi. Mereka hanya percaya kepada kekuatan mereka, kepada kesaktian mereka. Meskipun demikian mereka sama sekali tak mempergunakan aji mereka, baik Gelap Ngampar maupun Alas Kobar, sebab mereka sadar bahwa ilmu-ilmu itu hanya akan berbenturan tanpa arti. Mereka kini lebih mementingkan kepada kesempatan-kesempatan yang akan ditemuinya apabila lawannya berbuat kesalahan yang meskipun sekejap.

Mendung di langit menjadi semakin tebal dan tebal. Angin dari lembah kini sudah tidak bertiup lagi. Sambaran-sambaran tatit di langit yang kadang-kadang menyobek gelap malam menjadi semakin sering, dan guruh pun menggelegar tak henti-hentinya.  Sesaat kemudian, meledaklah petir di udara, yang kemudian disusul dengan hujan yang seperti dicurahkan dari langit. Butiran-butiran air yang besar berjatuhan di tanah, di genteng-genteng, di cabang-cabang pepohonan, dan di tubuh mereka yang dengan kaku berdiri di halaman Banyubiru. Hujan yang seperti tertuang dari langit yang pecah itu sama sekali tak mereka hiraukan. Bunyinya yang kemersak seperti banjir bandang tak mereka dengar, sebab perhatian mereka sedang terpaku pada pertempuran antara hidup dan mati dari dua orang yang bersaudara seperguruan. Hanya Anggara lah yang kemudian bergerak dari tempatnya, tetapi tidak mencari tempat untuk berteduh. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati titik pertempuran, dimana kedua saudara seperguruannya sedang mengadu kesaktian, yang bersumber dari mata air yang sama. Namun dalam arus yang berikutnya, sungai yang satu tetap mengalirkan air yang bening, meskipun ada juga kotoran-kotoran yang hanyut di dalamnya. Sedang sungai yang lain benar-benar telah mengalirkan air yang keruh. Anggara pun kemudian telah melepaskan topengnya. Ketika kedua saudaranya tak mengenakan topeng lagi. Ia sama sekali tak merasa perlu mempergunakannya.

Di sela-sela bunyi gemersik dedaunan yang digerakkan oleh air hujan, kadang-kadang terdengarlah jerit yang memekakkan telinga, yang melontar dari mulut Umbaran dengan penuh kemarahan. Dan bersamaan dengan itu gerakannya pun menjadi semakin liar dan ganas. Namun Radite telah bertekad untuk melayaninya habis-habisan. Meskipun sekali-kali timbul juga penyesalan di hatinya. Seandainya, ya seandainya dirinya pada saat itu tak terlibat dalam nafsu yang telah menjadikannya seolah-olah lupa pada keadaan diri, maka apa yang diprihatinkannya atas Umbaran itu tidak akan terjadi. Tetapi semua sudah terjadi. Yang harus dilakukan adalah menghentikan persoalan yang telah berlarut-larut dan yang menurut Anggara telah hampir terlambat. Terngiang kembali kata adik seperguruannya, “Kakang, agaknya Kakang telah menunggu anak macan itu menjadi seekor macan yang ganas dan trengginas. Nah akhirnya pekerjaan Kakang akan menjadi sangat berat.” Ternyata kata-kata itu benar. Pekerjaan Radite benar-benar berat. Umbaran telah menambah ilmunya dengan segala macam ilmu yang didapatnya dari daerah-daerah kelam, dari pohon-pohon beringin tua, dan relung-relung goa dan dari batu-batu besar dari bukit-bukit yang suram.

Namun Radite pun telah matang pula dengan ilmunya. Selama ia bersembunyi di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran bersama Anggara, sempat juga mereka menempa diri mendalami ajaran-ajaran gurunya lahir dan batin. Meskipun mereka menganggap diri mereka telah hilang dari pergaulan para sakti, namun firasat mereka tetap menuntut untuk menjagai kemungkinan-kemungkinan, bahwa pada suatu saat mereka masih harus menampakkan diri.

Karena itulah maka kali inipun Radite tidak dapat didesak oleh Umbaran. Bagaimanapun ganasnya Umbaran, namun dengan tangguhnya Radite melawan hantu yang terkenal dari alas Mentaok itu. Bahkan akhirnya ternyata bahwa Umbaran lambat laun harus merasakan betapa dahsyat ilmu yang dimiliki oleh Radite.

Tetapi Umbaran tidak lagi mendapat kesempatan untuk lari. Kalau tatit memancar di udara, jelas dilihatnya. Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berdiri tegak di halaman itu. Mereka adalah orang-orang yang mengerikan bagi Umbaran. Mereka adalah orang-orang yang telah terbukti dalam melampaui kesaktian golongannya. Mahesa Jenar yang telah berhasil membunuh Sima Rodra itu terang tak dapat dikalahkan sejak di Gedong Sanga, Kebo Kanigara telah berhasil membunuh Naga Laut yang menamakan diri Nagapasa, sedang Anggara baru saja membinasakan sahabatnya Sura Sarunggi.

Kini ia sendiri harus bertempur melawan Radite. Dan ia merasakan betapa tangan lawannya menjadi sekeras baja dan seberat timah. Setiap sentuhan serasa meremukkan tulang sungsumnya. Namun demikian, hati Umbaran telah benar-benar dikuasai oleh iblis. Ia tidak mau melihat kenyataan. Ia tidak mau mendengarkan panggilan terakhir dari saudara seperguruannya itu.

Pada saat-saat terakhir, ternyata bahwa ia semakin terdesak. Di dalam hujan yang semakin lebat, tampaklah ia setapak demi setapak terdesak mundur. Meskipun Umbaran berusaha untuk menguasai keadaan, menyerang dengan dahsyatnya, sedahsyat hujan yang tercurah dari langit, namun Radite tak ubahnya seperti batu karang yang tegak perkasa, tak goyah oleh arus air dan angin yang bagaimanapun kencangnya.

Meskipun hujan masih belum surut, namun berangsur-angsur gelap malam menjadi berkurang. Api di ujung kota telah lama padam. Dari kejauhan, di sela-sela desir hujan di dedaunan dan di atap-atap rumah terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat namun meyakinkan bahwa hari menjelang pagi. Sesaat kemudian terdengarlah suara riuh di luar halaman. Agaknya laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir orang-orang dari golongan hitam yang telah membakar rumah dan banjar-banjar desa, kini berdatangan di rumah kepala daerahnya.

Mendengar suara riuh itu, dan mendengar ayam jantan yang berkokok di kejauhan, Umbaran menjadi bertambah gelisah. Seperti ia datang dari kerajaan setan, maka kedatangan fajar sangat menggelisahkan. Apalagi suara riuh yang semakin lama semakin dekat.

Karena itulah maka akhirnya ia menuntut saat terakhir dari pertempuran itu. Seperti orang gila ia menyerang sejadi-jadinya. Kini ia tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, kecuali nafsu kemarahan dan keputusasaan. Karena itulah maka Umbaran mencoba untuk mempergunakan ajiannya Alas Kobar.

Ia mengharap apabila ajinya tak dapat mempengaruhi lawannya atau Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara setidak-tidaknya ia akan dapat membunuh Mantingan, Wilis dan Widuri.

Dengan demikian, udara yang panas kembali menyala di halaman itu. Umbaran sengaja mengisar diri mendekati tempat-tempat mereka berdiri. Mantingan, Wirasaba, Wilis dan Arya Salaka.

Mahesa Jenar terkejut merasakan udara yang panas itu. Demikian juga Kebo Kanigara. Apalagi Mantingan, Wirasaba dan yang lain-lain. Udara yang panas itu serasa membakar tubuh mereka di antara air hujan yang dingin.

Namun Anggara tidak membiarkan hal itu terjadi. Segera ia melipat tangan di dadanya, memusatkan kekuatan batinnya untuk melawan aji Alas Kobar itu dengan kekuatan batin pula, seperti apa yang telah dilakukan. Bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Alas Kobar itu segera mendapat perlawanan dari dalam tubuh mereka, kekuatan-kekuatan di luar kekuatan jasmaniah yang telah disalurkan oleh kekuatan aji Sasra Birawa yang mengendap di dalam dada mereka, yang getaran demi getaran merayap sepanjang urat-urat mereka ke seluruh permukaan tubuh. Namun mereka belum pernah mempelajari ilmu yang sedemikian, sehingga daya perlawanannya tidak saja mengalir ke segenap tubuh mereka, namun dapat memancar mempengaruhi keadaan sekitarnya. Dalam hal ini agaknya Anggara dan Radite memiliki kelebihan daripada mereka itu. Mereka dapat memancarkan kekuatan ilmunya, mempengaruhi keadaan di sekitarnya seperti pancaran aji Alas Kobar itu sendiri.

Radite yang pada saat itu sedang bertempur, menjadi cemas. Ia tidak akan dapat memusatkan kekuatan batin dalam perlawanan aji Alas Kobar dengan melipat tangan di dadanya. Ia menjadi cemas kalau aji Alas Kobar ini akan membakar orang-orang yang berdiri di halaman itu. Karena itu, dalam saat yang pendek ia harus dapat melawan aji Alas Kobar itu dengan cara lain. Ia harus mempengaruhi sumber dari udara panas yang membakar halaman itu. Karena itu ia bertekad untuk melumpuhkan Umbaran pada saat yang pendek. Pada saat itu pulalah maka terpencarlah ajinya Naga Angkasa. Ilmu gerak yang sukar dicari bandingnya. Dengan kecepatan seperti petir yang meloncat di langit, Radite menyerang Umbaran sesaat setelah Umbaran berhasil memancarkan ajinya Alas Kobar. Serangan yang demikian dahsyatnya, demikian cepat dalam taraf tertinggi dari ilmunya Naga Angkasa.

Yang terjadi kemudian adalah mengejutkan sekali. Umbaran kehilangan waktu hanya sekejap. Namun yang sekejap itu telah menentukan segala-galanya. Sebuah sambaran yang dahsyat telah menghantam dadanya. Sambaran aji Naga Angkasa. Umbaran yang memiliki kesaktian di atas manusia biasa itu terdorong beberapa langkah surut. Kemudian ia terguling jatuh sambil berteriak ngeri. Namun sesaat kemudian ia berhasil tegak kembali. Tetapi tiba-tiba ia menjadi terhuyung-huyung. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya kekuatan jasmaniahnya tak mengijinkannya lagi. Sehingga kemudian Umbaran itu roboh kembali di atas tanah yang basah oleh air hujan yang melimpah dari langit.

Namun Umbaran tidak mau mengerti akan keadaannya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk berdiri. Tetapi karena kemampuannya terbatas, maka ia hanya dapat berguling-guling dan meronta-ronta di atas tanah yang becek penuh lumpur.

Tergetarlah setiap hati yang melihat peristiwa itu. Melihat Umbaran yang sama sekali tidak ikhlas menerima kenyataan pada dirinya.

Radite yang berdiri beberapa langkah darinya, berdiri tegak dengan nafas yang tegang. Tiba-tiba ia meloncat maju, namun segala permusuhannya telah lenyap seperti dihanyutkan oleh air hujan yang seperti dituang dari langit. Dengan hati-hati Radite berusaha untuk menangkap Umbaran, dan kemudian dengan hati-hati pula ditenangkannya orang yang telah dibakar oleh nafsunya itu. Katanya, “Umbaran, tenanglah.”

Umbaran menggeram. Ia masih berusaha melepaskan diri. Tetapi ia tidak mampu lagi. Nafasnya telah memburu dan dadanya menggelombang tak menentu. Ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu ketika Radite meletakkan kepala Umbaran di atas tangannya. Hanya kakinya sajalah yang menyepak-nyepak dan kepalanya menyentak-nyentak. Sekali lagi terdengar Radite berkata, “Umbaran, tenanglah. Tak ada yang perlu kau gelisahkan.

Setan!” terdengar Umbaran menggeram marah. Matanya memancar merah seperti mata harimau. “Kau kira bahwa kau dapat mengalahkan aku?

Tidak, Umbaran,” jawab Radite, “Aku tidak dapat mengalahkan kau.

Kalau begitu…” kata Umbaran tersengkal-sengkal, “Kalau begitu, kau harus berlutut di bawah kakiku dan minta maaf kepadaku sebelum kau kubunuh mati, kuikat di belakang kaki kuda.

Baiklah, Umbaran, aku minta maaf kepadamu,” sahut Radite.

Tiba-tiba Umbaran menjadi agak tenang. Tetapi kemarahannya masih memancar di matanya. Ketika ia menggerakkan tangannya, ternyata ia sudah terlalu lemah, namun orang yang telah hanyut dalam nafsu kebiadaban itu tiba-tiba meludahi muka Radite. Radite terkejut. Itu adalah suatu penghinaan bagi laki-laki. Namun ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Sambil kemudian mengusap mukanya dengan lengan bajunya.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara pun kemudian melangkah mendekati Radite yang berjongkok di samping Umbaran yang gelisah menghadapi saat-saat yang mengerikan. Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun berjongkok pula. Beberapa langkah darinya tampak Rara Wilis menunduk, sedang Endang Widuri memalingkan wajahnya. Mereka tidak sampai hati untuk menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu.

Kemudian terdengarlah suara parau Umbaran yang terputus-putus, “Kalian mau mengeroyok aku?

Tidak, tidak… Umbaran,” jawab Anggara. “Ayo majulah bersama-sama Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu. Mantingan dan perempuan-perempuan itu semua bersama-sama. Meskipun kulit kalian berlapis baja dan nyawa kalian berangkap lima, namun Umbaran tak akan mundur selangkah.

Tidak, Umbaran…” sahut Radite, “Aku dan Anggara adalah saudaramu seperguruan.

Hem…” Umbaran mengeram. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidung serta mulutnya.

Arya Salaka berdiri tegak seperti tugu. Apa yang disaksikan benar-benar mengaggumkannya. Suatu pameran keluruhan budi yang tak ada taranya. Radite dan Anggara tampaknya sama sekali tak mendendam Umbaran, meskipun selama ini Umbaran telah menyulitkannya. Karena Umbaran lah maka Radite menjadi seorang yang merasa rendah diri dan tak berarti, yang lebih baik bersembunyi di antara para petani, daripada bergaul dengan orang-orang sebayanya, para sakti yang sedang mengemban tugas-tugas kemanusiaan.

Hujan yang lebat masih saja seperti tercurah dari langit. Dedaunan bergoyang-goyang karenanya, dengan disertai oleh suara yang gemersik semakin keras. Di regol halaman berdirilah laskar Banyubiru berjejal-jejal. Mereka berdesakan memasuki halaman. Namun kemudian mereka tertegun diam ketika mereka melihat halaman Banyubiru itu dicengkam oleh suasana ngeri yang mendirikan bulu roma. Mereka masih sempat melihat dua orang berjubah abu-abu bertempur, kemudian salah seorang darinya terbanting jatuh dan meronta-ronta di tanah. Ketika beberapa orang laskar yang berdiri di bagian belakang mendesak maju, pemimpin laskar itu berteriak, “Berdiri di tempatmu!

Arya Salaka dan orang-orang yang berada di halaman itu hanya menoleh sebentar kepada laskar yang berjejalan itu. Sesaat kemudian kembali perhatiannya beralih kepada Umbaran.

Paman…” bisik Kebo Kanigara kepada Radite, “Bukankah lebih baik Umbaran ini dibawa naik ke pendapa?

Radite mengangguk-angguk, namun tiba-tiba terdengar Umbaran berteriak, “Apa? Apa yang akan kalian lakuan. Menipu aku lalu menusuk dari belakang?

Tidak, tidak Umbaran,” sahut Radite cepat-cepat. “Marilah kita naik ke pendapa.

Jangan coba mengelabuhi mataku. Aku adalah calon pemimpin dari seluruh golongan hitam, dan akulah orang yang pertama-tama harus memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kemudian akulah orangnya yang mampu menguasai seluruh tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Sebab aku memiliki sipat kandel dari kraton.” Umbaran itu tiba-tiba berteriak-teriak. Kini ia benar-benar telah mengigau. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah namun nafasnya masih belum dapat diendapkan, meskipun agaknya ia telah berada di ambang pintu maut.

Umbaran…” bisik Radite, “Berdoalah, supaya maksudmu tercapai.

Ha…?” jawab Umbaran, “Kelinci yang bodoh. Hanya orang yang tak percaya kepada diri sendiri sajalah yang berdoa.

Tuhan menentukan segala-galanya,” bisik Radite pula, “Kalau kau menyebut nama-Nya Yang Agung, kau akan mendapatkan apa yang kau kehendaki.

Umbaran tidak menjawab. Tubuhnya menjadi semakin lemah, dan nafasnya menjadi semakin berdesakan dan terengah-engah. Beberapa kali ia berusaha untuk menelan ludah dan air hujan yang jatuh di mulutnya.

Umbaran masih terbujur di tangan Radite. Kadang-kadang ia masih meronta untuk mencoba merenggutkan diri dari kekuasaan maut yang sudah merabanya.

Di mana Lawa Ijo…?” Tiba-tiba Umbaran berteriak.

Lawa Ijo telah meninggalkan kau” jawab Radite.

Mati…?” teriak Umbaran. “Sura Sarunggi…?

Orang itu mati pula” jawab Radite seterusnya.

Mati. Mati. Semua orang telah mati. Gila. Tetapi aku tidak akan mati. Aku akan merajai Nusantara.” Umbaran masih mengigau.

Berdoalah” bisik Radite.

Apakah kalau aku berdoa aku akan menjadi raja?” tanya Umbaran yang semakin payah.

Lebih dari itu. Kau akan mengenal kerajaan Surga, kerajaan Allah yang jauh lebih indah dan bahagia daripada kerajaan yang kau impikan itu. Di kerajaan Sorga, kau tak mengenal dendam dan benci, tak mengenal keserakahan dan ketamakan” jawab Radite.

Aku akan menjadi raja di sana?” tanya Umbaran dalam desahan nafas yang semakin lambat.

Semua orang menjadi raja. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Pekerjaan yang paling sulit dilakukan di dunia ini. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Jauh lebih sulit daripada merajai orang lain, meskipun beribu-ribu bahkan berjuta-juta. Di kerajaan Sorga, kau akan dapat melakukannya” bisik Radite.

Umbaran mencoba menarik nafas. Lambat-lambat ia berkata, “Aku akan berdoa.

Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampunan supaya kau ikut di dalam daerah kerajaan-Nya” desak Radite.

Umbaran menjadi semakin payah. Mulutnya tampak bergerak-gerak, namun tak terdengar suaranya. Kini ia menjadi tenang. Ia tidak lagi berusaha melawan maut. Perlawanan yang tak akan berarti. Sebab maut adalah di luar kemampuan manusia untuk mencegahnya apabila ia datang. Radite menjadi berdebar-debar, demikian juga orang-orang lain yang menyaksikan. Mereka tidak tahu apa yang diucapkan oleh Umbaran itu, namun mereka mengharap agar Umbaran dapat mengurangi dosa-dosanya. Terdengarlah Radite berbisik, “Mudah-mudahan ia berdoa.

Pada saat itulah nafas terakhir meluncur dari hidung Umbaran. Namun ia tidak meronta-ronta lagi. Kepalanya di tangan Radite itu kemudian terkulai lemah. Kepala dan wajah tampannya yang selama ini selalu dilapisi dengan topengnya yang kasar dan jelek.

Umbaran telah tidak ada lagi, setelah lebih dari setengah abad ia tenggelam dalam arus nafsunya yang melonjak-lonjak. Kebencian yang berakar di dalam relung-relung hatinya, telah memancar dengan ungkapan yang mengerikan.

Radite menundukkan wajahnya. Ia merasa bahwa ia ikut serta membebani Umbaran dengan dosa-dosa. Ia merasa bahwa ia telah ikut serta menodai nama Pasingsingan yang telah disemarakkan oleh gurunya dan sebagian dari jerih payahnya. Tetapi ia tidak tahu, bahwa di dalam dada Umbaran tersimpan hati yang hitam, sehitam malam yang paling gelap. Ia tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu, bahkan gurunyapun tidak. Seandainya gurunya mengetahuinya, pasti ia tidak akan menerimanya sebagai muridnya.

Sesaat suasana menjadi hening. Hanya titik-titik air hujan sajalah yang terdengar mengusik sepi. Cahaya fajar di timur telah merayap semakin tinggi, dan gelap malam pun mulai disingkirkan.

Tak hanya Arya Salaka yang menjadi kagum, namun juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan kepalanya. Mereka menyatakan hormat setinggi-tingginya di dalam hati. Radite tidak membiarkan musuhnya mati dalam kegelapan. Tetapi ia telah berusaha untuk menunjukkan jalan kembali, ke daerah pelukan tangan Yang Maha Pengasih.

Sesaat kemudian, diangkatlah mayat yang beku dingin itu ke pendapa. Kemudian diletakkan membujur ke utara di atas tikar pandan di tengah-tengah pendapa itu. Pada saat itulah Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan yang lain-lain seakan-akan terlepas dari suatu ikatan yang erat membelit tubuhnya. Mereka kemudian bergegas-gegas melangkah naik ke pendapa dan duduk di belakang mereka yang telah mengangkat mayat itu, yaitu Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Hanya Arya Salaka yang melangkah ke regol halaman, menerima pemimpin laskarnya yang akan memberikan laporan kepadanya.

Terima kasih,” jawab Arya Salaka setelah laporan itu selesai. “Beristirahatlah kalian. Tetapi jangan hilang kewaspadaan. Tempatkan penjagaan-penjagaan di setiap jalan masuk. Rawat kawanmu baik-bak. Nanti aku akan datang ke perkemahanmu.

Laskar itupun kemudian meninggalkan halaman itu, kembali ke perkemahan mereka untuk beristirahat. Meskipun demikian senjata-senjata mereka tidak terlepas dari genggaman, sebab setiap saat keadaan akan dapat berubah-ubah.

Ketika laskar Banyubiru itu telah hilang di balik dinding halaman, Arya Salaka pun kemudian menyusul naik ke pendapa, dan duduk di belakang gurunya.

Hujan pun semakin lama semakin tipis, sejalan dengan cahaya terang yang memancar di ufuk timur. Banyubiru yang terletak di lereng Bukit Telamaya itu seakan-akan mulai memancarkan cahaya yang cerah, secerah cahaya matahari pagi. Awan di langit perlahan-lahan hanyut dibawa angin yang bertiup dari pegunungan.

Dalam keheningan itu terdengar Arya berbisik kepada gurunya, “Paman, apakah kita tidak perlu melihat garis pertempuran di Pangrantunan?

Mahesa Jenar berpikir sejenak, kemudian ia menjawab, “Menurut pertimbanganku, keadaan kini tidak lagi terlalu berbahaya, Arya. Kita tidak tergesa-gesa lagi, meskipun lebih baik kalau hari ini kita pergi. Tetapi menurut perhitunganku, tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam itu telah sebagian besar lenyap, Sima Rodra, Nagapasa, Sura Sarunggi dan Umbaran telah tak ada lagi. Yang tinggal adalah Bugel Kaliki dan Jaka Soka.”

Arya Salaka mengangguk-angguk. Demikian juga Kebo Kanigara. Namun dengan demikian mereka teringat akan kehadiran Jaka Soka di halaman ini malam tadi. Sehingga terloncat dari mulut Endang Widuri, “Paman, Jaka Soka tadi malam telah datang menjemput Bibi.” Agaknya gadis itu telah mulai dengan kenakalannya kembali setelah segala sesuatu menjadi lebih tenang dan tidak menegangkan hati.

“Ah…” desah Rara Wilis. Tetapi ia tidak melanjutkan lagi, sedang Mahesa Jenar pun hanya tersenyum saja.

Tetapi Radite dan Anggara masih dalam keadaan seperti semula. Mereka menekuni mayat Umbaran seperti menekuni mayat saudara sendiri. Terkenanglah di dalam hati mereka, masa-masa lampau di perguruan Pasingsingan. Meskipun mereka tidak pernah mengalami suatu masa bergurau bersama-sama, namun terasa bahwa mereka bersama-sama telah meneguk air dari sumber yang sama. Namun demikian, terasa pula oleh mereka, bahwa tak seorang manusia pun yang sempurna. Pasingsingan sepuh adalah orang yang mumpuni putus segala macam ilmu lahir dan batin. Namun ia adalah manusia biasa. Manusia yang kerdil daan kecil. Manusia yang kesinungan sifat khilaf dan alpa. Manusia yang pengetahuannya sangat terbatas. Karena itu maka Pasingsingan berbuat salah. Ia telah menerima Umbaran itu berkhianat. Menodai nama baik perguruannya. Mau tidak mau, noda itu akan terpercik kepada saudara-saudara seperguruannya, Radite dan Anggara. Bahkan noda itu akan terpercik ke gurunya pula. Tetapi tangan Radite telah bergerak dalam usahanya menghentikan pengkhianatan itu. Umbaran telah dibunuhnya dengan ilmu yang pada dasarnya diterima dari gurunya, seperti ilmu Umbaran itu sendiri. Sebab belumlah pasti bahwa orang lain akan mampu membunuhnya.

Melihat mereka, Radite dan Anggara masih tenggelam dalam kemuraman. Widuri menyela. Iapun kemudian berdiam diri sambil menundukkan wajahnya. Sehingga untuk beberapa saat pendapa itu kembali menjadi sepi. Baru beberapa saat kemudian terdengar Mahesa Jenar berkata, “Arya, suruhlah beberapa orang merawat mayat Sura Sarunggi dan orang-orang yang lain. Kuburlah di tempat yang seharusnya, supaya bersihlah tangan kita dari noda-nodanya.

Arya Salaka pun segera berdiri, menemui beberapa orang di gardu penjagaan yang nampaknya masih sangat payah meskipun mereka tidak berbuat sesuatu. Beberapa kawan-kawan mereka yang terlukapun telah mereka rawat sebaik-baiknya. Kepada mereka, Arya memerintahkan untuk memanggil beberapa orang lain, untuk bersama-sama menyelenggarakan penguburan mayat Sura Sarunggi dan kawan-kawannya.

Kemudian ketika Arya kembali ke pendapa, didengarnya Radite berkata, “Anakmas Mahesa Jenar. Kalau Anakmas tidak keberatan, biarlah mayat Umbaran ini aku bawa ke Pudak Pungkuran.”

Mahesa Jenar mengangkat dahinya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia bertanya, “Kenapa mesti di bawa ke Pudak Pungkuran? Kami di sini pun akan bersedia melaksanakan penguburannya seperti yang Paman kehendaki.”

Anakmas…” sahut Radite, “Umbaran adalah saudara seperguruanku. Akulah yang mempunyai kewajiban atas segala-galanya. Meskipun ia terbunuh oleh tanganku, namun biarlah aku dapat menunjukkan kuburnya seandainya pada suatu saat guru datang bertanya kepadaku, di mana Umbaran. Sebab sesaat nanti, guru pasti sudah mendengar berita tentang kematian Pasingsingan. Dan guru pasti akan mencari aku untuk menanyakannya. Sebab Pasingsingan itu terbunuh oleh Pasingsingan pula.”

Kalau demikian...” jawab Mahesa Jenar, “Terserahlah kepada Paman.”

Terimakasih Anakmas,” jawab Radite, “Mudah-mudahan dengan lenyapnya Umbaran, noda-noda yang melekat pada perguruan Pasingsingan akan tidak bertambah lagi.

Paman…” jawab Mahesa Jenar, “Setiap orang akan mengetahui, bahwa bukan Pasingsingan Sepuh lah yang bersalah, juga bukan Pasingsingan yang lain yang bersalah, tetapi Umbaran, manusia yang bernama Umbaran itulah yang berdosa. Dan ia telah menerima hukumannya.

Kembali mereka berdiam diri. Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar minta agar Arya Salaka menyediakan beberapa orang dan engkrak yang akan mengatar Radite dan Anggara kembali ke Pudak Pungkuran dengan membawa mayat Umbaran.

Ketika matahari memanjat kaki langit sepenggalah, maka Radite dan Anggara itu segera minta diri, katanya, “Anakmas, barangkali masih ada pekerjaan lain yang harus Anakmas kerjakan. Pekerjaan yang lebih penting daripada menemui aku di sini. Karena itu, aku minta diri, kembali ke Pudak Pungkuran dengan mayat Umbaran.

Radite dan Anggara tak dapat dicegah lagi. Karena itu segera merekapun berangkat beserta beberapa orang yang menyertainya mengusung Umbaran.

Lain kali aku datang lagi,” kata Radite, “Dalam kesempatan yang lebih baik. Syukurlah kalau aku nanti berkesempatan bertemu dengan eyangnya Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi orang tua itu pasti tak akan mengenal aku, sebab yang dikenalnya adalah topeng kasar yang jelek itu.

Baiklah Eyang,” sahut Arya Salaka, “Aku akan sampaikan kepada Eyang Sora Dipayana bahwa seseorang yang tak dikenal akan menemuinya.

Kemudian berjalanlah iring-iringan itu meninggalkan Banyubiru, berjalan menyusur jalan-jalan kota, ke arah timur. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan orang-orang lain mengantar mereka sampai beberapa langkah ke luar alun-alun Banyubiru. Ketika iring-iringan itu telah hilang di kelokkan jalan, maka mereka kembali ke pendapa duduk melingkar di atas tikar pandan.

Mantingan menceriterakan apa yang dilihatnya, sejak awal sampai akhir. Sejak ia melihat daun yang bergoyang-goyang, muncullah Wadas Gunung, Lawa Ijo dan Jaka Soka. Kemudian Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Disusul dengan hadirnya dua orang yang menyerupai Pasingsingan pula.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka mendengarkan ceritera itu dengan hati yang berdebar-debar. Akhirnya mereka mengucap syukur bahwa Tuhan telah berkenan menyelamatkan orang-orang yang berada di pendapa itu.

———-oOo———-

 

IV

SEHARI itu mereka beristirahat di Banyubiru. Mereka tidak perlu mencemaskan nasib Pangrantunan. Di sana masih ada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan laskar yang masih cukup kuat. Nanti apabila matahari telah condong dan panas sudah tidak terasa membakar tubuh mereka di perjalanan, mereka baru akan berangkat ke Pangrantunan.

Sehari itu, baik Arya Salaka, Rara Wilis maupun Endang Widuri seakan-akan masih dibayangi oleh bahaya-bahaya yang selalu mengancam mereka. Sebaliknya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar pun merasa bahwa mereka tidak sampai hati untuk melepaskan mereka yang masih dibayangi oleh kecemasan itu duduk sendiri dengan gelisah. Widuri, seperti anak-anak yang takut ditinggal pergi oleh ayahnya, selalu mengikutinya ke mana ayahnya pergi. Kebo Kanigara menjadi geli karenanya, meskipun ia dapat merasakan betapa pengaruh keadaan semalam telah sedemikian dalam membekas di dalam dada anaknya itu. Karena itu sambil tertawa ia berkata, “Widuri, kenapa kau membayangi aku terus-menerus? Apakah aku menjanjikan sesuatu kepadamu?”

Ah….” Widuri mengeluh. Ia sadar bahwa ia masih terpengaruh oleh kecemasan yang mencengkam seluruh jiwanya semalam.

Apakah kau kira aku menyembunyikan kain sutera berwarna hijau seperti yang kau impi-impikan?” tanya ayahnya pula.

Ah….” Kembali Widuri berdesis. Tetapi sebagai anak yang manja justru ia berkata, “Tentu. Tentu ayah menyembunyikan kain sutera berwarna hijau. Bukankah ayah sanggup membelikan buat aku? Janji ayah telah lebih setahun yang lalu.

Kebo Kanigara tertawa. Mereka hanya bergurau, sebab Widuri pun sadar bahwa ayahnya tidak akan mampu membeli kain sutera berwarna hijau yang mahal. Namun di ruang itu, Arya Salaka mendengar kelakar itu. Tiba-tiba saja merayap di dalam hatinya suatu janji, apabila nanti ia dapat menggarap sawah dan tegalannya di Banyubiru seperti masa-masa lampau, maka hasilnya pasti cukup untuk membeli kain sutera berwarna hijau. Meskipun ia tidak tahu, apakah Widuri akan menerimanya, seandainya ia nanti memberikannya.

Gila!” hatinya membantah sendiri, “Kenapa aku ribut-ribut tentang kain sutera berwarna hijau? Bukankah sekarang kita sedang menghadapi saat-saat terakhir yang menentukan?

Apa salahnya…?” Jauh di dalam hatinya terdengar suara lain.

Arya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir perasaan yang berdebat di dalam hatinya. Kemudian untuk melenyapkan perasaan itu ia berkata kepada gurunya yang duduk di hadapannya, “Paman, siapakah sebenarnya dua orang yang berpakaian mirip dengan Pasingsingan itu? Agaknya Paman telah mengenal mereka dengan baik.”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. “Ya, aku telah mengenal mereka” jawab Mahesa Jenar.  “Mereka adalah saudara-saudara seperguruan Pasingsingan, guru Lawa Ijo, yang sebenarnya bernama Umbaran.”  Seterusnya Mahesa Jenar menceriterakan beberapa hal mengenai Radite dan Anggara. Widuri yang mendengar segera berlari-lari ikut serta mendengarkan ceritera itu. Disamping Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat. Kanigara pun kemudian duduk bersama mereka.

Mereka adalah orang-orang yang luar biasa,” desis Arya Salaka, ”Mereka berhasil mengalahkan dan bahkan membunuh Sura Sarunggi dan Pasingsingan”

Ya, merekaadalah orang-orang yang luar biasa,  yang selama ini tekun mendalami ilmunya. Namun mereka menyembunyikan diri mereka di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran, ketika mereka mereka merasa bahwa mereka telah berbuat suatu kesalahan.

Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dalam hatinya ia sedang sibuk menjajagi kedua orang yang bernama Radite dan Anggara itu dengan gurunya. Gurunya pun dahulu tak dapat dikalahkan oleh Pasingsingan di Gedong Sanga, dan kemudian ternyata gurunya berhasil membunuh Sima Rodra. Juga Kebo Kanigara berhasil membunuh Nagapasa. Dengan demikian Arya Salaka mendapat kesimpulan bahwa setidak-tidaknya gurunya memiliki ilmu setingkat dengan Radite dan Anggara.  Memang sebenarnyalah demikian. Namun Arya belum mendengar bahwa Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar benar-benar pernah mencoba menjajagi ilmu kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pernah bertempur melawan Radite dan Anggara pada saat mereka mencoba untuk menemukan jawaban tentang Pasingsingan sepuh di Pudak Pungkuran. Pada saat itu ternyata bahwa mereka terpaksa memuji ketangguhan masing-masing.

Demikianlah mereka sehari-hari itu beristirahat di Banyubiru. Ketika matahari sudah semakin rendah, maka Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka pun mempersiapkan diri untuk kembali ke Pangrantunan. Namun mereka kini sudah tidak gelisah lagi, sebab mereka sudah yakin bahwa golongan hitam akan dapat mereka hancurkan. Tetapi kali ini Widuri tidak mau ditinggalkan oleh ayahnya. Bukan karena ia takut, tetapi anak itu benar-benar ingin melihat apa yang terjadi di Pangrantunan. Kali ini Kebo Kanigara tak dapat menolaknya. Widuri terpaksa ikut serta dalam rombongan itu. Karena kemudian Rara Wilis tak mempunyai kawan lagi apabila ia tinggal di Banyubiru, iapun memutuskan untuk ikut serta di dalam rombongan, apalagi ketika ia tahu bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada di Pangrantunan. Dengan demikian ia akan dapat melepaskan rindunya kepada satu-satunya keluarga yang masih ada.

Hanya Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta beserta Sendang Parapat yang terpaksa tinggal di Banyubiru. Mereka mendapat pesan, apabila ada kekalutan supaya langsung memberitahukan ke Pangrantunan atau Pamingit. Mahesa Jenar menduga bahwa Jaka Soka tak akan datang kembali ke Banyubiru sebab ia sudah tak memiliki kekuatan lagi. Gurunya sudah meninggal dan laskarnya pun tak akan mencukupi. Sedang Bugel Kaliki adalah seorang yang berdiri sendiri. Seorang diri, tanpa laskar dan tanpa pengikut. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, orang itupun tak akan datang. Agaknya orang bongkok dari lembah gunung Cerme itu telah kehilangan nafsunya untuk mencari Nagasasra dan Sabuk Inten. Atau barangkali justru mempunyai perhitungan lain. Dibiarkannya kawan-kawannya atau lawan-lawannya binasa. Kemudian ia akan dengan leluasa berbuat sendiri, menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sementara itu golongan hitam telah kehilangan pemimpin-pemimpin mereka.

Kalau Bugel Kaliki itu datang kemari…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Jangan layani. Biarlah ia berbuat sesuatu. Ia hanya memerlukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Dahulu ia pun pernah mengaduk rumah ini, namun ia tidak menemukan apa-apa.

Mantingan mendengarkan pesan Mahesa Jenar dengan baik. Demikian juga Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat. Namun dengan demikian terbayang juga di dalam hati mereka bahwa cahaya yang cerah telah mulai memancar di atas tanah perdikan Banyubiru. Awan yang kelam perlahan-lahan hanyut dibawa oleh angin yang berhembus tak henti-hentinya. Mantingan jadi teringat pada ceritera-ceritera pewayangan yang sering dibawakannya apabila ia sedang duduk bersila di belakang layar putih. Bahwa betapapun kejahatan itu berkuasa, namun akhirnya kebenaranlah yang akan menang. Sebab kebenaran adalah pancaran dari kehendak Yang Maha Kuasa.

Ketika semua sudah siap, maka segera mereka naik ke punggung kuda. Wilis pun kini telah biasa naik kuda, sedang Widuri karena kenakalannya, ia tidak kalah tangkasnya dengan setiap laki-laki. Ia berani berbuat hal-hal yang aneh-aneh di atas punggung kuda. Bahkan kadang-kadang sampai gerak-gerak yang berbahaya. Tetapi ia tertawa saja apabila ayahnya memperingatkannya.

Demikianlah maka setelah sekali lagi mereka mohon diri kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Ki Wanamerta beserta Mantingan, Wirasaba dan Sendang Parapat, bergeraklah kuda-kuda itu meninggalkan halaman. Tetapi ketika Arya Salaka hampir sampai di muka regol, tiba-tiba ia menarik kekang kudanya, sehingga kuda itupun berhenti.

Ada apa Arya?” tanya gurunya, dan semua mata pun memandang ke arahnya.

Pisau,” jawab Arya sambil menunjuk ke pohon sawo yang tumbuh di samping regol.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas. Dua bilah pisau menancap di pohon itu. Kedua-duanya berwarna kuning kemilau.

Kyai Suluh,” desis Mahesa Jenar, “Ambillah Arya.

Arya segera meloncat turun dari kudanya. Dengan cekatan, ia memanjat pohon sawo itu beberapa depa. Kemudian diambilnya kedua-duanya. Kedua pisau itu benar-benar mirip satu sama lain, sehingga Arya tak mampu membedakannya.

Adakah Kyai Suluh itu lebih dari satu?” tanya Arya.

Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah” jawabnya.

Cobalah Arya” pinta Kebo Kanigara.

Arya segera menyerahkan kedua pisau belati itu. Mantingan pun kemudian berdiri pula di samping Kebo Kanigara. Sebagai seorang dalang banyaklah diketahuinya mengenai batu-batuan dan biji-biji besi. Ia senang mempelajarinya. Juga perasaannya yang lembut, dengan mudahnya dapat menangkap setiap getaran yang memancar dari besi-besi aji. Kanigara pun agaknya memiliki pengetahuan yang serupa, sehingga akhirnya ia berkata, “Inilah yang asli.”

Mantingan mengangguk. “Kakang benar. Aku juga menyangka demikian. Sedang yang lain adalah keturunannya, meskipun keturunannya itupun memiliki kekuatan-kekuatan yang mirip dengan aslinya.

Kyai Suluh adalah pusaka yang mempunyai daya kekuatan yang luar biasa.” Kanigara meneruskan, “Pengaruhnya atas ketabahan hati serta keberanian dapat diandalkan. Sayang, pengaruh itu pada Umbaran mendapat arah yang salah. Aku kagum akan ketabahan hati serta keberanian Umbaran, namun aku menyesalkan atas tujuan yang akan dicapainya.

Tak seorangpun yang menyahut. Semua membenarkan kata-kata itu, Umbaran telah menyalahgunakan kekuatan yang tersimpan di dalam pusaka Pasingsingan itu.

Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Siapakah yang berhak menerima pisau-pisau ini?

Paman Radite dan Anggara” jawab Mahesa Jenar.

Mereka tak memerlukan lagi,” sahut Kebo Kanigara, “Ternyata mereka membiarkan kedua pusaka ini berada di halaman Banyubiru. Bukankan maksudnya untuk menyerahkan pusaka-pusaka ini kepada penguasa Banyubiru?

Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar. “Setidak-tidaknya pusaka-pusaka itu dapat dipinjam. Apabila nanti diperlukan, biarlah keduanya dikembalikan.

Baiklah,” kata Kebo Kanigara, “Agaknya Arya Salaka yang wajib menyimpannya.”

Mahesa Jenar menatap wajah Arya Salaka yang berdiri dua langkah di muka Kebo Kanigara. Wajah yang merah kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari di tengah-tengah perjalanan, di tengah-tengah sawah dan tegalan, di hutan dan di lautan. Namun dari wajah yang kasar itu memancar ketulusan serta kejujuran dan penderitaan murni. Anak yang hidup di tengah-tengah badai kesulitan dan penderitaan itu benar-benar memiliki kesederhanaan berpikir, meskipun otaknya cukup cerdas. Mendengar perkataan Kebo Kanigara itu Mahesa Jenar ikut bergembira, segembira Arya Salaka sendiri. Pusaka semacam itu adalah pusaka yang sulit dicari. Kini Arya akan menerimanya, meskipun belum pasti bahwa pusaka itu akan dimiliki untuk seterusnya.

Arya...” terdengar Kebo Kanigara meneruskan, “Simpanlah pusaka ini. Mudah-mudahan akan bermanfaat bagimu. Ketabahan serta keberanian akan memancar ke dalam hatimu. Namun apa yang telah terjadi dapatlah menjadi peringatan bagimu. Umbaran telah berusaha untuk mempergunakan pusaka itu dalam perjalanannya yang sesat.”

Dada Arya menjadi berdebar-debar. Ia maju selangkah, dan dengan tangan yang gemetar diterimanya Kiai Suluh dari tangan Kebo Kanigara, yang berkata pula, “Kau telah memiliki salah satu dari kebesaran-kebesaran yang pernah dimiliki oleh Pasingsingan.”

Aku akan selalu mengingatnya, Paman” jawab Arya Salaka. “Apa yang telah terjadi dengan Umbaran.”

Tiba-tiba terdengar Widuri menyela, “Ayah, aku juga punya cincin yang bermata merah menyala.

Kebo Kaniara menoleh kepada putrinya, “Apakah itu?

Widuri menunjukkan jarinya yang dilingkari oleh sebuah cincin yang bermata merah menyala.

Kelabang Sayuta…” desis Mahesa Jenar.

Ya,” jawab Widuri, “Lawa Ijo menamakannya demikian.”

Dari manakah kau mendapat cincin itu?” tanya ayahnya.

Lawa Ijo,” sahut Widuri. Kemudian ia pun menceriterakan tentang Lawa Ijo. Tentang anak perempuannya yang mati dan tentang prangsangkanya yang salah terhadap istrinya.

Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Agaknya Lawa Ijo telah menjadi korban keadaan seperti Umbaran. Menjadi korban keadaan di sekitarnya. Keluarganya, ruang pergaulan dan sahabat-sahabatnya. Bahkan mungkin, selain mereka masih ada lagi berpuluh-puluh, malahan beratus-ratus orang yang menjadi korban seperti itu. Mungkin dalam pergaulan dengan sahabat-sahabatnya, mungkin dalam keadaan yang tak serasi di dalam rumah tangga dan orang tuanya atau mungkin keadaan yang sumbang di perguruannya. Sehingga untuk menjadi manusia yang baik diperlukan penilikan atas tiga daerah hidup manusia sejak masa kanak-kanaknya, yaitu keluarga, lingkungan pergaulan dan tempat mereka menempa diri, yaitu perguruan-perguruan.

Namun tiba-tiba di antara mereka terdengar suara Mantingan bergumam, “Takdir telah menentukan atas kedua pusaka itu.”

Semua orang menoleh kepadanya. Di antara mereka ada yang bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Mantingan tidak meneruskan kata-katanya. Hanya Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Wanamerta lah yang menangkap maksud kata-kata itu. Kata-kata yang terlanjur melontar demikian saja dari mulut Mantingan, sehingga dengan demikian Mantingan sendiri agak menyesal karenanya. Namun ketika dilihatnya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum, Mantingan ikut tersenyum pula. Malahan Kiai Wanamerta berkata perlahan-lahan, “Kami orang-orang tua hanya berdoa, semoga anak-anak muda mendapat jalan terang.”

Yang lain tak dapat mengerti apa yang mereka maksudkan. Arya Salaka Widuri, bahkan Rara Wilis menyangka bahwa Wanamerta sedang berdoa untuk kemenangan mereka melawan orang-orang dari golongan hitam. Namun sebagai seorang ayah, Kebo Kanigara berpikir, “Apakah kedua pusaka, yang masing-masing berada di tangan Arya dan Endang Widuri itu akan menjadi perlambang dan menentukan jalan hidup mereka?”

Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Mahesa Jenar tidak berkata apa-apa. Malahan kemudian kembali mereka teringat kepada perjalanan yang akan mereka tempuh, sehingga dengan demikian kembali Mahesa Jenar mohon diri untuk meneruskan perjalanan itu.

Maka merekapun segera berkemas. Kyai Suluh kini berada di pinggang Arya Salaka, sedang tangannya masih menggenggam tombak Banyubiru. Sedang pusaka keturunan Kyai Suluh masih di bawa oleh Kebo Kanigara. Meskipun ia sendiri tidak memerlukannya, namun belum ada orang yang akan diserahinya untuk menyimpan pusaka itu.

 Di sepanjang perjalanan, Kebo Kanigara berusaha untuk dapat menasehati putrinya mengenai Kelabang Sayuta itu. Seperti juga Kyai Suluh, Kelabang Sayuta adalah batu akik yang mempunyai pengaruh yang jelas kepada pemiliknya. Akik itu akan dapat mempengaruhi keuletan dan keterampilan berpikir.

Demikianlah rombongan itu berjalan dengan kecepatan sedang. Paling depan tampak Arya Salaka di atas kuda hitam, kemudian Rara Wilis dan Endang Widuri yang menjajarinya. Di belakang mereka, berkuda berdua Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka kini merasa bahwa sebagian dari pekerjaan mereka yang terberat sudah selesai. Golongan hitam telah 8 dari 10 bagian hancur. Lebih dari itu, bagi Mahesa Jenar yang paling membesarkan hatinya, adalah sikap Lembu Sora. Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Agaknya orang itu telah menemukan jalan untuk kembali. Kembali kepada Tuhan, dan kembali kepada kesadaran diri atas segala ketamakan dan keserakahannya.

Matahari semakin lama menjadi semakin rendah, seakan-akan kini bola langit itu bertengger di atas pegunungan di sebelah barat. Sinarnya yang kemerah-merahan memancar ke segenap arah, ke wajah langit dan ke wajah bumi. Daun-daun yang hijau menjadi semburat merah. Namun cahaya merah itupun semakin lama semakin pudar. Akhirnya tinggal menyangkut di ujung-ujung daun hijau di lereng-lereng bukit, untuk seterusnya tenggelam di balik pegunungan.

Di langit kini bermunculan bintang-bintang. Satu demi satu. Namun akhirnya jumlahnya tak terhitung lagi. Bintang-bintang berpencaran dari ujung langit ke ujung yang lain. Awan yang kelabu sehelai-helai mengalir ke utara. Yang kemudian seakan-akan berkumpul menjadi satu. Awan-awan yang basah itu kemudian menjadi semakin tebal dan menjadilah lapisan mendung di langit yang luas.

Rombongan kecil itu mempercepat perjalanan mereka. Mereka takut kehujanan. Semalam, hampir seperempat malam mereka membiarkan diri mereka terbenam dalam hujan yang lebat. Kini mereka tidak ingin kedinginan lagi. Lebih baik berbaring di samping perapian sambil merebus ketela pohon daripada harus menempuh perjalanan di hujan yang dingin.

Beberapa saat kemudian tampaklah di kejauhan api yang menyala. Agaknya itu adalah perapian dari anak-anak Pamingit atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda mereka berlari semakin cepat. Perapian itu tampaknya hanya satu dua saja. Tidak seperti kemarin. Berpuluh-puluh di sekitar desa Pangrantunan.

Ketika kuda Arya memasuki daerah itu, ia benar-benar terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa kelompok orang-orang yang sedang menghangatkan diri. Ke manakah laskar Pamingit dan Banyubiru yang banyak itu?

Arya menarik kekang kudanya. Ia berhenti agak jauh dari desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat Arya Salaka berhenti.

Kenapa sesepi ini, Paman…?” bisik Arya.

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan dengan seksama. Kata Mahesa Jenar, “Apakah orang-orang itu orang-orang Pamingit atau Banyubiru…?

Entahlah” jawab Arya.

Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mencoba untuk mengetahui apa yang sedang dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian berdiri di samping perapian itu. Apakah mereka kawan apakah lawan.

Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun bersiaga ketika mereka mengetahui ada rombongan orang-orang berkuda datang ke dekat mereka.

Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah maju. Dan orang-orang di tepi perapian itupun menyongsongnya dengan tombak yang tunduk.

Siapakah kalian?” tanya salah seorang dari mereka.

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan orang-orang itu menjadi semakin dekat.

Siapakah kalian…?” terdengar kembali pertanyaan salah seorang dari mereka.

Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka bukan dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut, “Mahesa Jenar bersama Arya Salaka dan rombongan.”

O.…” sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin tunduk.

Laskar manakah kau?” tanya Mahesa Jenar kemudian.

Pamingit,” jawab orang itu, “Kami mendapat tugas untuk menanti kedatangan Tuan.

Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka pun mendekat.

Kenapa sepi?” tanya Arya Salaka.

Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan ke induk pasukan,” jawab orang itu. Namun nampaknya orang itu sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendapat kesan yang baik.

Mahesa Jenar beserta rombongannya kemudian mengikuti orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa ke pondok yang semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi memegang pimpinan pertempuran.

Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang di muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia berkata, “Silahkan Tuan-tuan.”

Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal orang itu, Wulungan. Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang dan tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu, duduk di atas bale-bale yang besar, hampir memenuhi ruangan.

Sehari penuh kami menunggu Tuan-tuan,” kata Wulungan. “Kami mengira bahwa Tuan akan datang pagi tadi. Karena itu, ketika Tuan-tuan tidak segera datang, kami menjadi cemas. Ki Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila malam nanti Tuan-tuan tidak datang, kami harus menyusul bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri.”

Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan,” sahut Mahesa Jenar, kemudian ia bertanya, “Kami terkejut ketika kami melihat daerah ini sedemikian sepi.”

Semuanya sudah selesai” jawab Wulungan.

Selesai…?” ulang Arya Salaka.

Ya. Pekerjaan kami sudah selesai. Orang-orang dari golongan hitam telah meninggalkan seluruh daerah Pamingit. Mereka menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika kami maju ke garis perang, pertahanan mereka telah kosong. Seorang pengawas melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka meninggalkan daerah ini, namun pengawas itu belum yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi,” jawab Wulungan.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas. Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya, katanya, “Jadi aku sudah terlambat?

Apa yang terlambat?” tanya ayahnya.

Aku tidak dapat melihat pertempuran itu,” sahut Widuri.

Beruntunglah kau,” kata ayahnya pula.

Salah ayah. Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang lalu” jawab Widuri.

Beruntunglah kau,” ulang ayahnya, “Kau akan ngeri melihat pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir, melihat orang mengerang kesakitan karena terluka.

Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan Pasingsingan,” Widuri meneruskan. Kebo Kanigara tersenyum, Mahesa Jenar pun tersenyum. “Tetapi bukankah kau masih utuh?” sambung ayahnya.

Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk sesaat berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.

Nah, Tuan-tuan…” Wulungan memecah kesepian, “Beristirahatlah. Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan.”

Siapakah tamu-tamu itu?” tanya Arya.

Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten” jawab Wulungan.

Kemudian Wulungan meninggalkan mereka untuk beristirahat. Awan yang basah di langit telah bersih disapu oleh angin. Tetapi udara terasa betapa panasnya.

Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan udara yang panas itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk menyejukkan diri di luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk berjalan-jalan di halaman. Di kejauhan, api masih tampak menyala-nyala. Agaknya laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan tubuh. Memang di udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk dan dingin daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka sedang merebus jagung.

Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalur-jalur jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua senjatanya ditinggalkan di pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di Pangrantunan itu telah benar-benar aman. Dengan demikian ia berjalan saja seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa.

Namun yang tak diketahuinya, beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang mata itupun lalu menyertainya. Mereka berlindung di balik pepohonan dan bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa itu. Menilik gerak-gerik mereka, mereka bukanlah orang-orang yang dapat diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka mengikuti langkah Arya Salaka. Arya masih belum menyadarinya. Sehingga dengan demikian, orang-orang itupun semakin lama menjadi semakin berani. Mereka kini lebih merapat lagi di belakang Arya Salaka yang sedang kehilangan kewaspadaan.

Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah benar-benar terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa, namun didengarnya gemersik daun-daun kering di kiri-kanan jalan sempit itu. Dan gemersik itu selalu mengikutinya kemana ia pergi.

Arya Salaka tidak segera menoleh atau mengamat-amati suara itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang lain, bahkan seandainya ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak akan mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran mereka.

Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya, gemersik itupun menjadi semakin cepat, dan apabila Arya memperlambatnya dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya, gemersik itupun lambat pula. Akhirnya Arya berhenti, perlahan-lahan ia memutuar tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu pula. Suara gemersik itupun berhenti dan berputar pula mengikutinya.

Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan perhitungan. Ia mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau orang itu akan menyerang atau berkepentingan dengan dirinya, maka orang itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin dekat dengan pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu hanya akan mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan berhenti. Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk mengejar dan menangkap mereka atau salah satu dari mereka.

Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi. Agaknya orang yang mengikuti Arya Salaka itu tak membuang waktu, dan tak mau menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan pondoknya, di mana telah menunggu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi. Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang menjadi semakin jelas, dan tiba-tiba seseorang telah meloncat tepat di belakangnya. Arya adalah seorang yang cukup memiliki bekal pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu, segera ia memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.

Tetapi ketika ia melihat orang yang berdiri di hadapannya, ia menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun beraninya, namun dada Arya Salaka berdesir pula. Di hadapannya kini berdiri seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng kulit kayu kasar.

Pasingsingan,” desis Arya.

Orang itu tertawa. Suaranya berat dan kasar. Katanya, “Apakah hanya Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia ini?

Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan memiliki tanda-tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang jelek dan kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu berciri lain. Ia tidak mengenakan jubah, dan topengnya dibuat dari klika kayu yang sangat sederhana.

Siapa kau?” tanya Arya Salaka.

Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut mega” jawabnya.

Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?” tanya Arya pula.

Bukankah kau Arya Salaka…?” tanya orang bertopeng itu.

Arya tidak merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya, maka ia pun menjawab dengan jujur, “Ya, aku Arya Salaka.

Orang itu tertawa. “Jadi kaulah yang mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru?

Kenapa kau sangka aku mengaku-aku..?” sahut Arya Salaka. “Aku tidak akan mengaku demikian seandainya ayahku bukan kepala daerah perdikan Banyubiru.

Kembali orang itu tertawa. Suaranya sangat menyakitkan hati. Katanya “Di mana ayahmu sekarang?

Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati Arya Salaka. Karena itu ia menjawab, “Jangan banyak bicara. Apa maksudmu?

Ikut aku” kata orang itu.

Lalu…?” sela Arya.

Jangan bertanya” jawab orang itu.

Adalah hakku untuk mengerti apa yang akan aku kerjakan” kata Arya.

Hanya ada dua pilihan bagimu. Mau atau tidak?” desak orang itu pula.

Arya masih mencoba menyabarkan diri, meskipun hatinya bergelora. Meskipun demikian ia menjawab, ”Jangan memaksa

Jawab pertanyaanku. Mau atau tidak” berkata ora itu pula.

Tidak” jawab Arya tegas.

Kalau begitu aku harus memaksamu. Dengan kekerasan. Kalau perlu akan aku bawa meskipun kau telah menjadi mayat” kata orang itu.

Arya masih sibuk berpikir. Siapakah orang ini. Apakah ia dari golongan hitam atau dari golongan lain yang tak menyukainya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai satu-satunya orang yang berhak atas tanah perdikan Banyubiru?

Tetapi Arya tak berkesempatan untuk berpikir lebih lama. Sebab orang itu membentaknya, “Bersiaplah!

Arya tak sempat menjawab. Ia melihat orang itu meluncur dengan cepat menyerangnya. Namun Arya Salaka pun telah bersiap pula. Karena itu dengan tangkasnya ia mengelak, dan bahkan dengan lincahnya ia pun membalas menyerang lawannya. Demikianlah maka segera terjadi perkelahian di antara mereka. Arya Salaka mula-mula masih meragukan lawannya. Namun ketika lawannya itu bertempur dengan kerasnya, maka ia pun tak mempunyai pilihan lain daripada melayaninya dengan sekuat tenaganya.

Orang bertopeng itu bertempur dengan gigih. Ia tidak banyak bergerak, namun serangan-serangannya yang datang tak ubahnya seperti gunung yang runtuh. Segumpal-segumpal beruntun berguguran. Namun Arya telah bertempur selincah kijang. Dengan cepat dan tangkas ia selalu berhasil menghindarkan diri dari setiap serangan yang datang. Bahkan serangan-serangannya pun datang seperti badai yang dahsyat. Mengalir tanpa berhenti. Gelombang demi gelombang.

Karena itupun maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Masing-masing telah bekerja sekuat tenaga untuk mengalahkan lawannya. Arya bertempur seperti banteng ketaton. Tetap, tangguh dan tanggon. Namun lawannya pun bertempur seperti seekor gajah yang demikian percaya pada kekuatan tubuhnya.

Demikianlah pertempuran itu berjalan semakin sengit. Arya Salaka ternyata memiliki ketangkasan yang cukup dapat mengimbangi lawannya. Namun meskipun demikian, ia selalu waspada. Tadi ia mendengar gemersik itu di kiri dan kanan jalan. Sehingga kesimpulannya, orang yang mengintainya tidak hanya seorang. Ia pasti mempunyai kawan. Dengan demikian ia harus selalu waspada, sebab setiap saat kawannya itu akan dapat muncul dan menyerangnya bersama-sama.

———-oOo———-

 

V

Tetapi meskipun sudah sekian lama Arya bertempur, orang yang lain belum muncul juga. Sehingga Arya menjadi curiga. Apakah mereka akan menyerangnya apabila ia telah benar-benar kelelahan. Karena itu, Arya menjadi marah, dengan lantang berkata, “Hai, orang yang licik. Ayo keluarlah dari persembunyianmu. Kalau kalian akan bertempur bersama-sama, majulah bersama-sama. Jangan main sembunyi-sembunyian.

Namun tak ada jawaban. Hanya seorang itu sajalah yang bertempur melawannya. Ketika ia mendengar Arya berkata dengan marah, ia pun menyahut, “Jangan sombong, kau kira bahwa di dunia ini hanya ada seorang laki-laki yang bernama Arya Salaka…?”

Aku tak berkata demikian,” jawab Arya sambil bertempur. “Aku ingin kalian bertempur dengan jujur. Jangan mengambil kesempatan yang licik.”

Aku bukan betina,” kata orang bertopeng sederhana itu. Namun dengan itu gerakannya menjadi semakin keras. Seperti angin pusakanya bergerak berputar-putar. Kini ia menjadi bertambah lincah dan bertambah garang. Tetapi Arya Salaka pun telah kehilangan kesabarannya, karena kemarahannya telah memuncak. Arya tidak tahu dengan siapa ia berhadapan, namun agaknya lawannya benar-benar bertempur antara hidup dan mati. Karena itu ia pun bertempur mati-matian. Ia tidak mau menjadi korban dalam persoalan yang gelap.

Pertempuran itu sudah berlangsung beberapa lama. Namun tak seorangpun yang tampak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Kedua-duanya telah mengerahkan segenap tenaga yang mereka miliki, namun perlawanan merekapun menjadi semakin bertambah sengit.

Tetapi lambat laun, Arya merasakan sesuatu yang aneh pada lawannya. Seolah-olah ia pernah mengenal gerak-gerak yang demikian itu. Mula-mula lawannya mempergunakan tata berkelahi yang asing baginya. Aneh dan bercampur baur. Tetapi ketika Arya mendesak terus, lawannya itu tak mampu lagi mempergunakan tata gerak yang aneh-aneh dan bercampur baur. Sehingga akhirnya lawan Arya yang bertopeng itu terpaksa mempertahankan dirinya dengan ilmu yang sesungguhnya dimilikinya.

Arya Salaka mencoba mengamati setiap gerak dan perlawanan lawannya itu. Bagaimana ia menyilangkan tangannya di bawah dadanya, bagaimana ia meloncat miring dan bagaima ia memutar sikunya apabila ia mencoba melindungi lambungnya. Serangan-serangannya pun seakan-akan pernah dikenalnya. Dengan tangan yang mengepal berkali-kali menyambar dagu, dengan ujung-ujung jari dari keempat jarinya yang lurus mengarah ke bagian bawah leher dan perut. Dengan sisi-sisi telapak tangan, dan dengan siku dalam jarak-jarak yang pendek. Kaki Arya pun dengan lincahnya bergerak dan meloncat. Kadang-kadang seakan-akan tertancap di tanah seperti tonggak besi yang tak tergoyahkan. Namun kadang-kadang tumitnya tiba-tiba menyambar lambung.

Arya sempat mengingat-ingat sambil berkelahi. Meskipun kadang-kadang serangan lawannya itu datang dengan dahsyat. Sekali-kali ia terdesak mudur, sebuah demi sebuah serangan lawannya itu mengejarnya. Ketika kaki lawannya itu menyambar dadanya, ia menarik tubuhnya dan berputar, namun lawannya meloncat maju. Dengan kaki yang lain, orang bertopeng itu menyapu kakinya yang baru saja menginjak tanah. Demikian cepat sehingga Arya tak sempat mengelak. Karena sapuan itu, Aya kehilangan keseimbangan, namun ia adalah seorang yang cukup terlatih. Dengan demikian, ia dapat menjatuhkan dirinya dengan baik dan berguling satu kali, untuk kemudian melenting berdiri. Tetapi ia terkejut ketika demikian ia tegak, sebuah pukulan menyambar dagunya. Terdengar giginya gemertak. Ia hanya sempat menarik wajahnya untuk mengurangi tekanan pukulan lawannya, namun wajahnya itupun terangkat pula. Perasaan sakit seperti menyengat dagunya itu. Ia terdorong selangkah surut. Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan, dengan tangkasnya ia meloncat maju. Namun kali ini Arya tidak mau menjadi sasaran terus-menerus. Dengan tak diduga oleh lawannya, sekali lagi Arya meloncat ke samping, kemudian dengan lincahnya ia memutar tubuhnya, dan kakinya menyambar perut lawannya. Terdengar lawannya mengaduh perlahan. Disusul dengan serangan kedua ke arah dada. Sekali lagi orang itu terdorong ke belakang. Dan Arya mengejarnya terus.

Dengan demikian pertempuran itu kian seru dan berbahaya. Apalagi bagi Arya, sebab ia terpaksa menyimpan sebagian perhatiannya untuk menghadapi setiap serangan yang tiba-tiba dari orang-orang yang masih bersembunyi di balik-balik pagar. Meskipun demikian Arya tak dapat dikalahkan dengan segera. Bahkan tampaklah bahwa Arya dapat melawan dengan baiknya dalam keseimbangan yang setingkat.

Tiba-tiba dada Arya berdesir. Tiba-tiba pula ia mengingatnya. Serangan-serangan yang demikian dahsyat itu pernah dirasakan di Gedangan. Sawung Sariti. Gerakan-gerakan ini demikian mirip dengan ilmu saudara sepepuhnya itu. Tetapi apakah lawannya itu Sawung Sariti? Ia mencoba mengamat-amati tubuh lawannya itu, dari kaki hingga ujung kepalanya. Ia bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Orang itu agaknya terlalu besar bagi Sawung Sariti. Namun karena orang itu berkerudung kain yang kehitam-hitaman, sehingga dengan demikian ia tak dapat menilainya dengan jelas.

Meskipun dapat masuk di akal, apabila tiba-tiba Sawung Sariti menyeranganya, namun ia tidak berani berprasangka demikian. Apalagi ia meragukan bentuk tubuh lawannya itu. Ketika ia teringat pengalamannya di pantai Tegal Arang, apakah kali ini eyangnya yang mencoba menjajagi kekuatannya. Bahkan ilmu Sawung Sariti itu diterima dari eyangnya. Tetapi tubuh eyangnya pun tak sebesar itu. Eyangnya bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Jadi siapa? Apakah pamannya? Paman Lembu Sora? Tak mungkin. “Tidak,” hatinya melonjak, “Mudah-mudahan bukan Paman.”

Sambil berteka-teki Arya melayani lawannya. Meskipun pamannya bertubuh tinggi besar dan berdada bidang, namun ia tidak menyangka bahwa orang itu pamannya. Pundak pamannya tidak setinggi itu dan leher pamannya agak lebih panjang. Tetapi sepengetahuannya, orang yang memiliki ilmu keturunan eyangnya hanyalah pamannya dan Sawung Sariti. Ia tidak memperhitungkan pengawal Sawung Sariti yang berwajah bengis dan bernama Galunggung. Sebab ia tidak yakin bahwa Galunggung memiliki ilmu sedemikian tinggi. Arya juga tidak dapat menyangka bahwa orang itu Wulungan. Sebab Wulungan pun tak akan mampu mempergunakan ilmu Pangrantunan sampai tingkat itu. Apakah Wulungan dalam penilaiannya adalah orang yang baik dan jujur. Jujur dalam menilai diri sendiri, jujur dalam menilai kesalahan-kesalahan sendiri.

Siapa…? Siapa….?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Arya Salaka. Siapakah orang ini dan siapakah yang bersembunyi di balik pagar.

Tiba-tiba ia melihat bayangan obor di kejauhan. Obor orang-orang Pamingit yang bertugas menunggunya di Pangarantunan sekaligus mengawal daerah kecil itu. Orang-orang Pamingit itu mungkin akan nganglang atau mempunyai keperluan lain di pondok penginapannya, atau barangkali mereka kebetulan adalah orang Pangrantunan yang akan mempunyai kepentingan dimalam yang gelap itu. Dalam kesibukan pertempuran itu, Arya Salaka sempat melihat daun-daun yang bergoyang di pagar dekat tempat mereka bertempur. Matanya yang tajam melihat sebuah bayangan yang merapat di pagar bambu yang telah rusak. Pikirannya yang cepat segera mengetahui, bahwa orang itu pasti akan menghadang orang yang membawa obor dan yang semakin lama semakin dekat. Arya Salaka menjadi cemas. Orang yang membawa obor itu tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan orang yang membawa obor itu mungkin seorang atau dua orang laskar biasa, sehingga apabila ia mendapat serangan yang tiba-tiba, maka akan terancamlah jiwanya. Karena itu Arya tidak mau membiarkan hal itu terjadi, sehingga ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Tetapi sampai saat ini ia masih sibuk melayani lawannya yang menyerangnya seperti air sungai yang mengalir tak henti-hentinya. Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai nasib orang yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak, “Hai, siapa yang membawa obor itu?

Kenapa kau berteriak-teriak?” tanya orang yang bertopeng.

Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat. Bahaya sedang menanti di sini,” sambung Arya tanpa memperdulikan kata-kata orang bertopeng.

Kau mencari kawan?” sindir orang bertopeng itu.

Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang yang membawa obor, “Ada apa di situ?

Jangan mendekat,” teriak Arya sambil bertempur terus. Obor itu berhenti. Arya menjadi agak berlega hati. Namun terdengar orang di balik pagar berdesis, “Curang. Kau tidak memberi kesempatan aku bertempur.

Siapa kau?” tanya Arya.

Jangan ribut!” bentak orang di balik pagar itu. Arya melihat obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh. Malahan kemudian tampak obor itu terbang cepat sekali. Agaknya orang yang membawa obor itu telah berlari sekencang-kencangnya.

Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan, Arya berkata, “Nah, jangan menunggu laskar-laskar yang tak tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian?

Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan Arya menjadi semakin rapat dan serangan-serangan balasan Arya pun datang seperti ombak di lautan, beruntun menghantam tebing. Semakin lama tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya, setelah ia mengetahui kekuatan dan kekurangan tata gerak lawannya. Hal inipun dirasakan pula oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa melontarkan diri surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia berusaha sekuat tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya Salaka yang muda itu.

Meskipun demikian, orang di balik pagar itu tidak muncul untuk membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi bertambah pusing. Kalau orang itu ingin membinasakan, kenapa orang di balik pagar yang barangkali lebih dari seorang itu tidak menyerangnya bersama-sama. Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap waspada, apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat yang setepat-tepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan dengan laki-laki yang tinggi hati?

Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur sambil berteka-teki.

Orang yang membawa obor itu adalah orang Pangrantunan. Ia bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia mendengar teriakan Arya, ia menjadi ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin ke sungai, ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika ia berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang nganglang. Sambil terengah-engah ia berkata, “Ki Sanak, ada bahaya di jalan ini.”

Laskar itu pun bertanya, “Dari mana kau tahu?

Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar seseorang berteriak, Jangan mendekat…!” jawab orang itu.

Kedua orang itu mengangguk-angguk. “Marilah kita bawa Kakang Wulungan.

Ayolah” jawab yang pertama.

Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan berdiri dihalaman bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia, “Apa yang terjadi?

Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.

Nah, itulah…” sahut Mahesa Jenar, “Kami juga mendengar seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang diteriakkan.”

Marilah kita lihat,” desis Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan, “Kau tetap di sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau perlukan kami.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera melangkah pergi. Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk mengamati keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil beberapa orang yang masih enak-enak duduk di samping perapian sambil merebus jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar mereka meningkatkan kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tak mereka kehendaki.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar Pamingit itu lewat jalan desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam, mereka sadar bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu mereka justru memilih kebun dan gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-baiknya.

Arya Salaka masih saja sibuk melayani lawannya. Namun lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik daripada nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai mendesak orang bertopeng itu, meskipun untuk berbuat demikian Arya harus berjuang ngetog kekuatan dan ilmunya. Disamping kemenangannya yang datang lambat sekali itu, Arya masih harus memperhitungkan apa yang kira-kira dapat dilakukan apabila orang-orang di balik pagar itu datang membantu.

Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya datang. Orang-orang di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam kelam. Seorang, lalu disusul seorang lagi.

Melihat mereka, Arya segera menyiapkan diri. Arya belum pernah melihat mereka berdua. Yang seorang agak pendek bulat, yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak mereka, Arya mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka. “Setidak-tidaknya mereka bertiga ini setingkat,” pikir Arya, “Kalau demikian aku akan mengalami kesulitan untuk melawannya.

Di dalam gelap malam, Arya tidak memperhatikan wajah-wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih harus bertempur pula. Karena itu ia sama sekali tidak mendapat kesan apa-apa mengenai wajah kedua orang itu.

Karena itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat kepastian dari lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap terakhir. “Ki Sanak, apapun yang akan kalian lakukan, berkatalah siapakah kalian dan apakah maksud kalian?

Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya, “Tutup mulutmu.

Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat?” Arya meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang bertopeng itu. “Apa salahku, dan apakah hubungan antara kita?” sahut Arya.

Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah itu akan aku miliki” jawab orang bertopeng itu.

Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur. Kalau kau benar-benar ingin tanah ini, mengakulah siapa kau.” Arya bertambah curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan dari adik sepupunya. Apakah orang ini benar-benar adiknya yang membawa orang-orang asing untuk membunuhnya?

Tutup mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu” bentak orang bertopeng itu. Sedang dalam pada itu kedua kawan-kawannya pun telah bergerak pula mendekati titik perkelahian itu. Arya kini benar-benar harus menentukan sikap terakhir. Siapapun yang berdiri di hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar akan membinasakannya apapun alasannya ia harus membela dirinya mati-matian. Sebagai seorang laki-laki yang diasuh oleh Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang dada. Namun iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha untuk tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya, suaranya dan kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya. Adiknya tidak berkata sekasar itu, namun lebih licin, licik dan menyakitkan hati. Tatageraknya pun agak berbeda. Adiknya licin dan cekatan, orang itu tangguh meskipun cepat bergerak pula. Tetapi akhirnya ia tidak peduli lagi, siapapun yang dihadapi. Ketika dua orang kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai pilihan lain daripada mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata bertatagerak lain. Lain sekali dengan orang bertopeng itu. Mereka agaknya sama sekali tak ada hubungan perguruan.

Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat mampu mempertahankan dirinya. Maka daripada mati sebelum segenap tugasnya selesai, Arya telah memilih keputusan yang terakhir. Ia melontar mundur agak jauh dari lawannya, dipusatkannya segala daya kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut saluran ilmu terakhirnya, Sasra Birawa.

Tetapi kembali ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketiga orang itu sama sekali tak mengejarnya. Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak, “Arya, jangan. Jangan.”

Pemusatan pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali ia mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena pengaruh perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar terpaksa mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya menjalar ke sisi telapak tangan kanannya.

Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar suara, “Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan getaran di dalam dirimu sebelum kau terbenam di dalamnya.”

Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat berbuat lain daripada menurut perintah itu. Kakinya yang hampir diangkatnya, diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan kanannya yaag sudah mulai bergerak, disilangkannya di muka dadanya untuk meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di dalam dirinya. Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor kembali sebelum menguasai tubuh Arya sepenuhnya.

Arya Salaka melihat dua orang perlahan-lahan menyusup di bawah pagar bambu di tepi jalan, dekat di sampingnya. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Keduanya sama sekali tidak mengesankan ketegangan yang dialaminya selama ia bertempur melawan orang bertopeng itu. Bahkan dengan perlahan-lahan Mahesa Jenar menepuk pundaknya sambil berkata, “Bersyukurlah. Kau mendapat lawan yang luar biasa.

Dua orang kawan orang bertopeng itu melangkah surut. Mereka mencoba bersembunyi di dalam kelam di bawah pepohonan yang rimbun, sedang orang bertopeng itu berdiri tegak seperti patung.

Arya menjadi keheran-heranan melihat sikap gurunya, yang seakan-akan tak terjadi suatu apapun di sini. Dirasanya dalam malam yang gelap dingin itu tubuhnya dibasahi oleh keringatnya yang mengalir dari segenap wajah kulitnya. Namun Mahesa Jenar menganggap apa yang terjadi agaknya seperti suatu permainan yang menyenangkan.

Arya kemudian mencoba untuk menilai sikap gurunya. Barangkali gurunya yakin bahwa orang yang bertempur melawannya itu tidak lebih daripada dirinya. Mungkin gurunya tahu pula bahwa kedua kawan orang bertopeng itu adalah orang-orang yang tak berarti apa-apa bagi gurunya dan Kebo Kanigara.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Arya, siapakah lawanmu itu?

Aku tidak tahu, Paman,” jawab Arya. Mahesa Jenar menoleh kepada orang bertopeng kulit kayu yang sederhana itu, yang seakan-akan dibuat dengan tergesa-gesa. Sebuah klika kayu yang dilubangi di kedua lubang mata, kemudian diikat pada kepalanya dengan tali dan ikat kepalanya.

Tidakkah kau mengenal tata gerak yang dipergunakan untuk melawanmu?” tanya Mahesa Jenar pula.

Ya, aku mengenal Paman” jawab Arya.

Nah, ilmu siapakah itu?” desak gurunya.

Ilmu keturunan dari perguruan Pangrantunan” jawab Arya.

Sekarang cobalah kau ingat-ingat, siapakah yang memiliki ilmu itu.

Arya diam sejenak. Tak ada tiga empat. Lembu Sora dan Sawung Sariti. Mula-mula ia ragu-ragu untuk menjawab, namum kemudian meloncatlah kata-kata dari bibirnya, “Ada dua, Paman. Paman Lembu Sora dan Adi Sawung Sariti.

Siapakah di antara mereka?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.

Arya menjadi semakin beragu. Sekali lagi ia melihat orang bertopeng itu dengan seksama. Dari ujung jari-jari kaki sampai kepalanya. Tetapi dalam gelap malam itu tak dapat ditebaknya dengan pasti siapakah orang yang bertopeng itu.

Orang bertopeng itu berdiri seperti patung. Dua orang kawannya tampak merapatkan diri masing-masing dengan pagar di tepi jalan. Akhirnya Arya menebak saja sekenanya. “Paman, orang itu bukan adi Sawung Sariti.

Jadi…?” desak Mahesa Jenar. Arya Salaka menjadi tergagap menjawab, “Jadi, jadi agaknya Paman Lembu Sora.

Apakah kau pasti?” tanya Mahesa Jenar.

Arya kini benar-benar bingung. Bingung sekali. Ia tahu bahwa bentuk pamannya tak seperti orang itu, meskipun juga bertubuh tinggi dan besar. Namun lehernya dan pundaknya agak berbeda. Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahesa Jenar berkata, “Agaknya kau tidak pasti Arya.

Arya mengangguk.

Nah, kalau demikian, siapakah orang lain yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan?

Terdengar orang bertopeng itu menggeram.

Tak ada,” jawab Arya.

Mahesa Jenar tertawa. Sekali-kali pandangannya menyambar dua orang yang merapat di tepi jalan. Katanya kepada kedua orang itu, “Jangan terlalu merapat pagar Ki Sanak. Barangkali seekor ulat akan melekat di leher kalian.”

“Hem….” kedua orang itupun menggeram.

Arya...” kata Mahesa Jenar, „Adakah kau pernah menerima dasar-dasar dari perguruan Pangrantunan?

Dada Arya tiba-tiba berdesir. Teringatlah pada masa kanak-kanaknya, ia pernah mempelajari ilmu-ilmu dasar tata gerak dari perguruan Pangrantunan. Karena itu tiba-tiba ia menjawab, “Pernah, Paman.

Siapakah yang memberimu pelajaran?”

Arya kini teringat, bahwa memang ada orang lain yang memiliki ilmu itu, jawabnya, “Ada orang yang memiliki ilmu itu, Paman, tetapi…” kata-kata Arya terputus. Orang itu adalah ayahnya. Dan ayahnya kini sedang berada di Demak. Diingatnya kata-kata ayahnya pada saat ia meninggalkannya di hadapan laskar Banyubiru yang siap dalam gelar Dirada. Katanya pada saat itu, “Arya, aku akan pergi. Jauh sekali, dan belum tentu kapan akan kembali.”

Tiba-Tiba tubuh orang bertopeng itu bergetar. Terdengarlah sekali ia menggeram. Kemudian tiba-tiba saja tangannya bergerak merenggut topeng yang dikenakannya. Agaknya ia tidak dapat lagi menahan hatinya. Demikian topengnya terlepas dari wajahnya, berkatalah orang itu, “Arya, aku adalah orang ketiga yang memiliki ilmu perguruan Pangrantunan.”

Suara itu di telinga Arya Salaka terdengar seperti suara runtuhnya gunung Merbabu. Dadanya bergetar keras sekali, dan jantungnya bergelora seperti akan meledak.

Dan tiba-tiba pula meloncatlah kata-katanya, hampir berteriak, “Ayah!

Ya,” jawab orang bertopeng itu, “Aku adalah ayahmu.”

Sesaat Arya mengamat-amati wajah itu. Meskipun di dalam gelapnya malam, namun wajah ayahnya telah tercetak di dalam hatinya. Sehingga, dengan segera ia dapat mengenal kembali, meskipun hanya garis lekuk-lekuk wajah itu. Hampir tak ada perubahan sejak kira-kira lima enam-tahun yang lampau. Karena itu tiba-tiba darahnya seperti melonjak-lonjak. Dan tanpa sesadarnya Arya melompat maju, menjatuhkan diri di kaki ayahnya sambil berkata gemetar. “Ayah, betulkah ayahku, ayah Gajah Sora.”

Terdengarlah suara orang itu perlahan-lahan, tidak kasar dan tidak mengandung nada permusuhan, “Kau masih mengenal aku dengan baik bukan, Arya?

Arya ingin menjawab. Di dadanya tiba-tiba penuh dengan kata-kata yang akan melontar keluar, namun mulutnya segera tersumbat oleh sesuatu yang menyekat. Karena itu yang terlontar keluar hanyalah sepatah kata, “Ya.

Gajah Sora menepuk bahu anaknya dengan bangga. Kemudian anak itupun ditariknya berdiri. Sambil berkata ia memandang kepada Mahesa Jenar, “Hampir aku tak percaya, bahwa anak inilah yang pernah aku tinggalkan lima tahun yang lampau.”

Mahesa Jenar tidak menyahut, tetapi ia melangkah maju. Diulurkannya kedua tangannya, yang segera disambut oleh Gajah Sora dengan penuh gairah. Disambutnya salam Mahesa Jenar itu dengan sepenuh hati. Dan terasalah oleh Mahesa Jenar bahwa tangan itu gemetar.

Mahesa Jenar pun haru. Ketika ia melihat Arya hampir bertiarap di kaki ayahnya, matanya terasa panas. Perpisahan yang sekian lama dan tanpa harapan untuk dapat bertemu pada saat-saat yang demikian ini. Tiba-tiba orang itu berdiri di hadapannya.

Kemudian Mahesa Jenar menoleh kepada dua orang yang berdiri merapat pagar. “Apakah kalian akan tetap berdiri di situ?

Terdengar kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripadanya menjawab, “Permainanmu ternyata lebih baik daripada permainan Kakang Gajah Sora, Kakang.

Mahesa Jenar pun tertawa, jawabnya, “Hampir aku tidak tahan bersembunyi di balik gerumbul itu. Nyamuknya bukan main. Sedang kalian berdua masih saja ingin melihat, bagaimana Arya menjadi semakin bingung.

Kedua orang itupun kemudian melangkah maju. Seorang bertubuh gemuk bulat, sedang yang lain agak lencir. Keduanya ternyata berpakaian lengkap, sebagaimana dua orang prajurit yang datang dari Demak.

Kedua orang itu mengulurkan tangannya pula, yang disambut oleh Mahesa Jenar bergantian. Kemudian mereka itu diperkenalkan pula kepada Kebo Kanigara. Ternyata mereka itupun pernah mendengar nama itu, namun baru kali inilah mereka berhadapan dengan putra Ki Ageng Pengging Sepuh.

Marilah kita mencari tempat yang lebih baik Kakang Gajah Sora” ajak Mahesa Jenar, “Barangkali Kakang Gajah Sora dapat menceriterakan sesuatu kepada kami, suatu ceritera yang menarik.” Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih belum terang, apakah kedua prajurit Demak itu mempunyai tugas khusus mengawal Gajah Sora. Namun ia berkata, “Mari Adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Aku mempersilahkan kalian.

Gajah Sora menoleh kepada dua orang prajurit yang ternyata Gajah Alit dan Paningron. Kedua orang prajurit itupun mengangguk, sedang Gajah Alit berkata, “Marilah, akupun tidak tahan lagi. Nyamuk Pangrantunan benar-benar buas dan besar-besar.

Tidak Adi,” sahut Mahesa Jenar, “Tetapi barangkali Adi tidak biasa digigit nyamuk.

Ah…” desis Gajah Alit, “Bukankah Kakang Mahesa Jenar tadi juga hampir tidak tahan oleh nyamuk?

Mahesa Jenar tertawa. Gajah Alit memang senang berkelakar sejak masa persahabatan mereka dahulu di Demak.

Kemudian berjalanlah mereka beriringan ke pondok. Ketika mereka memasuki halaman, mereka melihat Wulungan masih berdiri di muka pintu. Dua orang yang lain tampak berjaga-jaga di dalam gelap. Ketika Wulungan melihat Mahesa Jenar, segera iapun melangkah menyambutnya, “Apakah yang terjadi?” ia bertanya.

Seseorang telah mencoba menyerang Arya Salaka,” Mahesa Jenar menjawab, namun sambil tersenyum. Katanya meneruskan, “Inilah orangnya. Pernahkah kau mengenalnya?

Wulungan mengerutkan keningnya. Nyala obor di muka rumah itu lamat-lamat mencapainya. Sehingga wajah Gajah Sora itupun dapat dilihatnya.

Orang itu bertubuh gagah tegap, berdada bidang, meskipun agak kurus namun jelas betapa baik bentuk tubuhnya. Kumisnya lebat meskipun tidak sepanjang kumis Ki Ageng Lembu Sora. Tiba-tiba Wulungan itupun menundukkan kepalanya. Demikian hormat sambil berkata, “Selamat datang Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan Ki Ageng adalah sedemikian tiba-tiba. Salam baktiku untuk Ki Ageng.

Masih kau ingat bentuk tubuh yang kurus kering ini, Wulungan?” tanya Gajah Sora.

Tidak. Ki Ageng tidak kurus kering. Ki Ageng cukup segar meskipun agak susut sedikit. Tetapi hampir tak ada perubahan sejak aku melihat untuk yang terakhir kali” jawab Wulungan.

Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. Kemudian merekapun melangkah masuk ke dalam pondok itu, dan duduk di bale-bale besar diruang depan. Sesaat kemudian beberapa orang telah siap merebus air dan jagung muda.

Sambil menikmati hindangan itu maka berkatalah Mahesa Jenar, “Kedatangan Kakang Gajah Sora sangat mengejutkan kami. Apalagi bersama-sama dengan Kakang, ikut serta adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Apakah artinya ini?

Gajah Sora menarik nafas panjang. Sekali wajahnya beredar di sekitar ruangan itu. Kemudian berhenti di wajah Arya Salaka. Sekali lagi ia menarik nafas. Katanya, “Adi Mahesa Jenar.  Anakku ini benar-benar mengejutkan hatiku. Sebelum aku berceritera, seharusnya aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Adi. Agaknya Adi Mahesa Jenar telah memenuhi permintaanku, mengasuh anak nakal ini, bahkan melampaui harapan yang aku khayalkan tentang dirinya.

Mahesa Jenar tersenyum, jawabnya, “Bukanlah aku yang telah menjadikannya anak yang cukup bekal untuk menjaga dirinya, tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhnya, agaknya merupakan modal yang tak ternilai harganya.

Arya menundukkan wajahnya. Ia malu ketika ia mendengarkan ayah serta gurunya sedang menilai dirinya.

Modal yang tak ditangani oleh tangan yang baik, ia tidak akan berkembang, bahkan akan kehilangan nilai-nilainya,” jawab Gajah Sora pula. Kemudian ia meneruskan, “Aku pernah bertempur dengan Adi Mahesa Jenar di Gunung Tidar. Aku mengagumi betapa dahsyatnya ilmu dari perguruan Pengging. Ketika aku kemudian terpisah dari Adi lima-enam tahun yang lalu, dan kemudian aku mencoba untuk bertempur melawan anak asuhan Adi yang berilmu keturunan dari Pengging, aku merasa bahwa seakan-akan aku mengulangi pertempuran di Gunung Tidar itu. Arya Salaka benar-benar telah memiliki ilmu seperti yang Adi miliki pada saat itu. Dan ternyata bahwa Arya telah benar-benar mencerminkan Adi Mahesa Jenar sewaktu adi bertempur di Gunung Tidar itu.

Mahesa Jenar tersenyum. Ia pun berbesar hati ketika ia mendengar sendiri bahwa Gajah Sora tidak kecewa melihat anaknya.

Terbayang pula di dalam rongga mata Mahesa Jenar, bagaimana ia bertempur di mulut gua Sima Rodra di Gunung Tidar melawan Gajah Sora, sehingga akhirnya ia terpaksa melepaskan aji pemungkasnya, Sasra Birawa. Pada saat itu Gajah Sora tidak dapat berbuat lain daripada menyelamatkan dirinya dengan aji andalan perguruan Pangrantunan, Lebur Saketi.

Mahesa Jenar menjadi geli sendiri mengenangkan peristiwa itu, sehingga ia tersenyum sambil menundukkan wajahnya. Tetapi sesaat kemudian senyum itu lenyap seperti awan disapu angin. Sasra Birawa dan Lebu Saketi tidak saja pernah berbenturan di atas Gunung Tidar dalam suatu peristiwa kesalahpahaman, namun kedua aji itupun pernah berbenturan di Gedangan, masing-masing dilontarkan oleh Arya Salaka yang mewarisi ilmu dari Pengging, melawan saudara sepupunya, Sawung Sariti, yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan. Tetapi benturan itu sama sekali bukan karena salahpaham, namun benar-benar karena kemarahan yang tak tertahankan. Kesengajaan karena nafsu kedengkian, ketamakan dan keserakahan.

Tetapi Mahesa Jenar kemudian tersadar dari lamunannya oleh suara Gajah Sora. “Adi, mungkin Arya Salaka tidak akan menjadi anak seperti sekarang ini, seandainya aku sendiri yang mengasuhnya.

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tetapi ia tidak menjawab.

Kemudian Gajah Sora meneruskan, “Selain kekagumanku atas kemajuan yang pesat dari anakku, aku kira kalianpun menjadi heran, kenapa tiba-tiba aku berada di Pangrantunan.”

Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, “Ya. Tentu saja kami menjadi gembira atas pertemuan ini.

Tetapi kenapa aku dan Kakang Paningron hadir pula di sini?” sela Gajah Alit sambil tersenyum.

Mahesa Jenarpun tertawa. “Ya,” jawabnya, “Kenapa kalian datang pula?

Kakang Mahesa Jenar mempunyai prasangka kepada kami, Kakang,” kata Gajah Alit kepada Panigron. Paningron tersenyum. Memang ia tidak begitu banyak berbicara. Ia lebih senang mendengarkan Gajah Alit berkelakar daripada berbicara sendiri.

Mahesa Jenar sudah mengenal watak sahabatnya yang gemuk ini. Karena itu ia pun menjawab, “Agaknya kau bertugas mengawal Kakang Gajah Sora, Adi. Kau sangka Kakang Gajah Sora akan melarikan diri seandainya Kakang mendapat kesempatan sehari dua hari menengok tanah perdikannya?

Gajah Alit tertawa. Jawabnya, “Tidak, aku tidak bertugas mengawal Kakang Gajah Sora, tetapi aku bertugas menangkap Kakang Mahesa Jenar.

Kalau begitu,” sahut Mahesa Jenar, “Aku akan membantumu.

Semuanya tertawa mendengar kelakar yang segar. Arya Salaka pun tertawa pula.

Nah, bagaimanakah yang sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar kemudian.

 ———-oOo——

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (22)

I.

Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat singkat. Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap mata kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau gila, secepat petir menyambar.

Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa. Meskipun persamaan itu telah menimbulkan suatu teka-teki pada mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam, namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka melihat apa yang terjadi kemudian.

Ternyata Kebo Kanigara sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan kepada diri, ia membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa, sedang di lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan melakukan suatu tindakan yang pasti, menghindari benturan dengan aji Macan Liwung, namun dengan pasti ia berputar satu kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa. Dalam keadaan yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi apa yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir bersamaan disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturut-turut. Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat dipercaya. Nagapasa, seorang yang sakti tanpa banding di sekitar pulau Nusakambangan, bahkan yang tak terkalahkan oleh setiap tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun lawan-lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat sedikit pun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah mengaduh untuk kedua kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo Kanigara, orang yang sama sekali tak dikenal, baik oleh golongan hitam, maupun oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit. Sedang tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali ia menggeliat, kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati.

Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan peristiwa itu terpaku di tempatnya. Lembu Sora dan Sawung Sariti tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng runtuh. Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja, laskar Banyubiru berteriak-teriak, “Nagapasa mati, Nagapasa mati...!” Kemudian disusul, “Sima Rodra mati, Sima Rodra mati...” Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya. Bagaimana mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra tua dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya itu mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar hampir ke segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita itu sangat meragukan.

 Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun, meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka dengan penuh kekaguman dan keheranan.

Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana.

Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora perasaan mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri, serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya betapa besar pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun sama sekali tak diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan Pengging yang gemilang. Bahkan sedemikian sempurnanya sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa orang itu adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka. Sedang orang yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata, sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam suatu benturan ilmu. Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki kesempurnaan Sasra Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada di antara mereka dalam tatarannya, dan membenturkan diri melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu kepastian bahwa ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai membunuh Nagapasa. Tetapi di samping itu, Mahesa Jenar pun ternyata dapat membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra telah siap melawan Sasra Birawa yang diayunkannya. Seandainya Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra mati hampir pada saat yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa.

Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan dan kesempurnaan ilmunya?” gumam Titis Anganten.

Sedang Lembu Sora, setelah mendapat suatu kepastian tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi gemetar. Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa punggungnya meremang. Hampir saja ia terlibat dalam perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai terulang beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun kemudian ilmunya berkembang dengan pesat, namun apakah ia dapat berhadapan melawan Sima Rodra…? Sedang Mahesa Jenar itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira yang akan terjadi? Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin kepalanya akan terlontar dan pecah berserak-serakan. Diam-diam Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar tenggelam dalam perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa, namun ia selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu sikap yang jarang ditemuinya.

Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar Banyubiru, kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru menjadi bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di laskar golongan hitam menjadi ngeri. Dua tokoh sakti dari antara mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar-benar mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya. Meskipun lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo Kanigara atau Mahesa Jenar datang mendekat?

Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi gelisah. Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan selama ini, mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah anehnya dunia ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan ini. Atas permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang menampakkan diri, terpaksa menyeberangi selat Nusakambangan. Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru mereka masing-masing. Sehingga apabila kemudian mereka memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah tidak ada lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan. Kemenangan golongan hitampun sama sekali tak berarti baginya. Sebab kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokoh-tokoh sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh. Tetapi itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi kemenangan. Dan Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu, Jaka Soka telah kehilangan nafsunya untuk bertempur terus. Ia kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan medan hanya karena keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau tuduhan-tuduhan lain yang semakin menyulitkan kedudukannya.

Dalam pada itu, matahari beredar terus. Ketika tokoh-tokoh sakti dari keduabelah pihak terlibat kembali dalam pertempuran, warna-warna yang kelam mewarnai lembah-lembah yang cekung. Perlahan-lahan warna itu merayapi tebing semakin tinggi. Angin pegunungan yang sejuk terasa silirnya mengusap tubuh.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah kehilangan lawannya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih diam dan tegak di tempat masing-masing. Namun di daerah sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang-orang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh telah menyingkir dari kedua orang yang luar biasa itu.

Akhirnya malampun datang merebut waktu. Medan itu menjadi semakin gelap. Dan mereka yang bertempur telah kehilangan pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu, terdengarlah sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan Pamingit segera mempersiapkan diri mereka untuk menghentikan peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan-kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang dalam keadaan yang demikian. Tetapi agaknya golongan hitam itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka tahu, bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya, namun dengan serta merta mereka berloncatan mundur dan dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti.

Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti juga mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa ikatan satu sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu pasukan yang baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah rombongan orang yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk tuak. Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka meninggalkan medan. Satu-Dua orang mencoba menolong kawan-kawan mereka yang luka dan memapahnya. Tetapi kebanyakan dari mereka sama sekali tidak ambil pusing kepada mereka yang terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun sama sekali tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka, laskar golongan hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan untuk kepentingan rahasia mereka, sama sekali mereka tidak segan membunuh kawan sendiri.

Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing. Pemimpin-pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar mereka, sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang mendapat tugas khusus, merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas tanah mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak mendapat pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka.

Demikianlah medan pertempuran itu segera menjadi sepi. Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Besok mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan mendesak maju. Mereka merasa bahwa keseimbangan pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka telah dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai, segera pergi bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu, tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk hormat. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya. Mereka pun segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh itu. Namun segera terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar dari tubuh Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger telah melakukan sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain yang dapat menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian kami orang-orang tua yang tak tahu diri.

Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokoh-tokoh tua itu. Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab. Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara, “Ada kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-Nya pula. Kami tidak lebih hanyalah lantaran-lantaran yang ditunjuknya.”

Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orang-orang yang taat beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa Tuhan mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong umatnya.

Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan tertib. Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka.

Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun mendahului kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti itu masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka bahwa kedua orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan mereka dan laskar-laskar mereka. Tetapi tiba-tiba suatu kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui kesaktian mereka sendiri.

Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan mereka dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan setiap gerak-gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka lakukan, para pengawas itu harus memberikan laporan setiap saat dengan tertib.

Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil mengambil air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya mereka melihat Lembu Sora sedang sembahyang.

Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu. Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus dilakukan setiap hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar?

Bahkan orang tua itu kemudian bergumam, “Tuhan telah menerangi hatinya.

Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia, “Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih senang mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa sama sekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah menemukan jalannya. Tetapi…” kata-kata orang tua itu terputus oleh tarikan nafasnya.

Tetapi…” Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi kata itu.

Ki Ageng Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang menghimpit hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana melangkah kembali untuk membersihkan dirinya. Mahesa Jenar pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja langkah orang tua itu sambil berdiam diri.

Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, “Dari mana kau Arya?

Arya berhenti, kemudian ia menjawab, “Sesuci Eyang.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?

Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman Lembu Sora.

Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta orang tua itu.

Baiklah Eyang,” jawab Arya.

Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua.

Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan batin. Tanpa keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan nasib cucunya, Sawung Sariti.

Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti pagi tadi.Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka terasa seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri. Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan beberapa orang lain tertawa ketika ia mendengar Sendang Papat berceritera. Anak itu memang pandai berkelekar. Namun lambat laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan lambat. Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil memeluk senjata masing-masing.

Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai oleh mimpi yang segar.

Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang mendekati mereka. Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang kepada mereka.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil mempersilahkan, “Marilah Ki Ageng.

Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun duduk pula didekat perapian yang masih menyala-nyala itu.

Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati…” Ki Ageng Lembu Sora mulai, “Aku memerlukan datang kepada kalian berdua untuk memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah aku lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila aku masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak terpenggal pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-lebih lagi atas Pamingit dan Banyubiru.

Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora memandang kepada diri sendiri.

Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa betapa nyamannya.

Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan, “Dalam keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami sekarang, baru dapat aku lihat, betapa noda-noda telah melekat pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum terlambat.” Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. “Tetapi Kakang, apabila besok aku terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora kelak.

Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut Mahesa Jenar. “Meskipun aku belum lama berkenalan, namun aku tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah seluas samodra. Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan diri dengan ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.”

Ya...” Lembu Sora menjawab, “Aku tahu itu. Aku sadar betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa kanak-kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas. Aku telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak mengetahui sama sekali persoalan di antara kami. Syukurlah bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-pembunuhan itu.

Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah Sora,” kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.”

Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh…?” Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang sedemikian bodohnya.

Tidak,” jawab Mahesa Jenar, “Meskipun hidup dan mati berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya.

Lembu Sora terdiam. Matanya yang muram, merenungi api yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya. Tetapi di dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu dilihatnya betapa kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan, kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat yang tercela. Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana Demak, dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah bangkai-bangkai orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana dan lain-lain. Tiba-tiba ia menjadi ngeri pada gambaran cita-citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk lesu.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu Sora. Betapa ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh. Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali.

Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini para pengawas dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan mereka terletak tanggungjawab atas keselamatan perkemahan Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu menyerang mereka pada malam hari ketika mereka sedang nyenyak tertidur.

Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersama-sama dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan tiba-tiba pula dengan serta merta diraihnya kepala anak muda itu seperti masa anak-anak dahulu.

Arya…” desisnya, “Maafkan pamanmu.

Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar kata-kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah terkunci. Namun hatinya berkata, “Aku akan berusaha melupakannya, Paman.

Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak meloncat keluar. Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki Ageng Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam.

Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang bergolak di dalam hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal telah membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa. Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap dalam pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, “Arya, di manakah adikmu?”

Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab, “Aku tidak tahu, Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira Adi bersama-sama dengan Paman.”

Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada diri sendiri. Kenapa selama ini hal itu dibiarkannya. Ia tidak pernah membatasi perbuatan anaknya yang diandalkannya untuk dapat mendampinginya dalam rencana-rencana jahatnya. Bahkan anak itulah yang didorongnya di depan. Sekarang anak itu terlalu jauh tersesat lebih jauh daripada dirinya sendiri.

Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku sendiri,” gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, adikmu telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku masih dapat melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun demikian. Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke jalan yang benar?

Mudah-mudahan, Paman,” jawab Arya, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik sepupunya itu sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha.

Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka masih enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar laporan yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas?

Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka Wulungan pun tidak segan- segan menanyakannya. Maka ia pun kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya kepada Mahesa Jenar, “Tuan, apakah Tuan telah mendengar laporan para pengawas?

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Belum Wulungan,” jawabnya. “Laporan tentang apa?

Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya Salaka,” sambung Wulungan.

Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya.

Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan. “Kalau demikian…” ia melanjutkan, “Biarlah aku panggil orang itu.

———-oOo———-

II

Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa. Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanya-tanya di dalam hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama seorang pengawas dari Pamingit. Diajaknya orang itu duduk pula, dan berkatalah ia, “Inilah orang yang menyampaikan laporan itu, Tuan.

Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama. Kemudian berkatalah ia, “Katakanlah apa yang kau lihat?

Orang itu pun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu Sora ia berkata, “Aku adalah salah seorang yang mendapat tugas untuk mengawasi perkemahan laskar golongan hitam. Aku telah melaporkan segala sesuatu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.

Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar atau Ki Ageng Sora Dipayana. Lembu Sora mengerutkan keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara berdesing ditelinganya. “Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik demikian.

Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu Sora menggeram.

Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.

Apa kerjanya di sana?” Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya, “He, apa kerjanya di sana?

Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-kotornya di Pangrantunan. Di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang melanggar tata kesopanan dan kepribadian.

Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri.

Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, “Bagus, jangan kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah laporan itu?

Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya pengawas itu.

Lembu Sora menggelengkan kepalanya. “Belum.

Agak terlambat,” katanya. “Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.

Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar.

Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,” jawabnya.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak maju sambil bertanya, “Siapakah mereka?

Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,” jawabnya.

He…!” Arya hampir berteriak. “Kau tahu benar?

Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya. “Karena itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede, mereka membelok ke timur.

Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.

Aku pun pasti,” sahut pengawas itu, “Tetapi aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”

Gila,” desah Lembu Sora. “Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”

Wulungan…” tiba-tiba Lembu Sora berteriak, “panggil mereka!

Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit. “Baik Ki Ageng,” jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di dalam gelap.

Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.

Aku tidak tahu,” jawab orang itu. “Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.”

Pasingsingan…?” desis mereka bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang.

Arya…” panggil Mahesa Jenar, “Apa yang akan kau lakukan?

Kuda!” Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, “Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.

Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka. Mahesa Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata, “Mahesa Jenar, aku pergi bersamamu.

Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya.

Sementara itu, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya, “Ada apa Tuan-tuan?

Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik-baik. Tempatkan dirimu langsung di bawah perintah Ki Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum kembali,” kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa. Ia tidak sempat memberi banyak penjelasan. “Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng,” katanya kepada Lembu Sora.

Baik Adi,” jawab Lembu Sora. “Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?

Tidak,” sahut Mahesa Jenar, “Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka.

Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat kuda-kuda dipersiapkan.

Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran. Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi, “Aku ambil seekor.” Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-masing kuda dengan tergesa-gesa.

Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga.

Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar, “Kami sedang berlatih berpacu kuda.

Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut. Namun mereka tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi di perkemahan itu.

Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula. Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan yang akan timbul.

Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil menggeram, “Apa kerjamu Sawung Sariti?

Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang demikian kepadanya.

Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,” pikirnya. Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup-hidup.

Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan. “Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.

Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya. “Terlambat,” geram Lembu Sora.

Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

Kabar itu,” jawab Lembu Sora. “Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.

Sabarlah,” potong ayahnya, ”Apakah yang sebenarnya terjadi?

Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti bertanya.

Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka,” jawab ayahnya.

Ke mana?” desak Lembu Sora.

Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana.

Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung. Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapimereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil berdiri, “Kemana? Tidakkah kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?

Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.

Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, “Aku belum selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian.

Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya.

Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi, “Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.

Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi, “Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?

Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab, “Ya ayah.”

Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora.

Sawung Sariti menjadi beragu. Ia tidak berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu.

Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia menjawab, “Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.”

Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.

Galunggung pun menjadi beragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan. Tiba-tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak, “Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan…?

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu.

Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan yang belum pernah dialaminya. Namun Galunggung tiba-tiba berkata membela diri, “Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang mengatakan?

Mata Lembu Sora bertambah menyala, “Kau mau bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?

Demi Allah,” sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung sambil berteriak, “Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.

Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.

Lembu Sora…” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya, “Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.

Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya, “Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.

Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh, “Sudahlah Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu, bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka. Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi anak semuda cucuku Sawung Sariti.”

Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras. “Nah, Sawung Sariti…” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan, “Apakah yang kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?

Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah melaporkan keadaan, “Orang-orang dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang.

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Ke Banyubiru?” ulangnya.

Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas itu.

Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.

Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?” bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati, “Mati kau pengawas gila.

Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata, “Panggillah kakakmu Arya Salaka.

Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, “Baiklah Eyang.” Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada.

Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, “Kau lihat Kakang Arya?

Wulungan menggelengkan kepala. “Tidak Angger.”

Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di belakang mereka.

Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, “Tak akan dijumpai Arya di sini.

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya, “Kenapa?

Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.

He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Sendiri?

Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora.

Mengapa?” tanya ayahnya pula.

Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, “Dari mana anak itu mendengar?

Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora. Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya dalam genggaman.

Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya. “Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.”

Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.

Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. “Mereka orang-orang yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya di antara kita.

Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora. “Mudah-mudahan segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?

Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan. “Mahesa Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.

Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar mendong.

Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu.

Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung Sariti menggeram, “Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak, “He bangsat kau masih di sini?

Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.

Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung Sariti.

 “Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu kecemasan.

Bohong!” sanggah Sawung Sariti.

Orang itu menjadi bingung. “Benar angger,” jawabnya. “Aku telah bebas dari tugasku itu.

Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti.

Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata, “Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi kewajibanku.

Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti. “Kau bisa berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya, “Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora.

Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak seorangpun yang berani mencampurinya.

Tiba-tiba Galunggung itu berkata, “Ikuti aku.

Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan.

Ikuti aku!” bentak Galunggung.

Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat hukuman.

Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa. Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam, tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya.

Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya, “Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku kubur hidup-hidup.”

Apa salahku?” tanya orang itu gemetar. “Seandainya aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan pekerjaanku sebaik-baiknya.

Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain.” jawab Sawung Sariti, ”Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana, tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.

Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama sekali tidak menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran dari seginya sendiri.

Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri. “Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk menghukum aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.

Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaannya? Namun ia menjawab, “Aku dapat menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.

Kau tak usah terlalu banyak bicara,” potong Galunggung. “Nikmatilah udara terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi.”

Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata, “Kalau ada akibat yang kurang baik bagi kalian berdua, bukankah itu bukan salahku. Kalau kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu akan menjadi baik.”

Tutup mulutmu!” bentak Galunggung. “Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.”

Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri. Dirasanya sesuatu terselip di ikat pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri di hadapan dua orang yang sama sekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan sedapat-dapatnya.

Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi kehilangan kesabarannya. Dengan garangnya ia melangkah maju sambil menggeram, “Jangan melawan, sebab kalau kau melawan berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.

Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik kerisnya.

Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa. “Benar-benar kau sedang sekarat.” Kemudian sambil tertawa ia melangkah maju.

Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh pengaruh. Katanya, “Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat kebenaran diinjak-injak.

Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya tergantung di lambung kirinya.

Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil melangkah maju ia berkata, “Paman Wulungan, kau berani mengganggu pekerjaanku?

Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.

Tidak…?” sahut Sawung Sariti, “Lalu apa yang Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora Dipayana?

Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.

Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.

Ya.”

Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?

Ya.”

Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya.

Tidak apa-apa.” jawab Wulungan, “Aku tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?

Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung Sariti.

Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk mengulangi laporannya.”

Hem…” geram Sawung Sariti. “Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh sekalian?

Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan masih setenang tadi. “Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak Sawung Sariti.

Tidak,” jawab Wulungan. “Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku, maupun kini.

Gila!” umpat Sawung Sariti. “Kau bukan seorang jantan.

Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.

Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora Dipayana…?

Gila, Gila….” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya. Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu. “Ki Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain.”

Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.

Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul-mukul dadanya.

Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak ia berkata, “Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?”

Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan menjawab, “Tidak banyak Angger. Aku menghendaki orang itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.”

Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.

Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa pengendalian,” jawab Wulungan.

Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya, “Kepalamu memang harus dipenggal.

Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-katanya, “Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata, “Begitu kan…?

Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu.

Sekali lagi Galunggung menggeram, katanya, “Apa jaminanmu?

Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.

Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung.

Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan. “Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan diantara keluarga sendiri.

Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata, “Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu.”

Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.

Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya dibelakang.

Ikuti aku,” perintah Wulungan kepada pengawas itu. Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan dilakukan seandainya orang itu akan mencoba menyergapnya.Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya.

Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya Salaka. “Persetan dengan anak itu,” geramnya. “Dan persetan dengan Banyubiru.

Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang Arya?” tanya Galunggung.

Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung pun segera pergi.

———-oOo———-

III

MALAM berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya.

Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa langkah di belakangnya adalah Mahesa Jenar, sedang rapat di belakangnya adalah Kebo Kanigara.

Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah dan marah mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada Sawung Sariti. Atau pada waktu. Mungkin Sawung Sariti sudah mencarinya untuk menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera ditemuinya.

Semakin dalam ia berpikir tentang gerombolan berkuda yang di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin gelisahlah hatinya. Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin segara sampai.

Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda menyusulnya. Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta Kebo Kanigara. Ia yakin bahwa kedua orang itu akan mengikutinya, apalagi keduanya mendengar sendiri, bahwa yang pergi ke Banyubiru di antara orang-orang golongan hitam itu terdapat Pasingsingan. Sedangkan di Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya Salaka tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berkepentingan atas keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak mau kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara akan mencemaskan nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi sangat cemas? Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan atau Paman Wirasaba, atau Eyang Wanamerta? Bukan itulah yang pertama-tama kali diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-orang dari golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan rumah-rumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan dendamnya kepada orang- orang yang dijumpainya. Kepada Eyang Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang Widuri. Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian ia tidak sempat menyadari bahwa sebenarnya yang mendorongnya untuk memacu kudanya lebih cepat adalah kecemasan atas nasib gadis nakal yang aneh itu.

Demikianlah di malam yang gelap itu Arya Salaka memacu kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya yang menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan tebing-tebing yang curam.

Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, disamping kesadarannya akan kewajibannya, melindungi Arya Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan, mereka mempunyai kepentingan masing-masing. Rara Wilis dan Endang Widuri telah memaksa mereka untuk cemas dan gelisah.

Suara raung anjing-anjing liar mengumandang dari tebing-tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin garang karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat jurang-jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi siul raksasa yang sedang bermalas-malas.

Suara-suara malam itu telah membuat Arya menjadi semakin gelisah. Ia menjadi jengkel kepada kudanya, yang seolah-olah berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan batu-batu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut ke belakang secepat banjir. Namun hatinya ternyata jauh lebih cepat dari kaki-kaki kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di serambi matanya seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya, memanggilnya, “Arya, tolonglah aku….” Tetapi suara itu seperti seorang gadis. Gadis yang dikenalnya baik-baik, bersenjata rantai perak dengan bandul Cakra yang bercahaya-cahaya. Tetapi senjata yang sakti itu tak berarti di mata orang yang berjubah abu-abu, bertopeng kasar dan menamakan dirinya Pasingsingan. Tiba-tiba iapun tak akan berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng Gajah Sora yang sedang marah pun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu berjubah abu-abu itu. Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung jubahnya dengan tombak Kyai Bancak itu di Alun-alun Banyubiru. Tanpa disengaja, sekali lagi ia menoleh. Dan dengan serta merta ia bergumam, “Guruku telah mampu membunuh Sima Rodra dari Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan Nagapasa. Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?

Tetapi….” Hatinya membantah sendiri, “Kalau segala sesuatu telah terjadi?” Kembali mengiang di telinganya sebuah jerit nyaring. Arya Salaka terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa suara itu hanyalah pekik burung hantu yang sedang berkelahi. Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali malam menjadi bertambah sepi.

Dan malam yang sepi itu benar-benar sedang merajai permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit, Gemawang dan seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun, ditelan oleh hitamnya malam.

Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap dipeluk mimpi. Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari bencana. Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib suaminya, anak-anaknya atau kekasihnya yang sedang berjuang di Pamingit. Sedang para penjagapun merasa betapa tenangnya malam.

Pendapa Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor masih tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang dengan malasnya dibelai angin malam.

Dua orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu dengan mata yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di pendapa bersama Ki Dalang Mantingan tampak menguap.

Beristirahatlah Paman.” Terdengar suara Mantingan lemah.

Malam terlalu dingin,” gumam orang tua itu.

Ya,” sahut Mantingan.

Tetapi hatiku gelisah.” Orang tua itu meneruskan.

Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya terlempar ke halaman, menembus kelam.

Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.

Adakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?” tanya Wanamerta.

Mungkin,” jawab Mantingan. “Baru saja aku selesai berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca, Pergiwa dan Pergiwati.

Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup dibawa angin. Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya malam.

Seruling Kakang Wirasaba,” desis Mantingan.

Pantaslah ia bergelar Seruling Gading,” sahut Wanamerta.

Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas gending-gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam. Hening sepi, namun penuh kemesraan hati manusia.

Di manakah Angger Wirasaba?” tanya Wanamerta.

Di gardu belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,” jawab Mantingan.

Wanamerta mengangguk-angguk. Namun kegelisahan di hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya bertambah hari bertambah tajam.

Ia terkejut ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang.

Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.

Aneh,” gumam Wanamerta.

Apakah yang aneh?” tanya Mantingan.

Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daun-daun sawo di halaman itu,” jawab Wanamerta.

Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya berdesir halus. “Sepi yang menggelisahkan,” sahutnya.

Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah. Namun betapa merdunya suara seruling itu.

Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu berhenti. Mantingan mengangkat wajahnya. “Berhenti,” desisnya.

Ya,” sahut Wanamerta, “Agaknya Angger Wirasaba kedinginan.

Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di halaman. Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah. Mantingan mencoba mengamati setiap benda yang ada di halaman. Pohon sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman, pohon-pohon kelapa. Semuanya diam beku. Yang bergerak-gerak hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar regol.

Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba berjalan dengan malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang Parapat yang telah hampir sembuh.

Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang. “Ah….” gumam Wanamerta. “Kenapa aku berubah menjadi penakut?

Kenapa…?” tanya Wirasaba sambil duduk di samping mereka.

Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar langkah hantu,” jawab Wanamerta.

Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat pinggangnya, sedang tangannya menggenggam kapaknya.

Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun sawo yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh. Daun jambu itu tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena itu ia menjadi curiga. Ketika sekali lagi ia melihat daun itu bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di tangan, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata lantang, “Siapakah yang mencoba membuat permainan itu?

Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka masih belum tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka mengikuti arah pandangan mata Mantingan, merekapun melihat bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.

Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal baik-baik. Para penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan terpaksa menghentikan langkahnya.

Lawa Ijo,” gumamnya.

Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia pernah melihatnya.

Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah dibinasakan oleh Mahesa Jenar? Apakah ia dapat hidup kembali…? Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar Wirasaba menggeram, “Hem, kau Wadas Gunung.

 Mantingan menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang perlahan, “Wadas Gunung. Siapakah dia?

Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.

Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula.

Wirasaba menggeleng. “Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya.

Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan beberapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata, “Nah, kau orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih mengenal aku dengan baik.

Wirasaba juga maju. “Kau datang pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu,” katanya. Dan kapaknya tiba-tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat menyerbu, terdengar Wanamerta yang tua itu berbisik, “Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri.

Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut. “Kebakaran,” desis Wanamerta.

Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, “Kebakaran. Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.

Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya. Sendang tertegun. Ia belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam.

Siapakah kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.

Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya, “Jangan risaukan siapa aku.

Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa, “Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.

Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya. Sebuah batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap penjuru Banyubiru.

Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu.

Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa bahaya yang besar telah datang. Para pemimpin kelompok itupun segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran.

Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah. Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat, “Jangan berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.

Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik pedangnya. Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di belakangnya, “Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.

Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu. Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila karena dirinya.

Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia masih belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu terbayang. Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum yang aneh.

Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti kematian gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini.

Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini, sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.

Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, “Jaka Soka, apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah selesai…?

Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan dengan gadis manis yang menyapanya, ”Hem, agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka.”

Jaka Soka tersenyum, jawabnya, “Bukan, Wadas Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang kepadanya beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya ia pun tetap menanti.”

Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat diatasi. Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya.

Lawa Ijo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka. Sambil tertawa pendek ia berkata, “Jaka Soka. Apa kau masih mengharapkan gadis itu?

Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka.

Lawa Ijo tertawa ketika ia melihat sekali lagi wajah Rara Wilis menjadi merah. Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya, “Benar Paman Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan rumput.

Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram. Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, “Ha, dengar. Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.

Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang sama sekali, katanya, “He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku benar-benar akan membunuhmu.

Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijo pun tertawa pula. Terdengar Lawa Ijo menyahut, “Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya.

Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu. Namun ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di tempatnya.

Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di ujungnya.

Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang demikian benar-benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta pedang yang terselip di dalamnya.

Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut. Tetapi mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu. Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi.

Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian terdengar suaranya menggeram. “Lawa Ijo. Permainan apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja mengagumi kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita tidak banyak.

Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata, “Baiklah Guru. Dan apakah yang akan Guru lakukan sekarang?

Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-benar masih ada di sini.”

Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk memancing laskar Banyubiru.

Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan seenaknya.

Ketika Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan trisula di tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia telah pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena itu ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri. Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian menoleh kepada Lawa Ijo. Tetapi kembali ia tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi, Pasingsingan segera memasuki rumah untuk mencari pusaka-pusaka yang menggemparkan itu.

Ketika kedua orang sakti itu telah lenyap ditelan pintu, mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata, “Jaka Soka, jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak terlalu banyak.

Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah maju, dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada saat yang bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya. Ia sadar bahwa Ular Laut itu pasti akan menyerangnya. Sekali lagi hatinya meremang, ketika teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambakbaya. Tetapi sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan senjata di tangan, tidak untuk bunuh diri, tetapi untuk membunuh lawannya itu.

Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba dengan garangnya meloncat ke arah Wadas Gunung. Kapaknya yang besar itu berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun menerima serangan Wirasaba dengan penuh gairah. Di kedua belah tangannya telah tergenggam dua buah pisau belati panjang. Sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Kedua-duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa. Keduanya memiliki kelincahan dan kecepatan bergerak. Wirasaba kini telah memiliki seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar-benar pulih kembali, tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa Jenar ke Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan senjata mereka berdentang-dentang menyobek sepi malam. Demikian kerasnya sehingga berloncatlah bunga api keudara, memercik berhamburan.

Mantingan melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis telah berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu. Yang masih berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo itu tidak dapat dikalahkan, namun apapun yang terjadi adalah menjadi kewajiban Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang Lawa Ijo. Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di tangannya telah berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan tangkasnya ia menyongsong serangan trisula Mantingan. Maka sesaat kemudian mereka telah terlibat dalam suatu perkelahian yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk segera dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo yang garang itu meloncat dengan dahsyatnya, sedangkan Mantingan pun tidak kalah lincahnya. Karena ia sudah mengenal Lawa Ijo, maka dalam pertempuran itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang dinamainya Pacar Wutah. Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya bergerak-gerak dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari segala arah. Tetapi Lawa Ijo pun telah mengenal ilmu itu. Di Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan itu. Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang Mantingan berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan sekarang tak ada orang yang akan menyelamatkannya. Karena itu, maka Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan berhasil.

Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun telah mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang pernah terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas Gunung ikut serta. Sehingga dengan demikian, sejak perkelahiannya di Pliridan, ia pernah melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga, meskipun tidak sedemikian jelas, karena kesempatan yang sempit. Sebab pada saat itu ia harus bertempur melawan dua orang dari kawanan Alas Mentaok. Tetapi kini ia harus bertempur melawan orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia harus berjuang mati-matian. Namun Wirasaba, yang terkenal dengan nama Seruling Gading itupun mempunyai sifat-sifat yang khusus. Sebagai seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain dengan bekal seruling dan kapaknya itu, maka ia telah memiliki pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya, penjahat ulung yang bernama Wadas Gunung itu. Dengan demikian maka kekuatan keduanya tak dapat diselisihkan. Masing-masing memiliki kekhususannya yang cukup berbahaya. Wadas Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang dengan ganasnya. Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang melontar-lontar ke tubuh Wirasaba. Namun kapak Wirasaba itu seakan-akan dapat berubah menjadi dinding baja yang membatasinya. Sehingga dengan demikian ujung pisau lawannya sama sekali tak berhasil menyentuh pakaiannya.

Endang Widuri sementara itu masih berdiri tegak di samping pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur dengan dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati-matian. Ia melihat betapa lincahnya Dalang Mantingan itu, dan bagaimana dahsyatnya trisulanya menyambar-nyambar. Namun dilihatnya pula betapa dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena itu hatinyapun menjadi tegang.

Yang belum mulai, di antara mereka adalah Jaka Soka. Ia masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh. Sekali-kali ia memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya dengan seksama pertempuran antara Lawa Ijo dan Dalang Mantingan.  Sebagai seorang yang cukup berilmu, segera Jaka Soka melihat bahwa Mantingan telah sampai pada puncak perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia tersenyum. Sebentar lagi ia akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya. Karena itu untuk menakut-nakuti lawannya ia berkata, “Wilis, lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan terpenggal lehernya, atau terbelah dadanya.

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa yang terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah mengetahui pula, bahwa ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai Lawa Ijo. Meskipun demikian ia mencoba untuk tidak terpengaruh karenanya. Sebab apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya menangkapnya. Seandainya ia terbunuh dalam pertempuran itu, ia tidak akan menyesal. Sebab dengan demikian ia telah mengorbankan dirinya untuk ikut serta mempertahankan hak atas Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak begitu dimengertinya, sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang sedemikian telah diduganya sejak semula. Sejak ia menjatuhkan pilihannya atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda. Pada saat itu ia sadar, bahwa Mahesa Jenar mempunyai masalah yang jauh lebih banyak daripada Demang Gunungkidul yang kaya raya itu. Kalau Sarayuda seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk merebut keadaannya kini, sehingga dengan demikian Sarayuda tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka Mahesa Jenar masih harus berjuang terus. Tetapi Rara Wilis melihat hakekat dari perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk menempatkan dirinya pada tempat yang sebaik-baiknya, meskipun ia sama sekali tidak merugikan orang lain, tetapi Mahesa Jenar berjuang untuk kepentingan yang lebih luas, yang justru mengorbankan dirinya sendiri, kepentingannya sendiri. Seperti halnya usahanya menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kamukten yang akan diharapkan. Mahesa Jenar benar-benar berjuang tanpa pamrih, selain pengabdian diri pada tanah kelahiran, pada kemanusiaan. Sebab apabila keris-keris itu benar-benar jatuh di tangan golongan hitam, akan musnahlah tata kehidupan manusia, akan musnahlah sendi-sendi pergaulan manusia. Dan akan lenyap pulalah kesempatan untuk menjalankan ibadah mereka, memanjatkan bakti kepada Tuhan. Dan jadilah Demak suatu negara yang bertata pergaulan rimba. Siapakah yang kuat, merekalah yang berkuasa, tanpa menghiraukan hukum-hukum yang ada.

Juga usaha Mahesa Jenar untuk meletakkan kembali Arya Salaka pada tempatnya, sama sekali adalah perjuangan tanpa pamrih. Ia sekadar melakukan kewajibannya sebagai manusia yang melihat kebenaran terinjak-injak.

Dengan demikian, sebagai seorang yang telah menyatakan dirinya bersedia berjuang di samping Mahesa Jenar, Rara Wilis sama sekali tidak gentar melihat ujung senjata. Jiwanya, raganya, bulat-bulat diserahkan dalam pengabdian seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar, orang yang dikaguminya sejak pertemuannya yang pertama.

Tetapi ia menjadi ngeri, kalau Ular Laut akan berhasil menangkapnya, dan membawanya ke Nusakambangan, seperti yang diidam-idamkannya sejak lama. Ia menjadi ngeri atas kehadiran tokoh-tokoh Pasingsingan di tempat itu, jangan-jangan ia akan membantu Ular Laut itu, membuatnya tidak berdaya.

Namun karena itu, ia berkeputusan untuk melawan mati-matian. Kalau ia gagal, lebih baik ia mati di pendapa Banyubiru itu.

Dengan demikian, Rara Wilis segera mengangkat pedangnya mengarah ke dada Jaka Soka sambil berkata, “Jaka Soka, jangan menakut-nakuti aku. Aku sekarang bukan lagi gadis yang ketakutan melihat senyum yang aneh serta matamu yang redup. Nah, marilah kita bermain-main dengan pedang. Kau atau aku yang mati karenanya.”

Jaka Soka menggigit bibirnya. Tetapi Rara Wilis itu berkata sungguh-sungguh.

Cabutlah pedangmu,” desis Rara Wilis, “Supaya aku tidak membunuh orang yang tidak bersenjata.

Pedang Rara Wilis terjulur beberapa jengkal ke arah leher Jaka Soka, sehingga Jaka Soka terpaksa bergeser mundur.

Wilis...” katanya, “Aku tidak akan melukai kulitmu. Apakah yang kau tunggu di sini? Mahesa Jenar tidak akan kembali kepadamu, karena ia telah terbunuh di Pamingit.”

Dada Rara Wilis berdesir, tetapi kemudian ia menjadi tenang kembali. Katanya, “Siapakah yang telah membunuhnya?

Paman Pasingsingan,” jawab Jaka Soka.

Rara Wilis tertawa. Tetapi Endang Widuri tertawa lebih keras. Katanya, “Pasingsingan tak akan mampu melawan Paman Mahesa Jenar. Kau salah hitung, Jaka Soka. Lain kali kau perlu mempelajari keadaan sebelum kau mencoba berbohong.

Mata Jaka Soka menjadi semakin redup. Tetapi ia sudah tidak tersenyum lagi. Sekali lagi ia melihat Wadas Gunung yang menggeram keras sekali untuk melepaskan marahnya, karena Wirasaba dapat melawannya dengan baik. Saat yang lain, Jaka Soka memandang ke arah Lawa Ijo yang nampak makin baik keadaannya. Meskipun demikian Ki Dalang Mantingan berjuang dengan gigihnya.

Kemudian Jaka Soka sendiri meloncat selangkah ke belakang dan dalam sekejap tongkatnya telah terurai. Di tangan kanan, digenggamnya sebuah pedang yang lentur, sedang di tangan kirinya adalah warangkanya, berupa sebuah tongkat yang berwarna hitam.

Rara Wilis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia meloncat ke depan dengan tangan terjulur lurus. Pedangnya mengarah kedada lawannya.
jaka soka terkejut melihat gerak yang sedemikian cepatnya. Untunglah bahwa Ular Laut itu memiliki pengalaman yang luas. Setapak ia menggeser diri sambil berputar, dengan kerasnya ia memukul pedang Rara Wilis yang menjulur beberapa jari dari dadanya. Namun Rara Wilis lincah pula. Ia berhasil membebaskan senjatanya, untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya telah datang pula. Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam pertempuran yang cepat. Rara Wilis ternyata cukup mampu mengimbangi kedahsyatan Ular Laut yang bertempur membingungkan itu. Jaka Soka mencoba untuk mengaburkan perlawanan Rara Wilis, dengan menyerangnya berputar-putar dari segala arah. Namun Rara Wilis menyadarinya, sehingga sekali-kali ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan pedang yang terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang demikian terpaksa Jaka Soka mengumpat di dalam hati. Ia telah jauh lebih dahulu mendalami ilmu-ilmu perkelahian daripada gadis itu, namun ternyata gadis itu dapat menyusulnya. Ia menyesal bahwa selama ini ia lebih senang merantau mencari mangsanya, daripada menekuni ilmunya.

Sendang Parapat berdiri seperti patung melihat lingkaran-lingkaran perkelahian. Ia melihat betapa Dalang Mantingan berjuang mati-matian untuk melawan Lawa Ijo. Wirasaba dengan garangnya mengayunkan kapak raksasanya, sedang Rara Wilis dengan lincahnya bergulat di antara hidup dan mati. Dengan demikian, ia merasa bahwa tenaganya tak akan berguna sama sekali seandainya ia mencoba untuk membantu salah seorang di antaranya. Malahan mungkin ia akan mengganggu kelincahan mereka. Para penjaga halaman itu juga menjadi pening. Mereka tidak bersiap untuk bertempur menghadapi tokoh-tokoh itu. Apalagi lingkaran-lingkaran pertempuran itu seolah-olah telah menjadi sedemikian sulitnya untuk dipisah-pisahkan lagi di antara lawan dan kawan. Yang tampak di mata mereka adalah bayangan yang melontar berputar-putar dengan cepatnya. Karena itu, perhatian mereka segera tertuju kepada kawan-kawan mereka yang luka. Empat orang.

Hanya Endang Widuri-lah yang dapat mengerti betapa suasana maut telah melingkar-lingkar di halaman itu. Kali ini gadis yang nakal itu benar-benar menjadi tegang. Ia tidak dapat lagi bergurau dalam keadaan yang demikian, sehingga senyumnya sama sekali telah lenyap dari bibirnya. Matanya yang bening itupun menjadi tajam, setajam gerigi yang melingkari cakranya. Ia melihat betapa Wirasaba dapat menyesuaikan diri melawan kekasaran Wadas Gunung. Bahkan pengembala itupun dapat bertempur dengan kasar pula. Kapaknya mendesing-desing mengerikan. Sekali terayun ke dada Wadas Gunung, namun kemudian tangkainya mengarah ke tengkuk lawannya. Namun dua pisau belati panjang di tangan Wadas Gunung itupun bergerak dengan cepatnya pula. Mematuk-matuk ke segenap tubuh Wirasaba, sehingga kemudian yang tampak hanyalah seleret-leret sinar-sinar yang silau.

Rara Wilis pun dengan lincahnya menggerakkan pedangnya dengan ilmu yang khusus. Ujung pedang yang tipis itu selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Kalau Jaka Soka dapat bertempur seperti Ular yang membelit, melingkar untuk kemudian meloncat, mematuk dengan ujung pedangnya, maka Rara Wilis berhasil melawannya seperti seekor sikatan yang dengan lincahnya menari-nari dengan sayap-sayapnya yang cepat cekatan. Demikian ia meloncat-loncat seperti anak-anak yang menari-nari riang namun ketika tiba-tiba seekor ular mematuknya, cepat-cepat ia meloncat melenting, untuk kemudian dengan lincahnya, ujung pedangnya menyambar lambung lawannya. Dengan demikian, maka keringat yang dingin segera mengalir membasahi pakaian Jaka Soka yang gemebyar karena tretes intan pada timang dan anak kancing bajunya. Tiba-tiba ia merasa malu. Seandainya gadis itu benar-benar dapat dibawanya ke Nusakambangan, bahkan seandainya gadis itu bersedia untuk menjadi isterinya, maka apabila pada suatu saat timbul perselisihan antara mereka, meskipun tidak terlalu tajam, maka apakah ia mampu untuk mengatasinya. Karena itu kemudian yang menjalar dalam hati Jaka Soka bukan lagi perasaan seorang laki-laki terhadap seorang gadis seperti beberapa saat yang lampau. Ketika jiwa Jaka Soka telah benar-benar terancam, maka yang ada di dada Jaka Soka kemudian adalah kemarahan yang menyala-nyala. Dengan setinggi gunung atas kematian gurunya, Nagapasa. Karena itu, ia harus membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya. Juga gadis yang garang ini harus dibinasakan.

Demikianlah, kemudian Jaka Soka telah kehilangan kegairahannya. Ia sudah tidak lagi melihat seorang gadis cantik yang mempesona, tetapi yang tampak adalah seorang yang berbahaya bagi jiwanya.

Namun ternyata seimbang dengan itu, Rara Wilis bertambah marah pula. Baginya pertempuran kali ini adalah pertempuran yang menentukan. Kalau ia terbunuh, biarlah ia mengorbankan dirinya, namun kalau ia berhasil membinasakan laki-laki itu, maka ia akan terbebas dari kecemasan dan kengerian yang mengejar-ngejarnya sepanjang umurnya.

Tetapi berbeda dengan mereka berdua. Mantingan benar-benar dalam keadaan yang sulit. Meskipun ia telah melawan Lawa Ijo dalam puncak ilmu Pacar Wutah, namun Lawa Ijo benar-benar memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Lawa Ijo itu dapat ilmu yang paling licik disamping ilmunya yang memang dahsyat dan bertempur dengan segala macam cara. Yang paling kasar, sampai yang menakutkan. Setapak demi setapak Mantingan terdesak terus. Hanya karena ketabahan dan kepercayaannya pada Kekuasaan Yang Tertinggi, ia masih mampu bertahan dalam ketenangan.

Melihat keadaan itu, Widuri menjadi cemas. Ia telah kehilangan sifat kenak-kanakannya dalam keadaan bahaya yang benar-benar mengerikan seperti saat itu. Karena itu, dengan penuh tekad dan keberanian, mendidihlah darah Pengging Sepuh di dalam tubuhnya. Ketika Widuri melihat Mantingan terdesak, maka ia tidak mau membiarkannya. Dengan lincahnya ia meloncat sambil berkata nyaring di antara desing rantainya yang berputar seperti baling-baling, “Paman Mantingan, biarlah aku ikut serta.

Mantingan memandang dalam sekejap, gadis itu melontarkan diri seperti terbang ke arah Lawa Ijo. Dan dilihatnya Lawa Ijo menjadi terkejut karenanya. Sehingga iblis dari Mentaok itu meloncat beberapa langkah surut. Dengan liarnya matanya memandang kepada Dalang Mantingan yang sudah hampir sampai pada saat terakhir itu, namun kemudian mata Lawa Ijo itu menjadi suram ketika memandang Widuri yang sudah berdiri dihadapannya dengan senjatanya yang berbahaya itu. Tiba-tiba terdengar suara Lawa Ijo itu perlahan-lahan, “Ngger, jangan ikut campur dengan persoalan kami. Biarlah kami orang tua-tua menyelesaikan masalah kami dengan cara yang kami senangi.

Widuri melihat mata yang suram itu. Namun ia tidak mau terpengaruh oleh keadaan yang tak diketahui sebabnya itu. Maka jawabnya, “Biarlah Lawa Ijo. Kau datang dengan membawa senjata dan hasrat yang hitam di dalam hatimu. Bukankah kau telah dibekali oleh nafsu untuk membunuh…? Marilah, kami telah bersedia untuk melawannya. Kami bukan sebangsa cacing yang membiarkan diri kami terbunuh tanpa perlawanan. Karena kami sadar bahwa saat ini adalah saat-saat kami terakhir. Sebab seandainya kami berdua dengan Paman Mantingan berhasil membebaskan diri dari tanganmu, hantu-hantu hitam yang berada didalam rumah inipun segera akan menangkap kami dan membunuh kami bersama. Terhadap mereka, kami tak akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu, biarlah kami melawan selagi kami masih sempat. Nah, lihatlah dada kami yang tengadah di hadapan ujung-ujung belatimu itu.

Lawa Ijo menarik nafas panjang. Tetapi matanya yang suram itu menjadi menyala. Katanya, “Aku sudah berusaha untuk mencegahmu, gadis yang nakal. Agaknya kau benar-benar keras kepala.

Widuri tidak peduli lagi, ia melangkah semakin dekat sambil menjawab, “Kenapa kau mencegah aku? Bukankah kau datang untuk melepaskan nafsumu? Membunuh dan kemudian kau sangka akan kau temukan keris-keris itu di sini…?

Lawa Ijo bukanlah seorang yang berdada longgar. Karena itu ia menjadi semakin marah. Namun sekali lagi ia mencoba memperingatkan, “Kalau kau mau menyingkir, aku akan membebaskan kau. Guruku pun tak akan mengusikmu. Biarlah aku membunuh Ki Dalang yang masyhur ini.

Tetapi Widuri tidak takut. Dengan nyaring ia menjawab, “Kami mempunyai pendirian yang berbeda dengan golonganmu. Kami memiliki kesetiakawanan yang dalam untuk menegakkan kemanusiaan. Bunuhlah Paman Mantingan bersama kami semua.

Lawa Ijo menggeram, “Sekehendakmulah,” desisnya. Lalu ia mulai bergerak. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang Mantingan. Untunglah Mantingan selalu berhati-hati, sehingga ia masih sempat untuk menghindarkan dirinya.

Ketika Lawa Ijo telah mulai kembali dengan serangannya yang dahsyat, Widuri pun mulai. Senjatanya berputar cepat seperti baling-baling dengan putaran-putaran yang berbahaya. Sekali cakranya mengarah ke leher. Mendapat lawan baru yang lincah disamping lawan lamanya, Lawa Ijo merasakan, bahwa keadaan pertempuran itu menjadi jauh berubah. Kembali ia mengagumi gadis itu. Betapa berbahayanya permainan rantai yang berputar-putar, disamping ujung trisula Mantingan yang mematuk-matuk dalam ilmu gerak Pacar Wutah.

Dengan kerasnya Lawa Ijo menggeram. Sambil memusatkan segenap tenaganya ia mencoba untuk mengatasi desakan lawan. Betapa ganasnya kelelawar yang buas itu bertempur. Kedua pisau belatinya seakan-akan merupakan kuku yang panjang diujung sayap-sayapnya yang mengembang dan bergerak gerak dengan cepatnya. Namun untuk menghadapi dua orang sekaligus terasa betapa beratnya.

Mantingan dan Widuri, meskipun keduanya memiliki bekal yang berbeda, namun meeka berusaha untuk menyesuaikan dirinya. Ternyata gadis itu tidak kalah tangkasnya dengan Mantingan. Dengan gerak-gerak yang tangguh Endang Widuri berjuang dengan berani. Darah Ki Ageng Pengging Sepuh yang mengalir didalam tubuhnya telah membekalinya dengan api yang menyala nyala didalam dada gadis itu. Api yang mengobarkan semangat berjuang dan keteguhan hati.

Diam-diam Lawa Ijo berteka teki didalam hatinya. Ia pernah bertempur melawan Mahesa Jenar, kemudian melawan muridnya yang bernama Arya Salaka. Sekarang berhadapan dengan gadis yang bernama Endang Widuri. Namun gadis ini memiliki tatanan berkelahi sama hebatnya dengan Arya dan Mahesa. Apakah Widuri ini juga muridnya Mahesa?. Namun Lawa Ijo tidak sempat menemukan jawabannya, sebab lawannya semakin lama semakin mendesaknya kedalam bahaya.

Mantingan melihat keadaan itu. Juga Widuri dapat merasakan bahwa akhirnya mereka akan dapat menguasai keadaan. Karena itu Endang Widuri dan Mantingan berjuang semakin sengit untuk segera dapat mengakhiri pertempuran. Dengan demikian mereka akan mendapat kesempatan untuk memusnahkan orang lain yang telah mencoba untuk menghancurkan Banyubiru, sebelaum tokoh-tokoh sakti yang sedang mengaduk seluruh isi rumah itu tanpa dapat dicegah selesai dengan pekerjaan mereka. Sebab apabila mungkin mereka harus berusaha untuk menyelematkan diri mereka atau mereka harus berusaha untuk berada di antara laskar Banyu Biru.

Tetapi Lawa Ijo adalah seorang yang luar biasa. Tentu saja ia tidak mau untuk dengan demikian saja menerima kekalahan. Ketika lawan-lawannya semakin mendesaknya, iapun berjuang semakin keras. Bahkan, akhirnya ia melompat mundur beberapa langkah. Kemudian terdengarlah ia menggeram dengan keras. Dengan gerak yang dahsyat ia memutar tubuhnya, kemudian sekali lagi ia menggeram keras.

Yang kemudian terasa, betapa udara yang hangat mengalir perlahan-lahan, bergelombang menyentuh tubuh-tubuh Mantingan dan Endang Widuri. Semakin lama semakin hangat, dan akhirnya jadi panas. Sejalan dengan itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam Mantingan dengan garangnya. Mantingan sadar, bahwa bahaya yang mengerikan telah mengancam dirinya. Lawa Ijo telah mempergunakan ilmunya Alas Kobar. Demikian pula Endang Widuri, merasa betapa ia terlalu tergesa-gesa merasakan kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya itu. Kini ternyata betapa maut telah mengancam jiwanya.

Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa Ijo dapat berbuat sekehendak hatinya. Meskipun Lawa Ijo itu telah berhasil memancarkan ilmunya, namun Widuri masih sempat menyerangnya, sehingga dengan demikian Lawa Ijo terpaksa berusaha menghindarkan diri dari sambaran gigi-gigi cakra yang sangat berbahaya. Tetapi sesaat kemudian Mantingan dan Widuri telah tidak dapat bertahan lagi dari serangan Aji Alas Kobar. Udara disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah menjadi panas. Udara yang panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke dalam tulang sungsum mereka. Demikianlah akhirnya Mantingan dan Endang Widuri terpaksa menghindarkan diri dengan meloncat menjauhi lawannya. Namun Lawa Ijo tidak mau melepaskan mereka lagi. Apalagi Ki Dalang Mantingan. Karena itu ketika Mantingan meloncat mundur, Lawa Ijo segera memburunya. Karena pancaran aji Alas Kobar yang melibatnya, akhirnya Mantingan merasa bahwa seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah tidak sempat meloncat lagi.Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menanti Lawa Ijo menerkamnya, sementara itu betapa udara yang panas telah menyengat-nyengat kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir itu, Mantingan masih mencoba untuk mengangkat trisulanya menanti saat-saat terakhir yang mengerikan. Widuri yang meloncat ke arah yang berlawanan, melihat, betapa maut menerkam Ki Dalang Mantingan. Karena itu wajahnya menjadi tegang dan dadanya bergolak hebat.

Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan sepenanggungan itu binasa? Tetapi ia tidak dapat bergerak maju. Ia tidak mampu untuk menerobos kekuatan Aji Alas Kobar yang dahsyat itu. Sebab demikian ia melangkah mendekat, tubuhnya menjadi seolah-olah terbakar hangus.

Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah seorang yang mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat beberapa petunjuk bagaimana seharusnya apabila seseorang berada dalam kesulitan. Ayahnya itu pernah berkata kepadanya, bahwa manusia tidak boleh berputus asa. Meskipun keputusan terakhir berada dalam kekuasaan Yang Maha Tinggi, namun manusia diwajibkan berusaha. Berusaha sampai kemungkinan terakhir.

Demikianlah akhirnya Widuri mengambil suatu keputusan yang dapat dilakukan dalam keadaan yang demikian itu. Ketika ia melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang menyeringai seperti serigala meloncat memburu Dalang Mantingan, berputarlah cakranya beberapa kali di udara. Kemudian dengan sekuat tenaga, sebagai usahanya terakhir untuk melawan Kelelawar Serigala dari Mentaok itu, cakra itu dilepaskannya beserta rantainya sekaligus. Suatu hal yang tak terduga. Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang memusatkan perhatiannya kepada Dalang Mantingan. Kepada Mantingan itulah dendam Lawa Ijo tersimpan. Tetapi, demikian ia meloncat, demikian senjata Widuri melayang ke arahnya, sedemikian cepatnya seperti kilat menyambar kepalanya.

Lawa Ijo terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia terlambat. Ketika ia berusaha menghindar, cakra itu dengan derasnya mengenai kepalanya dengan tepat. Terasa betapa kulit kepalanya terkelupas oleh gerigi-gerigi yang tajam. Lawa Ijo terhuyung ke samping. Perasaan nyeri telah menelan dirinya sedemikian kerasnya. Cakra pemberian Kebo Kanigara itu benar-benar senjata yang luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah suatu pekik yang tertahan. Dengan kedua belah tangannya, Lawa Ijo memegang kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti takut bahwa kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian, luka itu menjadi semakin nyeri, dan darah yang mengalir dari luka itu menjadi semakin keras.

Dalang Mantingan untuk sesaat tertegun. Ia melihat hantu itu kesakitan. Namun karena tekanan yang tajam pada saat yang mengerikan, yang hampir saja merampas nyawanya, Mantingan menjadi seperti orang yang kebingungan. Tetapi cepat ia menguasai kesadarannya kembali. Ia merasa bahwa Kekuasaan Tertinggi dengan Tangan-tangannya yang Adil telah membebaskannya. Karena itu, ketika ia melihat kesempatan terbuka di hadapannya, dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, ia mengangkat trisulanya. Trisula Mantingan itupun bukan senjata yang dibelinya dari pandai besi. Trisulanya itu adalah pemberian gurunya, Ki Ageng Supit. Karena itu trisulanya pun memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan berdoa di dalam hati, yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Adil, Mantingan melontarkan trisulanya. Lawa Ijo yang telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat trisula itu meluncur menyambar dadanya. Karena itu, tiba-tiba terasa dadanya terbelah. Kini benar-benar serigala dari Mentaok itu berteriak tinggi. Dan kemudian iapun terhuyung sekali lagi, dan akhirnya jatuh terkulai di tanah yang telah dibasahi oleh darahnya. Halaman Banyubiru itu benar-benar dicengkam oleh kengerian. Teriakan Lawa Ijo itu benar-nenar telah menggetarkan udara Banyubiru. Daun-daun kuning pun berguguran di tanah, sedang ranting-ranting yang kering berpatahan.

Mendengar teriakan Lawa Ijo itu, Widuri menjadi gemetar. Ia tahu perasaan apa yang menjalar di dalam dirinya. Namun tiba-tiba ia merasa segenap bulu-bulunya tegak berdiri. Karena itu ketika Lawa Ijo itu sudah tidak mampu lagi untuk berdiri, tanpa disengaja Endang Widuri menghindar pandang. Wajah Widuri pun jatuh tertunduk di tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya obor yang remang-remang.

Wadas Gunung juga tak kalah terkejutnya mendengar pekik yang memekakkan telinga itu. Ketika ia pertama-tama mendengar Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa bahwa pekerjaan kakak seperguruannya itu hampir selesai. Sebab pada saat itu Lawa Ijo telah mempergunakan Aji Alas Kobar. Namun kemudian yang terdengar adalah jerit kesakitan. Karena itu hatinya pun berdesir dengan kerasnya. Bahkan seolah-olah dirinya sendirilah yang kehilangan kekuatannya. Demikianlah Wadas Gunung yang gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu, kehilangan pemusatan pikiran. Ketika ia mencoba melihat apa yang terjadi pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia dihadapkan pada saat yang menentukan. Wirasaba tidak mau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian dan kemampuan. Karena itu, ketika sebagian dari perhatian Wadas Gunung direnggut oleh jerit ngeri kakak seperguruannya, Wirasaba melihat kelemahan itu. Setelah ia bertempur beberapa lama, dalam keadaan yang seimbang, maka saat yang pendek itu banyak mempunyai arti baginya. Wadas Gunung melihat seleret sinar yang menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo terdorong beberapa langkah untuk kemudian jatuh tak berdaya. Cepat ia berusaha untuk melawan sambaran senjata lawannya, namun ia tak berhasil mempergunakan segenap kekuatannya. Ketika ia memutar tubuhnya menghadap arah sambaran kapak lawannya, dan menyilangkan kedua pisaunya untuk menahan serangan itu, Wirasaba sempat menarik senjatanya, dan dengan tangkai kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung. Serangan ini tidak begitu keras, namun benar-benar telah menghilangkah keseimbangan perlawanan Wadas Gunung. Ketika Wadas Gunung berusaha menghindar, kapak Wirasaba telah berubah arah. Dengan kerasnya senjata raksasa itu menyampar punggung Wadas Gunung. Kini sekali lagi halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan ngeri. Wadas Gunung terbanting di tanah untuk tidak akan bangun kembali.

Sesaat kemudian, halaman itu menjadi sepi. Jaka Soka telah melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas Gunung. Dihindarinya lawannya jauh-jauh, supaya ia dapat melihat apa yang terjadi. Sesaat darahnya berdesir cepat, jantungnya seperti berdetang-detang akan pecah. Dua kakak-beradik seperguruan telah jatuh dalam pertempuran itu.

Sebenarnya Jaka Soka tidak akan terpengaruh kedudukannya sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan. Kematian Lawa Ijo dan Wadas Gunung adalah akibat yang wajar dari usahanya. Mukti atau mati. Jaka Soka sendiripun sadar, bahwa akibat yang demikian dapat juga terjadi atas dirinya. Namun kekalahan yang berturut-turut, baik di Pamingit maupun di Banyubiru ini sangat memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya yang dibangga-banggakan telah jatuh. Sekarang kawan-kawan segolongannya terbunuh pula. Karena itu darah di dalam tubuhnya serasa menggelegak seperti banjir yang melanda dinding jantungnya. Diawasinya orang-orang yang berdiri di sekitar pendapa itu. Wirasaba, yang masih gemetar berdiri bersandar tangkai kapaknya yang diwarnai oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan Widuri pun masih saja berdiri seperti patung. Sedang Rara Wilis, sebagai seorang gadis, hatinyapun berdebar-debar pula. Untunglah bahwa ia tidak kehilangan kewaspadaannya. Dihadapannya masih berdiri Ular Laut yang menggelisahkan.

———-oOo———-

IV

Sesaat kemudian dari pintu rumah itu muncullah orang berjubah abu-abu, bersama-sama dengan orang yang berkepala besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia memandang berkeliling. Ia menggeram ketika dilihatnya kedua muridnya terkulai di tanah. Kemudian seperti bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo, yang masih bergerak-gerak dalam pergulatannya melawan maut.

Lawa Ijo…” desis Pasingsingan itu.

Lawa Ijo hanya mampu berdesis perlahan-lahan. Dan kembali Pasingsingan memanggilnya, “Lawa Ijo….

Hem…” Lawa Ijo berusaha untuk menjawab. Ternyata orang itu memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun darahnya telah mengalir dari luka-luka di kepala dan dadanya, namun ia masih dapat membuka matanya. Pasingsingan kemudian tegak berdiri di samping tubuh murid kesayangan itu. Pandangannya dengan tajam bergerak dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba kemudian Rara Wilis. Sendang Parapat dan para penjaga yang kaku di tempat masing-masing itu sama sekali tak diperhitungkan.

Aku tidak menyangka…” Hantu bertopeng itu menggeram. “Bahwa kalian mampu membunuh muridku. Ketika aku mendengar ia memekik, aku menyangka lain. Tetapi aku menjadi ragu-ragu. Akhirnya aku sadar bahwa kedua muridku pasti terluka. Ternyata mereka tidak saja terluka, tetapi jiwanya telah terancam.” Kemudian tangan hantu itu perlahan-lahan terangkat dan menunjuk kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mula-mula Mantingan, kemudian berturut-turut Endang Widuri, Wirasaba dan Rara Wilis. “Kau, kau, kau dan kau. Hem. Alangkah sombongnya kalian. Kalian berani membunuh murid Pasingsingan di hadapan gurunya. Benar-benar suatu perbuatan yang gila. Karena itu kalian harus mati dengan cara yang paling menyedihkan. Tidak oleh tangan Pasingsingan. Aku tidak mau dikotori dengan darah kalian. Tetapi kalian akan kami ikat di belakang kuda kami. Akan kami arahkan kuda-kuda kami ke Pamingit. Besok sahabat-sahabat di sana akan menemukan mayat kalian yang sudah terkelupas seperti pisang.

Semua yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Meskipun mereka tidak takut mati, namun mati dengan cara yang demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun ada senjata di tangan mereka, namun kalau Pasingsingan itu benar-benar bermaksud demikian maka pastilah mereka tidak akan mampu mengelakkan diri. Dengan satu pukulan di tengkuk mereka, atau satu tekanan di dada mereka, maka hantu itu benar-benar akan dapat membuat mereka lumpuh. Rara Wilis menjadi semakin ngeri, kalau-kalau tiba-tiba Jaka Soka berbuat lain. Sebab Jaka Soka akan dapat mengajukan permintaan kepada Pasingsingan mengenai dirinya.

Tetapi dalam ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo gemetar, “Guru, dapatkah guru mendengar permintaanku terakhir?

Pasingsingan menoleh kepada muridnya. Dengan isyarat-isyarat ia minta Sura Sarunggi mengawasi orang-orang yang berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di samping muridnya. Ketika ia melihat luka Lawa Ijo, Pasingsingan itupun mengerti, bahwa nyawa Lawa Ijo tak akan dapat diselamatkan.

Apakah permintaamu?” jawab Pasingsingan.

Pertama…” Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar. Terasa betapa dendamnya masih menguasai dirinya. “Nyawa Dalang Mantingan.

Hem…” Pasingsingan menggeram sambil memandang Dalang Mantingan yang berdiri seperti tonggak. Lamat-lamat ia mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo itu. Namun ia sudah tidak terkejut.

Kedua…” Lawa Ijo meneruskan, “Jangan bunuh gadis nakal itu.

Pasingsingan menarik nafas. “Kenapa…?” Ia bertanya.

Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan dipandanginya Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang pendapa.

Guru…” desis Lawa Ijo, “Dapatkah aku melihat senjata itu?

Pasingsingan menjulurkan tangannya. Rantai dan cakra yang mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di sampingnya. Kemudian senjata itupun diserahkan kepada muridnya. Lawa IJo dengan tangan yang lemah mengamat-amati senjata itu. “Luar biasa,” desisnya. “Lumrah kalau Lawa Ijo terbunuh karena senjata yang ampuh ini,” katanya pula.

Pasingsingan tidak tahu apa yang dimaksud muridnya itu, namun ia masih berdiam diri. Langit di sebelah barat masih ditandai oleh warna merah, karena api yang masih berkobar-kobar menelan beberapa rumah yang sama sekali tak bersalah.

Widuri, kemarilah….” Terdengar Lawa Ijo memanggil.

Panggilan itu terasa aneh. Widuri mula-mula tidak percaya pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa Ijo itu memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa dendam? Ketika Endang Widuri sedang menebak-nebak di dalam hati, terdengar kembali Lawa Ijo memanggil, lebih keras, “Widuri, kemarilah.”

Widuri menjadi semakin bingung. Bahkan Pasingsingan tidak tahu apa maksud muridnya itu. Namun dalam nada suaranya, Lawa Ijo sama sekali tak bermaksud jahat.

Widuri masih belum beranjak dari tempatnya. Sehingga sekali lagi Lawa Ijo berkata kepada gurunya, “Guru, panggilkan gadis itu. Aku tak akan berbuat jahat. Dan sekali lagi aku minta jangan ganggu dia.

Pasingsinganpun menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk memenuhi permintaan muridnya itu. Perlahan-lahan ia berkata, “Gadis kecil, Lawa Ijo memanggilmu.

Widuri masih belum bergerak. Sedang Rara Wilis menjadi cemas. Katanya, “Jangan, Widuri.

Hem…” Lawa Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakan-akan nafasnya sudah terputus di dadanya, “Sebelum aku mati..”, mintanya.

Widuri masih tegak sepergi tonggak. Mantingan sudah kehilangan ingatannya untuk mencegah atau menyetujuinya. Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih memburu berebut dahulu setelah ia berjuang mati-matian, serta dengan sekuat tenaga mengayunkan kapaknya pada saat terakhir.  Kini ia tidak tahu apa yang akan dikatakan dan apa yang akan diperbuat tentang Widuri.

Guru…” tiba-tiba Lawa Ijo berkata, “Silahkan guru meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru.

Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa Ijo…?” tanya Pasingsingan.

Gadis itu.” jawabnya, ”Aku sedang mengenangkan almarhum anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku melihat untuk pertama kalinya, seakan-akan terbayang wajah anakku. Kini aku melihat wajah itu pula, tersenyum kepadaku dan melambaikan tangannya, mengajak aku pergi mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia masih hidup, ia pasti sebesar gadis itu dan tangkas pula. Setangkas anak itu,

Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di dalam hati. Kenapa Lawa Ijo berbuat hal yang aneh-aneh seperti perempuan cengeng. Namun pada saat-saat muridnya yang disayangnya itu hampir berpelukan dengan maut, ia terpaksa memenuhinya. Perlahan-lahan ia berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil berkata kasar, “Mendekatlah. Aku tidak akan mengganggumu.

Lawa Ijo yang lemah itu kemudian berusaha untuk melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati yang selama ini menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang diikatnya dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala serigala.

Endang Widuri melihat semuanya dengan jantung yang berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ada sesuatu yang mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo itu. Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan itu, Rara Wilis pun meloncat ke arahnya, sambil berkata, “Widuri.”

Kembali langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada Rara Wilis. Nafas Rara Wilis pun kemudian menjadi sesak oleh ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah hampir sampai pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis berusaha mencegah gadis kecil itu. Maka perlahan-lahan ia berkata, “Aku adalah manusia seperti kalian, meskipun apa yang aku lakukan selama ini tidak ubahnya seperti binatang. Aku tidak tahu apa yang akan aku alami, sesudah aku menginjak alam lain, namun di perbatasan ini aku tidak akan menambah dosa.”

Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang gadis, perasaannya tidaklah sekeras baja. Ketika Widuri memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju mendekati hantu dari Alas Mentaok yang hampir sampai ajalnya itu. “Senjatamu benar-benar ampuh, melampaui senjata yang pernah aku kenal,” desis Lawa Ijo.

Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini di lingkaran bergerigi itu.” Widuri tidak menjawab. Ia berdiri tegak di samping Lawa Ijo yang masih memegang rantai beserta cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud dengan Lawa Ijo itu. Lawa Ijo kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan mata akik yang berwarna merah menyala.

Lawa Ijo…!” Pasingsingan berkata lantang. “Apakah yang kau berikan itu?

Kelabang Sayuta,” jawab Lawa Ijo lemah.

Gila, jangan kau lakukan,” sahut Pasingsingan. “Akik Kelabang Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku pinjamkan kepadamu.”

Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku,” bantah Lawa Ijo dengan suara gemetar.

Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak melukai hati muridnya yang hampir mati itu. Namun dengan demikian, tanpa dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan bahaya dalam tubuh Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat pemecahan yang mengerikan. “Biarlah akik itu diberikan, namun gadis itu tidak akan mampu melepaskan diri dari tangannya.”

Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa Ijo menyerahkan cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada gadis itu. Widuri pun seperti orang yang kehilangan dirinya. Ia bergerak saja tanpa sesadarnya menerima pemberian Lawa Ijo itu. Hanya Rara Wilis yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan Widuri seorang diri berhadapan dengan hantu itu. Karena itu iapun mendekatinya dengan pedang terhunus di tangannya.

Kutuk anakku itu telah sampai pada suatu kenyataan.” Terdengar suara Lawa Ijo gemetar. “Mudah-mudahan aku dapat mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah kau menerima cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang akan aku tempuh. Hati-hatilah dengan cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut, kecuali Mahesa Jenar. Aku tidak tahu kenapa ia berhasil membebaskan dirinya. Pergunakan akik itu menurut jalan hidupmu. Kalau kau benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia dapat menolongmu.” Lawa Ijo berhenti. Nafasnya menjadi semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan terdengar ia mengeluh. Widuri yang masih berdiri di samping Lawa Ijo itupun tiba-tiba berjongkok. Kalau mula-mula ia ngeri melihat wajah yang keras dan kejam itu, maka kini perasaan itu telah hilang.

Widuri…” bisiknya. “Bukankah namamu Widuri?” Widuri mengangguk. “Aku telah membunuh anakku tanpa aku sengaja. Ketika aku menyangka ibunya berbuat sedheng dengan laki-laki lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian aku bunuh pula istriku. Namun tanpa aku ketahui anak gadisku satu-satunya yang masih kecil, memeluk kaki ibunya, sehingga ketika aku dengan membabi buta menusuk tubuh perempuan itu, sebuah goresan melukai anakku itu. Goresan yang dalam di lehernya, sehingga gadis itu kemudian mati pula dua hari setelah mayat ibunya aku lempar ke sungai.”

Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin tak teratur. Sekali-kali ia menggeliat lemah. Kemudian berbisik kembali perlahan-lahan. “Tetapi ternyata aku salah sangka.” Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha untuk membuka matanya, lalu meneruskan, “Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi lelaki itu yang berbuat bengis. Berbuat di luar batas perikemanusiaan, sedang istriku adalah korban nafsu kebinatangannya. Namun istriku itu telah mati tersia-sia. Aku jadi menyesal. Apalagi ketika satu-satunya anakku itu mati pula. Akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Dan jadilah aku seekor binatang pula. Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya ingin membunuh, berkelahi dan membuat orang lain menjadi putus asa dan menderita. Kadang-kadang aku rampas harta bendanya, pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku bunuh keluarganya, anak-anaknya yang tak berdosa. Akhirnya aku namakan diriku Lawa Ijo setelah aku berguru kepada Bapa Pasingsingan.”

Pasingsingan menggeram. Ia tidak senang mendengar penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan cengeng. Seharusnya Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin dari golongan hitam. Tetapi ia berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolak nafsunya yang mendidih. “Matilah segera Lawa Ijo,” kata hatinya. Pasingsingan sudah tidak mempunyai harapan untuk menyembuhkan luka-luka muridnya. “Sesudah itu aku akan membunuh setiap orang di sini. Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan gadis yang telah meruntuhkan kejantanan Lawa Ijo di matanya untuk mendapatkan akiknya kembali. Mengikat mereka di belakang kuda dan dipacunya ke Pamingit untuk meruntuhkan keberanian dan ketahanan perlawanan orang-orang Banyubiru.”

Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya. Nafasnya satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi sesaat kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu, dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya yang terakhir.

Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk oleh kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini telah kehilangan masa depannya, karena ia salah duga terhadap istrinya. Sifat-sifat kekerasan dan kekerasan yang memang telah dimiliki, menjadi berkembang dengan pesatnya, sehingga menemukan bentuk puncaknya. Endang Widuri masih berjongkok di samping Lawa Ijo. Terasa matanya menjadi panas. Kematian lawannya itu ternyata mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia mengamat-amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin bermata batu akik yang merah menyala. Kelabang Sayuta. Tetapi ia menjadi terkejut ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang seperti bergulung-gulung di dalam perutnya. “Widuri, agaknya kau telah berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena kenangannya yang melambung pada masa lampaunya, pada almarhum istri dan anaknya itulah, maka sejak di Gedong Sanga ia selalu berpesan untuk membebaskan kau dari tanganku. Sebelum mati ia pun berpesan demikian pula untuk tidak mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada lagi. Pesannya akan hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku akan melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan mengantarkan kuda-kuda itu ke Pamingit.”

Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar dari mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir Lawa Ijo, mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing. Namun sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka berhadapan dengan iblis bertopeng dari Alas Mentaok.

Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo setelah berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan masa depannya itu. Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali. Widuri yang masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri. Dengan hati-hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di jarinya, meskipun agak terlalu longgar, namun karena tangannya kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak akan lari karenanya.

Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk melawan orang yang bernama Pasingsingan itu.

Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi, disamping gelaknya yang riuh. “Aku menjadi geli melihat kelinci-kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang menduga-duga kekuatanmu, Pasingsingan?

Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka Soka, “Soka, masihkah kau perlukan perempuan itu?”

Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab, “Perempuan itu sangat berbahaya, Paman.

Pasingsingan tertawa. “Lalu…?” ia bertanya pula. Jaka Soka menggeleng, jawabnya, “Selama ia masih seperti sekarang, aku tidak memerlukan lagi.”

Bagus,” sahut Pasingsingan, “Perempuan itulah yang pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan memacu kuda itu dan melepaskannya di Pamingit.

Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam, “Sayang.

Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi. Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian Wirasaba. Yang terakhir adalah mayat muridnya. “Ia mati di luar lingkungan kami” desisnya.

Ya,” sahut Sura Sarunggi. “Ia mati setelah menanggalkan kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu bagaimana kedua muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling Rawa Pening.

Persetan semuanya!” Tiba-tiba Pasingsingan berteriak. “Aku tidak punya banyak waktu.

Kata-kata Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka segera berloncatan merapatkan diri dengan senjata masing-masing yang siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara Wilis, kapak raksasa dan rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara.

Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain, betapa dapat dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan, merupakan kekuatan yang dahsyat. Namun bagi Pasingsingan, senjata-senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun berhati-hati pula.

 “Mulailah Pasingsingan,” kata Sura Sarunggi, “Mungkin orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan utama kita belum selesai?

Ya,” jawab Pasingsingan. “Aku menduga kalau keris-keris itu disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan takut mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan menyusul kita. Aku telah meletakan beberapa penjaga untuk memberikan tanda-tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di sana.

Tetapi jangan membuang-buang waktu.” sahut Sura Sarunggi.

Aku senang melihat mereka ketakutan,” jawab Pasingsingan. Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata, “Kau benar-benar iblis. Tetapi memang benar-benar menyenangkan. Meskipun demikian jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau akan kecewa kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh kuda-kuda kita.

Bagus,” kata Pasingsingan pula. “Aku akan dengan mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya pekerjaanku segera selesai.

Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu punggung. Pasingsingan pun melangkah dari arah lain.

Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian diliputi oleh ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak berani menarik nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang Widuri dan Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Mereka lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di belakang kaki kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.

Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan berterima kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi” desis Pasingsingan.

Hadiah yang tak ternilai” jawab Sura Sarunggi.

Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.

Hem….” geram Pasingsingan, “Apakah ini?

Mata Sura Sarunggi menjadi liar.

Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir kehilangan harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di balik bukit-bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah yang mengganggu mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat apapun juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung mulai mengalir dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang kelabu. Angin yang basah bertiup semakin lama semakin keras. Dan udara di atas Banyubiru menjadi semakin dingin.

Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun menjadi heran. Apakah yang ditunggu lagi?

Tak seorang pun yang akan dapat menghalang-halangi mereka. Apa yang akan mereka perlakukan…?

Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat apapun. Meskipun Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata dengan senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar, bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu melawan.

Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang. Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata, “Jangan bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas, Titis Anganten atau Sura Dipayana?

Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru. Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri terpekik kecil, “Ayah barangkali?

Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura Sarunggi dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar, sahabatnya yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-orang lain pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat mereka itu menjadi ketakutan. Mereka pasti akan segera menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang dengan tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan memberitahukan kehadiran mereka.

Tetapi siapakah selain mereka?” bisik Sura Sarunggi di dalam hatinya. Namun Pasingsingan menjadi gelisah. Ia pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu beberapa saat lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa Jenar beserta empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua orang aneh itu berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di halaman itu.

Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan dahsyatnya. Dari dalam gelap terdengar suara perlahan-lahan. “Akulah yang datang.

Siapa?” teriak Pasingsingan.

Pasingsingan,” jawab suara itu.

Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu. Pasingsingan…? “Ah, orang itu pasti berolok-olok saja,” pikir mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut, seperti suara Pasingsingan.

Ketika kemudian kilat memancar di langit, maka kembali di halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap orang terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang hanya sesaat tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.

Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. Terdengar ia berteriak nyaring, “Siapakah kau? Apakah kau sudah bernyawa rangkap, berani mengenakan pakaian khusus Pasingsingan?

Aku Pasingsingan” jawab suara itu.

Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan. “Aku satu-satunya.

Kau salah!” Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain. “Aku juga Pasingsingan.” Ketika semua orang menoleh ke arah suara itu, dalam keremangan cahaya obor, tampaklah seseorang lagi yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada mereka.

Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajah mereka.

Pasingsingan menjadi marah sekali karenanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan liar ia mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya itu berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata, “Apakah kalian tidak sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?

Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka melangkah mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping Mantingan dan kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri bertentang pandang dengan Sura Sarunggi.

Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa. Katanya, “Suatu permainan yang bagus, Pasingsingan. Tetapi dengan mengenakan jubah abu-abu dan topeng yang jelek itu, bukankah permainan terakhir bagi kalian? Sebab kalian pasti akan mengambil keputusan untuk membuktikan bahwa Pasingsingan memang hanya satu. Kalau sekarang tiba-tiba ada tiga, atau barangkali nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh, maka nanti akhirnya Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu.”

Kau benar,” sahut Pasingsingan. “Aku muak melihat mereka dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka harus mati.

Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain.” Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab. “Tetapi terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat meramalkan, apakah satu dari sekian banyak Pasingsingan itu adalah kau. Tak seorangpun yang tahu, apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah aku atau orang itu yang juga menamakan dirinya Pasingsingan.

Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti rintihan hantu.

Yang mendengar suara itu menjadi bergetar, seolah-olah dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah. Sehingga mereka terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk menahan kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga telah terduduk karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh benar itupun tidak kuat menahan getaran yang memukul dadanya, sehingga dengan demikian, iapun terpaksa menyandarkan diri pada tiang pendapa. Meskipun demikian akhirnya iapun terduduk pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat. Namun kesadarannya telah melayap-layap seperti orang yang sedang hanyut menjelang tidur.

Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang mati-matian agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tiga orang yang masing-masing menamakan diri mereka Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah jahatnya dengan Pasingsingan yang pertama. Apakah justru kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi mereka.

Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya. Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti orang yang terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi terbaring lemah tanpa daya. Hatinya menjadi nyeri dan pedih.

Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama menjadi semakin lemah. Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka Soka sendiripun menjadi gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan gemetar.

Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat dadanya. Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh aji sahabatnya itu. Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata, “Gelap Ngampar adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain pun mampu berbuat demikian?

Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab. Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya.

Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu. Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari lembah. Pasingsingan yang berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat tangan di dadanya.

Sejalan dengan arus udara yang aneh itu, terasa sesuatu merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru di dalam dirinya. Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh aji Gelap Ngampar di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan angin masih mengalir mengusap tubuh mereka membawakan ketenangan dalam diri.

Bagaimanapun juga Mantingan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang yang banyak mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang tersembunyi di balik alam yang kasatmata. Karena itu tergetarlah hatinya. Sehingga tak sesadarnya ia berbisik, “Alangkah dahsyatnya. Pertempuran ilmu dari orang-orang sakti.

 Widuri, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci dapat terinjak mati di tengahnya.

Dahsyat…!” Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak. “Aku merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji Gelap Ngampar. Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan dirinya. Bahkan perlawanannya telah berhasil mempengaruhi orang lain seperti aji Gelap Ngampar itu sendiri, merata ke segenap arah. Tetapi kekuatan perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan. Pasingsingan-lah yang memiliki aji Gelap Ngampar.

Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini sudah berhenti ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan telah membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Sambil menunjuk ke arah topeng kasar dari orang yang berdiri di samping Mantingan yang melipat tangan di dada itu, ia berkata, “Setan. Agaknya kau mampu mengimbangi aji Gelap Ngampar. Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa kau berhak menamakan dirimu Pasingsingan. Sebab Pasingsingan tidak saja mampu melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau menamakan dirimu Pasingsingan, dapatkah kau melepaskan aji Gelap Ngampar?

Hem…” geram orang berjubah yang menyilangkan tangannya. “Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama Pasingsingan.

Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan. Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji Gelap Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut Pasingsingan hampir berteriak.

Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang berdiri di samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat wajahnya. Terdengar ia menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan yang seorang lagi.

Kau juga bernama Pasingsingan?” Orang itu bertanya dengan suara yang dalam.

Akulah Pasingsingan itu” jawab orang itu.

Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang, “Aku tidak peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan Belang. Tetapi selama kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka kau hanya akan ditertawakan orang sebelum kau terbunuh olehku.

Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri. Apalagi Wanamerta dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti orang yang tak tahu keadaan diri.

Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat,” kata orang yang berjubah abu-abu yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi itu. “Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang sempurna. Aji yang tak akan dapat dipergunakan dalam pertempuran besar, dimana dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang terbunuh, namun kawan sendiripun akan menderita karenanya.

Jangan mencoba mengajari aku” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo, ”apapun yang terjadi, namun Gelap Ngampar benar-benar ditakuti orang”.

Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan itu tertawa, “Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau lakukan dengan Gelap Ngampar sekarang ini? Kalau kau akan membunuh aku, misalnya, dapatkah kau pergunakan Gelap Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya mampu membunuh orang-orang ini, yang berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita yang kasar.

Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. “Jangan banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan kenyataan tentang Pasingsingan.

Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek,  jawabnya, “Kau mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan? Aku tidak tahu kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang demikian itulah yang menyebabkan dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan nafsu. Kalau setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan dengan kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.”

Huh…” potong Pasingsingan, “Tak ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di hadapan kita untuk kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah salah kita sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya sepuas-puasnya, dan kita makan pala gumantung dan pala kependhem sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang sedang menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang akan aku lewati. Aku sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan kebesaran hanya dapat dimiliki oleh seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya kaupun sedang berusaha.

Apa yang sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.

Jangan berpura-pura” jawab Pasingsingan.

Hem…” desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi.

 “Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?

Bukankah kau juga sedang mencarinya?” potong Pasingsingan.

Apakah yang kalian perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten? Kalau itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di sini. Kalau itu yang dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak menikmatinya, bukankah dengan demikian kau bermaksud merajai Demak?

”Apa pedulimu?” bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu, guru Lawa Ijo.

Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula, “Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau berbuat hal yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh orang-orang ini?

Mereka menghalangi maksudku, seperti kau,” jawab Pasingsingan.

Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak padamu?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.

Jangan merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak, “Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa arti?

Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak. Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-kawanmu. Nah, urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.

Persetan dengan kalian,” sahut Pasingsingan. “Kita berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau berhak bernama Pasingsingan.

Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa. “Kalian berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku harus mempunyai pilihan. Nah, aku berpihak pada Pasingsingan yang datang bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan berarti. Meskipun seandainya mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan segala macam ciri-ciri Pasingsingan yang lain.

Tetapi aku akan memberimu kepuasan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan. “Kau ingin melihat aku melepaskan aji Gelap Ngampar?” Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia berkata, “Kau juga ingin melihat kebenaran itu?

Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-debar. Apakah orang-orang itu benar-benar memiliki Gelap Ngampar seperti dirinya? Dalam kegelisahannya, ia menebak-nebak, siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau mereka itu salah seorang dari Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya, pasti mereka tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar.

Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Kecuali mereka, Jaka Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka.

Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai saat yang tepat baginya.

Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian mengangkat wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mulai dari Mantingan dan kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang Parapat dan para penjaga yang sudah kehilangan kesadaran mereka. “Hem…” desahnya, “Kalau aku melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi semakin parah.

Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa. “Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?

Tidak… tidak,” sahut Pasingsingan itu. “Tetapi kalau aku ingin memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya tanpa maksud.

Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak berarti?” jawab guru Lawa Ijo.

Sekali lagi Pasingsingan di samping Mantingan itu memandang berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi ragu. Tiba-tiba ia menggeram, dan kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi, ia berkata, “Kalau kau ingin mencoba menjajarkan diri dengan kami, cobalah melawan aji Alas Kobar seperti yang aku lakukan.

Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu melepaskan aji itu?” kata Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu.

Akan datang saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo. Meskipun hatinya menjadi gelisah. Apakah benar kedua-duanya mampu berbuat demikian?

Menjemukan,” sela Sura Sarunggi. “Marilah kita bertempur, Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo. “Yang mana kau pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan satu demi satu. Kecuali kalau mereka mau menyingkir.

Pasingsingan belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa. Perlahan-lahan, namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi gelombang menggeletar menggetarkan udara halaman Banyubiru itu, seolah-olah geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke seluruh penjuru. Terasa disetiap dada goncangan yang tak terkira dahsyatnya. Sehingga runtuhlah daun-daun yang tak mampu berpegangan lebih erat lagi pada dahan-dahannya.

Suara Pasingsingan itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang sederhana saja, seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang mendengarnya adalah goncangan-goncangan yang dahsyat.

Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada Mantingan, berdesislah ia, “Aji Gelap Ngampar.” Dan berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri dan Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya untuk berbuat sesuatu, mengatasi goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri.

Tetapi, Mantingan dan kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu mengayunkan senjata-senjata mereka untuk turut serta di dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang dahsyat, yang jauh berada di atas kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang berguguran di halaman itu.

Meskipun demikian, terasa perbedaan pada kedua aji Gelap Ngampar yang sama-sama menggoncangkan dada mereka. Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak sekasar tenaga yang pertama.

Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari sela-sela angin basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam tubuh mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji Gelap Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula.

Hem…” geramnya, “Kau mampu melawan aji Gelap Ngampar,” katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi. Orang itu masih tegak di tempatnya sambil menyilangkan kedua tangannya terlipat di dada.

Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi tertawa, “Permainan yang mengasyikkan” katanya. “Jangan bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang bersamaan. Pasingsingan yang datang kemudian berdua adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu Gelap Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber dari mata air yang sama.”

Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar. Dengan suara yang berat ia berkata pula, “Gila. Kalian memiliki aji gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang satu itu jangan mencoba melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa menamakan diri Pasingsingan.”

Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan. “Mungkin kau mampu pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu itu. Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan. Apakah kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh?” tanya Pasingsingan dengan pasti.

Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti hantu kelaparan yang kehilangan mangsanya. “Gila, darimana kau dapatkan benda itu?

Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kuning menyilaukan. “Inikah yang kau maksud?” katanya.

Hem…” desis Pasingsingan di samping Mantingan. “Kalian mau bermain-main dengan senjata.” Ia tidak berkata lebih lanjut, namun iapun kemudian mencabut sebuah pisau belati yang mirip benar dengan pisau belati Pasingsingan yang lain itu.

Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya serasa mendidih di dalam rongga dadanya. Karena itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik pusakanya. Sebuah belati panjang yang berkilau.

Kini ketiga orang yang menamakan diri Pasingsingan itu masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa. Senjata yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh luar biasa. Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada duanya, menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada dua orang yang menamakan diri Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri kekhususannya Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang yang kuning berkilauan.

Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata, “Setan. Kalian dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini. Tetapi ada lagi satu senjata Pasingsingan yang tak dapat dibuat oleh empu yang bagaimanapun saktinya. Senjata yang diberikan oleh alam kepadaku. Adakah kalian mempunyai akik yang berwarna merah menyala dan bernama Kelabang Sajuta?

Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi. Angin lembah semakin lama semakin kencang. Dan awan yang kelabu menjadi bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali guntur bergelegar di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara seperti Ular Gundala raksasa yang meloncat-loncat dilangit. Menurut ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada saat itu sedang terjadi pertempuran antara Ular Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena ketamakannya.

Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun sedang berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan guru Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang Pasingsingan di pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam pendirian masing-masing.

Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata sepatah katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya, “Ha apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam kepada Pasingsingan?

 ———-oOo———-

 Bersambung ke Jilid 23

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (21)

I.

Bugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata. Sehingga ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia menjadi agak bingung. Dengan demikian, aku menduga bahwa orang itu sama sekali tidak kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah suatu yang tidak kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain panjangnya. Sesaat kemudian kain itupun telah berputar dan menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya.

Gila,” gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang terus.

Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya. Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula mendapatkan beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di luar kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka.

Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang tenaganya. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih saja segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur anak buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh tenaga mereka. Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka di garis pertama, sehingga dengan demikian mereka telah menghemat tenaga mereka.

Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik. Ia dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun orang-orang dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun mereka tetap melawan dalam gelar yang baik.

Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita, namun karena kerja sama mereka lebih rapi serta jumlah mereka lebih banyak, maka merekapun dapat memberikan perlawanan yang cukup.

Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa seperti aku ini. Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi bangga hati. Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku. Masa Daerah Perdikan Pangrantunan mengalami masa-masa yang cemerlang.

Tak seorangpun yang mengganggu perkelahian kedua orang itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit. Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, akupun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan ternyata orang-orang Pamingit itupun tidak membiarkan aku terbunuh tanpa pembelaan. Setiap Bugel Kaliki mencoba menyambar aku, orang-orang Pamingit itupun selalu melindungi aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya.

Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan, selain korban jatuh satu demi satu dari keduabelah pihak. Pertempuran itupun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun keduabelah pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan mereka. Orang-orang hitam yang marah itu mencoba mengusir orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit sama sekali. Namun mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan. Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk menghentikan pertempuran, kedua belah pihak yang telah tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera menarik diri mereka masing-masing. Orang dari golongan hitam, yang biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itupun agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun segera menarik pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis pertempuran. Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itupun akhirnya merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi semakin tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa bahayanya menjadi semakin besar.

Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran pula. Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga mereka masing-masing meninggalkan medan itu pula.

Demikianlah pertempuran di hari pertama itu berakhir. Dan berakhir pula ceriteraku. Malam itu aku mohon ijin untuk meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun demikian Ki Ageng berpesan, ”Jaladri. Sampaikan apa yang kau lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora akan mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh pula korban-korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran akan berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku buat cucuku, buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat-sahabatnya, serta buat Wanamerta yang setia. Kalau laskar Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus bergabung pula ke sana.” Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menurun, ”Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu dengan cucuku itu.” Jaladri mengakhiri ceriteranya. Dari wajahnya terbayang perasaannya yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya.

Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masing-masing duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan oleh suara Arya Salaka mengejutkan, “Apa yang kau lihat di Sumber Panas, Kakang Penjawi?

Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap wajah dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam iapun menjawab, “Aku tidak mengalami pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan sebagian darinya, sedang sebagian aku dengar dari orang Banyubiru yang telah aku hubungi sebelumnya.

Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pun mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara orang-orang hitam yang harus dilawannya terdapat Sima Rodra, Pasingsingan dan Sura Sarunggi.

Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya.

Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung Penjawi. “Gila….” desis Wanamerta.

Ya...” Penjawi meneruskan, “Karena itulah maka mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing yang diceriterakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk membantunya. Apalagi kelompok-kelompok lain. Mereka harus berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan Jaka Sora.”

Ketika Penjawi berhenti berceritera, kembali pendapa itu menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih cepat dari biasa, menjadi semakin terang.

Sesaat kemudian Penjawi meneruskan, “Korban berjatuhan. Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar golongan hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itupun tidak ringan. Meskipun demikian, tampaklah setapak demi setapak mereka mendesak maju. Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik diri, dan mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada. Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin banyak. Meskipun beberapa puluh orang dari golongan hitam itu jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora tak menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi. Namun karena tekanan yang dahsyat, maka laskar itupun terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa senja turun. Sehingga ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu pertolongan yang tiada taranya.

Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan. Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak kukenal itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu Sora. Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing itu dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.”

Penjawi berhenti berceritera. Sekali lagi ia memandang wajah Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari keningnya. Matanya tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu kembali digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka, tetapi juga setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru. Berkali-kali terngiang di telinga mereka, “Korban berjatuhan. Korban berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan bertambah-tambah.”

DALAM kediaman itu terdengar Mahesa Jenar bertanya, “Penjawi atau Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk tubuh orang yang tak kau kenal itu?

Penjawi menggeleng, tetapi Jaladri menjawab, “Sungguh tak tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang mengaggumkan. Tubuhnya tidak lebih gagah dari seorang perempuan. Suaranyapun kecil, nyaring seperti suara perempuan.”

Titis Anganten…” potong Mahesa Jenar cepat-cepat.

Orang sakti dari Banyuwangi.”

Titis Anganten…?” ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka hampir berbareng. “Ya,” jawab Mahesa Jenar.

Aku pernah ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra tua.”

Aku pernah mendengar namanya,” gumam Kebo Kanigara, “Ayah pernah menyebut-nyebutnya.”

Ia datang tepat pada waktunya,” sahut Mahesa Jenar.

Lalu suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing hanyut dalam angan-angan mereka sendiri.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka, “Nah, kalian telah mendengar apa yang telah terjadi di Pamingit.

Tak seorangpun yang menyahut. Mereka masih tetap dalam kediaman yang beku.

Ketika tak seorangpun yang bersuara, bertanyalah Mahesa Jenar, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?

Arya tidak segera menjawab. Ia memandang berkeliling, seolah-olah ia minta pertimbangan dari mereka. Meskipun demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud pertanyaan gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang pesan eyangnya kepada Jaladri, ”Aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit, dan seterusnya. Entahlah, apakah aku masih dapat bertemu dengan cucuku itu.” Maka kemudian iapun berkata lantang, “Nah, apa kata kalian? Bukankah dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya? Hari ini kita akan dapat menghancurkan laskar Pamingit itu. Dengan demikian Banyubiru akan menjadi milik kita. Bahkan Pamingit pun kemudian akan kita duduki setelah kita berhasil menumpas laskar dari golongan hitam.

Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba terkejut mendengar kata-kata Arya Salaka. Meskipun mereka datang ke perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa sesuatu keganjilan di dalam dada mereka.

Kenapa kalian diam?” tanya Arya Salaka. “Kesempatan ini tak akan berulang.

Para pemimpin Banyubiru itu masih diam. Mereka tidak tahu perasaan apa yang bergolak di dalam dada mereka sendiri. Hanya Mahesa Jenar yang kemudian menjadi gelisah. Namun ia masih berdiam diri pula. Ia sedang meraba-raba maksud pertanyaan muridnya itu, dengan suatu kepercayaan yang penuh, bahwa muridnya adalah seorang yang berhati jantan, namun berotak cemerlang. Karena itu ia masih menanti maksud Arya Salaka.

Memang Arya Salaka benar-benar seorang pemuda yang cakap. Ia dapat melihat keadaan dengan cermat. Dalam saat yang pendek, ia dapat merasa bahwa hatinya bergolak ketika ia mendengar ceritera Panjawi dan Jaladri. Demikian pula agaknya perasaan yang bergetar di dalam dada setiap pemimpin laskar Banyubiru itu. Bagaimanapun mereka membenci dan bahkan mereka telah berjanji untuk berjuang mati-matian mengusir orang-orang Pamingit dari Banyubiru, serta kalau perlu mereka akan saling membunuh untuk mempertahankan kesetiaan mereka, namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang Pamingit mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam, timbullah perasaan yang lain di dalam diri mereka. Sebab apapun yang terjadi di antara mereka, permusuhan yang bagaimanapun tajamnya, namun orang Banyubiru dan Pamingit adalah orang-orang dari cabang aliran darah yang sama. Mereka semula adalah orang-orang dari daerah perdikan Pangrantunan. Ayah-ayah mereka, kakek-kakek mereka telah bersama-sama bekerja untuk tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Bagi orang Banyubiru, orang-orang Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah kemenakan-kemenakan mereka, atau sepupu mereka atau paman mereka. Demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian, apakah mereka akan merelakan darah mereka yang mengalir didalam tubuh saudara-saudara mereka itu memercik dari luka-luka mereka, karena pokal orang-orang golongan hitam? Karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka mereka masih tetap berdiam diri.

Agaknya Arya Salaka telah mengamati keadaan dengan tepatnya. Sekali lagi ia memandang gurunya. Demikian Mahesa Jenar memandang langsung mata muridnya, tahulah ia apa yang tersirat di hatinya. Karena itu iapun menjadi terharu. Tetapi ia tidak berkata apapun, selain beberapa kali mengangguk-anggukkan kepalanya.

Yang terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka. “Paman-paman sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang setia. Agaknya aku tahu apa yang tersimpan di dalam dada kalian. Ketika aku ajukan beberapa pertanyaan kepada kalian, tetap berdiam diri, sebab kalian tidak menyakini apa yang bergolak didalam dada kalian. Karena itu, cobalah, biar aku menebaknya. Bukankah kalian merasa bahwa kalian tidak rela mendengar ceritera bahwa saudara-saudara kalian terpaksa mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam? Bukankah kalian tidak rela bahwa orang-orang hitam itu akan menguasai Pamingit? Gumpalan dari tanah perdikan Pangrantunan yang perkasa? Tanah Perdikan yang dengan susah payah dibangun oleh Eyang Sora Dipayana beserta kakek-kakek serta ayah-bunda kalian?

Para pemimpin laskar Banyubiru itu masih agak bingung. Mereka belum tahu benar arah pembicaraan Arya Salaka.  Akhirnya Arya Salaka berkata dengan terangnya, seperti terangnya matahari di siang yang panas itu. “Nah, paman-paman sekalian. Yakinlah bahwa aku sependapat dengan kalian. Dengan pertanyaan-pertanyaanku yang pertama, sebenarnya aku hanya ingin mendapatkan keyakinan akan hati nurani kalian. Apakah kalian masih marah dan mendendam kepada saudara-saudara kita dari Pamingit itu. Tetapi ternyata kalian telah menempuh pergolakan perasaan, yang membendung perasaan dendam itu. Memang kita seharusnya tidak mendendamnya, meskipun seandainya saudara-saudara kita dari Pamingit itu masih tetap berada di pendapa ini. Kita datang untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk melepaskan dendam kita.

Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba menegakkan kepala mereka. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan. “Kalau demikian..” Arya meneruskan, “Paman-paman yang perkasa, tinggalkan pendapa ini segera. Kembalilah ke dalam pasukan kalian, dan siapkanlah mereka. Kita bawa separo dari seluruh laskar Banyubiru ke Pamingit. Kita tempatkan diri di bawah pimpinan Eyang Sora Dipayana untuk menumpas golongan hitam itu. Apakah kalian sependapat?

Pasti…!” teriak mereka serentak. “Kami sependapat. Dan kami segera akan melaksanakannya.

Bagus,” potong Arya Salaka. “Kita akan berangkat segera setelah separo dari laskar kita berkumpul di alun-alun.

Arya tidak perlu mengulangi perintahnya kembali. Para pemimpin itu segera berdiri, dan berloncatan ke halaman. Segera mereka berada di atas punggung kuda masing-masing, untuk kemudian melesat seperti angin. Mereka ternyata masih menyala rasa kesetiakawanan yang mendalam. Mereka ternyata lebih mendendam kepada golongan hitam, daripada kepada orang-orang Pamingit. Dan sekarang perasaan itu diungkatnya kembali.

Sepeninggal mereka, di pendapa itu masih duduk selain Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang Widuri, Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Parapat. Kemudian kepada Mahesa Jenar, Arya Salaka berkata, “Adakah kita yang berada di pendapa ini akan berangkat semuanya?

Jangan Arya,” jawab Mahesa Jenar. “Kita harus berhati-hati. Bukankah tersebar berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten masih berada di Banyubiru? Kita dapat menduga bahwa kabar itu sengaja disiarkan untuk menimbulkan keributan, namun kita dapat menduga lain. Mungkin mereka benar-benar masih berpendapat bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru. Karena itu biarlah Kiai Wanamerta dan Sendang Parapat yang belum sembuh benar, tinggal di sini, didampingi oleh Kakang Mantingan dan Wirasaba. Selain itu biarlah Wilis tinggal di sini pula. Dan bagaimanakah sebaiknya dengan Endang Widuri?” tanya Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.

Aku ikut dengan Paman Mahesa Jenar.” Endang Widuri menyahut sebelum ayahnya menjawab.

Jangan Widuri,” potong ayahnya, “Kali ini jangan. Kita menghadapi lawan yang tak terduga kekuatannya.”

Aku telah dapat menduganya,” jawab Widuri. “Laskar Eyang Sora Dipayana hanya terpaut sedikit dari kekuatan Bugel Kaliki di hari pertama. Di hari kedua, kekuatan itu akan lebih banyak mengalami kegoncangan. Katakan bahwa laskar Pamingit mengalami kekalahan dua kali lipat dari hari pertama. Tetapi kekuatan Eyang Sora Dipayana masih lebih dari tigaperempat dari kekuatan lawan. Nah kalau demikian, mereka malam nanti pasti sudah mundur ke Pangrantunan. Dengan tambahan laskar Kakang Arya Salaka yang segar, kekuatan akan berimbang kembali. Lebih-lebih tokoh-tokohnya akan mampu lagi berbuat seenaknya. Dan apakah gunanya ayah ikut serta kalau ayah tidak mampu mengalahkan orang yang bernama Nagapasa, atau Sima Rodra atau Sura Sarunggi?

Jangan sesorah panjang-panjang, Widuri,” potong ayahnya. Sedang orang-orang yang mendengarkan terpaksa tersenyum-senyum. Namun di dalam hati mereka, terasa betapa mereka mengagumi gadis itu. Agaknya ia benar-benar dapat membuat gambaran dari medan di Pamingit dengan perhitungan yang baik. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara meneruskan, “Meskipun agaknya kau benar, namun kita harus berhati-hati. Mereka akan berbuat jauh lebih dahsyat daripada yang kau duga, sebab orang-orang dari golongan hitam itu membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Bahkan cara-cara yang kadang-kadang melanggar hukum-hukum perikemanusiaan. Meski akan menakut-nakuti kau dengan cara-cara yang tak wajar.”

“Aku tidak takut,” jawab Widuri.

Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya, katanya; “hanya prajurit yang baik yang dapat bertempur melawan golongan hitam.”

 “Aku prajurit yang baik,” jawab Widuri

Prajurit yang baik akan selalu patuh kepada perintah. Nah dengarlah perintah pemimpin pasukan, Arya Salaka,” sahut ayahnya.

Endang Widuri mengerutkan keningnya. Beberapa orang terpaksa tertawa mendengarkan perdebatan itu. Dengan wajah cemberut gadis itu memandang Arya Salaka. Arya Salaka sendiri menjadi bingung. Ia tahu maksud Kebo Kanigara akan tetapi di dalam hati kecilnya ingin mengajak gadis itu serta. Entahlah, apa sebabnya. Tetapi diingatnya bahwa bahaya akan datang setiap waktu, maka ia pun berpendapat, bahwa sebaiknya Endang Widuri tidak ikut serta. Apalagi Rara Wilis pun tidak.

Tetapi sebelum ia sempat menjawab, terdengar Endang Widuri berkata, “baiklah, baiklah. Aku sudah tahu jawaban kakang Arya Salaka, ia pasti akan berpihak kepada ayah.”

Arya Salaka tersenyum.

Kemudian terdengar Widuri meneruskan, “Biarlah aku tinggal bersama bibi Wilis dan eyang Wanamerta. Bukankah begitu bibi?

 “Tentu,” jawab Wilis ”kau menemani aku disini”.

Dan biarlah paman Mantingan nanti bercerita tentang Bharata Yudha,” Rara Wilis meneruskan, ”dan paman Wirasaba akan meniup seruling hingga beringin kurung itu nanti menari-nari bukan begitu paman?,

Mudah-mudahan,” sahut Wirasaba sambil tertawa.

Tetapi itu tidak penting,” Widuri meneruskan,  ”sebenarnya paman Mahesa Jenar yang paling berkeberatan aku ikut serta,”.

 “Kenapa aku?” sahut Mahesa Jenar.

Bukankah paman menghendaki aku tinggal, menunggu bibi Wilis, supaya bibi Wilis tidak hilang? Paman Mahesa Jenar takut kalau orang yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan datang menjemput bibi, dan…..” Kata-kata Widuri terputus, ia memekik kecil ketika Rara Wilis mencubitnya.

Tobat bibi aduuuuh

Rara Wilis tiba-tiba menundukkan mukanya. Terasa rona merah yang panas menjalar ke pipinya.

Jangan nakal Widuri,” ayahnya menasehatinya.

Tidak aku tidak nakal lagi, jangan jangan cubit dagingku akan terkupas. Bibi kalau mencubit sakitnya bukan main.”

Mau tidak mau Wilis terpaksa tersenyum. Memang WIduri benar-benar nakal. Ia tidak perduli berhadapan dengan siapapun, kalau teringat sesuatu yang menarik hatinya untuk menggoda, ia pun berbuatlah.

Sementara itu para pemimpin Banyu Biru telah sampai kepasukan masing-masing. Segera mereka mempersiapkan laskar mereka. Separo akan dibawa ke Pamingit. Mula-mula setiap orang didalam laskar Banyu Biru menjadi heran, mengapa tiba-tiba mereka harus membantu Pamingit. Namun setelah mendapat penjelasan dari para pemimpinnya, merekapun sadar akan tugas itu. Tugas yang harus dikedepankan. Menumpas setiap gerombolan yang menghianati kemanusiaan. Menghianati ketentraman hidup rakyat yang tinggal jauh disekitar daerah mereka. Bahkan tujuan jangka jauh yang telah mereka rintis. Mencari pusaka yang dapat membawa mereka kepada jabatan tertinggi di Demak.

Yang tinggal di Banyubirupun segera mempersiapkan diri mereka pula. Mereka mengamati senjata-senjata mereka, apakah senjata mereka telah siap untuk melawan musuh yang berbahaya.

Beberapa orang yang harus tinggal di Banyubiru menjadi kecewa. Sebenarnya mereka ingin turut didalam laskar yang kan pergi ke Pamingit tetapi merekapun sadar bahwa mereka mempunyai tugas yang penting pula di Banyubiru.

Demikianlah ketika matahari telah memanjat lebih tinggi lagi diatas pucuk pohon sawo kecik di halaman Banyubiru itu, mulailah ujung laskar Banyubiru memasuki alun-alun. Kelompok demi kelompok. Dari wajah mereka tampaklah betapa besar hati mereka setelah berkesempatan untuk menginjakkan kaki mereka diatas tanah pusaka. Betapa mereka merasakan kenikmatan yang mengetuk ngetuk dada mereka, meskipun terasa bahwa tanah tercinta ini telah mengalami beberapa kemunduran. Tetapi telah beberapa tahun mereka mengasingkan diri, didalam masa-masa yang prihatin, akhirnya mereka dapat menginjakkan kaki mereka dibumi tercinta ini kembali. Disekitar alun-alun itupun kemudian berduyun duyun rakyat Banyubiru menyaksikan putera putera daerah mereka yang setia, yang selama ini menghilang dari kampung halaman karena tekanan tekanan orang Pamingit. Namun ternyata mereka sekarang datang kembali dengan senjata di tangan.

Setelah pasukan itu semuanya memasuki alun-alun, maka berkumpulah setiap pimpinan kelompok laskar itu, dihadapan Arya Salaka. Dengan hati-hati Arya Salaka memberikan beberapa penjelasan kepada mereka apakah sebabnya mereka kini harus menempatkan diri dibawah pimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. “Dalam keadaan seperti sekarang ini,” katanya, ”ki Ageng Sora Dipoyono memang harus memegang seluruh pimpinan atas Banyubiru dan Pamingit. Tak ada orang lain yang lebih berhak daripadanya. Sedang Ki Ageng Sora Dipayana sekarang sedang berjuang melawan golongan hitam. Namun lawannya terlalu besar. Lawannya memiliki keunggulan yang tak dapat diatasinya. Nah apakah kalian, pewaris tanah perdikan Pangratunan yang kemudian bernama Banyubiru ini akan tinggal diam menyaksikan orang yang cikal bakal tanah ini mengalami bencana?”.

Terdengar jawaban mbata-rubuh. “Kami bela Ki Ageng Dipayana dengan segenap tenaga yang ada pada kita.”

Terimakasih,” jawab Arya, ”tentukan separo dari kalian akan kubawa ke Pamingit, separo tetap tinggal disini untuk menjaga kemungkinan yang tak kami harapkan di tanah ini. Kemudian, siang hari kalian kami perkenankan untuk beberapa saat meninggalkan pasukan, barangkali kalian ingin melihat sanak keluarga dan orang yang kalian rindukan. Nanti kalau matahari telah membuat bayanganmu sepanjang badan, kalian harus berkumpul kembali di alun alun ini. Aku mengharap, sedikit lewat tengah malam kalian harus sudah berada di Pangrantunan,

Ketika penjelasan Arya Salaka itu diberikankepada setiap kelompok oleh para pemimpin kelompok, bersoraklah mereka. Mereka menerima kebijaksanaan Artya dengan sepenuh hati, tidak saja sebagai lajimnya seorang prajurit yang baik. Namun karena ternyata Arya Salaka telah berfikir seperti apa yang mereka pikirkan. Arya tidak menutup mata atas kemungkinan yang ada didalam dada laskarnya. Sebab ia sendiri merasakan, betapa rindunya kepada halamannya, kepada setiap bunga yang berkembang, lebih lagi kepada bundanya. Tetapi sampai saat ini orang yang dirindukannya masih belum diketemukannya. Bahkan ia tidak tahu apa yang terjadi atas ibunya di Pamingit. Apakah orang-orang dari golongan hitam itu tidak mengganggunya?. Tiba-tiba Arya menjadi tidak sabar lagi, namun ia sadar tidak bisa membawa laskarnya ke jurang ke kebinasaan, hanya karena dirinya merindukan ibunya. Karena itu, ia telah mencoba menekan perasaannya untuk mempertahankan keseimbangannya sebagai seorang pemimpin.

Sesaat kemudian bubarlah barisan yang berada di alun-alun itu. Masing masing berjalan dengan tergesa-gesa, bertebaran ke segenap penjuru Banyubiru. Beberapa orang yang tidak mempunyai kepentingan lagi dengan orang lain, karena hampir seluruh keluarganya telah menyertainya ke Gedongsanga, ingin juga berjalan jalan berkeliling kota melihat-lihat perubahan yang timbul selama kota ini ditinggalkan. Kadang mereka singgah juga ke rumah kenalan mereka. Namun kenalan mereka telah menerima mereka dengan ketakutan. Jangan jangan laskar Banyubiru ini akan mengganggunya seperti cerita yang selama ini selalu didengar tentang mereka, bahwa laskar Banyubiru tidak lebih dari gerombolan penyamun dan perampok yang hanya mampu membuat kacau dan bencana. Namun setelah mereka mengetahui apa yang telah dilakukan laskar Banyubiru itu yang dengan ramah menyapa mereka, mereka memberi salam gairah seperti dahulu. Sadarlah mereka bahwa laskar Banyubiru adalah laskar yang selama ini berjuang untuk kepentingan mereka. Untuk kepentingan rakyat Banyu Biru. Mereka ternyata selama ini telah berusaha dengan gigihnya melenyapkan penghisapan orang lain atas mereka.

 Sisa waktu mereka pergunakan untuk beristirahat. Di bawah pohon-pohon yang rindang, di gardu-gardu dan di tempat yang sejuk. Mereka tidak tahu apakah nanti mereka masih mempunyai waktu untuk beristirahat.

Arya Salaka pun mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Meskipun hatinya selalu digelisahkan oleh keadaan ibunya yang tak diketahuinya, namun ia mencoba juga untuk membaringkan dirinya.

Ketika matahari telah mulai condong ke barat, sibuklah kem­bali alun-alun Banyu Biru. Beberapa orang yang singgah di rumah keluarganya, kenalan-kenalannya atau sahabat-sahabatnya telah membenahi diri. Mereka telah menyiapkan diri, untuk segera memenuhi tugas mereka, pergi kealun-alun sebelum bayangan mereka tumbuh tepat sepanjang tubuh.

Sesaat kemudian alun-alun Banyu Biru itu telah riuh kembali, Terdengarlah suara sangkakala mengaum dengan pada yang bergelora. mengetuk setiap hati mereka yang mendengarnya. Suaranya terlem­par dari tebing bukit Telamaya, merayap ke segenap penjuru, melontarkan panggilan suci. Panggilan kemanusiaan untuk mene­gakkan hukum-hukumnya, sebagai suatu panggilan pengabdian yang luhur­.

Sekali lagi Arja berdiri berhadapan dengan para pemimpin; kelompok laskarnya. Namun kini telah terbagi. Sebagian dari, mereka dengan menyesal terpaksa tidak turut serta ke Pamingit., namun mereka pun sedang mengemban tugas yang berat pula, meng­amankan Banyu Biru.

Kali ini Arya berbicara singkat saja, memberi mereka petun­juk-petunjuk kemana laskar itu harus pergi. ”Kita langsung pergi ke Pangrantunan, sebagai tempat yang ditentukan untuk membuat garis pertahanan baru apabila eyang Sora Dipayana ter­desak. Kita semuanya akan menempatkan diri dibawah pimpinannya. Perjuangan kali ini merupakan sebagian dari perjuangan kalian untuk mempertahankan Banyu Biru. Bahkan dari tangan orang-orang yang jauh lebih jahat dan biadab dari orang2 Pamingit. Yaitu goloiigan hitam. Tetapkanlah hati kalian. Tuhan bersama kita.”

Kemudian terdengar kembali sangkakala memecah udara Banyu Biru. Bersamaan dengan itu bergetar pulalah setiap hati laskar yang sudah siap itu.

Sesaat kemudian terdengarlah aba-aba dari para pemimpin mereka, dan ketika terdengar bende berdentang untuk ketiga kalinya, maka ujung barisan itupun mulai bergerak, diikuti oleh barisan-barisan yang }ain, sehingga akhirnya dialun-alun itu tinggallah separuh dari mereka. Meskipun demikian, yang separuh itu pun, seolah-olah merasa jantung mereka berderab bersama-sama dengan pasukan yang berjalan menjauh itu. Baru kemudian mereka sadar oleh suara Wanamerta, ”Nah, kalian yang tinggal. Jangan menghilangkan kewaspadaan, Mungkin besok, mungkin lusa kalian harus bertempur pula. Nah sekarang kalian dapat membubarkan barisan ini. Kembalilah ke­dalam barak2 yang telah ditentukan buat kalian. Tetapi kalian harus tetap dalam kesiap siagaan yang tertinggi.”

Ketika laskar yang separuh itu kemudian meninggalkan alun-alun itu pula, maka kembalilah Wanamerta ke pendapa untuk duduk bersama-sama dengan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dar Endang Widuri. Di pundak merekalah tanggung jawab atas Banyu Biru diletakkan, sepeninggal Arya Salaka

———-oOo———-

II

Di Perjalanan, tak banyaklah yang dipersoalkan oleh Arya Salaka dengan gurunya serta Kebo Kanigara. Angan-angannya lebih banyak dicengkam oleh kegelisahan tentang nasib ibunya. Namun demikian ia tetap dalam keseimbangan yang baik. Dua orang telah diperintahkannya untuk berjalan berkuda mendahuluinya. Mereka harus mengetahui, apakah laskar Pamingit yang dipimpin oleh Wulungan dan Ki Ageng Sora Dipayana berada di Pangrantunan atau di Kepandak.

Untuk menghindari salah paham dengan laskar yang langsung dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, Arya Salaka menempuh jalan melingkar agak jauh di sebelah timur Pamingit, langsung menuju ke Pangrantunan. Apabila kemudian laskar itu akan menembus Pamingit, mereka akan datang dari arah tenggara.

Ketika malam turun, laskar Arya Salaka telah menembus hutan-hutan yang tipis di sebelah timur Pamingit. Untuk beberapa saat laskar itu beristirahat. Mereka sekadar melepaskan lelah mereka dengan mempersegar tubuh mereka di sumber air yang mereka temui diperjalanan itu. Kemudian mereka masih sempat menikmati bekal yang mereka bawa. Ketupat sambal.

Setelah beristirahat sejenak, kembali pasukan itu meneruskan perjalanan. Bulan di langit separoh bulat telah naik tinggi di atas bukit-bukit yang membujur seperti raksasa yang lelap. Angin malam yang lemah bertiup dari utara mengusap pohon-pohon perdu yang dengan lembutnya. Sedang di kejauhan sayup-sayup terdengar anjing-anjing liar menggonggong berebut makanan.

Di tempat yang telah ditentukan, dua orang berkuda, yang ditugaskan oleh Arya Salaka untuk mengamati keadaan, telah menunggu.

Bagaimana?” tanya Arya kepada mereka.

Ki Ageng Sora Dipayana telah menarik pasukan ke Pangrantunan,” jawab orang itu.

Sejak kapan?” tanya Arya Salaka.

Baru malam ini. Semua tenaga telah dikerahkan. Setiap laki-laki di Pangrantunan telah memanggul senjata,” jawab orang itu.

Adakah golongan hitam telah menyusul ke Pangrantunan pula?” bertanya Arya Salaka lebih lanjut.

Aku kurang jelas. Namun hal itu mungkin sekali,” jawab mereka.

Bagaimana dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora?

Tak aku ketahui. Namun mereka belum sampai di Pangrantunan sore tadi. Tetapi seorang pengungsi mengatakan bahwa Sumber Panaspun telah dikosongkan. Laskar Ki Ageng Lembu Sora terdesak hebat sampai mereka terpaksa meninggalkan garis perang dalam keadaan tak teratur.

Arya menarik nafas panjang. Agaknya kekuatan golongan hitam betul-betul tak dapat dianggap ringan. Suatu gabungan dari sarang-sarang gerombolan yang mengerikan. Alas Mentaok, Nusakambangan, Gunung Tidar, Rawa Pening dan seorang hantu dari Lembah Gunung Cerme. Terbayanglah di dalam angan-angannya, bahwa Pamingit benar-benar sedang dilanda oleh taufan yang maha dahsyat. Ki Ageng Lembu Sora, yang beberapa saat yang lampau dapat bekerja sama dengan mereka, akhirnya sampailah saatnya ia digilas oleh arus hitam yang mengerikan itu, karena orang-orang dari golongan hitam itu sadar, bahwa Lembu Sora adalah suatu usaha saling memperalat semata-mata. Bukan suatu kerja sama yang tulus.

Tetapi kini golongan hitam itu benar-benar salah hitung. Mereka mengharap Ki Ageng Lembu Sora terpaksa membagi laskarnya. Sebagian menghadapi laskar hitam itu, dan sebagian menghadapi laskar Arya Salaka. Mereka mengharap bahwa dengan demikian, menggilas Pamingit akan sama mudahnya seperti menggilas ranti, untuk kemudian menghantam hancur sisa-sisa laskar Arya Salaka dan Lembu Sora yang parah di Banyubiru. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa kejernihan dan ketulusan hati Arya Salaka merupakan badai yang berhembus dengan dahsyatnya, memporakporandakan rencana mereka.

Arya Salaka kemudian memerintahkan laskarnya untuk mempercepat perjalanan. Hatinyapun menjadi semakin risau, apakah kira-kira yang telah terjadi di Pamingit dan apakah yang telah terjadi dengan ibunya? Ia menjadi cemas. Terbayanglah di dalam rongga matanya orang-orang seperti Pasingsingan, Sima Rodra dan sebagainya, dengan kasarnya memasuki setiap ruang rumah pamannya di Pamingit. Apakah ibunya diketemukan di rumah itu pula oleh mereka? Mudah-mudahan Tuhan memberikan perlindungan kepadanya.

Hampir tengah malam, laskar Arya Salaka telah mendekati Pangrantunan dari arah utara. Dari jauh mereka telah melihat beberapa kelompok perapian yang menyala di sekitar desa itu. Karena itu segera Arya Salaka menghentikan laskarnya untuk menghindari kesalah-pahaman.

Kepada gurunya ia berkata, “Paman, bukankah sebaiknya aku menghadap Eyang Sora Dipayana lebih dahulu?

Mahesa Jenar mengangguk, jawabnya, “Baik Arya, sebab di malam yang samar-samar demikian ini, akan mudah sekali timbul salah mengerti. Laskar eyangmu itu mungkin sama sekali tak akan menduga bahwa kau akan datang membantu mereka.

Kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Arya Salaka berjalan mendahului, untuk melaporkan kehadirannya bersama laskarnya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.

Beberapa tonggak dari Pangrantunan, segerombol pengawal menghentikan mereka. Dengan penuh kewaspadaan para pengawal itu menyapa mereka dengan pertanyaan sandi. “Ke manakah mulut gua menghadap?

Arya tidak tahu bagaimana harus menjawab, karena itu ia berkata terus terang, “Aku bukan dari laskar Pamingit.”

Dari golongan hitam?” bentak para pengawal itu, dan bersamaan dengan itu tombak-tombak mereka segera mengarah ke dada Arya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Arya menggeleng, jawabnya, “Bukan Ki Sanak. Kalau aku dari golongan hitam, apakah agaknya aku akan bunuh diri?

Siapakah kalian?” tanya salah seorang daripada para pengawal itu.

Dari Banyubiru,” jawab Arya.

Banyubiru…? Siapa…?” desak mereka.

Arya Salaka termenung sejenak, apakah ia harus mengatakan dirinya…? Dengan demikian, laskar Pamingit yang tak dapat berpikir panjang akan menuduhnya memata-matai mereka untuk selanjutnya memukul mereka dari belakang. Dalam keragu-raguan itu terdengar orang Pamingit mendesaknya kembali, “Siapa?

Mahesa Jenar lah yang kemudian menyahut, “Kami adalah utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana.

Orang itu masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Apakah pesan itu? Dan adakah kau membawa pembuktian diri bahwa kau orang Banyubiru? Kalau kau dapat menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu bahwa kau tak bermaksud jahat?

Setelah berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab, “Kau dapat bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab sebagaimana anak daerah yang mengetahui segala sesuatu mengenai daerahnya.”

Kemudian apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal yang merugikan laskar kami?” tanya pengawal itu.

Kami hanya bertiga. Apakah yang dapat kami lakukan? Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora Dipayana. Di hadapan orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,” jawab Mahesa Jenar.

Tetapi kau bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk Kyai Bancak yang digengam Arya erat-erat.

Tombak ini justru bukti kebenaran kami. Ki Ageng Sora Dipayana segera akan mengenal tombak ini, dan mempertanyai kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.

Para pengawal itu berpikir sejenak. Mereka memang pernah mendengar, bahwa Arya Salaka memiliki tombak yang sakti, berrnama Kyai Bancak. Ketika mereka melihat mata tombak yang seolah-olah bercahaya kebiru-biruan di dalam siraman cahaya bulan, maka percayalah mereka bahwa tombak itulah yang bernama Kyai Bancak sebagai pertanda kebesaran Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.

Ketika Mahesa Jenar melihat para pengawal itu ragu, ia mendesak, “Bawalah kami kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau kami bermaksud jahat, kami pasti tidak akan menempuh jalan ini. Apalagi di antara kami bertiga hanya seorang yang bersenjata. Itu saja karena kami ingin membuktikan bahwa kami benar-benar utusan Angger Arya Salaka.

Para pengawal itu akhirnya percaya, bahwa tiga orang itu pasti tak akan bermaksud jahat. Karena itu maka segera salah seorang di antara mereka berkata, “Bawalah orang-orang ini menghadap Ki Ageng.” Kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Jangan berbuat hal-hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar daerah ini bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat memenggal lehermu di setiap tempat dan di setiap saat.

Baiklah Ki Sanak,” jawab Mahesa Jenar, “Aku akan taat kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan selamat ke Banyubiru.

Kemudian dengan diantar oleh lima orang bersenjata tombak, Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dibawa langsung ke Pangrantunan.

Di ujung desa itu, di dalam sebuah pondok yang sedang, tampaklah penjagaan yang lebih rapi daripada tempat-tempat yang lain. Dengan demikian segera dapat dikenal, bahwa di rumah itulah Ki Ageng Sora Dipayana serta pimpinan laskar Pamingit itu berada. Setelah melalui beberapa penjagaan, maka akhirnya seseorang langsung menyampaikan berita tentang kehadiran tiga orang Banyubiru itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana.

Siapakah mereka?” tanya Ki Ageng. “Belum kami ketahui namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu.

Apakah mereka bersenjata?” tanya Wulungan yang mendengar laporan itu.

Hanya seorang, yang dua orang sama sekali tidak,” jawab pengawal itu.

Wulungan mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng Sora Dipayana ia bertanya, “Apakah aku yang menerimanya?

Biarlah, bawalah kemari,” jawab orang tua itu.

Akhirnya pengawal itu membawa Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masuk ke dalam pondok itu.

Ketika Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan melihat Arya, merekapun menjadi terkejut. Dengan serta merta Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya, “Kau Arya.”

Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengangguk hormat. “Ya, Eyang,” jawab Arya.

Dengan pertanyaan yang melingkar-lingkar di dalam rongga dada, orang tua itu mempersilahkan tamunya bertiga untuk duduk di atas tikar, di bawah cahaya obor yang samar-samar. Namun meskipun demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menangkap, betapa perasaan orang tua itu bergolak.

Kedatangan kamu mengejutkan kami di sini, Arya,” kata kakeknya perlahan-lahan. “Adakah kau mempunyai keperluan yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku dengan orang-orang dari golongan hitam itu selesai?

Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo kanigara segera menangkap kecemasan hati Ki Ageng Sora Dipayana. Agaknya orang tua itu menjadi gelisah, kalau Arya Salaka kemudian mengubah pendiriannya tentang tuntutannya atas Banyubiru.

Kapankah kira-kira persoalan Eyang akan selesai?” tanya Arya.

Ki Ageng Sora Dipayana menggelengkan-gelengkan kepalanya, jawabnya, “aku tidak tahu Arya. Besok, lusa atau seminggu, dua minggu lagi. Seandainya persoalan ini selesai, akupun tidak dapat membayangkan bentuk penyelesaiannya. Apakah orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat aku usir dari Pamingit atau kamilah yang harus binasa dalam pelukan kewajiban kami.

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali melonjak-lonjak. Karena itu kemudian ia berkata, “Dapatkah aku ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. Diangkatnya wajahnya yang telah dipenuhi oleh jalur-jalur umurnya, namun kesegaran dan kewibawaan yang terpancar dari wajah itu mengesankan bahwa Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang berjiwa besar dan penuh dengan pengalaman hidup.

Tetapi kali ini orang tua itu tidak segera dapat mengerti maksud Arya Salaka. Dengan pandangan yang dipenuhi oleh persoalan-persoalan ia bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?

Arya Salaka menggeser tempat duduknya, ia tidak segera menjawab, tetapi ia memandang saja kepada gurunya. Agaknya ia minta kepada Mahesa Jenar untuk menyampaikan maksudnya kepada kakeknya, supaya segala sesuatu dapat menjadi jelas, karena ia merasa bahwa ia tidak pandai untuk menyampaikan perasaan dengan kata-kata.

Mahesa Jenar menangkap maksud Arya Salaka, dan karenanya ia menganggukkan kepalanya.

Tetapi sebelum Mahesa Jenar berkata, terdengarlah suara riuh diluar pondok itu.

Ada apa diluar?” tanya Ki Ageng sora Dipayana.

Kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Setelah duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata, “Ki Ageng, laskar Ki Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.”

Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, Sambil mengangguk- angguk ia berkata, “Di manakah Lembu Sora dan Sawung Sariti?

Sedang menuju kemari,” jawab orang itu.

Baiklah,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek.

Sebelum orang itu keluar, masuklah orang yang dikatakannya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Pakaian mereka yang bagus telah menjadi kotor dan kumal. Sedang wajah mereka yang dilapisi oleh debu berminyak tampak membayangkan betapa perasaan mereka bercampur baur bergolak dalam dada mereka.

Kedua orang itu terkejut sekali ketika mereka melihat Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di dalam ruangan itu. Tetapi sebelum mereka menyapanya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, “Bagaimana dengan laskarmu?

Lembu Sora menggeram. “Terpaksa aku tarik kemari,” jawabnya.

Seluruhnya?” tanya ayahnya pula.

Ya.” Ia masih ingin berkata lagi, namun agaknya ia menjadi ragu. Karena itu sekali lagi ia memandang Arya Salaka dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar, “Ada apa anak itu kesini?

Duduklah.” Ki Ageng Sora Dipayana menyilahkan. “Biarlah kita berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.

Dengan segan Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk. Namun mereka masih memandang Arya dengan sorot mata yang asing.

“Aku sedang bertanya kepadanya.“ Ki Ageng Sora Dipayana berkata setelah Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.

Kau akan memaksakan kehendakmu ketika kami sedang dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung Sariti mendahuluinya. Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut matanya, namun ia tidak menjawab.

Nah, Arya. Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana menengahi.

Kembali Arya memandang gurunya. Dan kembali Mahesa Jenar sadar bahwa muridnya memerlukan bantuannya.

Tetapi sebelum Mahesa Jenar menjawab, terdengarlah Ki Lembu Sora berkata, “Jangan ragu-ragu. Katakan apa yang tersirat di dalam hatimu. Sebenarnya kami tidak perlu bertanya lagi. Terlihat dari wajahmu. Sebab apa yang tersirat didalam hati, pasti akan terbayang pada tata lahir. Lihatlah betapa kelam warna wajah-wajah kalian, pakaian kalian dan laskar kalian. Apakah kalian memungkiri bahwa kalian termasuk di dalam deretan golongan hitam?

Betapa tersinggungnya hati Arya Salaka dan Mahesa Jenar mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya Mahesa Jenar mengamati warna pakaiannya. Hijau gadung. Memang betapa kelam warna itu.

Dan ketika tiba-tiba matanya terlempar kepada baju Arya, ia menarik nafas dalam-dalam. Arya Salaka mengenakan baju pendek sangat sederhana. “Hmm….” Terdengar ia menggeram. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara berkata dengan sarehnya. “Ki Ageng Lembu Sora. Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian kami. Kesederhanaan bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati. Betapa tenang warna hijau gadung yang gelap dan betapa sederhananya pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki Ageng, jangan biasakan membaca batin seseorang pada tata lahirnya yang nampak. Seseorang yang yang berpakaian indah, dengan tretes intan berlian, apakah pasti bahwa ia berhati indah ? Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan jelek, apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?

Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Lembu Sora tertawa nyaring. Sedangkan Sawung sariti mencibirkan bibirnya dengan penuh hinaan. Katanya, “Sebuah dongeng yang bagus.”

Benar Ki Ageng,” sahut Kebo Kanigara. “Sebuah dongeng yang bagus.”

Sekarang katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan tidak sabarnya. “Menuntut balas? Menuntut supaya Lembu Sora dipenggal lehernya atau apa? Kalian benar-benar dapat kembali gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian kau dapat memiliki Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai hadiah buat golongan hitam itu.”

Tubuh Arya Salaka tiba-tiba menjadi bergetar. Ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-kata pamannya. Namun demikian terdengan Kebo Kanigara merkata-kata dengan tenangnya, “Ki Ageng. Memang kadang-kadang terjadilah hal-hal diluar dugaan wajar. Tetapi sebenarnya tidak perlu Ki Ageng menjadi heran maupun curiga. Aku juga pernah mendengar sebuah cerita yang menarik. Cerita anak-anak bersumber pada cerita Panji. Meskipun Candrakirana selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari orang-orang yang ditemuinya, baik dalam cerita Klenting Kuning maupun dalam cerita Limaran dan lain-lain, namun ia tidak pernah mendendamnya. Bahkan akhirnya ketika ia mendapatkan kamukten-nya kembali, orang-orang yang pernah mendurhakainya itupun dimuliakannya pula.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Cepat-cepat ia mendahului Lembu Sora, “Mudah-mudahan aku dapat menduga maksud cerita itu. Nah, cucuku Arya Salaka, katakan apa maksud kedatanganmu.”

Dada Arya Salaka masih tergetar oleh perasaan kecewa. Karena itu Mahesa Jenar mewakilinya, “Ki Ageng, Arya Salaka datang dengan laskarnya. Sebagai bakti seorang cucu kepada pepundhen-nya. Ia bersedia menempatkan dirinya di bawah pimpinan Ki Ageng untuk ikut serta mengusir golongan hitam itu.”

Pondok kecil itu seolah-olah menjadi tergetar oleh kata-kata itu. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa demikianlah maksud kedatangan anak itu. Ki Ageng Lembu sora seketika itu terdiam seperti patung. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergelora didalam rongga dadanya. Sesaat ia kehilangan kesadaran diri. Seperti ia sedang terbang didunia mimpi. Dengan susah payah ia berusaha untuk meyakinkan pendengarannya.

Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menundukan wajahnya. Keluhuran hati anak itu telah memukul jantungnya sedemikian hebatnya sehingga tiba-tiba tanpa sesadarnya, dari matanya mengembanglah air mata, yang menetes satu-satu diatas pangkuannya. Sebagai seorang laki-laki, Ki Ageng Sora Dipayana telah mengalami kesulitan, penderitaan dan kepahitan. Namun ia tak pernah membiarkan perasaannya hanyut dan tenggelam dalam kesulitan itu. Sekarang, tiba-tiba ia tak mampu menguasai diri, sehingga satu-satu jatuhlah air matanya.

Untuk sesaat ruangan itu terlempar ke dalam kesepian. Hanya nafas mereka yang saling memburu, terdengar sedemikian jelasnya. Diluar, terdengarlah derap para pengawal hilir mudik melakukan kewajibannya dengan tertib.

Kemudian dengan gemetar terdengar suara Ki Ageng Sora Dipayana, “Arya, coba ulangilah kata-kata Angger Mahesa Jenar, supaya aku menjadi yakin karenanya.

Benar Eyang’” jawab Arya, “Aku datang dengan laskarku. Aku ingin menunjukkan, apakah yang dapat aku serahkan sebagai tanda baktiku kepada orang tuaku.Sebagai pernyataan terima kasih serta sebagai suatu kenyataan atas adaku.”

Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin terharu karenanya. Sambil mengangguk-angguk kepalanya ia memandangi anaknya, Lembu Sora yang masih duduk kaku di tempatnya.

“Kau dengar Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

Lembu Sora seperti orang yang tersadar dari mimpinya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang mula-mula memancarkan kemarahan tiba-tiba menjadi pudar. Ia ingin menyatakan perasaannya yang bergelora di dalam dadanya, namun yang keluar dari mulutnya dengan suara yang bergetar hanyalah, “Ya, aku dengar ayah.

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia bertanya, “Dimanakan laskarmu sekarang, Arya?

Beberapa tonggak di sebelah utara desa ini, Eyang.” Jawabnya.

Bawalah mereka mendekat, supaya segala perintah dapat tersalur dengan cepat sebaik-baiknya,” perintah Ki Ageng Sora Dipayana.

Baik, Eyang’” jawab Arya. Kemudian iapun berdiri dan mohon diri untuk membawa laskarnya masuk ke Pangrantunan. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tinggal bersama-sama dengan eyangnya di pondok itu.

Di halaman, Arya Salaka terkejut ketika seseorang menggamitnya sambil berkata, “Aku turut dengan tuan, supaya tidak terjadi salah pengertian dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora.”

Baru Arya Salaka sadar bahwa ia berada di daerah peperangan antara laskar-laskar yang pernah berhadapan sebagai lawan yang hampir saja menumpahkan darah.

Ketika ia menoleh, Wulungan berjalan di belakangnya. “Terima kasih Paman Wulungan.” Jawabnya.

Kemudian mereka berdiam diri dan berjalan dalam keremangan cahaya bulan muda yang telah hampir tenggelam. Beberapa orang penjaga mengangguk hormat ketika mereka melihat Wulungan lewat di depan mereka.

Di pinggir desa Pangrantunan, Arya Salaka melihat laskar yang berserak-serak. Nampak betapa parah keadaan mereka. Beberapa orang yang luka masih belum terawat dengan baik.

Kakang Wulungan?” sapa salah seorang dari mereka.

Ya,“ jawab Wulungan. “Bagaimana keadaan laskarmu?

Parah,“ jawab orang itu. “Keadaan kalian disini agaknya masih lebih baik.

Demikianlah,” sahut Wulungan, “Tetapi besok atau lusa kita akan mengalami keadaan yang sama.

Orang itu tertawa. Seram sekali. Tawa yang sama sekali tidak sedap, sebagai pelepas kejengkelan dan kemarahan.

Hati Arya berdesir ketika ia mengenal orang itu kembali. Ia pernah melihatnya beberapa tahun yang lampau di Gedangan. Namun ia berdiam diri. Ketika mereka sudah meninggalkan laskar itu, bertanyalah Arya, “Paman Wulungan, benarkah orang tadi bernama Galunggung?

Ya. Dari siapa Angger mengenalnya?” sahut Wulungan.

Ia termasuk orang baru di dalam laskar kami. Baru beberapa tahun. Namun karena sifatnya yang disukai oleh Angger Sawung Sariti, ia cepat sekali menanjak ke tempatnya yang sekarang. Pengawal pribadi Angger Sawung Sariti.”

Kemudian kembali mereka berjalan sambil berdiam diri. Angin malam masih mengalir perlahan-lahan membawa udara yang sejuk. Di langit, bintang-bintang berkedip-kedip dengan cerahnya.

Tiba-tiba terdengar kembali suara Wulungan, “Angger….”. Arya Salaka menoleh, namun tidak menjawab.

Beruntunglah laskar Banyubiru mendapat seorang pemimpin seperti Angger ini.” sambung Wulungan.

Arya mengerutkan keningnya, “Kenapa Paman?

Sudah lama aku mengagumi kejantanan Angger. Agaknya sifat-sifat ayahanda Gajah Sora tercermin di dalam hati Angger. Apalagi Angger mendapat asuhan dari seorang yang mengagumkan dalam perjalanan hidup Angger selama ini, sehingga dengan demikian sempurnalah sifat-sifat kepahlawanan di dalam tubuh Angger. Orang setua aku inipun tak akan membayangkan bahwa pada suatu ketika Angger datang dengan laskar yang segar untuk kemudian membantu pamanda dalam kesulitan ini. Alangkah jauh bedanya sifat-sifat itu dengan sifat-sifat Angger Sawung Sariti.

Jangan memuji, Paman,” sahut Arya Salaka.

Aku berkata atas keyakinan,” jawab Wulungan, “Aku adalah salah seorang dari laskar Angger Sawung Sariti itu.”

Arya tersenyum mendengar pujian itu. Ia sama sekali tidak membanggakan diri karena sifat-sifat yang baik dan dikagumi orang, tetapi ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, bahwa karena kuasa-Nya, maka ia selalu mendapat petunjuk-petunjuk dan mendapat sinar terang di hatinya. Selalu diingatnya sebuah ceritera yang pernah diceriterakan oleh gurunya, tentang dua orang hamba seorang raja dan yang seorang adalah pemungut pajak yang kejam. Ketika mereka berdua bersama-sama menghadap raja, maka berkatalah penghulu istana, ”Maha Raja yang bijaksana. Aku adalah orang yang sebaik-baiknya di kerajaanmu. Aku selalu berbaik hati kepada rakyatmu dan memberikan kepada mereka hadiah-hadiah yang berharga, sehingga dengan demikian segenap rakyatmu akan mencintai aku. Karena itu, kalau Maha Raja akan memberi hadiah kepada hambanya, maka akulah orangnya yang paling pantas untuk menerimanya.”

Sedang pemungut pajak itu kemudian bersujud di bawah kaki Maha Raja yang bijaksana itu, katanya, ”Duh Maha Raja yang bermurah hati. Aku adalah orang yang sejahat-jahatnya di kerajaanmu. Aku telah menjalankan pekerjaanku dengan lalimnya karena aku inginkan pujian dari atasku. Karena itulah maka rakyat di kerajaanmu sangat membenci aku. Namun Maha Raja yang bijaksana, karena itulah aku akan bertobat. Dan aku akan menerima hukuman yang akan ditimpakan kepadaku atas kelalaianku itu.”

Ketika kemudian Raja yang bijaksana itu memberikan hadiahnya, maka pemungut pajak itulah yang berhak menerimanya. Bukan penghulu istana. Kemudian ternyatalah bahwa pemungut pajak itu benar-benar bertobat dan membagi-bagikan hadiahnya kepada mereka yang pernah dicederainya, sedang penghulu istana kemudian berontak terhadap raja, hanya karena ia tidak menerima hadiah. Sebab kebaikan yang dilakukan selama itu hanyalah terdorong oleh keinginannya untuk menerima hadiah.

Demikianlah Arya Salaka menerapkan ceritera itu dalam hidupnya sehari-hari. Kebaikan dan keikhlasannya berkorban bukanlah semata-mata karena jiwa pengabdiannya serta kesetiaannya pada kewajibannya.

Beberapa langkah kemudian sampailah mereka di pusat pengawalan. Ketika mereka melihat Wulungan dan seorang lain lewat, segera pemimpin pengawal itu membungkuk hormat kepadanya sambil menyapa, “Kakang Wulungan…?”

Ya,” jawab Wulungan, “Bagaimana keadaannya?

Selama ini baik, Kakang,” jawab orang itu.

Tak ada yang mencurigakan?” tanya Wulungan pula.

Tidak Kakang,” jawab orang itu.

Bagus. Aku akan pergi sebentar. Menjemput laskar Banyubiru,” sahut Wulungan.

Laskar Banyubiru…?” Orang itu menjadi heran. Bahkan beberapa orang lainpun menjadi keheranan pula sehingga mereka mendesak maju.

Ya,” jawab Wulungan sambil memperhatikan wajah-wajah yang kecemasan itu.

Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Berita kedatangan laskar Banyubiru itu bagi mereka seakan-akan bunyi kentong pelayatan atas jenazah mereka.

Melihat kegelisahan yang membayang itu Wulungan menyambung kata-katanya, “Mereka akan datang membantu kita.”

He…?” terdengar mereka berteriak terkejut. “Membantu kita atau membinasakan kita?” Para pengawal itu masih ingat dengan jelas beberapa hari yang lalu mereka sudah berhadapan dengan laskar Banyubiru itu dengan kesiapan-kesiapan tempur.

Percayalah kepadaku. Mereka datang untuk membantu kita menumpas golongan hitam itu.” Wulungan menjelaskan.

Suatu harapan yang akan mengecewakan,” sahut pemimpin pengawal itu.

Dengarlah sendiri apa yang dikatakan oleh pemimpin laskar Banyubiru itu,” berkata Wulungan.

Pemimpin laskar Banyubiru? Siapakan dia dan di manakah dia?” tanya beberapa orang bersama-sama.

Arya Salaka. Inilah orangnya,” jawab Wulungan.

 Kembali mereka terkejut. Orang itulah yang tadi datang bersama-sama dengan dua orang lainnya, yang mengatakan bahwa mereka adalah utusan Arya Salaka. Ternyata anak muda yang membawa tombak itu sendirilah yang bernama Arya Salaka. Ketika mereka masih keheranan, terdengarlah Arya Salaka berkata, “Jangan berprasangka. Aku datang untuk membantu kalian. Bukankah kalian seperti kami juga dari Banyubiru, adalah pewaris Tanah Perdikan Pangrantunan?

Wajah-wajah yang sudah pucat karena putus asa itu tiba-tiba menjadi berangsur merah. Saat-saat terakhir mereka hanya dapat menunggu sampai tangan-tangan hitam itu membinasakan mereka satu demi satu. Tetapi tiba-tiba terulurlah tangan Arya Salaka untuk menyelamatkan mereka. Karena itu tiba-tiba melonjaklah keharuan di dada mereka. Sehingga tanpa sesadarnya pemimpin pengawal itu segera berjongkok di hadapan Arya sambil berkata, “Tuan, Tuan datang sebagai datangnya malaikat yang akan menyelamatkan kami, tanah kami serta kebesaran nama Pangrantunan.

Aku datang sekadar menetapi kewajiban,” sahut Arya sambil menarik lengan orang itu. ”Berdirilah,” katanya.

Orang itu kemudian berdiri. Tetapi kepalanya tertancap jauh ke tanah dekat di ujung ibu jari kakinya. Terlintas di dalam kepalanya, kepahitan hidup yang dialaminya bersama-sama laskar Lembu Sora yang lain. Kecurangan, kenaifan dan sifat-sifat yang lain. Sekarang terasa betapa jujur kata-kata anak muda itu. Arya Salaka yang selama ini dikejar-kejar oleh laskar Pamingit untuk dibunuhnya. Oleh kenangan itu terasa bahwa mulutnya tiba-tiba seperti tersumbat. Banyak sekali terima kasih yang akan diucapkan, namun tak sepatah katapun yang terlahir.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Wulungan, “Kami akan berjalan. Perintahkan kepada para pengawal untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan salah mengerti antara laskar Pamingit dan laskar Banyubiru. Kami seterusnya akan bersama-sama berjuang untuk tanah kami.”

Baik Kakang,” jawab pemimpin pengawal itu.

Arya Salaka bersama-sama Wulungan kemudian meneruskan perjalanannya, menjemput laskar Banyubiru yang ditinggalkan beberapa tonggak dari Pangrantunan.

———-oOo———-

III

Berita tentang akan datangnya laskar Banyubiru itupun segera tersebar. Dalam waktu yang sangat singkat. Setiap pengawal yang bertugas telah mendengarnya. Berbagai tanggapan bergelut di dalam dada mereka. Setengahnya mereka tidak percaya, sedang setengahnya menjadi gembira. Kalau pada umumnya mereka telah berputus asa, tiba-tiba timbullah harapan dan gairah mereka kembali atas tanah mereka. Meskipun mereka belum yakin bahwa di dalam laskar Banyubiru itu ada orang-orang yang tangguh seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, apalagi seperti Ki Ageng Sora Dipayana dan pendatang yang aneh, yang mirip dengan perempuan dan bernama Titis Anganten. Namun setidak-tidaknya nasib mereka berbagi.

Di dalam pondok kecil masih berkumpul Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tiba-tiba timbullah keinginan Ageng Sora Dipayana untuk melihat laskar Banyubiru itu. Apakah mereka akan dapat memberikan bantuan yang berarti.

Marilah kita lihat laskar Arya itu,” katanya. “Marilah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.

Tiba-tiba Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang kecut, sambil berkata, “Ayah, dapatkah anak itu kami percaya?

Mata Lembu Sora masih saja membayangkan kekeruhan hatinya. Sebenarnya ia melihat betapa wajah kemanakannya benar-benar meyakinkan, bahwa anak itu telah berkata dengan jujur. Karena itu ia tidak dapat menjawab pertanyaan anaknya. Yang terdengar adalah jawaban Ki Ageng Sora Dipayana, “Kau terlalu dihantui oleh perasaanmu sendiri cucuku. Percayalah kepada kakangmu. Aku yang menjadi jaminannya.”

Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora berkata pula, “Aku mempercayainya Sawung Sariti.”

Mata Sawung Sariti menjadi redup. Senyum yang aneh membayang di bibirnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi muak melihat senyum itu, mirip benar seperti senyuman Jaka Soka dari Nusakambangan. Namun demikian ia tidak berkata apa-apa.

Mereka semuanya kemudian melangkah keluar pondok itu dan berjalan untuk melihat laskar Arya Salaka yang akan datang masuk ke Pangrantunan. Mereka untuk sementara akan ditempatkan di halaman Banjar Desa untuk menunggu tempat yang lebih baik bagi laskar itu, seperti juga laskar Lembu Sora yang masih belum mendapat penampungan yang baik.

Ketika Arya Salaka tampak mendatangi laskarnya, segera Bantaran dan Penjawi menyongsongnya, sambil berkata, “Bagaimana Angger?

Kami dapat diperkenankan memasuki desa Pangrantunan, Paman. Dan inilah Paman Wulungan,” jawab Arya Salaka.

Bantaran menganggukkan kepalanya, demikian juga Penjawi yang segera dibalas oleh Wulungan.

Aku mengucapkan selamat atas kedatangan kalian,” sambut Wulungan dengan ramahnya.

Terima kasih,” jawab Bantaran.

Ketika kemudian muncul Jaladri diantara mereka, berkatalah ia kepada Wulungan dengan akrabnya, seperti kepada sahabatnya yang karib. “Selamat malam Wulungan. Sudahkah kau sediakan makan malam buat kami?

Nasib mereka dalam sehari, pada saat-saat mereka bertempur melawan Bugel Kaliki, telah membentuk persahabatan yang akrab di antara mereka. Dengan tertawa Wulungan menjawab, “Tentu Jaladri. Tetapi sayang bahwa kau tak akan mendapat bagian.” Jaladri kemudian tertawa.

Ketika kemudian segala sesuatu telah dipersiapkan, maka segera laskar itupun berangkat memasuki desa Pangrantunan. Bagaimanapun juga, di dalam dada laskar Banyubiru itu, masih juga tersangkut rasa persaingan dengan laskar Pamingit. Meskipun kemudian mereka tidak akan bertempur, namun di hati Bantaran, Penjawi, Jaladri dan lain-lain pemimpin laskar itu, masih ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa mereka sama sekali tidak berada di bawah tingkatan laskar Pamingit. Karena itulah, maka mereka memasuki Pangrantunan dengan upacara yang menggemparkan. Meskipun menjelang tengah malam, namun laskar Banyubiru berjalan dalam derap irama sangkalala dan genderang yang menggema melingkar-lingkar di lereng bukit Merbabu itu.

Suara sangkalala dan genderang itu telah mengejutkan segenap laskar Pamingit. Baik yang sedang bertugas, maupun yang sedang beristirahat. Karena itu segera mereka bangkit. Mereka yang kurang mengerti persoalannya, segera memegang senjata masing-masing. Tetapi kemudian para pemimpin mereka memberi mereka penjelasan-penjelasan yang didengarnya dari pemimpin pengawal yang sedang bertugas. Seperti juga yang lain-lain, mereka ragu. Karena itu mereka ingin menyaksikan kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan.

Laskar Banyubiru memasuki Pangrantunan dengan derap yang mengagumkan. Di ujung barisan itu berjalan dengan tegapnya Bantaran, kemudian Penjawi. Diikuti oleh pasukan yang segar, yang memancarkan keteguhan hati mereka. Meksipun laskar ini tidak mempergunakan kesegaran yang khusus, namun di dalam dada mereka berakar tekad yang seragam. Mengabdi kepada tanah pusaka, tanah tercinta, yang diperuntukkan oleh Maha Pencipta bagi mereka.

Laskar Pamingit yang pecah, ketika melihat kedatangan laskar Banyubiru itu, merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan baru dalam dirinya. Karena itu, tanpa disengaja, secara serta merta, mengumandanglah teriakan-teriakan mereka. “Hidup laskar Banyubiru…. Hidup laskar Banyubiru….

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat laskar Banyubiru lewat di hadapannya dalam keremangan cahaya bulan. Sungguh tak diduganya, betapa anak-anak Banyubiru, yang selama ini terpaksa menyingkir karena pokal Lembu Sora itu, dapat merupakan kesatuan yang sedemikian mengagumkan. Dengan dada tengadah, dan percaya kepada keadilan Yang Maha Kuasa, yang telah menempa mereka menjadi laskar yang pilih tanding. Lembu Sora sendiri melihat pasukan itu dengan hati yang pecah-pecah. Setiap derap langkah mereka, merupakan pukulan yang dahsyat, yang seakan-akan memecahkan rongga dadanya. Satu-satu berterbanganlah kenangan-kenangan masa lampaunya yang memalukan. Teringatlah, betapa ia berusaha mati-matian untuk meniadakan Arya Salaka. Dan tiba-tiba anak itu sekarang datang menyelamatkannya, menyelamatkan tanahnya.

Apalagi ketika Lembu Sora menyaksikan laskar Banyubiru dengan mata kepala sendiri. Ia menjadi bertambah malu. Disangkanya bahwa laskar Arya Salaka tidak lebih dari gerombolan berandal yang hanya mampu mencegat orang pergi berbelanja ke pasar. Namun ketika sudah disaksikannya sendiri laskar itu, bergetarlah jantungnya, seperti udara yang digetarkan oleh suara genderang laskar Banyubiru itu.

Dan terngianglah kembali kata-kata Kebo Kanigara, “Golongan hitam bukanlah mereka yang hitam pada wadag dan tata kelahirannya, tapi golongan hitam adalah mereka yang berhati hitam.

Lembu Sora menundukkan wajahnya. Ia tidak kuasa lagi menyaksikan laskar yang perkasa itu. Tetapi lebih daripada itu, ia menjadi terharu atas kenyataan yang dialaminya. Terbayanglah di dalam rongga matanya, seolah-olah semua mata memandangnya dengan penuh penyesalan atas perbuatannya.

Lembu Sora terkejut ketika sekali lagi terdengar sorak, “Hidup laskar Banyubiru.”Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Tampaklah di luar barisan berjalan Arya Salaka dengan tobak Kyai Bancak di tangannya bersama-sama Wulungan. Dada Lembu Sora menjadi berdentang karenanya. Tiba-tiba ia seolah-olah melihat kakak Gajah Sora berjalan di mukanya, memandangnya dengan marah dan berkata kepadanya, “Lembu Sora, coba bunuhlah anakku itu kalau kau berani.” Sekali lagi wajah Lembu Sora terbanting di tanah.

Yang mempunyai tanggapan lain adalah Sawung Sariti. Ketika pasukan Banyubiru itu lewat, terasa dadanya berdesir pula, karena iapun sama sekali tak menyangka, bahwa laskar itu dapat berbaris dengan tertib serta penuh kepercayaan pada dirinya. Betapa mereka menggenggam senjata mereka dengan cermatnya, sebagai tanda bahwa mereka menguasai setiap senjata yang berada di tangan mereka dengan baiknya. Di dalam hati kecilnya, Lembu Sora bersukur pula bahwa laskarnya tak terlibat dalam pertempuran dengan laskar Banyubiru itu. Sebab dengan demikian, ia akan terpaksa meninggalkan Banyubiru dengan nama yang ternoda, kalau terpaksa laskarnya tak mampu melawan laskar Arya Salaka itu. Tetapi yang kemudian menguasai perasaan Sawung Sariti adalah sifat-sifatnya yang kurang baik. Ia menjadi iri hati. Iri hati terhadap kemampuan Arya Salaka memimpin laskarnya, iri hati terhadap kegagahan laskar itu. Apalagi ketika ia melihat eyangnya tampak bangga, dan ayahnya bersedih. Sebelum laskar itu habis sampai ke ujungnya, ia sudah memalingkan mukanya.

Bagaimana Anakmas?” terdengar suara di belakangnya.

Hem…” geramnya. “Bagaimana menurut pendapatmu Galunggung?

“Tak berarti,” sahut orang itu. “Besok atau lusa laskar yang sombong itu pasti sudah akan dihancurkan oleh arus laskar gabungan dari golongan hitam itu.

Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. “Laskarnya tak begitu banyak. Apa yang dibanggakan?

Yang datang hanya separuh, Tuan.”

Tiba-tiba terdengar suara lain di sampingnya. Ketika keduanya menoleh, dilihatnya Srengga berdiri di situ.

Dari mana kau tahu?” tanya Sawung Sariti

Dari pengawal,” jawab Srengga.

Omong kosong,” sahut Galunggung dengan wajah yang dilapisi oleh kedengkian.

Srengga kemudian berdiam diri. Yang lain pun diam. Sekali lagi mereka melayangkan pandangan mereka kepada pasukan yang lewat. Namun sesaat lagi habislah barisan itu. Mereka yang menyaksikan, segera kembali pula ke tempat masing-masing. Sebagian besar dari mereka merasa bahwa pekerjaan mereka akan diperingan karena kedatangan laskar itu. Bahkan mungkin, nyawa merekapun akan selamat pula. Laskar Pamingit akan bebas dari kemusnahan mutlak. Meskipun demikian, kemampuan tempur laskar Banyubiru masih perlu diuji.

Malam itu laskar Banyubiru beristirahat di tempat yang sudah ditentukan. Di halaman Banjar Desa yang tak begitu luas, sehingga sebagian besar dari mereka, harus duduk bersandar pagar di sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka dapat merasakan kenikmatan dari waktu istirahat itu.

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara kembali duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana kemudian mengambil seluruh pimpinan di tangannya.

Tak ada pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora.

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. “Terima kasih atas keikhlasanmu Lembu Sora.”

Selanjutnya, orang tua itu membuat perintah-perintah yang harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta laskarnya, dan Lembu Sora dengan laskar Pamingit.

Menurut perhitunganku, serta pengintai-pengintai yang datang sampai saat terakhir, mereka tidak akan menyerang kedudukan kita sekarang ini,” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Sebab mereka merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak terlalu banyak, sehingga mereka lebih senang menanti kita datang menyerang.

Tak seorangpun yang mengajukan pendapatnya.

Karena itu…” orang tua itu meneruskan, “Kita masih mempunyai satu hari untuk beristirahat. Lusa kitalah yang mengambil peran, menyerang kedudukan mereka. Kita mengambil daerah pertempuran yang luas dengan gelar Jinatra Sawur atau gelar-gelar yang lain, yang menebar. Garudha Nglayang atau Sapit Urang.” Tiba-tiba orang tua itu teringat bahwa di antara mereka duduk seorang bekas perwira prajurit pengawal raja, yang pasti mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup cermat dalam peperangan antara dua pasukan yang berjumlah besar. Karena itu segera ia berkata, “Bukankah begitu Angger Mahesa Jenar?

Mahesa Jenar sadar pada kedudukannya. Maka iapun menjawab, “Demikianlah Ki Ageng, namun aku ingin mengusulkan, untuk melawan mereka yang biasa bertempur tanpa aturan, dan terlalu percaya pada kesaktian pemimpin-pemimpin mereka. Biarlah di antara kita pun ada beberapa orang yang terlepas dari ikatan gelar, untuk melayani pemimpin-pemimpin mereka yang tak mau mengikat diri itu.”

Bagus,” sambut orang tua itu. “Kita pun mempunyai orang-orang semacam itu di sini. Titis Anganten, misalnya.”

Baru saat itulah Mahesa Jenar teringat bahwa di dalam laskar Pamingit itu terdapat seorang sakti yang bernama Titis Anganten. Karena itu kemudian ia bertanya, “Di manakah Paman Titis Anganten itu?

Ia berkeliaran sepanjang hari,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

Tapi ia hadir dalam setiap pertempuran.”

Kalau demikian, biarlah Paman Titis Anganten kita perhitungkan pula. Siapakah para pemimpin golongan hitam dari angkatan tua itu?” tanya Mahesa Jenar.

Bugel Kaliki, Sima Rodra, Pasingsingan, Nagapasa dan Sura Sarunggi,” jawab Sora Dipayana.

Nah, kalau demikian kitapun harus melepaskan lima orang dari ikatan gelar itu. Bahkan barangkali lebih dari itu, untuk melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa Ijo dan Soka,” sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin dirinya sendiri dapat melayani setiap tokoh sakti lawan mereka itu, orang kedua adalah Titis Anganten, tetapi lalu siapa? Mahesa Jenar sendiri merasa, bahwa iapun sanggup untuk menyerahkan dirinya dalam pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya untuk menyatakan diri. Tetapi dengan tak diduga-duga, terdengarlah suara Sawung Sariti dengan nada yang tinggi, “Siapakah lima orang dari kamu itu?”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas. Ia melihat wajah cucunya dengan kecewa, juga nada suaranya tak menyenangkan. Namun orang tua itu menjawab, “Sudah menjadi kewajibanku untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua eyangmu Titis Anganten.”

Kata-kata orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk meneruskan, dan memang tak diketahuinya siapa yang akan disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga, keempat dan kelima…?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu, Sariti.”

Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang mengundang seribu satu macam kemungkinan. Katanya, “Kenapa bukan Paman Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari Karang Tumaritis itu?

Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan menolak di hadapan sekian banyak orang. Kalau Mahesa Jenar menerima tawaran itu, apakah ia mampu berbuat demikian? Di Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah mengalami kekalahan, namun ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan karena Mahesa Jenar dan sahabatnya itu. Beberapa laskarnya melihat seorang berjubah abu-abu ikut serta membantu mereka. Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah abu-abu itu. Apakah ia Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan gila. Malahan mungkin eyangnya itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki Ageng Pandan Alas. Sekarang, tanpa bantuan seorang pun Mahesa Jenar pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak banyak berarti tanpa Mahesa Jenar? Oleh perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang menunggu jawaban dari orang yang dijerumuskannya ke dalam kesulitan itu. Mahesa Jenar tidak dapat tepat menebak maksud anak itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu maksud terkandung dibalik kata-katanya. Meskipun demikian perlahan- lahan ia menjawab, “Baiklah Angger, kalau Angger Sawung Sariti berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora Dipayana menyetujuinya, aku dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan bersedia untuk membantu.”

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut mendengar kesanggupan Mahesa Jenar itu. Karena itu ia segera memotong, “Angger Mahesa Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa setiap orang harus melawan satu di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang lain. Kelompok demi kelompok.” Sebelum Ki Ageng meneruskan kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela, “Usaha itu ternyata gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu terbunuh.”

Kalau demikian…” Mahesa Jenar menengahi, “Biarlah aku berada dalam kelompok- kelompok itu. Demikian juga Kakang Putut Karang Jati ini. Biarlah ia berada pada kelompok yang lain.”

Ki Ageng Sora Dipayana tak dapat berbuat lebih baik lagi selain menyetujui terakhir Mahesa Jenar itu. Sawung Sariti menjadi agak kecewa karenanya, namun bagaimanapun juga ia mengharap Mahesa Jenar akan masuk kedalam perangkapnya.

Demikianlah akhirnya, mereka masing-masing meninggalkan pertemuan itu kembali ke dalam lingkungannya. Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar Desa, sedang Lembu Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang payah. Di dalam kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan. Yang akhirnya mereka mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat.

Pagi-pagi benar, Ki Ageng Sora Dipayana telah bangun. Ia menunggu kalau ada tanda-tanda atau laporan bahwa orang-orang dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi ternyata bahwa perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat sehari penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus bekerja mati-matian.

Kesempatan hari itu dipergunakan untuk menyusun kembali pasukan Pamingit, serta menempatkan mereka ke dalam pondok-pondok di desa itu. Demikian juga laskar Banyubiru pun telah disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya embun malam.

Pada malam harinya, keadaan menjadi bertambah tegang. Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya, sebab mereka tahu bahwa besok mereka harus bertempur kembali. Yang paling tegang di antara mereka adalah Arya Salaka. Ia selalu teringat kepada ibunya. Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan hitam, dan dapat mendesaknya, apakah yang akan dilakukan oleh golongan hitam itu terhadap ibunya? Tetapi ketika ia sedang berangan-angan di muka pondoknya, tiba-tiba muncullah dari kegelapan malam, seorang yang bertubuh kecil, berjalan seperti seorang perempuan mendekatinya. Beberapa langkah dimukanya orang berhenti dan bertanya, “Arya Salakakah ini?

Arya Salaka tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan enyambutnya, “Ya, Eyang.

Orang itu tertawa perlahan-lahan. “Kau sedang bersedih?

Tidak Eyang,” sahut Arya tergagap.

Jangan berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis Anganten pula.

Arya Salaka tertegun. Orang tua itu dapat menebak perasaannya dengan tepat. Namun demikian ia agak malu juga untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis Anganten itu, “Pamanmu ada…?

Ada, eyang. Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman Mahesa Jenar?” tanya Arya pula.

Tidak,” jawab orang tua itu sambil duduk di samping Arya. “Aku hanya perlu kau. Ada sebuah berita untukmu.”

Arya menjadi tertarik pada berita yang dibawa oleh Titis Anganten itu. “Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya.

Sangat penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab Titis Anganten. “Berita tentang ibumu.”

Arya terlonjak. “Ibu…?” Ia menegaskan.

Ya.”

Bagaimanakah dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi.

Duduklah Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan berceritera tentang ibumu,” kata Titis Anganten perlahan-lahan.

Arya duduk kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera mengetahui, berita apakah yang akan disampaikan kepadanya.

Ketika golongan hitam itu menyerbu Pamingit” Titis Anganten mulai, “Pamingit sedang kosong. Pamanmu Lembu Sora dan adikmu Sawung Sariti berada di Banyubiru. Mereka sedang bersiap-siap untuk menghadapi laskarmu. Nah, dengan mudahnya golongan hitam itu dapat masuk ke dalam kota. Hampir tanpa perlawanan. Semua laskar Pamingit yang ada lari cerai berai. Tak ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan Nyai Lembu Sora dan ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat persiapan- persiapan yang dilakukan oleh golongan hitam. Sehingga dengan demikian aku sempat menyingkirkan bibi serta ibumu itu.

Jadi ibuku selamat?” tanya Arya.

Ya. Ibumu selamat,” jawab Titis Anganten.

Tiba-tiba rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya menjadi sesak. Dan tidak setahunya ia berbisik, “Tuhan Maha Besar.” Kemudian Arya memutar duduknya dan bersujud kepada orang tua yang menyelamatkan ibunya itu sambil berkata, “Tak dapat aku menyatakan betapa besar terima kasihku kepada Eyang Titis Anganten.”

Orang tua itu tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia berdiri dan berjalan pergi.

Eyang….” Arya mencoba memanggil. Tetapi Titis Anganten tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah derai tawanya. Lamat-lamat kemudian terdengar ia berkata, “Aku sudah mengantuk. Besok aku akan turut bertempur dengan eyangmu.

Kembali Arya tertegun diam. Ia tidak sempat bertanya di mana ibunya sekarang. Namun ia percaya bahwa Titis Anganten telah menempatkan ibunya itu di tempat yang aman. Dengan demikian hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang golongan hitam nanti menghancurlumatkan Pamingit.

Demikianlah ketika malam menjadi semakin dalam, Arya pun segera masuk ke dalam pondok yang disediakan untuknya. Dilihatnya gurunya sedang tidur dengan nyenyaknya di samping Kebo Kanigara. Di luar, beberapa orang masih duduk berjaga-jaga.

Tetapi malam itu Arya dapat tidur dengan nyenyaknya. Ia tidak peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok pagi. Namun ia malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar, tersenyum kepadanya sambil berkata, “Arya, sambutlah dengan kedua tanganmu. Hari akan cerah.” Dan Arya tersenyum di dalam tidurnya.

Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di halaman. Beberapa orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun beberapa orang masih enak-enak menikmati minum air sere yang hangat, dengan segumpal gula kelapa. Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar dengan Kebo Kanigara pun sedang minum dengan segarnya.

Cepat-cepat Arya mengambil air wudlu. Sesudah sembahyang Subuh, kemudian ia pun turut serta duduk di sekitar perapian sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian datanglah beberapa orang mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa dan segumpal sambal wijen. Betapa nikmatnya mereka makan bersama sebelum mengadu nasib, berjuang di antara hidup dan mati. Nasi itu adalah mungkin sekali nasi yang terakhir yang dapat dinikmatinya.

“Kita berada di sayap kiri.” Terdengar gurunya bergumam.

Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat lehernya.

Setelah mereka mengaso sejenak, terdengarlah tengara dibunyikan. Laskar Banyubiru itupun segera bersiap, dan berbaris menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan. Mereka, dengan tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh, segera merapatkan diri dalam barisan. Beberapa orang pemimpin dari laskar masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora Dipayana untuk mendapat beberapa cara menghadapinya. Apabila mungkin, mereka harus memilih lawan. Jangan sampai ada korban sia-sia.

Ketika sangkalala berbunyi, barisan itu mulai bergerak. Dalam keremangan pagi, tampaklah barisan itu seperti seekor naga raksasa yang berenang di dalam air yang keruh. Di depan, berjalan laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di belakang, berjalan laskar Banyubiru, di bawah pimpinan Arya Salaka, dibantu oleh Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat. Di tangan Arya Salaka tergenggam erat-erat pusaka Banyubiru, Kyai Bancak.

Beberapa orang pengintai telah dikirim lebih dahulu, untuk mengetahui di mana kira-kira orang-orang dari golongan hitam itu mempersiapkan diri. Biasanya mereka sama sekali tidak membuat garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di mana saja mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas, bahwa kali ini mereka berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan Pamingit. Bahkan mereka merasa bahwa lawan mereka telah separo hancur, sehingga untuk menumpasnya tidaklah terlalu sulit. Tetapi agaknya pengawas merekapun telah mengetahui kedatangan laskar Banyubiru, sehingga dengan demikian mereka menjadi heran, apakah agaknya Arya Salaka telah menjadi gila. Apalagi kemudian, kedua laskar itu berada di Pangrantunan bersama-sama. Tidak seperti yang mereka harapkan, bertempur satu sama lain.

Tetapi, dengan bangga atas kekuatan sendiri, Sima Rodra berkata, “Kalau di dalam laskar Banyubiru itu ada Mahesa Jenar, akulah lawannya. Sebab ia telah membunuh menantuku.

Beberapa lama kemudian pengintai dari Pamingit itupun melaporkan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa orang-orang golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak. Namun orang-orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar Pamingit dan Banyubiru.

Demikianlah ketika mereka telah berhadap-hadapan dengan desa Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan laskarnya. Kemudian diperintahkannya laskar Pamingit dan Banyubiru membentuk gelar perang Sapit Urang. Laskar Pamingit dan Laskar Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis yang menebar, laskar Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di sayap kiri, yang masing-masing merupakan sapit dari seekor udang raksasa yang siap menerkam lawannya. Di pusat gelar yang justru tidak terlalu banyak, tampaklah beberapa bagian laskar Pamingit dan dua orang yang berdiri lepas dari gelar, masing-masing Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di muka laskar Banyubiru, sapit sebelah kiri, di bawah pimpinan Arya Salaka.

Di hadapan mereka, berjajar rapat di tepi desa Kepandak, orang-orang dari golongan hitam. Merekapun agaknya telah mengerahkan segenap laskar mereka. Mereka sama sekali tidak membentuk gelar apapun, karena itu, mereka dapat menyerang ke mana saja mereka inginkan. Tetapi ketika orang-orang dari golongan hitam itu melihat gelar lawannya, mau tidak mau merekapun harus menyesuaikan diri mereka. Melawan bagian-bagian yang terberat dengan orang-orang yang terkuat.

Ketika di timur cahaya matahari sudah semakin terang, sebelum bola api itu muncul di wajah-wajah langit, kedua laskar itupun telah berhadap-hadapan dalam kesiagaan tempur.

Jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, sehingga mereka dapat melihat dengan jelas siapakah yang berada di pihak masing-masing. Di muka barisan laskar golongan hitam itu berdiri beberapa orang pemimpin mereka, yang dengan tertawa-tawa menanti kedatangan lawan. Mereka itu adalah Pasingsingan dengan jubah abu-abunya, Sima Rodra yang kali ini lengkap dengan kulit harimau hitamnya, namun ia tidak mengenakan topengnya. Nagapasa, Naga dari Nusakambangan, Sura Sarunggi dari Rawa Pening yang menyimpan dendam tiada taranya atas kematian muridnya, sepasang Uling dari Rawa Pening. Dan hantu dari Gunung Cerme, Bugel Kaliki.

Adakah laskar Banyubiru serta?” tanya Bugel Kaliki kepada Pasingsingan.

Ya, tetapi tak seberapa. Mereka tak akan berarti apa-apa menghadapi laskar kita,” jawab Pasingsingan. “Namun yang harus mendapat perhatian adalah Mahesa Jenar.

Sima Rodra tertawa. “Biarlah aku selesaikan,” katanya.

Pasingsingan mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia ragu. Sima Rodra belum tahu, sampai di mana tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh Mahesa Jenar. Namun demikian ia berdiam diri. Mudah-mudahan Sima Rodra benar-benar dapat menandingi.

Sekarang mereka mendapat bantuan anak gila dari Banyubiru itu. Sungguh suatu perbuatan yang tak dapat aku mengerti. Kenapa Arya Salaka tidak saja merebut tempatnya kembali. Kenapa justru ia membantu Pamingit?” tanya Sura Sarunggi.

Ia benar-benar gila,” jawab Pasingsingan. “Sedang perhitungan kita memang terlalu cepat satu hari saja. Kalau kita tunda serangan kita dengan satu hari, keadaannya akan lain. Laskar Banyubiru dan Pamingit pasti sudah bertempur. Tetapi bagaimanapun juga, tak ada bedanya. Kita pasti akan melawan kedua-duanya. Sekarang atau besok. Bahkan kehadiran laskar Banyubiru itu akan mempercepat penyelesaian.

Nagapasa mengangguk-angguk sambil berdesis. tepat seperti desis seekor naga. “Siapakah yang harus dilawan dari mereka?

Seperti kemarin dulu,” jawab Pasingsingan. “Sora Dipayana, Titis Anganten. Dan sekarang tambah satu lagi, Mahesa Jenar. Tetapi agaknya Sima Rodra ingin menyelesaikan.”

Tiba-tiba kening mereka berkerut ketika mereka melihat seseorang yang dengan serta merta, menerobos masuk dalam laskar Pamingit.

He…!” seru Bugel Kaliki, “Orang gila itu datang pula.”

Mereka menjadi terdiam. Namun kehadiran satu orang di dalam barisan Pamingit itu benar-benar diperhitungkan.

Demikianlah, Ki Ageng Sora Dipayana sendiri terkejut atas kehadiran seorang sahabat lamanya. Namun terbersitlah kegembiraan di hatinya. Dengan kehadiran orang ini, sedikit banyak akan dapat mengubah keseimbangan laskar di kedua belah pihak. Karena itu dengan tersenyum ia menyambut kedatangan orang itu dengan penuh gairah. “Selamat datang Danyang Gunung Kidul.”

Eh, aku hampir terlambat,” jawabnya. “Agaknya orang Banyuwangi itu telah ada pula di sini.”

Titis Anganten tertawa. “Kau terlalu malas,” jawabnya. “Aku, yang berjarak ribuan tonggak telah datang lebih dahulu.”

Danyang Gunungkidul itu, Ki Ageng Pandan Alas, tertawa. Sahutnya, “Kerjamu tidak ada lain kecuali berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Sedang aku masih harus menunggu jagung tua.”

Ah, orang yang hidupnya terikat pada tanaman jagung. Kalau dunia ini akan meledak, kau masih saja menunggui jagungmu?” sela Ki Ageng Sora Dipayana.

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Namun ia sudah berjalan pula di samping Sora Dipayana. “Nah, pilihlah aku lawan,” katanya.

Terserah kepadamu,” jawab Sora Dipayana.

Yang bongkok, yang berkulit macan, yang berkepala besar atau yang mana?

Mana saja yang terdekat,” jawab Pandan Alas seenaknya. Tetapi meskipun demikian, dalam waktu yang cepat ia telah berhasil menilai lawan-lawannya. Ia benar-benar terkejut ketika ia melihat Mahesa Jenar berdiri di sapit sebelah kiri. Namun ia agak tenteram setelah dilihatnya Putut Karang Jati yang bernama pula Kebo Kanigara. Ia telah mengenalnya sebagai putra Ki Ageng Pengging Sepuh di bukit Karang Tumaritis. Ia berdoa di dalam hatinya, mudah-mudahan kedua orang itu dapat menempatkan diri sebaik-baiknya, sehingga kedua-duanya tak menemukan cidera. Juga ia berdoa mudah-mudahan Arya Salaka dapat membawa dirinya di antara laskarnya.

———-oOo———-


 IV

Sesaat kemudian, kedua laskar itu telah mencapai jarak yang menentukan. Sebelum laskar Pamingit mulai, terdengarlah orang-orang laskar itu berteriak nyaring, sambil berloncatan menyerbu.

Sementara itu Ki Ageng Lembu Sora segera menggerakkan tangannya yang telah menggenggam pedangnya yang besar sekali, memberi aba-aba kepada laskarnya untuk bertempur. Tanda itu segera diteruskan oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Merekapun memutar pedang masing-masing di udara, sebagai perintah untuk bertempur.

Di sayap kiri, tampaklah berkilauan tombak pusaka di tangan Arya Salaka. Dengan tekad yang bulat, ia telah menyerahkan dirinya untuk melakukan pengabdian. Dengan doa di dalam hati, “Tuhan akan menyertai kami dan memberkahi pengabdian kami.”

Ketika ia mengangkat tombaknya, berkilat-kilat pulalah pedang Bantaran, Penjawi dan tombak bermata dua ditangan Jaladri. Merekapun meneruskan aba-aba Arya Salaka kepada laskar mereka, yang bergerak sebagai sapit kiri dari gelar Sapit Urang.

Sesaat Arya Salaka melihat Bantaran beserta laskarnya mendesak maju. Mereka melingkar untuk kemudian menyerang dari lambung. Tetapi orang-orang dari golongan hitam itu tidak mempergunakan gelar tertentu, sehingga merekapun menghambur menyerang laskar Bantaran dari arah yang mereka sukai. Meskipun demikian, Bantaran tidak menjadi bingung. Ia tetap bertempur dalam gelar kiri. Laskarnya yang bersenjata pedang dengan perisai di tangan kiri, bertempur seperti banteng-banteng yang tangguh. Demikian juga laskar Jaladri di bagian tengah sapit kiri. Laskar yang sebagian besar bersenjata tombak inipun bertempur dengan semangat yang menyala-nyala. Mereka sadar, betapa orang-orang dari golongan hitam itu harus dimusnahkan. Sebab satu saja mereka tinggal, akan dapat merupakan benih buat masa datang. Sedang laskar Penjawi berada dekat dengan induk pimpinan. Seperti juga Penjawi sendiri, laskarnya bertempur tanpa mengenal takut, meskipun mereka sadar bahwa orang-orang dari golongan hitam itu dapat berbuat hal-hal di luar batas-batas perikemanusiaan. Namun justru karena itulah maka mereka harus dimusnahkan.

Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, masih berdiri, di antara kedua pihak yang sudah terlibat dalam pertempuran itu. Ia melihat keadaan di sekelilingnya, kemudian pandangannya menebar ke segenap penjuru pertempuran.

Di sebelah kirinya, tidak terlalu jauh, ia melihat Ki Ageng Pandan Alas menyusup ke dalam daerah pertempuran untuk mendekati Pasingsingan. Agaknya ia benar-benar ingin tahu, apakah Pasingsingan ini benar-benar Pasingsingan sahabatnya dahulu. Ia masih ingat, di alun-alun Banyubiru, ia pernah bertempur dengan Pasingsingan itu. Meskipun Pasingsingan itu mempunyai pusaka-pusaka dengan ciri-ciri khususnya, namun ia tetap meragukannya. Demikianlah, supaya kedatangannya di Pangrantunan ini ada juga hasilnya, apabila ia benar-benar dapat mengetahui, siapakah yang bersembunyi di balik topeng yang jelek itu. Pandan Alas menyesal, bahwa ketika ia dengan tergesa-gesa berangkat dari Gunungkidul, ketika didengarnya kabar, tentang kerusuhan di Banyubiru, yang ternyata seterusnya berkembang menjadi kerusuhan-kerusuhan di Pamingit dan Pangrantunan, tidak diajak serta muridnya, Sarayuda, yang setidak-tidaknya akan dapat membantu memperingan pekerjaan laskar Pamingit dan Banyubiru. Tetapi yang didengarnya semula adalah persoalan yang lain. Persoalan antara Banyubiru dan Pamingit.

Di arah yang lain, ia melihat Titis Anganten, berdiam diri sambil tersenyum-senyum. Orang itu pun agaknya sedang menikmati kesibukan pertempuran itu. Ia menunggu saja, siapakah yang akan datang kepadanya. Hanya sekali-kali ia harus bergerak menghindari serangan dari laskar golongan hitam, yang menyangka bahwa Titis Anganten itu dapat dikenainya dengan mudah. Para penyerang itu menjadi kecewa setelah mereka sadar, bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Titis Anganten. Karena itu segera mereka mencari sasaran lain, dan menyerahkan Titis Anganten itu kepada para pemimpin mereka. Namun sesaat kemudian, ia melihat Titis Anganten itu tertawa, sambil meloncat maju menyongsong seorang yang bertubuh tegap tinggi dan berkepala besar. Sura Sarunggi dari Rawa Pening.

Sesaat kemudian Ki Ageng Sora Dipayana melihat Bugel Kaliki, Si Bongkok dari Gunung Cerme, datang ke arahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Agaknya ia harus bertempur melawan hantu bongkok itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal benar bahwa Si Bongkok itu seperti bertangan bara. Sentuhan-sentuhan atas tubuh lawannya oleh tangan Bugel Kaliki itu, kulitnya pasti akan terkelupas. Namun Bugel Kaliki itupun sadar. Sentuhan tangan Ki Ageng Sora Dipayana dapat merontokkan isi dada, dan dapat menghentikan peredaran darah. Bagian dari aji Lebur Sakethi sungguh tak dapat diabaikan. Apalagi Lebur Saketi dalam ujud kasarnya. Akan luluhlah setiap sasaran yang dapat dikenainya.

Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menyambut lawannya, ia mencoba untuk melihat sapit sebelah kiri. Dadanya berdesir ketika ia melihat Sima Rodra mengaum dengan dahsyatnya menerkam Mahesa Jenar. Apalagi ketika melihat Mahesa Jenar menyambutnya seorang diri, tidak dengan perlindungan laskarnya sama sekali. Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu, selain berdoa, mudah-mudahan Mahesa Jenar segera menempatkan dirinya dalam lingkaran laskarnya. Ia juga cemas akan nasib sahabat Mahesa Jenar yang bernama Putut Karang Jati. Bahkan ia dengan sengaja menempatkan diri di garis lintas Naga dari Nusakambangan. Nagapasa itu benar-benar orang yang dapat berbuat seperti ular naga. Hampir seluruh tubuhnya dapat dipergunakannya untuk bertempur.

Tetapi sesaat kemudian, Bugel Kaliki telah berdiri di hadapannya. Sambil tertawa kecut hantu itu berkata, “Selamat pagi Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti. Jangan kau perhatikan nasib orangmu yang bernama Mahesa Jenar itu. Biarlah ia lumat di tangan Harimau Tua dari Lodaya.

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Ternyata Bugel Kaliki memperhatikannya, dan mencoba mempengaruhi perhatiannya, agar ia tidak dapat memusatkan pikirannya untuk melawan Bugel Kaliki itu. Karena itu ia tertawa sambil menjawab, “Buat apa aku risaukan orang yang bernama Mahesa Jenar itu? Ia bukan sanak, bukan kadang. Biarlah ia berusaha untuk menjaga dirinya sendiri.

Mata Si Bongkok itu tiba-tiba menjadi sipit. Meskipun demikian ia berkata, “Bagus. Agaknya kau tidak peduli pula atas anakmu yang bernama Lembu Sora. Dapatkah ia melawan Jaka Soka? Dan cucumu Sawung Sariti yang harus bertahan melawan Wadas Gunung, murid Pasingsingan? Sedang cucumu yang satu lagi sedang dilibat oleh aji Alas kobar Lawa Ijo dari Mentaok?

Ki Ageng Sora Dipayana sekali lagi memandang berkeliling. Daerah pertempuran itu sudah semakin ribut. Masing-masing berjuang dengan segenap tenaga yang ada. Terhadap Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana tak perlu cemas. Ia tidak perlu khawatir bahwa Jaka Sora akan dapat mengalahkan anaknya dengan mudah. Apalagi Lembu Sora berada di dalam barisan Pamingit yang penuh, setelah laskar Banyubiru datang membantu. Juga Sawung Sariti tak perlu dirisaukan. Wadas Gunung adalah murid Pasingsingan yang tidak banyak mendapat perhatian dari gurunya. Sebab segenap harapan ditumpahkan kepada Lawa Ijo.

Terhadap Arya Salaka, ia perlu menimbang-nimbang. Ia tahu bahwa Arya Salaka setidak-tidaknya memiliki ketangkasan dan ketangguhan sama dengan Sawung Sariti. Namun kali ini ia harus berhadapan dengan Lawa Ijo, yang memiliki kesaktian lebih dahsyat dari Wadas Gunung. Tanpa dikehendakinya sendiri, Ki Ageng Sora Dipayana memperhatikan sapit sebelah kiri dari gelar Sapit Urang-nya. Ia bangga atas kesempurnaan gelar itu. Ia melihat di ujung laskar Banyubiru, suatu lingkaran yang menganga dan menyerang orang-orang Pamingit dengan dahsyatnya. Namun sayap kiri itu baginya sangat mencemaskan. Di sayap itu berkumpul tokoh-tokoh Nagapasa dan Sima Rodra bersama-sama dengan Lawa Ijo.

Namun kali ini ia tidak banyak mempunyai waktu, sebab sekali lagi ia mendengar Bugel Kaliki mendengus. “Ha, kau ingin pergi ke sayap kirimu yang mulai rusak…?

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, “Aku sedang menilai pertempuran. Agaknya keseimbangan dari kedua laskar itu telah berubah sama sekali. Apa katamu tentang laskar Banyubiru yang seperti taufan melanda laskarmu?

Tiba-tiba Bugel Kaliki itu tertawa terbahak-bahak, jawabnya, “Buat apa aku ributkan laskar yang sedang bertempur itu? Aku datang kemari seorang diri. Tak peduli apakah laskarmu atau laskar kawan-kawanku yang akan binasa.”

Dan kau sendiri…?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

Aku sendiri akan dapat menjaga diriku. Aku dapat berbuat sekehendakku,” sahut Bugel Kaliki.

Lalu sekarang apa yang kau kehendaki?” tanya Sora Dipayana.

Nagasasra dan Sabuk Inten. Berikan itu kepadaku. Nanti aku akan membantu laskarmu,” jawab hantu bongkok itu.

Buat apa?” tanya Ki Ageng.

Bugel Kaliki tertawa. Jawabnya, “Buat apa kau sembunyikan keris itu?

Ki Ageng Sora Dipayana sama sekali tidak perlu memberikan keterangan, sebab ia yakin bahwa kata-katanya akan dipercaya. Karena itu ia menjawab seenaknya, “Mungkin suatu waktu perlu untuk melawan serangan seperti yang terjadi kali ini.”

Bugel Kaliki tiba-tiba menjadi tegang. “Kalau begitu kedua keris itu benar-benar masih kau simpan?”

Apa kepentinganmu?” sahut Sora Dipayana.

Aku akan mencoba mempertahankan diri. Meskipun aku sudah tua, namun mati karena tanganmu, sungguh tak menyenangkan,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana.

Bugel Kaliki tak mau berbicara lagi. Setelah memandangi pertempuran itu sekali lagi, tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak tinggi. Ki Ageng Sora Dipayana pun telah bersedia pula. Karena itu segera ia menghindar untuk segera meloncat dengan tangkasnya menyerang kembali. Demikianlah, kedua orang itu kemudian bertempur dengan dahsyatnya di antara hiruk pikuk pertempuran. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar harus memusatkan segenap perhatiannya untuk melawan hantu bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, ia tidak mempunyai kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun demikian, ia merasa bahkan laskar Pamingit dan Banyubiru bersama-sama, dapat mengimbangi laskar lawan, bahkan sedikit demi sedikit terasa, garis pertempuran itu bergeser maju.

Bugel Kaliki itu, meskipun punggungnya melengkung karena bongkoknya, namun gerakannya sangat berbahaya. Ia dapat meloncat-loncat dengan lincahnya, menerkam dan menghantam. Bahkan kakinya pun tak kalah tangkasnya. Ia dapat berloncatan seperti kijang, namun sekali-kali menerkam seperti serigala. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang telah cukup makan pahit-getirnya penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya, ia meloncat menghindari setiap serangan yang kemudian dengan lincahnya pula ia menyerang lawannya kembali. Kedua tangannya bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor burung branjangan. Dengan dahsyatnya kedua tangan orang tua itu mematuk-matuk, ke pusat-pusat simpul syaraf. Inilah yang mengerikan. Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan bekulah seluruh daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi oleh lawannya. Sehingga Bugel Kaliki pun berjuang keras untuk melindungi setiap kemungkinan itu. Ia percaya kepada ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya, yang dapat menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian itu Candra Mawa, di samping ilmunya yang tak kalah dahsyatnya, yang dengan bangga disebutnya Dasa Prahara.

Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang dahsyat antara dua orang perkasa. Sehingga setiap orang di sekitarnya terpaksa bergesa-gesa menjauhkan diri. Untuk sesaat pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar golongan hitam, di sekitar kedua tokoh tua itu terhenti. Dengan keheran-heranan mereka memandang perkelahian yang berubah seperti lesus yang berputar-putar mengerikan. Tetapi ketika mereka tersadar, segera mereka terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit.

Matahari semakin lama menjadi semakin tinggi beredar di langit yang bersih. Begitu cepat, seakan-akan begitu tergesa-gesa untuk dapat melihat medan pertempuran itu dengan jelas. Untuk kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa manusia bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah berapa banyak darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, telah berapa banyak air mata yang mengalir karenanya. Namun manusia itu tidak jemu-jemunya, saling membunuh karena mereka bertentangan kepentingan. Terdoronglah kepentingan mereka, golongan mereka, diri mereka, maka kadang-kadang mereka lupa, betapa, manusia tercipta karena cinta. Larutlah cinta itu seperti kabut yang dilanda angin, apabila mereka dihadapkan pada pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan lupalah mereka akan hari-hari yang dijanjikan. Hari pengadilan di ujung zaman.

Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya apa yang terlontar dari bibir kita, apa yang terucapkan oleh mulut kita. Bahkan tahulah Tuhan apa yang terukir di dalam hati kita. Sehingga dengan demikian kebaktian bukanlah janji, namun sebenarnya kebaktian adalah tingkah laku dan pengamalan.

Semakin tinggi matahari memanjat langit, pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin riuh. Berdentanglah bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik ngeri kesakitan.

Di pangkal sayap kanan, Titis Anganten sedang sibuk melayani Sura Sarunggi yang bertubuh tegap kekar dan berkepala besar. Dengan gerak yang kasar penuh kebencian, Sura Sarunggi menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera melihat Titis Anganten menjadi lumat. Titis Anganten yang bertubuh kecil dan sama sekali tak segagah lawannya itu dapat bertempur dengan sempurna. Gerak-geraknya yang tampak lemah dan tak bertenaga, namun seakan-akan memiliki pengaruh yang tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten benar-benar berkelahi seperti perempuan. Kalau saja tangannya menyentuh lawannya, maka ia segera mencubitnya. Namun cubitan itu benar-benar luar biasa, sehebat sengatan seribu lebah bersama-sama. Sedang lawannya adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran tangannya menimbulkan desir angin dingin yang mengerikan. Kalau suatu kali ia terpaksa membuat benturan kekuatan, maka mereka bersama-sama akan tergetar surut.

Di bagian lain, dengan penuh kemarahan dalam hati, Pasingsingan berhadapan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Ketika Pasingsingan memandangnya seperti memandang hantu, berkatalah Ki Ageng Pandan Alas, “Apakah aku aneh?

 Pasingsingan menggeram, jawabnya, “Kenapa kau hadir juga di sini?

Apa salahnya? Sahabat-sahabatku semua berada di sini. Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten dan kau Pasingsingan. Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?” sahut Pandan Alas.

Sekali lagi Pasingsingan menggeram. “Jangan banyak ribut. Jangan bicara lagi tentang sahabat, tentang masa lampau dan segala macam kenangan tak berarti. Yang sebaiknya segera kau lakukan adalah meninggalkan daerah ini.”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Kenapa aku harus pergi. Atas hak yang sama, maka seperti kau aku hadir dalam pertemuan ini.”

Aku sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati tanpa arti. Sebab persoalan kami bukanlah persoalan yang dapat kau campuri,” sahut Pasingsingan.

Kenapa tidak? Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng Sora Dipayana gembira melihat kehadiranku. Kenapa kau tidak?” kata Pandan Alas.

Pasingsingan menggeram kembali. Suaranya melingkar-lingkar di dalam perutnya. Sekali-kali melayangkan pandangannya ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel Kaliki berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura Sarunggi bertempur melawan Titis Anganten. Di ujung lain ia melihat Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra yang menyimpan dendam di dadanya. Pasingsingan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau didekat Candi Gedong Sanga. Malaekat manakah yang telah memberinya kesaktian sedemikian tiba-tiba? Sedang di bagian lain, Pasingsingan melihat kawan Mahesa Jenar bertempur melawan Nagapasa. Ia mengharap Nagapasa segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Dengan demikian, kelebihan yang seorang itu, akan mempunyai banyak akibatnya. Nagapasa dapat membantu salah seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan lawan-lawan mereka satu demi satu dengan cepat.

Apa yang kau renungkan?” tanya Ki Ageng Pandan Alas.

Bukan apa-apa,” sahut Pasingsingan. “Aku sedang berbangga.

Apa yang kau banggakan?” desak Pandan Alas.

Laskarku dari Mentaok. Sekarang mereka akan menghancurkan laskar Banyubiru dan Pamingit. Lusa mereka akan menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Jangan mimpi. Kau kira Demak itu seperti apa? Itulah contohnya, satu di antara prajuritnya yang bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya kau dapat mengalahkan laskar Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka Banyubiru dan Pamingit berhak mendapat perlindungan dari Demak, seandainya mereka benar-benar tak mampu mengatasi kesulitan mereka. Nah apa katamu? Apakah arti laskar alasan itu?

Pasingsingan menjadi marah. Jawabnya, “Lihat, sebagian dari laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan di Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.

Bagus. Agaknya kau benar-benar menghemat. Sedikit-sedikit saja orangmu yang bunuh diri di medan ini, supaya kau sempat berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau agaknya dapat melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan teriakan-teriakan yang mengerikan dapat menyegarkan tubuhmu,” sahut Pandan Alas.

Gila. Jangan banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke asalmu atau mati berkubur debu di sini,” gertak Pasingsingan.

Pandan Alas tidak menjawab. dengan tersenyum ia bersiaga. Dan apa yang diduga benar-benar segera terjadi. Dengan garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya, dan dalam satu loncatan ia menerkam lawannya.

Cepat Pandan Alas mengelak dengan satu langkah ke samping sambil merendahkan dirinya. Tangan kanan Pasingsingan menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya seperti desis angin yang keras. Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar tubuhnya dan kaki kanannya melontar ke arah lambung Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat dengan lincahnya, dengan sikunya ia melindungi dirinya.

Demikianlah kedua orang itu segera terlibat dalam perkelahian pula seperti yang lain-lain. Mereka masing-masing mempunyai kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali mereka melontar kian-kemari, namun di saat lain mereka berbenturan dengan hebatnya. Serangan Pasingsingan benar-benar seperti topan yang dahsyat, namun Ki Ageng Pandan Alas tidak kurang dari angin ribut yang mengerikan. Kedua orang itu berjuang dengan segenap kekuatan dan tenaga, dengan segenap kepandaian dan kemampuan. Ketika keringat mereka mulai mengalir membasahi pakaian-pakaian mereka maka pertempuran itu menjadi kian sengit. Bahkan kemudian yang tampak seakan-akan seperti gulungan asap yang berputar-putar dengan cepatnya, seperti gulungan awan mendung di langit. Sekali-kali terdengar benturan-benturan seperti ledakan guntur menjelang datangnya prahara. Daerah pertempuran itupun menjadi kabur oleh hamburan debu yang melingkar-lingkar menaburi kedua orang yang sedang berjuang di antara hidup dan mati. Sedang gerak kedua bayangan di dalam lingkaran debu itu tak dapat diamati lagi.

Di sayap kiri gelar Sapit Urang dari laskar gabungan antara Pamingit dan Banyubiru itu pun terjadi pertempuran yang dahsyat. Laskar golongan hitam bertempur membabi buta. Siapapun dan apapun yang ada di hadapannya pasti akan dihancurkannya. Namun mereka terpaksa menelan ludah mereka, ketika mereka membentur laskar Banyubiru. Bantaran di ujung sapit, Jaladri di tengah-tengah, dan Panjawi di pangkalnya, merupakan benteng-benteng yang kokoh kuat, yang tak tergoyahkan oleh arus banjir dari orang-orang golongan hitam itu.

Di antara mereka itu terdapatlah Sima Rodra yang sedang mengaum-ngaum dengan kerasnya. Betapa ia mencurahkan dendam di dadanya kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu. Orang yang telah membunuh menantunya serta membebaskan tawanan anaknya di bukit Karang Tumaritis. Selain itu, ternyata bahwa Rara Wilis, yang dalam pengertian Sima Rodra diselamatkan oleh Mahesa Jenar di Karang Tumaritis itulah yang membunuh anak perempuannya. Karena itu ia ingin melepaskan beban yang selama ini menghimpit jantungnya kepada Mahesa Jenar. Tetapi sekali dadanya berguncang ketika ia mendengar Mahesa Jenar tertawa. Tidak terlalu keras, namun nadanya hampir memecahkan dadanya.

Gila…!” teriaknya. “Apa yang kau tertawakan?

Bukan apa-apa,” jawab Mahesa Jenar. “Aku hanya menyatakan kegembiraan hatiku setelah lama kita tak bertemu.

Bukan saatnya bergurau. Lebih baik kau menyebut nama nenek moyangmu selagi kau sempat,” geram harimau dari Lodaya itu.

Kau ingin melunakkan hatiku? Jangan kau sangka bahwa hatiku sekecil hati kelinci dan selunak hati kucing yang dihadapi daging. Aku adalah Sima Rodra dari Alas Lodaya,” teriak harimau itu dengan garangnya.

Aku sudah tahu dan aku sudah mengenalmu sejak lama. Sejak kau mencegat aku di jalan silang ke Bergota dari Gunung Tidar bersama Kakang Gajah Sora. Kemudian di Gedangan kita bertemu lagi,” jawab Mahesa Jenar, tetapi ia lupa bahwa Kebo Kanigara berperankan diri di Karang Tumaritis membebaskan Wilis. Karena itu Sima Rodra berteriak, “Kau ingin mengurangi kesalahanmu. Di Karang Tumiritis kau telah menghinakan kami. Kau berhasil membebaskan perempuan tawanan anakku, cucu Pandan Alas. Bahkan karenanya akhirnya perempuan itu membunuh anakku.

Ketika Mahesa Jenar teringat peristiwa itu, kembali ia tertawa. Ia mencoba tertawa seperti Kebo Kanigara tertawa. Katanya, “Inilah murid perguruan Pengging. Mahesa Jenar.

Kembali dada Sima Rodra terguncang. Tertawa yang demikian itu pulalah yang didengarnya pada saat itu di bukit Karang Tumaritis, ketika seorang yang menamakan diri Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbang dan hinggap di atas batu karang sambil berkata, “Inilah Mahesa Jenar, murid perguruan Pengging.

Gila. Jangan kau berbangga atas kemenanganmu saat itu. Kau memang mempunyai kelebihan dari kami dalam hal melarikan diri dan bersembunyi,” bentak Sima Rodra. “Tetapi marilah kita sekarang berhadapan. Tidak melarikan diri dan tidak bersembunyi.

Kali ini aku tidak akan bersembunyi dan melarikan diri. Aku kini berdiri di antara laskar yang sedang bertempur. Karena itu akupun harus bertempur seperti mereka. Menang atau kalah, marilah kita serahkan kepada keputusan tertinggi. Sebab aku yakin, kebenaran tak akan dapat ditindas oleh kejahatan,” jawab Mahesa Jenar.

Huh, pandangan hidup yang didasarkan pada keputusasaan. Bagiku menang atau kalah tergantung kepada kita sendiri. Dan bahwa suatu ketika kebenaran akan lenyap oleh kejahatan dan di atasnya akan aku bangun kebenaran yang baru menurut seleraku,” bantah Sima Rodra.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sima Rodra akan membangun kebenaran di atas bangkai-bangkai dan kejahatan. Benar-benar seorang yang tidak tanggung-tanggung. Kebenaran baginya tidak lebih dari pemuasan nafsu sendiri. Akhirnya ia menjawab, “Semakin banyak orang seperti kau di dunia ini, semakin parahlah tata kehidupan manusia. Peradaban yang kau bina, seperti yang dilakukan oleh anak menantumu di Gunung Baka, di kaki bukit Karang Tumaritis, dan barangkali di seribu tempat lain, menunjukkan betapa kau telah menghilangkan batas antara manusia dan binatang, antara manusia dan setan. Pemanjaan nafsu, pemutarbalikan tata kesopanan, pemujaan pada kekejaman dengan mengorbankan gadis-gadis di atas batu-batu pemujaan yang kau buat, dengan mengalirkan darahnya.”

Jangan berlagak seperti malaikat yang bersih suci,” potong Sima Rodra. “Hidupku dan hidupmu tidak akan lebih dari kisaran satu abad. Kenapa tidak kau nikmati hidupmu yang pendek itu?

Tiba-Tiba tubuh Mahesa Jenar bergetar karena tekanan perasaannya. Ia melihat orang yang berdiri di hadapannya dengan baju kulit harimau hitam, seperti ia melihat campur baur dari segala kejahatan dan nafsu. Karena itu ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Aku harus menghentikannya sebelum ia menjadi berkembang.”

Sima Rodra tertawa. Keras sekali. “Apa yang akan kau hentikan?

Untuk membunuh harimau, jangan ditunggu harimau itu menjadi besar,” sahut Mahesa Jenar.

Kau akan membunuh aku? Ha, kaupun telah mimpi untuk menjadi seorang pembunuh,” kata Sima Rodra.

Ada bedanya? Membunuh kau sama artinya dengan menegakkan kemanusiaan, karena kau ingin memperkosa kemanusiaan itu. Dan karena sifat-sifatmulah maka aku menolak adamu,” jawab Mahesa Jenar.

Terlalu berbelit-belit,” jawab Sima Rodra. “Yang aku ketahui, kalau kita berkelahi, aku atau kau yang menjadi pembunuh.

Otakmu terlalu beku. Atau sama sekali diselimuti oleh noda-noda hitam dalam hidupmu…?” Mahesa Jenar menyela.

Persetan. Jangan gurui aku. Menyerahlah, aku akan membunuhmu dengan cepat,” jawab Sima Rodra.

Bagaimana kalau sebaliknya?” bantah Mahesa Jenar.

Hem, kalau begitu aku akan melukai wajahmu yang tampan, dan membiarkan kau mati perlahan-lahan,” geram Sima Rodra dengan marahnya.

Tak ada pilihan lain,” sahut Mahesa Jenar.

Sima Roda kemudian mengaum keras sekali. Beberapa orang di sekitarnya terkejut, meskipun laskar dari golongan hitam sendiri. Hanya orang-orang dari Gunung Tidar sajalah yang bertambah semangat di dalam dada mereka mendengar auman yang mengerikan itu. Dengan suatu loncatan yang buas, sebuas harimau lapar, Sima Rodra menyerang langsung kepada Mahesa Jenar. Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian ia seakan-akan menancapkan kedua kaki dalam-dalam, menyiapkan diri menyambut serangan itu. Ia sengaja tidak menghindar, tetapi ia ingin membentur tangan lawannya untuk menjajagi sampai di mana kekuatan Sima Rodra yang pernah menggemparkan itu.

Kalau hal itu terjadi beberapa tahun lalu, maka Mahesa Jenar pasti akan terlempar dan terbanting mati, karena Sima Rodra dengan marahnya telah mengerahkan kekuatannya. Tetapi yang terjadi adalah berbeda, Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuhnya, setelah ia mesu diri di Bukit Karang Tumaritis. Dengan demikian maka yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Demikian dahsyat sehingga seakan-akan terjadi benturan guntur di langit. Tubuh masing-masing tergetar dan kemudian terdorong selangkah surut.

Sekali lagi Sima Rodra mengaum dahsyat. Meskipun ia tidak mengalami cidera, namun betapa herannya melihat Mahesa Jenar masih tegak berdiri dihadapannya. Karena itu sekali lagi ia menyerang dengan dahsyatnya. Namun kali ini Mahesa Jenar telah menemukan nilai-nilai kekuatan lawannya, sehingga ia dengan sempurna dapat menempatkan diri pada keadaan yang seharusnya. Dengan tangkas Mahesa Jenar menghindarkan diri, dengan meloncat ke samping. Namun harimau yang hampir gila itu benar-benar tangkas. Demikian kakinya menyentuh tanah, kakinya yang lain diputar ke arah lambung lawannya. Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa menarik tubuhnya condong kebelakang. Tetapi sekali lagi harimau tua itu menyerangnya dengan tendangan ganda.

Kali ini Mahesa Jenar tidak dapat hanya menyondongkan dirinya. Ia pun terpaksa melompat mundur. Tetapi dengan demikian ia menemukan kelemahan lawannya. Sekali lagi kaki Sima Rodra mesih terjulur, Mahesa Jenar menangkapnya pada bagian bawah lututnya. Namun Harimau Lodaya itupun tangkas pula. Ia tidak mau membiarkan hal itu terjadi. Ketika tangan Mahesa Jenar menyentuh kakinya, segera ia melipatnya, sehingga dengan demikian tangan Mahesa Jenar menjadi terjepit. Mahesa Jenar menggeram perlahan-lahan, tetapi segera ia mendorong tubuh lawannya yang tegap besar itu dengan siku tangannya yang lain di arah lambung. Demikian kerasnya sehingga Sima Rodra dan Mahesa Jenar bersama-sama jatuh terguling. Tetapi dengan demikian, Mahesa Jenar telah melepaskan jepitan lawannya, bahkan ketika ia melihat Sima Rodra meloncat bangkit, Mahesa Jenar pun telah berdiri pula.

Maka segera mereka terlibat kembali dalam perkelahian. Masing-masing adalah orang-orang perkasa, yang mempunyai kelebihan dari orang lain. Sima Rodra dengan penuh nafsu kebuasan bertempur mati-matian. Sebab ia sadar bahwa orang-orang seperti Mahesa Jenar adalah penghalang utamanya. Di pihak lain, Mahesa Jenar pun bertempur dengan penuh kesadaran akan kewajibannya sebagai manusia yang mengabdikan diri pada kemanusiaan. Kegagalannya kali ini, lebih-lebih kegagalan laskar Pamingit dan Banyubiru berarti runtuhnya martabat manusia, setidak-tidaknya di Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia bertekad untuk bertempur yang terakhir kalinya dengan Harimau Gila itu. Biarlah ia terbunuh kalau ia tidak berhasil, namun kalau ia berhasil, maka telah diletakkannya satu di antara berjuta-juta batu yang akan membentuk bangunan kemanusiaan.

Pertempuran itu semakin lama semakin dahsyat. Sima Rodra dengan mengaum-aum mengerikan, menyerang dengan buasnya. Tangannya kadang-kadang mengembang seperti sayap, tetapi kemudian terjulur untuk menerkam lawannya seperti harimau. Jari-jarinya yang kokoh dan kuat merupakan bahaya yang setiap saat dapat menembus daging lawannya. Dalam pertempuran yang hiruk pikuk itu, Sima Rodra tampak sebagai seekor harimau hitam di antara beratus-ratus kelinci yang sedang berjejal-jejalan. Namun lawan yang dihadapinya kini bukan kelinci-kelinci itu. Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Seekor Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya atas lambaran kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi kemanusiaan. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di antara mereka, adalah pertempuran yang akan diakhiri dengan lenyapnya salah satu dari keduanya. Pertempuran yang melambangkan pertempuran yang akan terjadi di sepanjang jaman. Kebenaran melawan kemungkaran dan kejahatan. Pertempuran di antara mereka yang berjalan di jalan Allah, melawan mereka yang melawan cinta Tuhan. Tetapi Tuhan Maha Pengampun. Karena itu, bagi siapa saja yang bertobat serta menyebut nama-Nya dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus, maka pintu Rumah-Nya selalu terbuka.

Sejalan dengan matahari yang semakin tinggi, semakin seru pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah menjadi merah oleh darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah menjadi merah pula oleh siraman darah yang merah segar.

Tetapi karena bau darah itulah maka mereka menjadi semakin buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan di dalam peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa membunuh. Tetapi mereka telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan hitam, membunuh adalah pekerjaan mereka untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan kemungkinan yang menimbulkan harapan. Kali ini mereka mengharap untuk mendapat bagian dari tanah yang mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk diperintahnya dan berkuasa atas setiap perempuan untuk diperlakukan dengan sekehendak hati mereka.

Sedang masa mendatang, mereka mendapat harapan yang lebih baik lagi apabila benar-benar mereka dapat memecahkan kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat Tumenggung, dengan rumah yang besar-besar dan selusin isteri yang cantik-cantik.

 Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh untuk menghentikan kebuasan manusia atas manusia. Mempertahankan tanah mereka dan milik mereka. Mempertahankan karunia Tuhan untuk mereka.

Karena itulah maka, kedua belah pihak bertempur mati-matian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus senjata. Dan mataharipun seakan-akan menjadi suram karena sinarnya yang ditakbiri oleh debu yang mengepul di udara seperti kabut.

Di antara deru senjata dan teriakan penuh nafsu, terdapatlah beberapa titik-titik perkelahian yang paling dahsyat. Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki yang berputar seperti angin pusaran. Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti beradunya angin prahara yang bertentangan arah. Titis Anganten melawan Sura Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam dalam kabut yang gelap. Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya seperti guntur dilangit yang saling sambar menyambar.

Tetapi ada di antara mereka, tokoh yang dahsyat dari golongan hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua laskar yang bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya untuk melawan serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-kali ia terpaksa menghindar kalau dua tiga orang yang gagah berani menyerangnya bersama-sama. Namun tangannya benar-benar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas sebuah pedang, dan menancapkan pedang itu dengan mudahnya di dada pemiliknya. Dengan tertawa menyeringai ia berpaling sambil bergumam, “Tikus yang sombong.” Kemudian ia melangkah pergi di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti berjalan di dalam kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya bertempur mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang sekuat tenaga melawan Mahesa Jenar. Orang itupun menjadi heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat mengimbangi Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten ia tidak perlu heran. Pertempuran diantara mereka dapat berlangsung lama. Sehari, dua hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa lawan. Karena itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan. Membunuh sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang dari keempat sahabatnya. Ia harus yakin bahwa kawan-kawannya itupun dapat membawa diri. Karena itu biarlah ia bekerja sendiri. Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang berserak-serakan seperti tikus itupun tak akan berarti. Sebagai seorang tokoh yang ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu berharga untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti itu. Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan. Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia tidak terlalu cemas. Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan dengan Lembu Sora sekalipun.

Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada membunuh. Bukankah di dalam peperangan yang berjumlah besar, membunuh siapapun yang ada didekatnya bukan berarti merendahkan diri. Pertempuran yang demikian adalah pertempuran yang kacau. Setiap senjata dapat mengarah setiap dada lawan. Maka akhirnya Nagapasa itupun menjadi puas terhadap pendiriannya. Daripada berdiri saja di situ, memang lebih baik berbuat sesuatu yang dapat memperingan pekerjaan laskar dari golongan hitam.

Kemudian setelah ia mendapat ketetapan hati, mulailah ia bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah tombak. Ia memutar tombak itu sekali diudara kemudian dengan satu gerakan kemungkinan untuk menghindar. Demikian cepat dan keras. Tetapi tiba-tiba Nagapasa menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia mendengar seseorang menyapanya, “Alangkah dahsyatnya Tuan.”

Nagapasa menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap kekar berdiri di sampingnya. Orang itu belum pernah dikenalnya. Karena itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia mencari orang yang hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang itu sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari lawan yang tak bertangan hantu.

Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi menoleh kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajahnya yang tenang. Orang itu pasti salah seorang dari laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba Nagapasa kehilangan nafsu untuk membunuh orang itu. “Mungkin ia belum mengenal aku. Biarlah aku bermain-main dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri dan baru kemudian aku akan membunuhnya setelah ia melihat bagaimanakah caranya aku membunuh,” pikirnya.

Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju ke dalam laskar Banyubiru. Ia akan berbuat hal-hal yang aneh untuk menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan tenang. Tetapi orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali. Seakan-akan ia melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa tidak memperdulikannya, bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat melihat dengan seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher seorang dengan tangannya, mencukil matanya dengan jari-jarinya, dan memecahkan kepala itu dengan pukulan tangannya.

Ketika seseorang bertempur di dekatnya, iapun segera meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik leher, sedang tangannya yang lain terayun ke dahi orang itu. Benar-benar suatu pemandangan yang mengerikan.

Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika ia mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa. Meskipun suaranya lunak sekali namun nadanya benar-benar tak menyenangkan. Kemudian terdengar ia berkata, “Tidak tanggung-tanggung. Suatu pameran kekuatan yang luar biasa.

Nagapasa memandang orang itu dengan seksama, sementara tangannya masih mencekik leher. Ia mengamat-amati orang itu dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum pernah dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang kebanyakan atau salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.

He, kau siapa?” tanya Nagapasa acuh tak acuh.

Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Laskar Banyubiru.”

Aku sudah tahu,” bentak Nagapasa marah. “Namamu dan jabatanmu?

Kebo Kanigara,” jawabnya. “Laskar biasa.” Nagapasa menggeram.

Nagapasa menggeram. Nama itu benar-benar belum pernah dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat menyakitkan hatinya.

Sudahkah kau mengenal aku?” bertanya Nagapasa

Ya, aku kenal,” jawab Kanigara. “Bukankah Tuan yang menamakan diri Nagapasa?

Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah mengenalnya, tetapi kenapa ia sedemikian berani menghadapinya.

Bagus,” kata Nagapasa lebih lanjut. “Kalau demikian kau kenal juga dari mana Nagapasa datang?

Ya,” jawab Kanigara pula. “Nagapasa berasal dari Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka Soka. Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar kesaktiannya dengan Pasingsingan, Sima Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.

Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin heran. Orang yang bernama Kebo Kanigara itu mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani menyapa seenaknya saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?

Kalau demikian...” Nagapasa berkata pula, “Apa maksudmu mengikuti aku?

He…” Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa yang tersirat di dalam pikiran Nagapasa itu, “Bukankah kita berada di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita dari Banyubiru dan dari golongan hitam dapat menjadi lawan?

Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban itu, katanya, “Kau akan melawan aku?

Apakah aku harus memilih lawan” sahut Kanigara. “Siapa yang ada di hadapanku adalah lawanku.

Kau sudah menjadi gila,” teriak Nagapasa. “Lihat betapa orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat memperlakukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang seperti ini.

Ya, aku percaya,” jawab Kanigara.

Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?” bentak Nagapasa semakin keras.

Tidak,” jawab Kanigara.

Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak. “Lalu apa maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.

Kita berperang. Mauku bertempur melawan Tuan,” sahut Kanigara.

Orang ini agaknya orang gila,” pikir Nagapasa. Dengan demikian ia kehilangan nafsu untuk berbuat sesuatu. Melawan orang gila baginya hanya akan membuang-buang waktu saja. Kembali Nagapasa berpaling kepada orang yang dicekiknya. Kepada orang itu ia akan menumpahkan kejengkelannya. Dengan menggeram ia berkata, “Nasibmu tak begitu baik, tikus yang malang. Berdoalah sebelum kepalamu aku pecahkan.”

Kemudian terayunlah kembali tangan Hantu Laut dari Nusakambangan itu. Sedang orang yang dicekiknya telah kehilangan harapan untuk dapat hidup. Ia kenal siapakah Nagapasa itu. Dan menyesallah bahwa ia kurang berhati-hati, bertempur di dekat orang bertangan maut itu. Namun akhirnya ia memejamkan matanya pasrah diri. Dalam perjuangan maut adalah tantangan. Kalau maut itu datang, biarlah ia menelannya. Namun ia yakin bahwa ia telah berjuang menegakkan kebenaran.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang tak terduga-duga. Ketika tangan Nagapasa hampir saja memecahkan kepala orang yang telah pasrah diri itu, terjadilah suatu benturan yang keras. Tangan Nagapasa terasa bergetar hebat. Ia merasa bahwa tangannya telah mengenai sesuatu, tetapi sama sekali bukan kepala orang yang dicekiknya. Dan kepala itu sama sekali tidak dipecahkannya, malahan tangannya sendiri merasa tergetar. Belum lagi ia sadar akan peristiwa itu, kembali terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai tangannya yang lain, yang sedang mencekik orang yang telah berputus asa itu, demikian kerasnya sehingga tanpa disengaja tangannya terlepas, dan orang yang dicekiknya itu terpental beberapa langkah dan jatuh berguling-guling.

Nagapasa melompat selangkah mundur. Ia telah berpuluh tahun hidup dalam kancah perkelahian, pertempuran dan pembunuhan. Karena itu ia telah memiliki pengalaman yang tak terkira banyaknya. Sehingga dengan demikian segera ia sadar, bahwa sesuatu telah terjadi, sesuatu yang berada di luar perhitungan. Ketika ia sadar memandang berkeliling, yang dilihatnya hanyalah orang yang bernama Kebo Kanigara itu, selain beberapa orang yang sedang bertempur melawan lawan masing-masing. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa Kebo Kanigara lah orangnya, yang telah mencoba membentur tangannya.

Nagapasa menjadi marah sekali. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah, semerah darah. Meskipun bibirnya terkatup rapat, namun terdengar betapa giginya gemeretak. Dengan tangan yang bergetar ia menunjuk wajah Kebo Kanigara sambil berkata dengan gemetar, “Kau…?

Kebo Kanigara masih setenang tadi. Sambil mengangguk ia menjawab singkat, sesingkat pertanyaannya, “Ya.”

Nagapasa sadar bahwa orang yang bernama Kebo Kanigara itu bukan orang gila seperti yang disangkanya. Tetapi Kebo Kanigara benar-benar orang perkasa, yang telah menempatkan diri sebagai lawannya dalam pertempuran itu dengan penuh kesadaran. Dengan demikian darahnya kini telah benar-benar mendidih. Karena itu ia sudah tidak mampu lagi untuk bertanya-tanya. Dengan memekik tinggi ia meluncur seperti ular yang mematuk lawannya, dengan tangan terjulur ke arah wajah Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara bukan anak-anak yang terkejut melihat ular sawah yang melingkar di pematang. Ia cukup dewasa untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Karena itu, ketika ia mendapat serangan dari Nagapasa, sama sekali tidak menjadi gugup. Dengan tenangnya Kebo Kanigara membuat perhitungan yang tepat. Ketika serangan Nagapasa itu hampir menyentuhnya, tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya menelentang. Kedua kakinya segera menyambar perut lawannya, dan dengan lemparan yang keras, Nagapasa terpelanting keudara. Tetapi Nagapasa pun cukup mempunyai bekal untuk bertempur melawan Kebo Kanigara. Ia mula-mula terkejut mengalami peristiwa itu, namun segera ia menguasai dirinya kembali. Dengan sebuah putaran ke udara, ia telah mencapai keseimbangannya. Karena itu Nagapasa dapat dengan baiknya menjatuhkan diri di atas kedua kakinya. Tetapi ketika ia berhasrat untuk meloncat menyerang lawannya, Kebo Kanigara pun telah siap pula tegak seperti bukit karang yang tak tergoyahkan oleh badai yang betapapun dahsyatnya.

Sesaat kemudian, kembali Nagapasa menyerang dengan kerasnya dibarengi dengan sebuah teriakan tinggi. Dan kembali Kebo Kanigara melawannya dengan tenang, namun penuh gairah. Sebab Kebo Kanigara pun yakin, bahwa orang-orang seperti Nagapasa adalah sumber dari segala macam bencana bagi umat manusia. Maka karena itulah pertempuran antara kedua orang perkasa itu segara menjadi semakin dahsyat. Nagapasa bertempur seperti seekor naga. Tubuhnya seolah-olah menjadi lemas dan dapat bergerak ke segenap arah. Tulang-tulangnya seakan-akan menjadi selemas daun. Begitu baiknya Nagapasa menguasai tubuhnya, sehingga setiap bagiannya dapat berubah menjadi senjata yang berbahaya. Jari-jarinya, sikunya, kepalanya, lutut dan jari kakinya, tumitnya dan segala bagian yang lain. Ia dapat meluncur dengan cepatnya, melingkar-lingkar seperti pusaran air yang menghisap segenap benda yang tersentuh jari-jari lingkarannya, menelannya dan menghancur-lumatkannya. Demikian dahsyatnya Nagapasa bertempur sehingga benar-benar mirip seekor naga raksasa yang bertempur didalam lautan yang digelorakan oleh ombak yang dahsyat.

Tetapi lawannya adalah Kebo Kanigara. Seorang yang telah memiliki ilmu yang sempurna. Benarlah kata orang, yang bahkan almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh sendiri mengakui, bahwa sebenarnya Kebo Kanigara telah melampaui kemampuannya. Kebo Kanigara telah menemukan cara untuk menempa diri dengan dahsyatnya. Ia hanya memerlukan waktu tidak lebih dari semperempat waktu yang diperlukan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh dengan caranya. Karena itulah maka Kebo Kanigara benar-benar memiliki sifat yang luar biasa. Ia dapat bertempur selincah anak kijang di padang rumput, namun ia dapat garang seperti singa. Di saat-saat yang lain Kebo Kanigara bertempur seperti seekor garuda dengan sayap-sayapnya yang kokoh seperti baja namun trengginas seperti sikatan. Seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara juga memiliki kekhususan. Ia benar-benar tangguh sebagaimana ciri-ciri khusus Perguruan Pengging. Seakan-akan berkulit tembaga, bertulang besi. Serta apabila keringatnya telah membasahi punggungnya, tandangnya menjadi semakin garang, seperti banteng ketaton.

Demikianlah, ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kebo Kanigara dan Nagapasa telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun disamping kemarahan yang semakin memuncak, Nagapasa pun menjadi heran. Apakah ia sebenarnya sedang bertempur melawan seorang manusia, ataukah tiba-tiba saja ada malaikat yang menjelma dan melawannya?

Persetan dengan malaikat. Aku tidak takut melawan malaikat seandainya ia benar-benar ada.”  Nagapasa mengumpat di dalam hati, namun di dalam relung hatinya yang terdalam ia mengeluh, “Gila benar orang ini. Siapakah sebenarnya dia?

Kebo Kanigara pun berjuang terus. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa. Hantu Laut yang memiliki kesaktian dan pengalaman yang mengerikan. Karena itu, Kebo Kanigara pun cukup berhati-hati. Namun sedikit demi sedikit, akhirnya ia berhasil mengetahui segi-segi kedahsyatan ilmu lawannya, tetapi juga segi kelemahan-kelemahannya. Suatu hal yang tak dapat dilihat oleh orang biasa. Kebo Kanigara memiliki daya pengamatan yang lebih tajam dari manusia kebanyakan. Dengan demikian, apa yang selama ini tak diketahui orang, dapatlah diketahuinya, dan apa yang tak dapat dikerjakan orang lain, ia dapat melakukannya.

Pertempuran di lereng Gunung Merbabu itupun menjadi semakin riuh. Percikan darah berhambur-hamburan membasahi tanah pegunungan dan rumput-rumput liar. Kedua belah pihak berjuang semakin gigih. Sebab tak ada pilihan lain, apabila seseorang telah berada di tengah-tengah api peperangan.

Debu mengepul semakin tinggi di udara. Putih gelap, seperti kabut ampak-ampak di lereng-lereng bukit.

Ki Ageng Sora Dipayana masih bertempur melawan Bugel Kaliki. Silih ungkih, singa lena. Desak-mendesak, serang-menyerang silih berganti. Tetapi keduanya sadar, bahwa kesaktian mereka benar-benar berimbang. Sekali-kali, baik Ki Ageng Sora Dipayana maupun Bugel Kaliki, berusaha untuk menebarkan pandangannya ke bagian-bagian pertempuran yang lain, seperti juga apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, Titis Anganten dan Sura Sarunggi. Sekali-kali mereka pun ingin mengetahui apa yang telah terjadi di bagian-bagian yang lain. Dari celah-celah deru senjata, Ki Ageng Sora Dipayana, yang bertempur seorang diri di antara laskar Banyubiru dan Pamingit yang saling bertempur pula. Semula Ki Ageng Sora Dipayana mencemaskan nasib Mahesa Jenar, tetapi kemudian ia menjadi heran. Mereka telah cukup lama bertempur, namun agaknya Mahesa Jenar masih tetap bertahan dengan gigihnya.

Apakah yang telah terjadi dengan Angger Mahesa Jenar selama ini?” pikirnya. Dan tiba-tiba sesaat kemudian orang tua itupun terkejut pula. “Apakah yang sudah dilakukan oleh Kebo Kanigara itu?” Timbul pertanyaan pula di dalam hatinya. Bahkan ia menjadi semakin heran ketika melihat, bahwa Kebo Kanigara dapat bertempur melawan Nagapasa sebaik dirinya sendiri atau orang-orang seangkatannya. Bahkan karena darah yang jauh lebih muda daripada darahnya dan orang-orang seangkatannya, Kebo Kanigara tampak betapa tangkas dan perkasanya.

Hem…” desisnya, “Siapakah sebenarnya orang itu?”

Ternyata di bagian lainpun terdengar Ki Ageng Pandan Alas berdesis, “Benar-benar Angger Kebo Kanigara sakti tiada taranya.” Di bagian lain lagi Titis Anganten bergumam, “Aneh. Belum pernah aku mengenalnya. Namun tiba-tiba ia telah mengejutkan kami.”

Bukan saja orang-orang Banyubiru dan Pamingit yang keheran-heranan melihat keperkasaan Kebo Kanigara, namun orang-orang dari golongan hitampun menjadi cemas melihat tandangnya.

Ketika orang-orang lain sedang sibuk menilai dirinya, Kebo Kanigara sempat menyaksikan betapa Mahesa Jenar berjuang di antara hidup dan mati. Tanpa sesadarnya merayaplah perasaan bangga di dalam dirinya. Ia melihat benih subur tumbuh di dalam tubuh Mahesa Jenar yang kemudian bahkan telah berkembang dengan rimbunnya. Ia melihat Mahesa Jenar itu telah dapat menguasai ilmunya. Tidak saja Mahesa Jenar itu telah dapat mensejajarkan diri dengan almarhum gurunya, namun dalam penglihatan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar bahkan telah melampauinya. Masa-masa pembajaan diri yang dahsyat telah menempa Mahesa Jenar dan muridnya sedemikian dahsyat pula. Dan sekarang Mahesa Jenar mencoba menerapkan ilmunya dalam suatu perjuangan yang menentukan.

Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo Kanigara melihat bagaimana Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Anak muda itupun menunjukkan betapa gigihnya ia berjuang melawan kejahatan. Tombaknya yang bernama Kyai Bancak itu menyambar-nyambar seperti seribu mata tombak bersama-sama, melawan sepasang pisau belati panjang yang berkilat-kilat ditangan Hantu Alas Mentaok. Namun Arya Salaka telah tumbuh menjadi anak muda yang perkasa. Apapun yang dilakukan lawannya, dengan baiknya Arya dapat melayaninya. Kegarangan dan kekasaran Lawa Ijo sama sekali tak mempengaruhi langkahnya. Apalagi Arya telah membumbui ilmunya dengan segala macam tingkah laku binatang-binatang liar yang pernah menarik perhatiannya. Bagaimana seekor tikus berhasil menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan bagaimana seekor kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari terkaman serigala-serigala lapar. Namun Arya Salaka pun tahu, bagaimana seekor banteng dengan tanduknya, dalam ketenangan yang luar biasa, berhasil merobek perut seekor harimau yang justru menyerangnya dengan garang.

Melihat pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi bertambah tenang, sebab dengan demikian ia hampir pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan berhasil membunuh anak muda itu.

Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana muridnya itu bertempur. Dengan semangat yang menyala-nyala serta kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka bertempur mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa bagaimanapun juga kebenaran akan memenangkan kemungkaran.

Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di bagian lain. Dibebani oleh rasa tanggungjawab atas tanah serta kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain yang memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang pernah dilakukannya serta nafsu-nafsu yang memalukan telah mengetuk-ngetuk dinding hatinya. Seakan-akan terdengar suara yang berputar di udara, “Lembu Sora, kau harus mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan. Lihatlah betapa anak yang akan kau singkirkan itu kini berjuang tanpa pamrih untukmu. Lalu apa yang akan kau lakukan?

Akan aku bunuh kawan-kawanku kini.” Lembu Sora menggeram. “Mereka adalah orang-orang yang menyeretku ke dalam tindakan-tindakan yang hina.

Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan, terkejut mendengar Lembu Sora tiba-tiba menggeram. Tetapi kemudia iapun tersenyum. Katanya, “Hati-hatilah Ki Ageng Lembu Sora, jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.”

Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa bencinya ia kepada Jaka Soka. Apalagi sejak nyawanya berada di ujung kerisnya sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa Jenar, pada saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa Gajah Sora. Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa pada suatu saat ia harus dapat membunuh Jaka Soka dengan tangannya. Tetapi Jaka Soka itupun bukanlah anak-anak yang baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak laut yang buas. Meskipun wajahnya selalu membayangkan senyuman yang menarik, namun di balik senyumnya itu tersembunyi kejahatan dan kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang gadis yang cantik dalam penilaiannya, dan bernama Rara Wilis di hutan Tambakbaya, ia berhasrat untuk membunuh semua orang yang berada di tempat itu, tanpa sebab. Hanya karena mereka mengetahui bahwa ia menginginkan gadis itu.

Dengan demikian, maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin sengit. Dendam yang membara di dalam dada Lembu Sora telah mendorongnya untuk berjuang sekuat tenaga, sedang Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat itu gurunya yang dibangga-banggakan berada pula di dalam pertempuran itu, Nagapasa.

Akhirnya mataharipun perlahan-lahan melampau puncak langit. Semakin lama menjadi semakin condong ke barat. Angin pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun pepohonan di ujung-ujung senjata.

Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya. Masing-masing berjuang dengan gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun tak seorangpun dari mereka yang dengan senang hati menyerahkan nyawanya. Karena itulah maka pertempuran itu bertambah-tambah riuh dan ribut. Keringat dan debu yang melekat pada tubuh mereka, bercampur darah yang meleleh dari luka, sama sekali tak mereka hiraukan. Perasaan sakit dan pedih yang ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata sama sekali tak terasa, selagi merka masih dapat berdiri dan mengayunkan senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan untuk bermanja-manja. Bagi mereka yang telah menjadi lemas karena darah yang terperas hilanglah harapan mereka untuk dapat melihat matahari terbit esok hari. Mereka akan terjatuh dan diinjak-injak. Mungkin oleh lawan dan mungkin oleh kawan. Meskipun demikian, apabila maut belum saatnya datang, ada saja di antara mereka yang berhasil merangkak-rangkak membebaskan diri dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang sempat memapahnya dan menyingkirkannya.

Sawung Sariti tak pula kalah garangnya. Wadas Gunung, murid Pasingsingan yang muda itu agaknya bertempur pula penuh nafsu dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak segarang Lawa Ijo. Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid Ki Ageng Sora Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba seorang yang bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang menonjol seperti orang hutan, datang membantunya dengan senjata-senjata yang mengerikan. Bola-bola besi yang bertangkai.

Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola besinya bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar di antara kilauan dua pisau belati panjang di tangan Wadas Gunung.

Namun, pedang Sawung Sariti seolah-olah mempunyai mata. Ke mana keempat senjata lawannya itu mengarah, terdengarlah dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya, Sawung Sariti dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas Gunung bertubuh tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang berbongkah-bongkah seperti orang hutan, namun Sawung Sariti dapat membentur kekuatan mereka dengan keseimbangan yang cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya, berukuran tidak wajar. Pedangnya lebih besar dan lebih panjang daripada pedang biasa. Meskipun pedang itu tidak setajam pedang Jaka Soka, namun dengan pedang itu Sawung Sariti mampu mematahkan besi gligen.

Dengan hadirnya Bagolan, maka pertempuran itu menjadi seimbang. Meskipun semula Wadas Gunung agak malu-malu juga bertempur melawan anak semuda itu berdua. Namun dalam saat-saat hidup dan mati menjadi taruhannya, maka perasaan itupun lenyap tanpa bekas. Dengan baiknya mereka berdua bertempur berpasangan. Maju bersama-sama dari arah yang berbeda. Tetapi pedang Sawung Sariti berputar seperti lingkaran angin yang melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak seujung jarumpun dapat ditembus oleh senjata lawannya.

Wulungan ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti seekor elang. Dengan garangnya ia menggerakkan pedangnya menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung pun tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti Wulungan. Dengan tangkasnya ia meloncat kesana kemari, menggerakkan pedangnya dengan lincahnya, mematuk-matuk seperti lidah api yang dihembus angin.

Beberapa orang dari golongan hitam telah mengenalnya. Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha mereka memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus berhadapan sebagai lawan. Seorang yang bertubuh pendek, kasar dan menjemukan, menempatkan diri sebagai lawan Galunggung. Orang itu adalah Sakajon. Tokoh kepercayaan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Mereka berdua bertempur dengan penuh nafsu. Sakajon dengan pedang pendek namun besar, bertempur seperti seekor babi hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun seperti seekor serigala lapar.

Laskar golongan hitam yang bertempur berhadapan dengan sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika mereka merasa terbentur pada kekuatan yang tak mereka duga. Sri Gunting dari Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat mendesak laskar Pamingit dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding baja. Dengan marahnya Sri Gunting mencoba untuk memusnahkan pimpinan kelompok lawannya. Tetapi orang yang bersenjata tombak bermata dua itu benar-benar tangkas. Jaladri, yang mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu, dengan gigihnya bertempur melawan tokoh pertama sesudah Uling Rawa Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri menjadi bergirang hati. Setelah sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan Ki Dalang Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan beberapa pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, kini ia mendapat kesempatan untuk mengamalkannya. Menumpas golongan hitam.

Demikian juga Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri. Ia berusaha dengan gigih untuk memotong gerakan lawannya yang mencoba melingkari ujung sayap itu, dan menyerang dari samping dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam usahanya itu. Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian melawan Welang Jrabang, salah seorang kepercayaan Jaka Soka. Namun Bantaran telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat menyelamatkan dirinya.

Di bagian yang lebih padat, tampaklah Penjawi bertempur dengan penuh tekad. Tak ada persoalan hidup atau mati di dalam kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu pengabdian. Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya. Namun karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah yang menyebabkan Penjawi menjadi seperti burung alap-alap, yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang runcing tajam.

Laskar Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja lawan-lawan mereka menjadi cemas, tetapi agaknya orang-orang Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak Banyubiru itu bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah kiranya seandainya mereka, orang-orang dari Pamingit terpaksa bertempur melawan laskar Banyubiru itu? Laskar yang semula mereka anggap tidak lebih dari sekelompok pemuda yang hanya pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau merampok warung-warung penjual makanan untuk menyambung hidup mereka. Kini ternyata bahwa laskar Banyubiru yang berada di sekitar Candi Gedong Sanga itu adalah benar-benar pejuang yang mengabdikan diri pada cita-citanya.

Matahari kian lama menjadi semakin rendah. Awan yang putih tampak berarak-arak di wajah langit yang biru. Burung gagak berterbangan berputar-putar di atas daerah pertempuran yang menghamburkan bau darah. Burung-burung itu berteriak-teriak di udara. Mereka menjadi tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Betapa segarnya darah yang mengalir dari luka. Mereka harus mendapatkannya lebih dahulu sebelum anjing-anjing liar dan serigala-serigala lapar mendahuluinya. Tetapi pertempuran itu masih ribut. Dan burung-burung itupun menjadi semakin tidak sabar dan berteriak-teriak tinggi.

Meskipun laskar Banyubiru dan Pamingit berhasil mendesak laskar golongan hitam, namun pergeseran garis pertempuran itu tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa kekuatan mereka seimbang. Korban satu-satu jatuh. Dan masih banyak yang akan menyusul. Setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai kemungkinan yang sama. Mati di ujung senjata.

Melihat semuanya itu Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Betapa perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya. Setiap ia melihat tubuh yang terbanting di tanah dan setiap telinganya mendengar jerit kesakitan, terasa hatinya seperti tertusuk sembilu. Tiba-Tiba Kebo Kanigara berhasrat untuk menghentikan pertempuran itu segera. Meskipun sebenarnya tidak saja Kebo Kanigara yang dijalari oleh perasaan yang demikian itu, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu, atau mereka belum berhasil untuk berbuat sesuatu.

Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan sedih, korban-korban yang berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang memancar dari luka, setiap kali ia memperkuat serangan-serangannya, namun lawannya berbuat demikian pula. Bugel Kaliki telah mengerahkan segenap kesaktiannya untuk melawan Ki Ageng Sora Dipayana.

Tak jauh berbeda pula perasaan Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten. Merekapun telah berjuang sekuat-kuat tenaga mereka. Semakin cepat pertempuran itu selesai, menjadi semakin baik bagi mereka dan laskar mereka. Jumlah korban mereka, namun lawan mereka tak pula kalah saktinya. Apalagi kemudian, ketika Pasingsingan benar-benar telah dilumuri oleh keringat yang mengalir dari setiap lubang kulitnya, hatinya menjadi bertambah gelap. Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam pusaka saktinya, Ki Ageng Suluh, sebuah pisau belati panjang kuning gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat senjata itu. Ia menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan ilmu andalannya, Gelap Ngampar atau Alas Kobar,atau kedua-duanya. Tetapi agaknya Pasingsingan sadar bahwa lawannya mempunyai cukup daya tahan untuk melawannya. Karena itu, ia mengambil ketetapan hati, pusakanya itu akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan cepat. Setiap goresan yang dapat melukai kulit Pandan Alas, adalah suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan tinggal disebut namanya. Tetapi Pandan Alas tidak mau melawan Kyai Suluh itu dengan tangannya. Ketika pisau yang gemerlapan itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya, dengan tangkasnya ia menarik pusakanya pula, Kyai Sigar Penjalin. Sebilah keris yang tidak kalah saktinya. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Tanpa mereka kehendaki, menyingkirlah laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar golongan hitam dari daerah sekitar mereka berdua. Sehingga dengan demikian, seolah-olah bagi mereka sengaja disediakan tempat yang cukup luas untuk mengadu kesaktian.

Daerah pertempuran, yang berupa padang rumput dan sawah-sawah yang terletak di lereng bukit itu, merupakan daerah yang sama sekali tidak rata. Ada bagian yang cekung, namun ada bagian-bagian yang menjorok naik, sehingga dengan demikian memungkinkan bagi mereka untuk dapat melihat arena pertempuran itu seluas-luasnya. Demikianlah agaknya maka hampir setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai gambaran atas peristiwa yang terjadi di arena itu. Kalau mereka berkesempatan, dapatlah mereka melihat betapa debu mengepul tinggi ke udara dari daerah sayap kiri, atau kilatan ujung senjata di sayap kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang lengang di tengah-tengah arena, yang merupakan pertanda bahwa di daerah itulah tokoh-tokoh sakti sedang mengadu tenaga sehingga tak seorangpun yang berani mendekati.

Ketika matahari telah surut ke ufuk barat, Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin gelisah. Apabila malam tiba, dan pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang kembali perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuh-membunuh dan korban akan berjatuhan. Demikian seterusnya. Mungkin berhari-hari, seperti ia sendiri akan mengalaminya melawan Bugel Kaliki. Mungkin seminggu, dua minggu. Ia sendiri atau Bugel Kaliki akan betahan terus, tetapi laskarnya akan semakin surut.

Namun demikian, apa yang dilakukan adalah batas tertinggi dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun berusaha untuk membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu. Demikian juga Pandan Alas dan Titis Anganten.

Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah hal yang agak berbeda. Ketika Kebo Kanigara melihat warna lembayung membayang dilangit, ia menarik keningnya. Ketika ia sekilas melihat Mahesa Jenar yang bertempur tidak demikian jauh darinya, ia tersenyum kecil. Memang pada saat itupun Mahesa Jenar dihinggapi oleh perasaan yang sama seperti perasaan yang menjalar di dalam dada Ki Ageng Sora Dipayana, di dalam dada Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan Kebo Kanigara. Karena itulah maka, seperti mereka pula, mencemaskan betapa korban akan berjatuhan besok pagi, lusa atau seterusnya, apabila keseimbangan pertempuran tidak segera berubah. Karena itu, ketika senja mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-lahan. Sekali lagi dengan tajamnya ia memandang wajah Sima Rodra yang bertempur dengan dahsyatnya sambil mengaum mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu terbayanglah betapa keji perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan. Kalau anak perempuannya telah melakukan perbuatan yang terkutuk, apakah kira-kira yang pernah dilakukan oleh Harimau tua itu? Berapa puluh gadis yang pernah dikorbankan untuk upacara-upacaranya yang aneh-aneh?

Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Agaknya Sima Rodra pun sadar bahwa menjelang malam, ia harus mengambil suatu kepastian, supaya besok pertempuran dapat dimulai dengan permulaan yang berbeda. Karena itu Sima Rodra pun menjadi bertambah liar. Akhirnya terjadilah suatu hal yang mengerikan. Sima Rodra itu mengaum dengan dahsyatnya, serta menggerakkan seluruh tubuhnya seperti orang yang menggigil kedinginan. Mahesa Jenar pernah melihat gerakan-gerakan yang demikian. Pada saat itu ia mengambil pusaka-pusaka keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Gunung Tidar. Untunglah bahwa pada saat itu Titis Anganten datang menolongnya, sehingga kekuatan aji Sima Rodra yang dinamainya Macan Liwung itu dapat dipunahkan. Dan keadannya kini pun sudah tidak memerlukan pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia berkesempatan, segera ia mengatur jalan pernafasannya baik-baik, memusatkan segenap pancaindra dan pikirannya. Diangkatnya satu kakinya, satu tangannya bersilang dada dan tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menggapai langit.  Demikianlah, pada saat yang tegang itu terdengarlah bibir Mahesa Jenar bergumam, “Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tiada kekuasaan dan tiada kekuatan kecuali dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar.” Pada saat itulah ia melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan kekuatan yang tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar berusaha untuk tidak membenturkan diri dengan kekuatan aji Macan Luwung itu. Dengan lincahnya ia meloncat selangkah ke kanan, kemudian dengan satu putaran ia menghindari serangan Sima Rodra. Sima Rodra yang telah melancarkan kekuatan yang tiada taranya, dengan kecepatan yang luar biasa pula, menjadi kehilangan daya tahannya untuk menarik serangannya. Ia terdorong selangkah ke depan, ketika pada saat yang bersamaan Mahesa Jenar berputar lagi untuk kemudian dengan garangnya meloncat ke arah Harimau yang telah menjadi gila itu.

 ———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 22

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

nogososro sabukinten (20)

I.

Kemudian kepada Wulungan ia berkata, “Memang. Maksudku adalah kembali ke Banyubiru. Disetujui atau tidak oleh Paman Lembu Sora. Karena itu pertempuran bisa saja berkobar setiap saat. Nah, sebelum aku dibunuh atau membunuh, aku ingin menghadap Eyang Sora Dipayana untuk menyampaikan baktiku sebagai seorang cucu, serta mohon restu sebelum aku mulai dengan tugas beratku ini.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan napasnya mendengar jawaban Arya Salaka. Agak terlalu keras. Namun mereka cukup mengerti, bahwa Arya berbicara dengan Wulungan, pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada Srengga. Dengan demikian Arya tidak perlu terlalu banyak merendahkan dirinya. Terhadap orang seperti Wulungan, Arya memang harus mempertegas maksudnya.

Tetapi berbeda dengan dugaan Arya Salaka, Wulungan tidak mendesaknya lagi seperti semula. Di dalam dada orang itu, timbullah kembali rasa hormatnya. Memang Arya Salaka sejak kecil menunjukkan sifat jantannya. Dengan demikian maka Wulungan menjadi percaya, bahwa Arya Salaka itu benar-benar Arya Salaka yang dikenalnya pada masa kecilnya.

Karena itulah, maka ia menjadi lunak. Permintaan Arya untuk bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan yang berlebih-lebihan. Apakah yang akan dilakukan, kalau ia hanya datang berenam? Di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, mereka pasti tidak akan dapat berbuat sesuatu kecuali benar-benar seperti apa yang dikatakan, mohon restu dan menyampaikan bakti seorang cucu.

“Angger Arya Salaka…” jawab Wulungan, “Permintaan Angger akan kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Terserah keputusan yang akan diambilnya. Menerima atau tidak menerima kehadiran Angger.”

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan Wanamerta menarik nafas panjang mendengar keputusan Wulungan. Terdengar Arya Salaka perlahan-lahan berkata, “Terimakasih Paman Wulungan.”

Tetapi ketika Wulungan memanggil seseorang untuk menyampaikan pesan itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana, terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu keras. Kemudian dari dalam regol halaman terdengar suara, “Agaknya kau mempunyai pimpinan baru Paman Wulungan.”

Wulungan terkejut seperti juga Arya Salaka, Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba Wulungan terhenti di tempatnya seperti patung. Perlahan-lahan ia menoleh dan mencoba melihat, siapakah yang berkata itu, meskipun dengan mendengar suaranya ia sudah dapat menebaknya.

Sesaat kemudian muncullah seorang anak muda dengan pedang yang besar di pinggangnya. Sawung Sariti.

Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya, “Apakah maksud Angger?

Akulah yang berhak memberikan perintah, mengubah dan mencabut perintah, selain ayah Lembu Sora,” katanya. “Apa perintahku yang aku ulangi sore tadi?”

Wulungan menarik nafas panjang, sebab tiba-tiba nafasnya terasa berhenti di kerongkongan. Terhadap Sawung Sariti sebenarnya Wulungan agak kurang senang. Sikapnya yang sombong, keras dan menghina orang lain. Meskipun anak muda ini berhati baja pula. Namun ia merasakan perbedaan sifat antara kedua anak muda yang kebetulan dua bersaudara sepupu. Tetapi ia adalah pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora. Karena itu ia harus menjalankan pekerjaannya baik-baik. Maka jawabnya, “Angger memerintahkan, tak seorangpun boleh memasuki kota, apalagi halaman rumah ini.”

“Bagus,” sahut Sawung Sariti sambil menarik bibirnya. “Apa yang akan Paman kerjakan?”

“Mencoba menyampaikan pesan angger Arya Salaka untuk Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.

“Bagaimanakah seharusnya Paman menjawab?” desak Sawung Sariti.

“Menolak permintaan itu,” jawab Wulungan, namun ia meneruskan, “Tetapi ia adalah Angger Arya Salaka, yang sekadar ingin bertemu dengan kakeknya.”

“Justru ia menamakan diri Arya Salaka!” bentak Sawung Sariti.

Wulungan terdiam. Ia tahu sifat anak muda itu. Ia biasa membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Bahkan kemudian Sawung Sariti berkata, “Malahan ayah Lembu Sora menyanggupkan hadiah duapuluhlima bahu bagi mereka yang dapat menangkap anak muda yang menamakan diri Arya Salaka. Nah sekarang anak itu telah datang menyerahkan dirinya.”

Wulungan masih terdiam. Duapuluhlima bahu baginya sama sekali tidak berarti. Di Pamingit ia memiliki tanah yang berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk menggarap seluruhnya. Namun yang penting baginya, sikap yang demikian bukanlah sikap yang jantan. Bukankah Arya Salaka dengan jantan datang tanpa pasukan untuk menyampaikan sujudnya kepada kekeknya? Meskipun kakeknya berada di pusat kekuasaan lawannya. Tetapi kemudian ia mencoba untuk melupakan tanggapannya itu. Bukankah sudah sekian lama ia sendiri hanyut dalam arus ketidakjantanan sikap Lembu Sora? Akhirnya ia sadar bahwa sikap Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya untuk menilai kembali setiap perbuatan yang pernah dilakukan.

Sebagai orang yang jauh lebih tua, Wulungan kadang-kadang merasa sangat terhina oleh pokal anak muda itu. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti adalah putra Ki Ageng Lembu Sora, putra seorang yang memberinya kedudukan dan pangkat.

Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apapun, selain menundukkan kepala.

“Tidakkah Paman berusaha menangkapnya?” tanya Sawung Sariti.

“Sekarang Angger ada di sini,” jawab Wulungan, “Aku menunggu perintah Angger.

“Kalau aku tidak datang bagaimana?” bentak Sawung Sariti.

Kembali Wulungan terdiam.

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang menyaksikan peristiwa itu, perasaan mereka ikut tersinggung pula. Sikap yang demikian bukanlah sikap yang tahu adat. Wulungan, meskipun ia adalah seorang bawahan saja, namun ia berumur jauh lebih tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya menganggap bahwa sikap Wulungan adalah bijaksana. Karena itu tiba-tiba timbullah keinginan untuk menarik perhatian Sawung Sariti, katanya, “Adi Sawung Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin kepadamu, untuk menghadap Kakek Sora Dipayana.”

Sawung Sariti menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi sesaat saja. Kemudian ia kembali memandangi Wulungan. “Paman. Baiklah kalau aku harus memberikan perintah berulang kali. Meskipun Paman seorang anggota laskar pengawal ayah Lembu Sora yang sudah kenyang makan garam. Dengarlah Paman, tak seorangpun aku ijinkan masuk ke dalam kota, apalagi ke dalam halaman rumah ini. Siapapun dan dengan alasan apapun.”

Wulungan masih menundukkan kepalanya.

Kau dengar, Paman…?” tanya Sawung Sariti dengan lantang.

“Ya, aku dengar,” jawab Wulungan.

“Nah. Laksanakan,” perintah Sawung Sariti.

Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya. Kemudian katanya dengan tenang, “Angger, Angger telah mendengar perintah Angger Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh memasuki halaman ini, dengan alasan apapun.”

“Alangkah liciknya anak muda itu,” pikir Arya. Ia hanya berkesempatan untuk berbicara dengan Wulungan, yang hanya dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia mencoba untuk sekali lagi berbicara langsung kepada Sawung Sariti, katanya, “Adi, dapatkah Adi Sawung Sariti berlaku bijaksana? Aku hanya ingin sekadar menghadap Eyang Sora Dipayana.”

Sawung Sariti diam saja. Dengan senyum yang menyakitkan hati ia berkata kepada Wulungan, “Lakukan tugasmu baik-baik. Aku akan naik ke pendapa.”

“Gila!” Arya Salaka berdesis. Ia adalah anak muda pula. Darahnya masih hangat-hangat panas. Karena itu ia benar-benar merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras, “Tak seorang pun yang dapat menghalangi aku masuk ke halaman rumahku sendiri. Minggir kalian, atau aku harus membunuh kalian.”

Tiba-tiba pula, tombaknya telah berpindah di tangan kanannya. Ujungnya telah tunduk setinggi dada orang yang berdiri di atas tanah.

Semua yang mendengar suara Arya Salaka itupun terkejut. Sawung Sariti terhenti pula. Cepat ia memutar tubuhnya dan tangannya telah melekat di tangkai pedangnya. Ia melihat Arya telah siap menyerangnya. Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong kudanya menyerbu, terasa Mahesa Jenar menangkap lengannya. Dengan tenang gurunya itu berkata, “Tahan dirimu Arya.

Arya menarik nafas. Wajahnya telah memerah darah, sedang darahnya rasa-rasanya telah mendidih membakar seluruh tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata, “Apa yang dapat aku lakukan. Aku datang ke kampung halamanku sendiri. Kenapa aku harus mengalami penghinaan itu?”

“Sawung Sariti…!” teriaknya, “Jangan berperisai orang setua Paman Wulungan. Hadapilah kedatanganku. Kasar atau halus.”

Sawung Sariti maju beberapa langkah. Jawabnya, “Turunlah. Aku bukan pengecut seperti yang kau sangka.”

Hampir saja Arya meloncat turun, kalau sekali lagi Mahesa Jenar tidak mencegahnya.

“Jangan Arya,” katanya, “Sawung Sariti bukanlah orang yang harus memberi keputusan terakhir.”

Nafas Arya menjadi berdesakan meloncat dari hidungnya. Amat sulitlah baginya untuk dapat menahan diri. Apalagi ketika kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak. “Minggir semua. Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu menjaga daerahnya. Mampu melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepada orang lain.”

Tetapi Mahesa Jenar memegangi lengan Arya erat-erat. “Jangan layani. Kita tunggu perkembangan keadaan. Dengan teriakan-teriakan itu, mungkin pemanmu Lembu Sora akan turun ke halaman dan akan memberikan kesempatan kepadamu.”

Tubuh Arya telah benar-benar gemetar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri seperti nasihat gurunya, meskipun ia terpaksa menggigit bibirnya.

Wulungan dan anak buahnya menyaksikan peristiwa itu dengan berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka meloncat mundur, ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur. Yang dilihatnya kemudian adalah Sawung Sariti tegak di tanah, dengan dada tengadah. Ia memandang Arya Salaka dengan pandangan menghina seolah-olah Arya Salaka adalah seorang yang sama sekali tidak patut mendapat pelayanan. Sedang di atas punggung kuda, Arya duduk dengan tubuh menggigil menahan diri. Sekali-kali terdengar giginya gemertak. Sedang dari matanya memancar api kemarahan.

Sekali lagi terdengar Sawung Sariti menantang, “Turunlah. Atau kau akan bertempur di atas kudamu? Seperti cara para penyamun menyerang korbannya, supaya ia dapat cepat melarikan diri?”  

 Arya Salaka benar-benar terbakar. Ia benar-benar lupa diri. Dengan tidak diduga-duga Arya merenggut lengannya dari pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah berdiri di atas tanah dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya. Pada saat yang bersamaan, berkilat-kilatlah pedang Sawung Sariti yang besar dan panjang dalam genggaman jari-jarinya yang kokoh.

Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Ketika Mahesa Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia sudah terlambat. Kedua anak muda itu telah terlibat dalam suatu perkelahian.

“Arya….” Terdengar Mahesa Jenar memanggil. Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan garangnya ia meloncat langsung menghadapi pedang Sawung Sariti yang berputar-putar seperti baling-baling. Arya Salaka pun dengan lincahnya menggerakkan tombak pusakanya. Sekali-kali melingkar dan sekali-kali mematuk. Cahayanya yang kebiru-biruan memancar berkilau-kilau memantulkan sinar-sinar obor yang samar-samar sampai. Keduanya bertempur dengan kemarahan yang menekan dada masing-masing.

Wulungan dan anak buahnya berdiri saja seperti patung. Mereka memang pernah mengenal cara Sawung Sariti bertempur. Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang cucu dari Ki Ageng Sora Dipayana yang langsung mendapat tuntunan darinya, Sawung Sariti benar-benar tidak mengecewakan. Seperti ayahnya, ia mampu menggerakkan pedang yang sedemikian besarnya, seperti menggerakkan lidi. Karena itu, alangkah berbahayanya pedang itu. Menyambar seperti burung elang, tetapi sekali-kali memagut seperti ular, disertai angin yang berdesis mengerikan. Betapa kuatnya tangan anak muda itu.

Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat lawan Sawung Sariti itu. Dengan tombak pendek di tangan, ia mirip seperti burung rajawali yang bertempur dengan kuku-kukunya yang tajam. Sekali Arya meloncat menjauhi lawannya, tetapi tiba-tiba ujung tombaknya sudah menyambar dada Sawung Sariti, bahkan tombak itu seperti menyerangnya dari segenap arah. Cahaya kebiru-biruan yang dipancarkan dari mata tombak itu tampak melingkar-lingkar membingungkan.

Demikianlah kedua anak muda itu bertempur dengan sengitnya. Masing-masing memiliki ketangkasan, ketangguhan dan keteguhan hati, disertai keahlian mereka menguasai senjata masing-masing. Sehingga senjata-senjata mereka itu seperti dapat bergerak dengan sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata itu seperti terdapat biji-biji mata.

Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada pertempuran itu. Ia menempatkan dirinya di muka regol halaman untuk menanti kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. Sedang Kebo Kanigara untuk sementara masih berada di atas kudanya. Ia masih sempat melihat berkeliling. Melihat para pengawal yang berdiri dengan mulut ternganga. Melihat Wulungan yang tegak seperti patung, namun tangannya telah meraba hulu pedangnya. Di halaman itupun ternyata para pengawal telah siap dengan senjata masing-masing. Apalagi jatuh perintah Sawung Sariti untuk bergerak, mereka akan serentak bergerak. Di pendapa, Kebo Kanigara melihat seorang yang bertubuh besar, berdada bidang dengan kumis yang lebat di atas bibirnya. Ia tidak begitu jelas, apakah tanggapannya terhadap perkelahian yang terjadi itu. Namun segera Kebo Kanigara mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu Sora.

Ia melihat sepintas kepada Wanamerta. Wanamerta pun kemudian meloncat turun. Demikian juga kedua orang anak buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan mereka erat tergenggam masing-masing sebuah obor, dan di dada mereka tersangkut sebuah gendewa.

“Nyalakan obor,” perintah Wanamerta. “Obor akan dapat menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan gendewamu dan anak panah yang mungkin akan kita pergunakan.”

Kedua orang itupun segera mempersiapkan alat-alat mereka. Yang seorang kemudian menyalakan obornya, yang seorang lagi menyiapkan bumbung panahnya, dan menyangkutkan bumbung itu di ikat pinggangnya. Gendewanya telah siap di tangannya pula.

Di halaman itu pertempuran semakin bertambah sengit. Sawung Sariti yang bersenjata pedang, bertempur dengan garangnya. Bahkan kemudian tampaklah pedangnya seperti gulungan sinar putih yang mengerikan menyerang Arya Salaka dari segala arah. Namun di antara sinar putih itu tampaklah cahaya yang kebiru-biruan, sekali-kali melingkar dan sekali-kali meluncur dengan cepatnya seperti anak panah yang lari dari busurnya mengarah ke tubuh lawannya.

Kebo Kanigara pun kemudian turun dari kudanya. Ia mengambil tempat yang cukup baik, menghadap ke arah pendapa. Dengan demikian ia dapat langsung melihat apakah Ki Ageng Lembu Sora akan mengambil sikap. Tetapi untuk sekian lama, orang itu tetap tegak tanpa bergerak. Agaknya ia benar-benar tertarik melihat perkelahian itu. Kalau semula ia yakin bahwa Sawung Sariti memiliki kekuatan dan keteguhan ilmu yang membanggakan, namun dengan kenyataan itu ia melihat bahwa anak yang bernama Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya. Dengan permainan tombak yang manis dan cepat, Arya Salaka sama sekali tidak dapat ditembus oleh serangan Sawung Sariti. Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki kekuatan yang mengagumkan, tiba-tiba ia harus mengakui bahwa kekuatannya setidak-tidaknya tidak melampaui kekuatan Arya.

Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat pedang anaknya membentur tombak Arya, ia mengharap tangan Arya menjadi sakit, dan bahkan ia mengharap tombaknya terlepas dari tangannya. Tetapi ia menyesal. Tidak saja tombak anak muda itu yang terpental, tetapi pedang Sawung Sariti pun ternyata seperti membentur dinding besi. Bahkan Sawung Sariti terpaksa meloncat mundur untuk memperbaiki pegangannya atas pedangnya.

Karena itulah ia terpaksa melihat perkelahian itu dengan menegang nafas.  Perkelahian yang sengit antara dua orang anak muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai oleh kemarahan yang memuncak. Demikianlah maka pada malam yang gelap itu, berkali-kali terdengar dentang senjata beradu dibungai oleh percikan api yang meloncat-loncat dari titik benturan kedua senjata itu. Mereka masing-masing mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan Arya selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang cukup masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada keadaan Sawung Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena itu, maka Ki Ageng Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk menangkap Arya. Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama Wanamerta terpaksa ikut pula bermain-main, meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan main.

Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai keadaan di sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian mengamati Lembu Sora yang berdiri di pendapa. Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan tiba-tiba bertindak, maka adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka. Meskipun ia menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini tiba-tiba telah berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar tidak dapat menyalahkan Arya Salaka.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula ketika mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan perlahan-lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam usapan sinar obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang tegang. Sekali-kali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia menahan nafasnya.

Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang menjadi bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi semakin cepat bergerak dan semakin berbahaya. Agaknya kedua-duanya telah memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan membunuh lawannya atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan demikian keadaan menjadi semakin tegang.

Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah seorang tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri berjajar mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring terdengarlah ia berkata, “Berhentilah. Berhentilah berkelahi.”

Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu. Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar telah kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir tak mereka dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati sambil mengulangi kata-katanya, “Berhentilah Sawung Sariti, berhentilah Arya Salaka.”

Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan masing-masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka, sehingga bagaimanapun juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak mereka. Ketika gerak mereka menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat dan mengangkat kedua tangannya sambil berkata, “Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku.”

Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan Arya Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena kewibawaan orang tua itu, selain berloncatan mundur.

“Bagus,” kata orang tua itu kemudian. “Kalian berdua benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah menunjukkan, betapa darah orangtua kalian mengalir di dalam tubuh kalian. Sawung Sariti bertempur sebagai seekor harimau yang garang, sedang Arya Salaka dapat menjadikan dirinya burung rajawali yang perkasa. Berbahagialah aku. Berbahagialah aku.” Orang tua itu berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia mengangguk kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar kemarahan kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah. Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba orang tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan tiba-tiba pula Arya teringat kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah perang antarsaudara itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki kakeknya serta mohon restu kepadanya. Karena itulah maka tiba-tiba Arya meloncat maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada waktu itu, sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri pada lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang tua itu.

“Eyang…” desisnya. Lalu suaranya terputus oleh sesuatu yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.

 Didalam dadanya banyak sekali kata kata yang melingkar lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.

Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan mata suram. Didalam dadanya tersimpan pula rasa rindu kepada anak itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu Biru. Karena itu, maka mata orang tua itu menjadi redup. Dibelainya kepala Arya Salaka dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya. Kemudian dipegangnya lengan anak itu dan ditariknya berdiri. “Berdirilah Arya,” katanya perlahan.

Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ketanah. ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah kakeknya.

Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil berkata: “Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum kepada Sawung Sariti. Dengan demikian, tidak sia sialah aku memiliki keturunan seperti kalian berdua.”

Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata yang mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba matanya menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke langit seperti ia belum pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng Sora Dipayana  memandang berkeliling halaman.

“Kakang Wanamerta,” gumamnya. Wanamerta mendekati Ki Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-sama memerintah tanah perdikan ini puluhan tahun.

Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta sambil berkata: “Sokurlah kalau kau asuh cucuku ini dengan baik.

Wanamerta menggeleng, “bukan aku,” jawabnya, ”tetapi tuan berdua ini.

Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya: “tuan ternyata luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid dari cabang perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat caranya bertempur dengan tombak pendeknya, segera aku teringat kepada sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun karena sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu.”

Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab: “Sekedar untuk memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya Arya Salaka mempunyai bekal buat masa depannya.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata: “Lembu Sora, kenapa tidakkau persilahkan tamu tamumu untuk naik ke pendapa?.”

Lembu Sora menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu tamunya untuk naik.

Ketika para tamu bersama sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora naik ke pendapa, Sawung Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi segera masuk rumahnya dengan wajah tegang.

Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka merupakan suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua anak yang masih semuda itu, telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang luar biasa.

“Yang seorang adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana selain cucunya. karena itu wajar bahwa anak muda itu menjadi perkasa,” berbisik Wulungan kepada anak buahnya. “Namun yang seorang itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?”

“Mahesa Jenar,” jawab salah seorang anak buahnya.

Aku sudah tahu,” bentak Wulungan, namun perlahan lahan pula, “tetapi maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu? menurut dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun ia tidak lebih dari pada Sora Dwipayana  sendiri. lalu bagaimana mungkin muridnya menyamai murid Sora Dwipayana yang sakti itu?.”

Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka. Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi mereka.

Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan tamunya untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia menemui sahabat lama yang telah lama berpisah darinya. Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa rindu seorang kakek terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu Arya kepada kakeknya.

Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan pernah puas, Sora Dwipayana berkata: “Tubuhmu mekar seperti ilalang di musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu tersirat, betapa keras derita yang kau alami selama ini, namun demikian kau menjadi batu karang yang kokoh kuat, tak hanyut oleh banjir yang bagaimanapun besarnya, tak goyah oleh angin yang bagaimanapun kencangnya.”

Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu kembali mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang terjatuh dan ditanyakan kepadanya; “apakah kau terjatuh, sayang.

Ki Ageng Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan diri serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada ayahnya, untk sesuatu keperluan di belakang.

Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya itu. Karena itu tidak melarangnya.

Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih bebas untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan demikian, ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan didalam hatinya, didalam hati muridnya.

“Ki, Ageng,” berkata Mahesa Jenar kemudian, “aku telah mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya Salaka kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima bhaktinya. Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa depannya, dan bagi rakyatnya. Tetapi aku menyesal bahwa kehadirannya telah ditandai oleh suatu perkelahian yang sama sekali tak dikehendakinya. Namun itu sama sekali bukan salahnya.

Ki Ageng Sora Dwipayana mengangguk-anggukkan kepalanya.   Jawabnya, “Aku tahu Angger. Memang Arya Salaka tidak dapat dipersalahkan kalau ia terpaksa turun dari kudanya dan langsung terlibat dalam perkelahian itu. Sebagai anak muda yang pernah aku alami pula, darahnya tak sedingin darah orang tua-tua ini.”

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, sahutnya, “Jadi Ki Ageng melihat sejak awal kejadian itu?”

“Ya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Aku melihat sejak semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku membiarkan mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah keinginanku untuk mengetahui, sampai di mana kemampuan Arya Salaka. Sudah sekian lama anak itu meninggalkan aku. Dan sekarang ia dihadapankan pada suatu tugas yang berat, yang mungkin harus dihadapi dengan tenaganya.”

“Sekarang Ki Ageng telah melihatnya,” kata Mahesa Jenar.

“Aku telah melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang aku lihat.” Ki Ageng Dipayana meneruskan, “Seperti pernah aku katakan kepada Angger beberapa saat yang lalu, bahwa aku harus menjadikan Lembu Sora dan Sawung Sariti benteng pertahanan terakhir atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku tak mempunyai pilihan lain. Sebab orang-orang dari golongan hitam selalu mengarahkan matanya ke daerah kami yang sangat kami cintai ini. Dengan sekuat tenaga aku telah berhasil memisahkannya dari antara mereka, dari pergaulan yang menyedihkan. Aku asah mereka pagi dan sore, siang dan malam. Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun secara batin belum memenuhi tuntutan hatiku.

Sayang bahwa selama itu, aku tidak sempat menemukan Arya Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk mencari cucuku itu. Namun aku tak berhasil menemukan. Sedang daerah ini tak dapat aku tinggalkan terlalu lama. Karena itu akupun segera kembali sebelum berhasil. Mangsa kasanga tahun yang lewat, aku pernah menyusur pantai utara. Aku pernah menemukan jejaknya, tetapi kemudian lenyap kembali.”

“Mangsa kasanga tahun lampau?” Mahesa Jenar mengulangi kata-kata itu di dalam hatinya seperti juga Kebo Kanigara dan Arya Salaka sendiri. Masa itu adalah masa pembajaan yang mahaberat. Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang Tumaritis, di bawah sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di Padepokan Panembahan Ismaya.

Aku terlalu tergesa-gesa...” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan, “Karena aku tidak sampai hati meninggalkan Banyubiru seperti kataku tadi. Apalagi pada saat-saat terakhir, sekejappun aku tak berani. Namun suatu keyakinan telah tertanam di dalam hatiku bahwa cucuku Arya Salaka masih selamat.”

Orang itu berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu sambungnya, “Tetapi aku belum tahu, apakah yang telah didapat anak itu selama perjalanannya di bawah asuhan Angger Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan sesuatu yang sama sekali membuat hatiku mongkok. Arya Salaka telah menjadi anak muda yang luar biasa.”

Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia berbangga bukan karena ia merasa dirinya perkasa, tetapi ia berbangga karena eyangnya merasa bangga kepadanya.

Dalam pada itu terdengar Mahesa Jenar berkata, “Semuanya adalah karena pangestu Ki Ageng serta karena darah yang mengalir di dalam tubuh anak itu. Apa yang aku lakukan hanyalah sekadar memberinya petunjuk-petunjuk.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk sambil tersenyum. Namun di dalam hatinya tersiratlah perasaan kagum dan heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat di luar dugaannya pula. Kalau ia dapat menjadikan Arya Salaka sedemikian mengagumkan, bagaimanakah dengan Mahesa Jenar itu sendiri? Pada saat ia berpisah dengan Mahesa Jenar itu, beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar baru berada dalam tingkatan yang sejajar dengan Gajah Sora. Apakah yang sudah dicapainya selama ini? Sedang gurunya sudah lama tidak dapat memberinya tuntunan, sejak Ki Ageng Pengging Sepuh itu meninggal dunia.

“Ki Ageng…” Ki Ageng Sora Dipayana mengangkat mukanya mendengar Mahesa Jenar berkata. “Barangkali Ki Ageng telah mengetahui maksud kedatangan kami.Karena itu kami serahkan persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki Ageng. Bukankah maksud kami telah kami kemukakan pada hari kedatangan kami yang pertama?”

“Ya,” jawab Ki Ageng. “Aku sudah mengetahuinya. Dan aku menjadi berdebar-debar karenanya.”

“Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menemukan kebijaksanaan,” sahut Mahesa Jenar. “Bagi kami, pertumpahan darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin.”

“Aku sependapat,” jawab Ki Ageng pula. “Namun apakah yang dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah mencoba perlahan-lahan untuk mengubah pendirian Lembu Sora.”

“Adakah Ki Ageng berhasil?” tanya Mahesa Jenar.

“Belum. Ia masih tetap pada pendiriannya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Aku belum berani memaksanya. Sebab ia akan dapat terjerumus ke dalam lingkaran hitam, atau usaha yang lain. Meskipun aku tahu, bahwa pertentangan antara Lembu Sora dengan golongan hitam itupun tak akan dapat dihindari pula.”

“Aku kira kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar. “Bukankah golongan hitam telah mulai bertindak sendiri? Bahkan mereka telah mencoba untuk memaksa Lembu Sora menyerahkan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang mereka duga berada di Banyubiru atau Pamingit?”

“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Tetapi Angger belum mendengar perkembangan yang terakhir. Sejak Lembu Sora terpaksa berdiri, ia telah membuat hubungan baru dengan para bangsawan yang tidak puas atas pemerintahan Demak. Bukankah di Demak ada golongan yang merasa dirinya disingkirkan oleh Sultan?”

“Sekar Seda Lepen?” tanya Mahesa Jenar terkejut.

“Ya. Dengan para emban dari Arya Penangsang,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

“Sudah seberapa jauhnya hubungan mereka?” tanya Mahesa Jenar pula dengan cemas.

Ki Ageng Sora Dipayana diam sejenak. Tampaklah alisnya berkerut. “Untunglah…”jawabnya, “Belum terlalu jauh. Karena itu aku tidak akan mendesaknya lebih dalam lagi.”

Mahesa Jenar pun menjadi tertegun diam. Persoalan ini menjadi bertambah rumit. Memang dengan tersisihkannya Arya Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah persoalan yang mungkin akan meledak pada suatu saat. Tetapi Mahesa Jenar yakin, selama Sultan Trenggana masih memegang pimpinan pemerintahan, perpecahan itu akan dapat dibatasi. Tetapi bagaimanakah kemudian…?

Namun, yang dihadapi Mahesa Jenar sekarang adalah persoalan Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah berbaris dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka. Mereka menunggu sampai tengah malam atau sampai mereka melihat tanda panah api naik ke udara. Sehingga dengan demikian waktu mereka tidak terlalu banyak.

“Ki Ageng…” kata Mahesa Jenar, “Laskar Arya Salaka telah siap di perbatasan. Mereka menunggu keputusan sebelum tengah malam.”

Sekali lagi wajah Ki Ageng Sora Dipayana berkerut-kerut. Tampaklah betapa suram hati orang tua itu. Pada saat yang sempit, ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.

“Berilah aku waktu sampai besok,” jawabnya.

“Sayang, Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar, “Kalau tengah malam ini Arya tidak datang kembali, mereka akan bergerak.”

Orang tua itu menarik nafas panjang. Tetapi ia belum menjawab. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka, kemudian menjadi iba melihat orang tua itu menghadapi persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi apakah yang dapat dilakukannya?

“Angger…” Tiba-tiba orang tua itu berkata, “Marilah kita usahakan agar setidak-tidaknya pertempuran tidak berkobar besok pagi.”

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Baginya sendiri, usaha ini adalah usaha yang paling baik. Bahkan kalau mungkin untuk seterusnya. Tetapi bagaimana?

Persoalannya akan menjadi sederhana kalau Lembu Sora dapat menarik diri dan menyerahkan tanah ini.” Orang tua itu meneruskan, “Dan aku akan mengusahakannya. Tetapi tidak sekarang, dimana ia baru saja dibakar oleh kemarahan melihat anaknya tak dapat menguasai lawannya.” Ia berhenti sejenak. “Berilah aku waktu. Biarlah satu atau dua orang pengikutmu itu kembali ke pasukanmu.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya, “Biarlah ia membawa perintah darimu supaya laskarmu menunggumu sampai besok.”

“Apakah ia dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya, yang agaknya ingin memenuhi permintaan kakeknya.

Mahesa Jenar menjadi agak berlega hati mendengar pertanyaan itu. Mudah-mudahan Arya sempat menahan dirinya, sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang memerintahkan, ia mengharap laskarnya akan mentaatinya.

Ia akan diantar oleh orang-orang pamanmu,” jawab Sora Dipayana.

Arya Salaka memandang wajah Mahesa Jenar minta pertimbangan. Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Tidakkah laskar Lembu Sora akan mendahului besok pagi?”

“Aku akan mencoba untuk mencegahnya. Setidak-tidaknya menunda sampai lusa,”jawab orang tua itu.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, kau dapat memerintahkan dua orangmu kembali. Eyangmu akan menyelamatkan perjalanannya.”

“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya Salaka.

Mahesa Jenar menarik nafas. Timbullah kembali harapannya untuk menyelesaikan setiap persoalan tanpa pertumpahan darah. Maka iapun kemudian berkata, “Kalau kau sependapat Arya, kau dapat minta sehelai rotan, tulislah perintah itu.”

Arya melaksanakan nasehat gurunya. Dari kakeknya ia mendapat sehelai rontal, yang kemudian ditulisnya perintahnya, singkat namun jelas. “Tunggu aku kembali, jangan bergerak sendiri-sendiri sebelum ada perintahku. Aku akan berada di antara kalian sebelum tengah hari besok. Teruskan perintah ini ke sayap pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok.”

Sebelum Arya memerintahkan dua orangnya yang semula membawa obor untuk kembali ke induk pasukan, Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di antara mereka. Dengan nada seorang ayah ia berkata, “Lembu Sora. Aku minta orangmu untuk mengantarkan orang Arya Salaka kembali ke pasukannya dengan membawa pesan dari kemenakanmu itu.”

Lembu Sora memandangi ayahnya dengan tegang. “Apakah pesan itu?”terdengarlah ia bertanya.

Ki Agng Sora Dipayana tidak menjawab. Ia minta Arya menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu Sora dengan dahi yang berkerut. Mula-mula ia ingin menolak permintaan ayahnya itu, namun tiba-tiba mendapat pikiran lain.

“Apakah maksud penundaan itu?” Ia mencoba menegaskan.

“Aku minta kepadanya,” jawab ayahnya. “Sebab ada yang ingin aku bicarakan dengan kau dan cucu Arya Salaka.”

“Tak ada yang dapat dibicarakan,” potong Lembu Sora.

Ada,” sahut ayahnya singkat.

“Tidak ada persoalan,” ulang Lembu Sora.

“Ada!” kembali ayahnya menyahut.

Lembu Sora berdiam. Ia mengumpat di dalam hati. Adakah ayahnya akan memaksakan pendapatnya kepadanya? Ia tidak akan pedulikan itu. Ia mempunyai pasukan yang cukup banyak. Meskipun seandainya di dalam laskar Arya Salaka terdapat orang-orang yang sakti, namun jumlah laskar dalam setiap pertempuran akan turut serta mengambil peranan. Dalam penilaiannya, di dalam laskar Arya Salaka, tidak ada seorang pun yang harus disegani.  Mahesa Jenar, Wanamerta dan orang yang datang bersama Mahesa Jenar itu, adalah orang yang sama sekali tidak menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang yang pernah mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia melindungi Bantaran. Namun, Lembu Sora tidak cemas menghadapinya.

Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak berkenan di hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah memperkuat pasukannya, memperbesar jumlah orang-orangnya. Karena itu, waktu yang sehari, yang diperlukan oleh ayahnya itu akan menguntungkannya pula. Malam nanti ia dapat memerintahkan orangnya kembali ke Pamingit. Ia harus kembali dengan segenap laskar cadangan dan laskar remaja. Dengan demikian ia mengharap bahwa ia akan berhasil memusnahkan Arya Salaka. Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia berkata, “Terserahlah kepada ayah. Kalau ayah memandang perlu untuk membiarkan laskar yang berkeliaran di perbatasan itu memperpanjang umurnya dengan sehari lagi.”

Arya Salaka tersinggung benar mendengar kata-kata pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab, terasa Mahesa Jenar menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah katapun yang terucapkan. Mahesa Jenar pun sama sekali tak memberi tanggapan apa-apa atas kata-kata Lembu Sora itu.

“Nah,” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Berilah aku dua orang itu.

Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman. Ketika dilihatnya Wulungan, ia berteriak memanggil.

Wulungan pun kemudian berjalan mendekatinya, dan berdiri di bawah tangga pendapa. “Ada perintah Ki Ageng?” ia bertanya

“Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini kembali ke induk pasukannya,”perintah Lembu Sora.

Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya, “Dua orang sampai perbatasan, lewat penjagaan terakhir.”

Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu, apakah yang terjadi. Yang dapat dilakukan adalah memanggil dua orang dari laskarnya untuk mengantar dua orang laskar Arya Salaka, melampaui penjagaan terdepan, supaya mereka berdua tidak mendapat gangguan apapun.

———-oOo———-

II

Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk mengabarkan kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora Dipayana berkata dengan tertawa, “Jangan kita berbicara mengenai persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta karena aku telah menemukan kembali cucuku yang hilang.” Kepada Lembu Sora ia berkata, “Lembu Sora, marilah kita lupakan sejenak. Untuk malam ini saja pertentangan-pertentangan yang ada di dalam dada kita. Kalau aku besok atau lusa, harus menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku akan meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku. Aku akan mengenang peristiwa malam ini. Makan bersama-sama dengan anak-cucuku, serta tamu-tamuku yang baik hati.”

Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu. Dengan hati berat, ia terpaksa menyelenggarakan juga makan bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, bersama-sama dengan tamu-tamu yang sama sekali tak dikehendaki kehadirannya, dengan Arya Salaka, Sawung Sariti dan Wanamerta. Lembu Sora terpaksa mempersilakan mereka masuk ke Pringgitan, dimana telah disediakan makanan serta segala lauk pauknya di atas tikar pandan yang bersih.

Tetapi demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu, demikian terasa jantungnya berdenyut. Di situlah ia beberapa tahun yang lalu bermain-main. Di atas tlundak itu pula kadang-kadang ia duduk. Dan di situ pula ia selalu melihat ayah bundanya duduk bersama-sama, kalau malam turun, sehabis makan sore. Tiba-tiba saja ia teringat pada ibunya. Kenapa baru sekarang? Agaknya semula hatinya terampas oleh kemarahannya kepada Sawung Sariti, sehingga ia tidak ingat lagi kepada kepentingan-kepentingan lain.

Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar. Matanya berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti, barangkali dari sanalah ibunya akan keluar untuk menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk di atas tikar pandan menghadapi hidangan makan, ibunya belum juga nampak. Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya. Namun akhirnya keluar juga pertanyaan kepada kakeknya, “Eyang, adakah Eyang memperkenankan aku untuk menemui ibuku?”

Ki Ageng Sora Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku diam dengan wajah yang berkerut. Melihat perubahan wajah itu, Arya Salaka terkejut pula. Karena itu ia mendesak, “Eyang, apakah Ibu selamat?

Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya, ya, Arya, Ibumu selamat.

Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya kembali, “Tetapi kenapa Ibu tidak datang menemui aku sekarang. Atau akulah yang harus menghadap?”

Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Lembu Sora, jawablah pertanyaan kemenakanmu itu.”

Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya. Maka ketika Lembu Sora tidak segera menjawab, Arya mendesak lagi, “Di mana Ibu, Paman?

Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia berkata, meskipun sama sekali tidak memandang wajah Arya Salaka. “Ayah. Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa mBakyu Gajah Sora perlu mendapat perlindungan dan ketenteraman sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai Lembu Sora akan dapat menemaninya, serta sekadar memberinya ketenteraman dan ketenangan.”

Sekali lagi Arya merasa tersinggung. Agaknya pamannya benar-benar tidak mau mengakui kehadirannya. Meskipun demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih selamat, meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun dengan demikian, ia masih mempunyai harapan bahwa pada suatu saat ia akan dapat membawanya kembali ke Banyubiru. Arya menarik nafas dalam. Kepada eyangnya ia berkata: “Eyang, betapa rindukupada bunda. Namun kali ini kerinduanku terpakisa masih aku simpan didalam dada. Mudah-mudahan aku akan segera dapat menemuinya.

“Mudah-mudahan Arya,” jawab eyangnya singkat. Yang kemudian disambungnya dengan cepat,” tapi jangan lupakan permintaanku. Marilah kita makan bersama. Lupakanlah segala persoalan, supaya aku tidak menyesal kelak.”

Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng Soradipayana mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa baik sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah darurat. Dimana setiap saat peperangan dapat berkobar. Meskipun demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya seolah olah benar-benar untuk yang terakhir kalinya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamertapun berusaha untuk makan sebaik-baiknya, meskipun sore tadi mereka telah makan kenyang-kenyang. Hanya Arya Salaka yang agaknya tidak dapat menekan perasaannya, sehingga setiap kali ia menelan, setiap kali ia merasakan detak jantungnya semakin cepat.

“Betapa enaknya makanan yang kau sajikan Lembu Sora,” ayahnya memuji.

Lembu Sora sama sekali tidak menaruh minat pada pujian itu. Sore tadi ayahnya juga sudah makan. Makanan yang sama. Tetapi sore tadi ayahnya sama sekali tidak memujinya.

Suatu peristiwa yang jarang-jarang terjadi,” orang tua itu meneruskan. “Makan bersama anak cucu. Alangkah nikmatnya. Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku alami tidak hanya sekali. Aku mengharap untuk dapat makan bersama dengan kedua anakku, kedua menantuku dan kedua cucuku.”

Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Maka orang tua itu meneruskan, “memang agak berbedalah hidup diantara dinding rumah yang sempit, dengan hidup di udara luas. Tetapi aku kira ada juga perasaan yang serupa dengan perasaanku ini. Apalagi perasaan orang orang tua. Merekapun, aku kira, ingin selalu dapat menikmati hidup mereka yang tinggal beberapa tahun lagi. Mereka ingin selalu dekat dengan anak-anak mereka, menantu menantu mereka dan cucu cucu mereka. Mereka akan mengutuk setiap usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan bersedih hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai. Apalagi kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak cucunya bertengkar satu sama lain. Sebab dalam pertengkaran itu, orang orang tualah yang pasti akan kehilangan. Siapapun yang kalah dan siapapun yang menang.”

Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa betapa keras dan kering, sehingga ketika ia menelannya, segera ia menyusulnya dengan minum hampir semangkuk penuh. Meskipun demikian ia tak berkata sepatah katapun.

Tetapi, tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa disusul dengan kata katanya:”Alangkah pendeknya hidup bagi orang tua. Beberapa tahun lagi mereka harus meninggalkan dunia ini. Tetapi bagi naka muda, hidup ini akan dihadapinya dengan penuh gairah.”

Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan sikap yang angkuh ia meneruskan: “bagi orang orang tua, sisa hidup mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi dengan demikian seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan, bahwa anak anak muda harus berusaha untuk mencapai suatu masa yang cemerlang. Cemerlang baginya, sebagaimana yang dicita-citakan.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil mengangguk angguk, ia menyahut: “Sawung Sariti benar, seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita mereka. Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh kehangatan jiwa menghadapi alam. Namun seharusnya dengan suatu tanggung jawab yang masak pula. Kepada diri sendiri, kepada angkatannya dan kepada cita-cita sendiri. Namun lebih daripada itu, pertanggungan jawab tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah maka pencapaian cita-cita betapapun indahnya, harus dilakukan di jalan Allah. Di jalan yang telah dibatasi oleh hukum hukumnya.”

Kembali ruang itu direnggut oleh kesepian. Tak seorang pun yang berkata-kata lagi. Yang terdengar adalah mulut-mulut mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh tangan-tangan mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapat merasakan lagi, betapa asinnya garam, dan betapa manisnya gula.

Sawung Sariti tidak senang mendengar kata-kata kakeknya meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya telah melakukan beberapa kesalahan, meninggalkan kejujuran dan kebenaran. Namun ia tidak menyesal bahwa ayahnya telah melakukannya. Meskipun Sawung Sariti merasakan pula kemutlakan untuk memusnahkan golongan hitam, namun tanpa disengajanya, ia telah melakukan hal-hal yang serupa, sebagaimana pernah dilakukan oleh golongan hitam.

Ki Ageng Sora Dipayana pun tidak berkata-kata lagi. Ia merasa bahwa keadaan belum memungkinkan untuk menyalurkan pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa kemungkinan masih ada. Tetapi yang tidak dapat dibacanya adalah ukiran di dinding hati anak serta cucunya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Siapa yang menentang arus harus disingkirkan.

Karena itu, setelah mereka selesai, Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Tamu-tamuku yang terhormat, beristirahatlah kalian di sini. Beristirahatlah dengan tenang. Sebab tak akan terjadi apapun malam ini dan besok pagi. Bukankah begitu Lembu Sora?”

Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan sengaja.

Bagus…” kata orang tua itu pula. “Sebelum kau lupa Lembu Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan bergerak sampai besok.”

Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk pula.

“Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

“Di sana,” jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok wetan dengan dagunya.

Sikap itu memang sama sekali tidak menyenangkan, namun Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka sama sekali tidak memberikan kesan apapun atas kekecewaan itu, sebagai tanda terima kasih mereka kepada Ki Ageng Sora Dipayana atas usahanya, memecahkan persoalan antara kedua cabang aliran darahnya.

Silahkan Angger.” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan. “Aku mengharap Angger berdua dan cucu Arya Salaka beserta Wanamerta besok pagi untuk mengadakan pesta kembali. Pesta sederhana, namun berkesan di hati orang-orang tua seperti aku.”

Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia berjalan mendahului, ke gandok wetan. Tamu-tamunya segera mengikuti pula tanpa berkata sepatah katapun.

Di gandok wetan, beberapa orang Lembu Sora datang mengantarkan tikar pandan rangkap, yang kemudian dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta rombongannya akan beristirahat.

“Silahkan Angger.” Ki Ageng mempersilahkan kembali. “Sedemikian adanya. Besok aku akan mengajak Lembu Sora bertemu dengan kalian. Apapun yang akan kita putuskan bersama. Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui, kemampuanku sangat terbatas. Aku menyesal bahwa Lembu Sora dan anaknya tak dapat aku kuasai lagi dengan baik.”

Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar, “Apalagi darah.

Mudah-mudahan.” Orang tua itu bergumam. Kemudian setelah mempersilahkan tamunya beristirahat sekali lagi, Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok wetan.

Tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka akan mempergunakan waktu istirahat itu sebaik-baiknya. Mereka percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan terjadi sesuatu malam ini sampai besok.

Malam itu Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada laskarnya di garis pertama untuk menunda gerakan mereka. Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik, namun yang dipersiapkan adalah memperbanyak jumlah laskarnya.

Sejalan dengan itu, dua orang telah diperintahkannya pula untuk pergi ke Pamingit. Besok menjelang malam, laskar cadangan dan laskar remaja harus sudah masuk kota Banyubiru, langsung menempatkan diri di garis pertahanan. Sebab menilik persiapan laskar Arya Salaka, mereka akan memasuki kota dalam tiga gelar, lewat sebelah timur, barat, dan induk pasukan akan menusuk dari utara. Karena itu, Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam kesiagaan tiga gelar penuh. Bahkan Lembu Sora menyiapkan kelompok-kelompok kecil yang harus mengacaukan gelar sayap-sayap pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini akan merupakan pasukan penentu. Sebab menurut perhitungan Lembu Sora semula, laskar Arya Salaka adalah laskar yang sama sekali tak teratur, dan tak memiliki daya tempur yang baik. Menurut penilaiannya, laskar itu semula hanyalah laskar yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi. Apakah yang dapat diberikan oleh kedua orang itu kepada laskarnya, sehingga ia tidak perlu mengerahkan segenap kekuatannya? Tetapi kemudian Lembu Sora berpikir lain. Daripada ia harus mengulangi untuk kedua atau ketiga kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya Salaka itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta dan kedua orang yang menyertainya itu.

Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar Arya Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan pula, Ki Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala bertenaga raksasa dari Karang Pandan di kaki gunung Kelut. Wirasaba, Bantaran dan Panjawi itu jauh sebelum mereka bertemu kadang-kadang disebut Seruling Gading. Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan Arya Salaka, orang-orang seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu sebenarnya merupakan laskar yang telah ditempa lahir dan batin.

Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah yang mempunyai perhitungan yang mendekati kebenaran. Karena itulah maka ia sudah dapat membayangkan bahwa apabila terjadi peperangan antara kedua cabang aliran darahnya itu, maka akan habislah nama yang pernah dipupuknya selama ini, perguruan Pangrantunan. Hancur seperti gunung berapi yang kokoh kuat, namun pecah karena kekuatan yang terkandung di dalam perutnya sendiri.

Ketika matahari kemudian menjenguk dari balik bukit, Mahesa Jenar dan Arya Salaka beserta Kebo Kanigara dan Wanamerta segera membersihkan dirinya di sendang kecil di sebalahnya. Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi hiruk pikuk di halaman.

Karena itulah maka sebelum mereka sempat berpakaian dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat dinding gandok, untuk dapat mendengar apakah yang telah menyebabkan keributan itu.

Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora keras: “adakah kau sudah sampai di Pamingit?”

“Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi Sardu ini,” jawab seseorang yang berdiri dihalaman dengan memegangi kendali kudanya.

Sardu,” teriak Ki Ageng Lembu Sora.

“Ya Ki Ageng,” jawab yang disebut Sardu dengan cemas. Ia melangkah maju. Tangannya juga memegang kendali kudanya.

Benarkah laporan itu?,”

“Benar, Ki Ageng”

Dari celah celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka dapat melihat bahwa wajah Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya berdiri Sawung Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng Soradipanaya dengan wajah suram.

Aku sudah menduga,” teriak Ki Ageng Lembu Sora, kemudian kepada ayahnya ia berkata: “ bukankah apa yang aku katakan itu benar benar terjadi?”

“Apa yang pernah kau katakan kepadaku?” bertanya Ki Ageng Sora Dipayana.

Bukankah ini permainan kotor?,” sahut Lembu Sora. “Aku tak akan dapat dikelabuhi lagi. Persekutuan yang memuakkan dari orang gila.”

Ki Ageng Sora Dipayana menggangguk angguk. Agaknya ia dapat menebak perasaan yang berkobar di dalam dada anaknya. Karena itu ia berkata: “Jangan tergesa-gesa Lembu Sora. Aku mempunyai sangkaan lain,” ayahnya menyoba untuk menyabarkannya.

Tak akan salah lagi,” bantah Lembu Sora.

”Jangan tergesa-gesa Lembu Sora” ayahnya mencoba untuk menyabarkannya.

“Wulungan!!!,” tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak keras.

Dari regol halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang yang tergantung dilambungnya berjuntai-juntai hampir menyentuh tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk menahan pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya.

“Panggil mereka, siapkan laskarmu di halaman ini,” teriak Lembu Sora.

Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan. Ketika kemudian Wulungan memandang kearah gandok wetan, berdebarlah hati Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya Salaka.

Apakah yang sudah terjadi?,” pikir mereka. Tetapi melihat Wulungan itu benar benar melangkah ke arah pintu gandok itu.

Ada sesuatu yang tidak beres,” bisik Kebo Kanigara. Mahesa mengangguk. Bersamaan dengan itu Arya segera menyambar tongkatnya yang tersandar didinding.“Apakah yang akan mereka lakukan?,” bisiknya.

“Entahlah,” jawab gurunya.

Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya kami tidak bisa memberikan tanda anak panah api?” tanya Arya.

“Tapi panah Sendaren masih ada,” kata Mahesa, “bukankah demikian paman Wanamerta?”

“Ya,” jawab Wanamerta, “panah itu masih ada padaku”.

Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan sudah berdiri dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia berkata: “Angger Arya, ada pesan dari pamannda untuk anda.”

Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar pintu. “Adakah sesuatu yag penting sekali paman?”

“Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab Wulungan “Baiklah kami segera akan datang,” jawab Arya

Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya kemudian masuk kembali, terdengar orang itu berkata dari luar pintu: “marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-gesa.”

Arya segera keluar kembali dengan tombak di tangannya. Dibelakangnya berjalan Wanamerta. Dipinggangnya tersangkut bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren tetapi juga panah berujung tajam. Sedang ditangan kanannya tergenggam busur yang besar, dengan bola besi sebesar salak dikedua ujungnya. Busur itu dalam keadaan terpaksa akan dapat dipergunakan sebagai senjata pemukul yang berbahaya. Ketika kedua orang pembantunya diperintahkan untuk mendahului membawa perintah Arya, busur itu dimintanya.

Dibelakang mereka berjajar dua orang yang masing-masing menyimpan di dalam dirinya ilmu perguruan Pengging, Mahesa dan Kanigara.

Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah mudahan orang yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah sendaren tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga dengan demikian mereka akan dapat melangsungkan setiap berita yang disampaikan apabila terjadi sesuatu.

Ketika Arya sampai di ujung tangga, dan ketika ia hampir naik ke atas tangga itu, Lembu Sora membentak; “Aku tidak mengharap kau naik!”

Arya terkejut, perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin tahu persoalan apa yang membuat pamannya bersikap demikian. Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma suatu cara memancingnya kedalam suatu pertengkaran. Karena itu iapun berhenti pula.

Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala nyala. Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak; “Aku kira kau benar-benar lelaki seperti yang aku duga. Sekarang katakan kepadaku apa yang sedang kau lakukan sekarang?”

Arya menjadi bingung, ia menjawab; “aku tidak tahu maksud paman.”

Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke lantai; “kau berhasil menarik sebagian laskarku ke Banyu Biru. Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk memukul Pamingit.”

 Kata-Kata pamannya itu bagi Arya seperti suara petir yang meledak di ubun- ubunnya. Bahkan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta sampai bergeser maju selangkah.

Apa yang Paman katakan?” Arya ingin penjelasan.

Sudah kau dengar,” jawab Lembu Sora.

“Bohong,” bantah Arya. Hatinya telah benar-benar panas. Apalagi dengan tuduhan pamannya yang sangat menyakitkan hati itu.

“Tak ada yang akan memaksa kau mengakui perbuatan curang itu. Namun kau tidak akan dapat mengingkari, bahwa laskar di perbatasan yang sama sekali tak berarti itu ternyata hanya suatu cara untuk memancing laskar Pamingit,” sahut Lembu Sora keras.

“Tidak benar.” Arya menjadi gemetar, karena marahnya. Tetapi dengan demikian kata-katanya seperti tertahan di kerongkongan.

“Katakan kepadaku,” sambung Lembu Sora, “Apa sebabnya kalian tidak segera menyerang sejak kemarin, sejak kemarin dulu atau sejak seminggu yang lalu? Apa hubungan kalian dengan kedatangan orang-orang dari Nusakambangan beberapa minggu lampau, kemudian menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar itu kemari? Apa…? Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa kalian benar-benar telah bekerja bersama dengan mereka. Kalau tidak, mereka tidak akan secara kebetulan menduduki Pamingit menjelang ayam berkokok untuk yang kedua kalinya pagi tadi.”

Bohong!” sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di kerongkongannya. Mahesa Jenar tahu hal itu, sebagaimana yang pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai berbantah. Karena itu dengan tenang ia melangkah maju untuk mewakili muridnya berkata, “Ki Ageng Lembu Sora, jangan menuduh kami seperti menuduh pencuri. Kami bukan sebangsa pengecut yang tidak percaya pada diri sendiri, sehingga kami telah kehilangan harga diri, bekerja bersama dengan golongan hitam. Golongan yang akan terkutuk sampai seribu keturunan.

Lembu Sora tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk melepaskan kemarahan yang hampir tak tertahan lagi. Kemudian dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata keras-keras, “Berkatalah kepadanya. Berkatalah bahwa kalian telah mencoba mencuci tangan. Namun orang itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang-orang golongan hitam menduduki Pamingit. Membakari rumah-rumah dan segala isinya. Orang itu mendengar dengan telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa orang-orang golongan hitam itu berteriak-teriak. Tak ada gunanya kalian mengirim orang ke Banyubiru. Banyubiru telah dihancurkan oleh Arya Salaka dan Mahesa Jenar. Apa katamu?”

Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda yang berlari dengan meninggalkan debu yang putih dan menghilang di cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya sedang berjalan ke perbatasan. Karena itulah maka ia berkata di dalam hatinya, “Gila. Orang-orang golongan hitam itu benar-benar mempergunakan kesempatan ini.” Namun kepada Lembu Sora ia menjawab, “Kau terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau orang-orang golongan hitam itu mempergunakan setiap kesempatan di dalam kekeruhan, adalah mungkin sekali. Karena itulah maka aku selalu menganjurkan kepada Arya Salaka, untuk menempuh jalan yang tidak memungkinkan golongan hitam itu mengambil kesempatan. Tetapi kau telah memaksa untuk memagari kota ini dengan pasukannya.”

“Kau sama sekali tidak bermaksud menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik. Kau hanya ingin menjajagi keteguhan tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika kau merasa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau meleburkan dirimu ke dalam tubuh golongan hitam itu.”

Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia masih mencoba menahannya. Katanya, “Kami adalah orang-orang yang menempatkan diri kami di dalam lingkungan yang menganggap bahwa golongan hitam harus dimusnahkan.”

Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk melepaskan kemarahannya yang semakin memuncak. Sama sekali bukan tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak seperti guruh, “Mahesa Jenar. Sejak semula aku sudah curiga kepadamu. Kepada Kakang Gajah Sora aku sudah pernah memperingatkan bahwa orang Pandanaran ini, kenapa demikian mengikat diri di Banyubiru. Sejak lenyapnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah seorang dari mereka. Salah seorang dari golongan hitam.”

Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak mendengar tuduhan itu. Ia benar-benar marah. Karena itulah maka ia melangkah selangkah maju.

Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana pun menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa Jenar telah berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke arah wajah Ki Ageng Lembu Sora, “Ki Ageng Lembu Sora. Kau jangan mengada-ada. Siapakah yang pernah berhubungan dengan golongan hitam untuk meniadakan Kakang Gajah Sora. Siapakah yang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan Sima Rodra Muda atas tanah Pangrantunan? Dan siapakah yang telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat pasukan dari Demak, pada saat Gajah Sora sedang berusaha untuk memecahkan perselisihan yang ada antara Banyubiru dengan Demak? Siapakah yang dengan senang hati menghadiri pertemuan golongan hitam di lembah Rawa Pening? Siapa? Mahesa Jenar kah itu…?”

Diam…!” bentak Lembu Sora.

Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus, sambungnya, “Kau takut melihat kenyataan itu.”

“Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,” teriak Lembu Sora, “Dengan ocehanmu itu kau ingin mengaburkan kenyataan yang kau hadapi kini.”  

 “Huh,” Mahesa Jenar menyahut, “Katakan kepadaku Lembu Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra Muda? Siapa pula yang telah membunuh jandanya, yang telah kehilangan sifat manusianya? Kau tidak pernah melihat cara mereka bergembira. Sayang. Barangkali kau akan tertarik pula pada upacara-upacara yang mereka adakan. Dan siapakah yang telah membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening? Bukan kau? Bukan Ki Ageng Lembu Sora yang sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa Banyubiru?”

Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar yang mengalir seperti banjir itu. Ia memang pernah mendengar kabar, bahwa Sima Rodra suami-istri dan sepasang Uling Rawa Pening telah terbunuh. Namun kabar itu sangat dirahasiakan oleh golongan hitam. Apalagi kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar maupun di Rawa Pening seolah-olah sama sekali belum padam. Sehingga ia menjadi ragu atas kebenaran berita itu. Dalam keragu-raguan ia mendengar Mahesa Jenar meneruskan, “Ketahuilah Lembu Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima Rodra Muda. Sedang jandanya telah mati terbunuh oleh anak tirinya. Kalau kau ingin tahu siapakah yang membunuh Uling Putih dan Uling Kuning? Nah, lihatlah anak yang berdiri di hadapanmu itu. Kemenakanmu sendiri.”

Yang mendengar kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu Sora, Sawung Sariti, juga Sora Dipayana. Apakah benar Arya Salaka telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa Pening? Tetapi mereka tidak bertanya.

Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, “Arya Salaka lah yang pada masa orang-orang golongan hitam mabuk mencari keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan kemudian keinginan mereka menelan Pamingit dan Banyubiru, selalu dikejar-kejar sehingga sangat membahayakan jiwanya, dan yang kemudian tampil ke depan melawan mereka. Itukah yang kau tuduh sekarang ini tertelan oleh golongan itu?”

Lembu Sora menjadi pening mendengar suara Mahesa Jenar seperti hujan tercurah dari langit. Karena itu kemudian ia berteriak keras-keras, “Cukup. Cukup…! Kebohongan yang teratur memang kadang-kadang menimbulkan kesan, seolah-olah peristiwa-peristiwa itu benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak akan dapat kau kelabuhi. Aku tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat semua yang telah terjadi, dan aku mendengarnya pula. Sekarang aku tidak akan banyak bicara. Kesempatan yang baik bagiku untuk menumpas kalian di sini sekarang juga. Baru aku akan tenang kembali ke Pamingit untuk memusnahkan orang-orang dari golongan hitam itu.”

Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak perlu memberi keyakinan kepada Lembu Sora bahwa ia sama sekali tidak mengadakan hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia tidak perlu mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur mati-matian melawan Pasingsingan. Sebab apapun yang dikatakan, tidak akan mempengaruhi maksud Lembu Sora untuk memusnahkan mereka. Karena itu yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

———-oOo———-

III

Dalam pada itu tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana melangkah maju. Agaknya ia dapat mengambil kesimpulan dari pertengkaran antara anaknya dengan Mahesa Jenar. Maka katanya kemudian, “Lembu Sora. Jangan kehilangan pegangan. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan tanahmu, Pamingit. Kalau kau buang waktu dan tenagamu di sini, maka aku kira keadaan tanahmu dan dirimu sendiri akan menjadi semakin parah.”

Apakah yang dapat dilakukan oleh empat orang itu, Ayah…?” bantah Lembu Sora.

Ki Ageng Sora Dipayana menyahut, “Empat orang ini adalah orang-orang yang dapat kau lihat berdiri di sini Lembu Sora. Tetapi di belakang mereka berdiri satu pasukan yang kuat di perbatasan kota.”

“Pasukan itu tak akan berarti bagiku,” jawab Lembu Sora dengan sombongnya.

“Berarti atau tidak berarti, namun itu telah mengurangi waktumu dan tenaga laskarmu. Kau lihat apa yang tersimpan di dalam bumbung Wanamerta itu? Panah sendaren, yang dapat menggerakkan laskar mereka dari jarak yang jauh. Dan kau dengan apa yang dikatakan Angger Mahesa Jenar? Arya Salaka telah mampu membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Karena itu kau akan dapat mengira-irakan, apakah yang dapat dilakukan oleh Angger Mahesa Jenar.”

“Aku tidak peduli,” potong Lembu Sora.

“Kau harus pedulikan itu,” sahut ayahnya. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di luar regol terdengar suara ribut.

Apakah itu?” tanya Lembu Sora keras-keras. “Laskar diperbatasan mulai bergerak?”

Seseorang berlari-lari datang kepadanya. Dengan hormatnya ia berkata, “Bukan Ki Ageng. Sama sekali bukan laskar dari perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat Banyubiru.”

“Apa yang mereka lakukan? Adakah mereka sudah gila?” bentak Lembu Sora.

Tidak Ki Ageng,” jawab orang itu. “Mereka mencoba untuk memasuki halaman.”

“Kenapa?” Lembu Sora membentak-bentak.

Mereka ingin melihat Arya Salaka,” jawabnya.

“Gila. Mereka telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang tidak?” Lembu Sora menjadi semakin marah. Persoalan itu menambah kepalanya menjadi pening. “Bunuh mereka yang memaksa.”

“Jangan Lembu Sora,” ayahnya menyabarkan. “Kau jangan menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah sebagian darimu selama kau masih berdiri di sini. Karena itu dengarlah suaranya. Selama ini tak pernah mengerti apa yang tersimpan di dalam hatinya. Kau paksa mereka berkata seperti apa yang kau katakan.

Sekarang kau benar-benar di dalam kesulitan. Biarlah aku menempatkan dirimu pada tempat yang seharusnya. Pergilah ke Pamingit dan hancurkan golongan hitam yang telah menodai kedaulatanmu.”  Kemudian kepada Arya Salaka, kakeknya itu berkata, “Arya, aku minta kepadamu, tundalah persoalanmu. Sebab setiap pertengkaran di antara kita hanya akan memberi kesempatan kepada golongan hitam untuk melumpuhkan kita. Kau mau?”

Arya ragu sejenak. Tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Hampir-hampir ia tidak dapat lagi meredakan kemarahannya, seandainya bukan kakeknya yang bertanya kepadanya. Karena itu, berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh, Arya merasa tidak berkeberatan. Meskipun demikian ia memandang juga kepada gurunya. Ketika gurunya mengangguk, Arya pun menjawab, “Aku akan bersedia dengan sepenuh hati, Eyang.

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk gembira. Sambil tersenyum ia berkata, “Bagus. Aku memang sudah menduga bahwa hatimu bersih sebersih hati ayahmu.”

Kembali Lembu Sora menjadi sakit hati mendengar pujian itu. Dengan lantangnya ia berkata, “Ayah terlalu memberi hati kepadanya. Biarlah ia tahu bahwa ia sama sekali tak cukup bernilai untuk mempersoalkan kedudukan Kakang Gajah Sora.”

“Eyang…” sahut Arya yang hampir kehilangan kesabarannya kembali, “Biarlah paman memilih.”

“Jangan, jangan….” potong Sora Dipayana cemas. Suaranya terputus oleh keributan yang semakin menjadi-jadi di luar regol. Terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu berteriak-teriak, “Berilah kami jalan. Biarlah kami melihat Arya Salaka.

Para penjaga menjadi semakin sibuk. Mereka merapatkan diri dengan senjata terhunus untuk menahan arus rakyat yang sedemikian lama semakin banyak.

“Dari mana mereka tahu, bahwa Arya Salaka ada di sini?” tanya Sora Dipayana kepada salah seorang pengawal.

“Entah Ki Ageng,” jawabnya.

“Lembu Sora.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada anaknya, “Kesetiaan mereka kepada kampung halamannya harus kau perhitungkan pula. Mereka dapat menjadi lunak, namun dapat menjadi liar melampaui serigala.”

Lembu Sora terdiam. Ia menjadi benar-benar ngeri menghadapi keadaan. Golongan hitam dengan ganasnya telah melanda Pamingit. Sekarang rakyat Banyubiru seperti orang mabuk berbondong-bondong datang untuk melihat Arya Salaka.

Arya…” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Hanya kau yang mampu menenangkan mereka. Pergilah kepada mereka, dan berjanjilah bahwa kau akan menunda persoalan sampai pamanmu dengan orang-orang golongan hitam itu selesai.”

Kembali Arya ragu. Namun sekali lagi ia melihat gurunya menganggukkan kepalanya. Maka Arya pun menjawab,”Baiklah Eyang.”

“Aku percaya kepadamu.” Kakeknya berkata seterusnya. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Apalagi kepada Angger Mahesa Jenar sebagai penerus perguruan Pengging yang terkenal. Aku percaya kepada Angger seperti aku percaya kepada setiap kata yang diucapkan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh.”

Mahesa Jenar sadar, bahwa kata-kata itu sama sekali bukanlah pujian, tapi baginya, Ki Ageng Sora Dipayana menyatakan permintaannya yang sedalam-dalamnya, supaya ia dapat mengendalikan Arya Salaka. Namun demikian ia menjawab, “Mudah-mudahan aku dapat menjunjung kepercayaan itu.”

Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata, “Kau dapat pergi dengan tenang Lembu Sora. Anggaplah bahwa di Banyubiru sekarang tidak ada persoalan apapun. Dengan demikian kau dapat mencurahkan segenap perhatianmu kepada tanahmu.”

Lembu Sora masih ragu. Baginya sebenarnya akan sama saja akibatnya. Dalam keadaan payah, ia masih harus menghadapi lawan lain. Tetapi akhirnya ia benar-benar mengharap, agar Arya menunda tuntutannya sampai ia dapat menyegarkan laskarnya kembali.

Ketika di luar suara rakyat Banyubiru seolah-olah hendak membelah langit, maka sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya, “Arya, tenangkan mereka. Syukurlah kalau mereka mau kau minta pulang ke rumah masing-masing, supaya tidak menambah beban pembicaraan kita di sini. Sementara itu biarlah pamanmu dan adikmu Sawung Sariti mempersiapkan keberangkatannya.”

Arya membungkuk hormat. Kemudian ia melangkah ke regol halaman diikuti oleh Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Demikian ia sampai di depan regol, terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu. “Itukah Arya Salaka? Itukah…?” Kemudian suara itu menjadi semakin riuh. Akhirnya meledaklah suara mereka, “Arya Salaka…! Arya Salaka….!”

Kemudian Arya berdiri di atas sebuah dingklik kayu. Mula-mula yang menyentuh perasaannya adalah keharuan yang mendalam. Untuk sesaat ia tak dapat berkata sepatah katapun. Seolah-olah lidahnya menjadi beku. Baru kemudian ia berkata, “Berbahagialah aku, karena kesempatan yang aku peroleh, berhadapan muka dengan rakyat Banyubiru yang setia.”

Suara rakyat itu semakin menggemuruh, seperti lebah berpindah sarang.

Arya Salaka mengangkat tangannya. Suara itupun menjadi semakin berkurang, dan akhirnya hilang sama sekali. Para pengawal masih saja berdiri rapat dengan ujung senjata yang rapat pula.

Aku datang kembali ke Banyubiru, karena rinduku kepada kampung halaman dan kepada kalian,” sambung Arya Salaka. Suaranya terputus oleh tepuk tangan gemuruh. “Tetapi…”sambung Arya Salaka, “Maafkanlah bahwa aku belum mempunyai banyak waktu untuk menyambut kalian dengan tanggapan yang lebih baik. Karena itu aku janjikan, lain kali aku akan menerima kalian, seluruh rakyat Banyubiru di alun-alun ini. Sekarang, setelah terpenuhi permintaan kalian, berhadapan muka dengan aku, aku harap kalian sudi meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat kalian masing-masing.”

Rakyat Banyubiru menjadi kecewa. Mereka ingin mendengar kabar, apakah yang telah terjadi di dalam lingkaran dinding rumah itu. Mereka ingin mendengar, apakah Ki Ageng Lembu Sora masih akan tetap menguasai Banyubiru. Namun sekali lagi Arya minta mereka untuk bubar, dengan janji secepat-cepatnya ia akan memberikan kabar itu kepada rakyat Banyubiru. Sehingga dengan demikian, meskipun hati mereka belum lapang seperti harapan mereka, namun setidak- tidaknya mereka telah bertemu dengan anak muda yang mereka rindukan. Yang telah mereka dengar kehadirannya dari Ira, yang sengaja menyebar kabar kedatangan Arya Salaka.

Ketika rakyat yang berjejalan itu telah surut, dan semakin lama semakin hilang, maka siaplah Lembu Sora beserta putranya Sawung Sariti. Beberapa orang berkuda telah disebar untuk menarik pasukan Pamingit dari perbatasan. Penarikan itu disambut dengan berbagai pertanyaan di dalam hati.

Mula-mula, mereka yang menyandang senjata karena gemerincingnya uang, merasa berbahagia sekali ketika mereka mendengar bahwa pasukan itu ditarik dari garis pertempuran. Sebab mereka memang sama sekali tidak mengharapkan darah mereka menetes, menyiram tanah yang tak memberikan harapan apa-apa bagi mereka. Dengan demikian mereka mengharap untuk dapat segera bertemu dengan anak istrinya atau dengan kekasihnya, atau dengan orang tua mereka yang telah pikun dan meletakkan harapan mereka kepada anak-anaknya. Tetapi ketika mereka mendengar kabar, bahwa mereka harus berhadapan dengan golongan hitam lebih dahulu, mereka menjadi kecewa. Bagi mereka, orang-orang golongan hitam pasti akan jauh lebih buas dan biadab daripada orang-orang Banyubiru. Tetapi ketika mereka teringat anak-istri mereka, sawah dan ladang dimana mereka meletakkan harapan mereka untuk memberi anak-anak mereka makan, maka tiba-tiba timbullah semangat mereka. Terasalah perbedaan tanggapan, bahwa mereka akan lebih ikhlas berkorban apabila mereka mempertahankan sawah ladang mereka, daripada mereka harus merampas sawah ladang orang lain.

Di Alun-alun Banyubiru mereka berkumpul. Di hadapan mereka Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Rakyat Pamingit yang berani…. Kenanglah masa-masa orang tuamu dahulu menempa tanah ini menjadi daerah perdikan seperti yang kalian miliki ini. Karena itu pertahankan tanah itu. Rakyat Pamingit, bagian dari tanah perdikan yang semula bernama Pangrantunan, pasti akan tetap berdarah jantan. Orang-orang golongan hitam bukanlah hantu yang harus kita takuti, tetapi mereka adalah setan-setan yang harus kita musnahkan. Masa depan tanah kalian berada di dalam genggaman kalian.

Orang yang semula ragu-ragu hatinya, kini menjadi teguh. Kalau ada di antara orang-orang laskar Pamingit itu orang Pangrantunan, maka merekapun masih teringat, beberapa tahun yang lampau, beberapa orang bawahan Sima Rodra selalu datang menarik tanda panungkul kepada mereka. Mereka tak dapat berbuat sesuatu, sebab tanah itu telah digadaikan oleh Lembu Sora. Tetapi sejak dua orang Lembu Sora terbunuh, berbedalah keadaannya. Apalagi kemudian terjadi perubahan perhubungan antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, apalagi sepeninggal Sima Rodra muda suami-istri, sehingga gadai tanah itu dicabut. Kini mereka harus berhadapan dengan golongan hitam itu. Bekal dendam yang ada di dalam dada mereka telah menyalakan semangat mereka untuk menumpas golongan hitam itu habis-habisan, meskipun ada di antara laskar Pamingit itu yang pernah mengalami suatu masa, dimana mereka harus bekerja bersama dengan laskar hitam itu.

Ketika matahari telah memanjat semakin tinggi di kaki langit, terdengarlah bunyi sangkalala. Seperti air mengalir laskar Pamingit itu bergerak, meninggalkan Alun-alun Banyubiru kembali ke kampung halaman, untuk mempertahankan tanah mereka dari terkaman orang-orang yang tergabung di dalam suatu lingkaran hitam yang berhati kelam.

Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, dengan kuda masing-masing, berjalan di ujung pasukannya. Di belakangnya berjalan dengan tekad yang bulat, pemimpin pengawal kepala daerah perdikan itu, Wulungan. Seterusnya beberapa orang pilihan, yang tergabung dalam laskar pengawal itu. Barulah kemudian berbaris membujur ke belakang, kelompok-kelompok laskar Pamingit.

Sebenarnya Lembu Sora pun mempunyai beberapa orang pilihan yang dapat membantunya, menghadapi tokoh-tokoh hitam. Selain Wulungan, di dalam laskar Pamingit itu terdapat orang-orang yang setingkat Galunggung, Welat Ireng, Pakuwon, Sampir, dan beberapa orang lainnya. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi laskar Pamingit itu, memimpin mereka dan mengolah mereka, disamping Lembu Sora dan Sawung Sariti sendiri. Kepada merekalah Lembu Sora meletakkan harapannya atas laskarnya.

Namun demikian, di sepanjang perjalanan itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti selalu dikejar-kejar oleh berbagai persoalan. Selain perasaan marah yang membakar dadanya, melontar pula kecemasan di hatinya. Siapa sajakah yang turut serta di dalam laskar yang menduduki Pamingit itu? Yang sudah jelas baginya, adalah Joko Soka dari Nusakambangan. Betapa bencinya ia kepada bajak laut yang gila itu. Kalau saja tak ada gerombolan lain yang membantunya, maka ia yakin bahwa Jaka Soka bukanlah beban yang terlalu berat baginya. Ia yakin bahwa jumlah laskarnya akan terlampau besar untuk menghadapi Ular Laut itu. Tetapi adakah gurunya ikut serta. Nama Nagapasa adalah nama yang cukup menggetarkan. Meskipun nama itu telah lama tenggelam, namun setiap orang tahu, bahwa Jaka Soka adalah murid dari bajak tua yang terkenal dengan nama ilmunya yang mengerikan, Nagapasa. Apalagi kalau golongan hitam yang lain ikut serta mengambil bagian dalam penyerbuan itu, maka pekerjaannya akan menjadi berat sekali. Di dalam laskarnya tak seorangpun yang akan dapat berhadapan seorang lawan seorang dengan Nagapasa itu. Kalau benar orang itu ada, ia sendiri harus menghadapinya dengan bantuan sepuluh atau duapuluh orang bersama-sama. Bahkan mungkin ia memerlukan lebih dari limapuluh orang, sedang yang separonya pasti akan binasa. Bahkan mungkin dirinya pun akan binasa.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba terasa betapa kecil kekuatan Lembu Sora kini. Kalau saja kakaknya, Gajah Sora, ada. Kalau saja ayahnya ada di antara laskarnya. Kalau saja Arya Salaka….

Tidak!” Tiba-tiba terdengar suara Lembu Sora tersentak.

Sawung Sariti terkejut. Ia menoleh kepada ayahnya. “Apa yang ayah maksud?

Lembu Sora menggeleng. “Tak apa-apa.”

Meskipun jawaban itu sama sekali tidak memuaskannya, namun ia tidak bertanya lagi. Ia sendiri sedang sibuk berangan-angan. Apakah yang kira-kira akan dilakukan nanti. Sekali-kali ia menoleh kepada laskarnya yang mengalir tak putus-putusnya. Dengan tersenyum ia berkata dalam hatinya, “Betapa kuatnya orang perorang dari golongan hitam, namun dengan ditimbuni mayat laskar Pamingit yang tak terhitung jumlahnya, mereka pasti akan ngeri juga.” Memang, bagi Sawung Sariti jumlah korban dari laskarnya bukanlah soal. Meskipun demikian ia berpikir juga. “Tetapi kalau terlalu banyak laskar ini akan berkurang nanti, dengan apa aku harus melawan Arya Salaka?” Ia pun menjadi bimbang. Sawung Sariti sadar bahwa ia harus bertempur, sebab ia tahu benar bahwa orang hitam itu tak akan diajak berbaik hati. Ia sadar bahwa kalau selama ini mereka berdiam diri, bahkan dalam berbagai hal mereka membantunya, itu karena mereka mempunyai beberapa persamaan kepentingan.

Tetapi kemudian timbul pula angan-angannya, “Ah, jumlah laskar anak itu, tak akan seberapa kuat.

Ia mencoba membesarkan hatinya sendiri, meskipun setiap kali ia ingat kepada nama-nama Jaka Soka, Lawa Ijo, apalagi Nagapasa, mungkin juga Pasingsingan, Sima Rodra tua, Bugel Kaliki, hatinya berdesir. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikan perasaannya. Dan sekali lagi ia mencoba untuk membanggakan jumlah laskarnya.

Satu seratus,” bisiknya di dalam hati. “Laskarku pasti masih akan mempunyai banyak kelebihan.

Dengan demikian Sawung Sariti menjadi sedikit tenang. Sekali-kali ia menatap langit yang biru. Sehelai-helai awan yang putih mengalir ke utara, seperti kapuk dihanyutkan angin. Putih dan bersih. Tiba-tiba di balik awan yang bersih itu terbayang wajah Arya Salaka. Alangkah cekatan tangannya memainkan tombaknya. Disampingnya terbayang wajah yang meskipun memancarkan kesejukan hatinya, namun suatu ketika wajah itu cepat menyala melampui nyala api. Mahesa Jenar. Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh seorang yang berwajah angker yang selalu berada bersama-sama dengan Mahesa Jenar? Orang itu ternyata pernah menggemparkan laskarnya, ketika ia melindungi Bantaran di tanah lapang, tempat orang-orang Banyubiru menyelenggarakan tayub. Lalu terkenanglah ia kepada Wanamerta yang tua. Yang pada masa kecilnya, pernah membelai kepalanya, mendukungnya di punggung dan memberinya buah-buahan yang segar. Ketika awan yang putih itu telah menjalar semakin jauh, muncullah segumpal awan yang lain. Tiba-tiba tampaklah seolah-olah memandangnya dengan segan seorang wanita, yang dikenalnya bernama Rara Wilis. Wanita inipun bukan wanita kebanyakan yang berlari seperti kijang apabila ia mendengar dentang senjata. Bahkan wanita ini pernah diketahuinya, bertempur di antara laskar Gedangan melawan laskarnya. Yang muncul kemudian adalah wajah yang manis dari seorang gadis lincah. Endang Widuri. Ia melihat gadis ini pertama-tama di Karang Tumaritis. Tetapi kemudian di Gedangan, gadis ini dilihatnya pula sepintas. Namun, dalam pertemuan yang sebentar itu, tertanamlah suatu perhatian yang aneh kepadanya. Adakah gadis ini ikut serta di dalam laskar Arya Salaka? Agaknya gadis inipun mampu mempermainkan senjata.

Ketika angin yang kencang bertiup dari pegunungan, awan yang putih itu pecah berserakan, seperti hati Sawung Sariti yang pecah pula. Nama-nama itu, Arya Salaka, Mahesa Jenar, Putut Karang Jati, Wanamerta, Rara Wilis dan Endang Widuri itupun pada suatu saat akan berdiri berhadapan untuk dilawannya. Apakah pekerjaan ini lebih ringan daripada melawan orang-orang golongan hitam?

Satu seratus.” Kembali Sawung Sariti berdesis di dalam hatinya. “Tetapi bagaimana dengan rakyat Banyubiru?” Suara hatinya membantah sendiri, “Mereka agaknya masih tetap menunggu kedatangan Arya Salaka. Dan merekapun pasti tak akan dapat diabaikan.”

“Persetan!” Tiba-tiba hati Sariti mengumpat. “Semua harus aku musnahkan. Baik golongan hitam maupun Arya Salaka. Pamingit dan Banyubiru harus jatuh ke tanganku. Kemudian akan aku kuasai Kedu Bagelan. Ke utara sampai ke Bergoto. Apalagi kalau Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten telah berada di tanganku.”

Sawung Sariti tersenyum sendiri. “Eyang akan tahu nanti, bahwa cucunya akan mampu menggulung dunia.” Suara itu mengumandang di dalam otaknya, dibarengi oleh mengumandangnya derap langkah laskarnya.

Di Banyubiru, sepeninggal laskar anaknya, Ki Ageng Sora Dipayana berdiri terpaku memandang debu yang mengepul dibelakang laskar itu. Meskipun ia masih tegak di alun-alun, namun hatinya serasa pergi bersama-sama dengan pasukan yang akan menghadapi pekerjaan yang cukup berat. Melawan laskar golongan hitam. Setelah ekor dari iring-iringan telah lenyap di balik tukungan, barulah ia beranjak dari tempatnya, dan sambil menoleh kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Aku mengharap, bahwa peristiwa ini akan dapat mendorong anak itu menyadari keadaannya.”

Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.

Marilah Angger…” ajak Ki Ageng Sora Dipayana, “Kita kembali ke pendapa.”

Aku sudah menduga bahwa golongan hitam akan mengambil kesempatan ini,” kata Mahesa Jenar ketika mereka telah duduk kembali di pendapa Banyubiru.

Bagaimana Angger dapat mengetahuinya?” tanya Sora Dipayana, meskipun sebenarnya untuk menduga hal itu tidaklah sulit.

Bahkan aku hampir pasti,” jawab Mahesa Jenar, “Karena itu aku berusaha sedapat mungkin untuk menunda pertempuran.” Mahesa Jenar berhenti sejenak sambil memandangi wajah Arya. Tetapi anak itu menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, “Namun darah yang mengalir di dalam tubuh anak-anak muda memang masih terlalu panas. Bahkan darah di dalam tubuhku inipun rasa-rasanya masih terlalu sering mendidih.”

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Kebo Kanigara pun tersenyum pula.

Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan, apa yang selama ini dialaminya di sekitar Candi Gedong Sanga. Kehadiran gerombolan Lawa Ijo dan seorang berkuda yang meninggalkan tempatnya menghilang di balik cakrawala ketika orang itu melihat laskar Arya Salaka mendekati Banyubiru, kemarin.

Golongan hitam pasti mengira bahwa pagi ini pertempuran sudah berkobar di Banyubiru antara laskar Kakang Lembu Sora melawan laskar Arya Salaka.” Mahesa Jenar mengakhiri keterangannya.

Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Untunglah bahwa pertempuran di Banyubiru tertunda.”

Tuhan Yang Maha Adil telah melaksanakan rencananya. Menyelamatkan rakyat Banyubiru dan Pamingit dari kekuasaan golongan hitam,” desis Mahesa Jenar. “Andaikata pertempuran telah berkobar pagi ini, maka kedua laskar Pamingit dan Banyubiru akan sama-sama hancur. Pamingit hari ini telah jatuh ke tangan golongan hitam, lalu besok atau lusa Banyubiru inipun akan mereka telan habis.”

Arya masih berdiam diri. Namun kini membayang kembalilah di dalam pelupuk matanya, bagaimana gurunya berusaha mati-matian untuk menunda pertentangan yang mungkin terjadi antara laskarnya dengan laskar pamannya.

Arya kini dapat menyadari sepenuhnya, bahaya apakah yang akan menimpa Pamingit dan Banyubiru apabila ia benar-benar terlibat dalam pertempuran dengan pamannya. Di dalam hati Arya berkali-kali mengucap syukur, serta berkali-kali ia menyebut kebesaran nama Tuhan yang telah menunda pertempuran itu.

Dalam pada itu terasalah pada Arya Salaka beserta rombongannya, betapa Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Agaknya ia benar-benar tidak sampai hati melepaskan Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pergi. Sebab iapun tahu bahwa golongan hitam itu mempunyai orang-orang yang tak akan dapat dilawan oleh anaknya, meskipun ia telah berusaha untuk menempa anak serta cucunya siang dan malam.

Hal ini ternyata kemudian ketika orang tua itu akhirnya berkata, “Arya Salaka. Meskipun kau telah berjanji untuk menunda persoalanmu sampai waktu yang tak ditentukan, tetapi aku minta kepadamu untuk mengawasi Banyubiru. Sebab siapa tahu, ada orang-orang yang akan mengambil kesempatan, mempergunakan kekosongan Banyubiru untuk memuaskan keinginan diri. Merampas dan merampok. Jagalah keamanan Banyubiru atas nama pamanmu Lembu Sora, sampai ada penjelasan yang mudah-mudahan tak perlu mempergunakan kekerasan.”

Bagaimanapun juga, terasa dada Arya berdesir ketika ia harus menjaga keamanan Banyubiru, tetapi atas nama pamannya. Meskipun demikian ia benar-benar tidak mau mengecewakan kakeknya. Karena itu ia menjawab, “Baiklah Eyang. Aku akan menjaga Banyubiru sebaik-baiknya. Tidak hanya atas nama Paman Lembu Sora, tetapi atas nama ayah Gajah Sora.”

Mahesa Jenar menarik nafas, sedang Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. “Baiklah…” katanya, “Jagalah keselamatannya. Aku terpaksa meninggalkan kalian. Bawalah sebagian dari laskarmu ke dalam kota, supaya kota ini tidak akan menjadi kota yang kosong, kota yang sama sekali tak berkekuatan senjata. Siapa tahu, kalau ada hal-hal yang gawat. Sebab golongan hitam itupun mempunyai otak-otak yang cukup berbahaya.”

Baiklah Eyang,” jawab Arya, “Akupun akan segera kembali ke tengah-tengah laskarku sebelum tengah hari. Aku akan menyerahkan sebagaian mereka. Tetapi biarlah Paman Wanamerta untuk sementara memimpin daerah ini. Aku akan tetap berada di antara anak buahku.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. Ia benar-benar menjadi kagum kepada Arya, yang telah meluluhkan diri dengan laskarnya, sebagai ciri seorang pemimpin yang merasa dirinya satu dengan anak buahnya. Sedang Wanamerta menjadi terkejut karenanya. Katanya, “Apakah yang harus aku lakukan?Bukankah Cucu Arya Salaka telah berada di sini?”

Aku akan menepati kata-kataku,” jawab Arya. “Biarlah aku melepaskan persoalan ini sampai Paman Lembu Sora selesai. Namun demikian aku juga berjanji bahwa aku akan menyelenggarakan keamanannya sampai paman selesai.”

Cucu tidak perlu menarik garis pemisah antara yang memerintah dan yang menyelenggarakan keamanannya,” Sahut Wanamerta, “Sebab seorang kepala daerah perdikan harus memegang kedua-duanya “

Tetapi aku bukan kepala daerah perdikan, Eyang,” jawab Arya Salaka.

Baiklah Wanamerta,” potong Sora Dipayana. Ia tahu benar perasaan apakah yang bergolak di dalam dada anak itu. Arya Salaka agaknya benar-benar segan untuk mewakili pamannya, sehingga baginya lebih baik untuk menyerahkannya saja kepada orang lain. “Kau pun berhak untuk berlaku sebagai wakil Lembu Sora Wanamerta.” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan. “Hanya untuk beberapa saat. Aku kemudian akan datang kembali. Mencoba menyelesaikan masalah tanah ini.

Kemudian, setelah pembicaraan itu selesai, minta diri kepada Ki Ageng Sora Dipayana untuk menyusul anaknya ke Pamingit. Mungkin tenaganya akan sangat dibutuhkan untuk menemui tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua. Sementara itu Arya Salaka segera akan kembali pula ke tengah-tengah laskarnya. Katanya, “Eyang Wanamerta, biarlah eyang tinggal di sini. Aku akan datang kemudian dengan membawa beberapa orang yang akan membantu Paman di sini.”

Wanamerta tidak dapat berkata lain, kecuali mengiyakan.

———-oOo———-

 

IV

Maka sesaat kemudian berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana, menyusul laskar Pamingit, berkuda seorang diri. Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, ia segera dapat mengetahui, apa yang harus dilakukan. Sedang Arya Salaka pun kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, juga meninggalkan kota dengan kuda masing-masing. Hanya Wanamerta lah yang terpaksa ditinggalkan seorang diri di pendapa Banyubiru dengan dua tiga orang pengawal yang tak berarti, orang-orang Banyubiru yang selama ini ikut serta di dalam barisan Lembu Sora. Tetapi mereka sama sekali belum pandai memegang tangkai pedang.

Ketika kemudian Wanamerta tinggal sendiri di pendapa itu, dipanggilnya salah seorang dari para pengawal itu, katanya, “Kemarilah. Aku ingin mendapat keterangan dari kau.”

Orang itu menjadi ketakutan. Sebenarnya nyawa mereka serasa telah lepas sejak pasukan Pamingit meninggalkan Banyubiru. Mereka merasa seperti cacing yang dilepaskan di tengah-tengah abu hangat. Mereka menjadi takut, bahwa orang-orang Banyubiru akan balas dendam kepada mereka. Tetapi agaknya wajah Wanamerta sama sekali tidak menakutkan. Karena itu salah seorang darinya datang mendekat dengan sangat hormatnya. “Ada perintah, Kiai…?” ia bertanya.

Kemarilah, duduklah,” kata Wanamerta.

Orang itu ragu sebentar. Namun ia akhirnya naik, dan duduk di depan Wanamerta.

Berapa orang kalian?” tanya Wanamerta.

Tiga orang di regol Kiai, di ujung alun-alun tiga orang di setiap jalan masuk,” jawabnya.

Siapakah pemimpinmu?” Wanamerta bertanya pula.

Kerta Pitu,” jawab orang itu.

Wanamerta mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jalankan pekerjaanmu baik-baik, tetaplah waspada. Laporkan yang perlu kepadaku.”

Orang itu mengangguk hormat. “Baik Kiai,” jawabnya.

“Nah, kembalilah,” kata Wanamerta selanjutnya.

Orang itu pun segera kembali ke tempatnya. Seorang yang lain telah disuruh oleh Wanamerta memanggil Kerta Pitu untuk diberinya beberapa keterangan. Kerta Pitu harus menempatkan di setiap gardu penjagaan seorang berkuda yang harus menjadi penghubung setiap ada persoalan-persoalan penting. Meskipun sebenarnya Wanamerta terlalu cemas, karena kira-kira limapuluh pengawal yang belum mampu untuk bertempur itu bagi Banyubiru adalah kekuatan yang sama sekali tak berarti. Beberapa orang yang telah cukup kuat, ternyata dibawa di dalam laskar Lembu Sora untuk memperkuat laskar Pamingit. Meski demikian Wanamerta menjadi sedikit tenang ketika diingatnya bahwa di perbatasan berbaris dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka yang selalu akan menolongnya apabila bahaya datang. Malahan Arya Salaka telah menyanggupkan diri untuk membawa beberapa orang laskarnya ke dalam kota dan menjaga keselamatan tanah ini dari segala yang mungkin akan mengancam. Tetapi ia harus menunggu sampai laskar itu datang. Mungkin malam nanti, mungkin besok pagi. Ia mengharap dalam waktu yang singkat tidak akan terjadi sesuatu.

Ketika Wanamerta telah selesai memberikan beberapa petunjuk, serta Kerta Pitu telah meninggalkan pendapa itu untuk melaksanakan, Wanamerta pun masuk ke dalam rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Beberapa orang pelayan, yang berada di dalam rumah itu sejak masa Ki Ageng Gajah Sora, masih berada di rumah itu pula, sedang beberapa orang lain adalah orang-orang baru. Namun demikian, apa yang dilihatnya kini, adalah jauh berbeda dari kira-kira lima-enam tahun yang lalu. Dulu ia berada di dalam rumah itu seperti di dalam rumahnya sendiri. Bahkan ia telah mengenal dengan baik hampir segenap sudut-sudutnya. Dulu, ketika Nyai Ageng Gajah Sora masih ada, tampaklah rumah ini bersih dan terawat rapi. Tetapi kini rumah itu menjadi seakan-akan tak berpenghuni. Tampaklah sarang labah-labah bergayutan di langit-langit, di setiap sudut dan bahkan hampir di setiap lekuk-lekuk dindingnya. Hitam-hitam langes dari lampu-lampu minyak, membekas mengotori dinding dan tiang-tiangnya.

Melihat perubahan itu Wanamerta menekan dadanya. Keadaan rumah ini benar-benar menggambarkan keadaan seluruh tanah perdikan Banyubiru. Kotor dan tak terawat. Tetapi ia tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lebih jauh. Ia tidak berhak mengumpulkan para bahu, kepala-kepala dukuh dan para pamong desa lainnya. Ia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan baru atau perubahan-perubahan apapun. Sebab ia hanya berada di rumah itu untuk sementara. Mungkin sangat singkat. Seandainya malam nanti Ki Ageng Lembu Sora telah selesai dengan pekerjaannya, besok mereka pasti akan datang kembali. Mungkin dengan pasukan, dan mungkin harus bertempur melawan orang itu. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah membiarkan segala sesuatu berjalan seperti biasa. Ia hanya dapat memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam batas-batas tertentu. Meskipun demikian, seandainya Lembu Sora memerlukan waktu yang lama dalam perlawannya atas orang- orang hitam itu, iapun bermaksud untuk berbuat lebih banyak lagi.

Ketika hari semakin siang, dan terik matahari seperti membakar rumput di alun- alun, Wanamerta bermaksud untuk beristirahat. Tetapi baru saja ia meletakkan tubuhnya di bale-bale bambu di pringgitan rumah itu, terdengarlah seorang pengawal naik ke pendapa, sambil berdiri di depan pringgitan ia berkata, “Kiai, seseorang ingin bertemu dengan Kiai.”

Siapa?” tanya Wanamerta sambil bangkit.

Sontani,” jawab orang itu.

Sontani…?” ulang Wanamerta, “Apakah keperluannya?”

Ya, Sontani. Aku tak tahu apa yang akan disampaikan kepada Kiai. Ia ingin berbicara langsung,” jawab pengawal itu.

Wanamerta berpikir sejenak. Apakah yang akan dilakukan? Barangkali ia akan membalas dendam sakit hatinya, ketika ia terpaksa menelan keadaan yang pahit di tanah lapang.

Sendiri..?” tanya Wanamerta pula.

Tidak Kiai,” jawab orang itu, “Dengan anak-istrinya.”

He…?” Wanamerta terkejut. “Dengan anak-istrinya?”

Orang itu mengangguk. “Ya.

Baiklah, aku datang,” kata Wanamerta kemudian. Namun demikian ia masih ragu. Apakah maksud kedatangan orang itu. Kalau saja ia bermaksud jahat, tak akan ia membawa anak-istrinya. Meskipun demikian, iapun tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Tetapi Sontani bukanlah orang yang harus ditakuti.

Ketika Wanamerta muncul di pintu, dilihatnya Sontani benar-benar dengan istri dan seorang anaknya duduk di pendapa. Demikian Sontani melihat Wanamerta, segera ia berlari terbongkok-bongkok dan langsung bertiarap di kaki orang tua itu, sambil berkata meratap, “Kiai, ampunilah segala dosa-dosaku. Aku merasa bahwa aku telah bersalah terhadap Kiai, terhadap Banyubiru dan terhadap Anakmas Arya Salaka. Tetapi semuanya itu adalah karena terpaksa. Aku sebenarnya sama sekali tak ingin untuk sesuatu kedudukan apapun. Dan sekarang aku menyerahkan kembali semua jabatan yang pernah aku terima dari Lembu Sora, orang yang terkutuk itu. Orang yang telah merampas ketentraman hidup keluargaku. Sebab bagiku, segala jabatan itu tak akan berarti, selama aku tidak dapat menunjukkan kesetiaanku kepada kampung halaman ini. Biarlah Ki Bakung kembali kepada jabatannya, Bahu Lemah Abang. Dengan demikian Lemah Abang akan menjadi tentram kembali setelah Lembu Sora mengacaunya. Biarlah orang terkutuk itu disambar petir, atau mati dicincang oleh orang-orang dari Gunung Tidar atau Rawa Pening, atau ….” Suara Sontani terputus oleh kata-kata Wanamerta, “Jangan salahkan Lembu Sora, Sontani.Dan jangan kau umpati orang itu, sebab Lembu Sora adalah paman Arya Salaka. Putra Ki Ageng Sora Dipayana yang kita hormati.”

Sontani terkejut seperti disengat kelabang. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di depan Wanamerta yang masih berdiri dipintu. Ia tidak tahu kenapa Wanamerta tidak mau mengutuk Lembu Sora. Bukankah Lembu Sora telah mengkhianati Banyubiru? Karena itu tiba-tiba keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya.

Sontani menjadi bingung. Bagaimanakah tanggapan yang sebenarnya dari Wanamerta terhadap Lembu Sora? Ketika untuk beberapa saat Wanamerta masih berdiam diri, berkatalah Sontani dengan suara gemetar. “Kiai, kenapa Kiai tidak mengutuk Lembu Sora yang telah memecah belah rakyat Banyubiru?”

Lembu Sora telah berjuang untuk suatu cita-cita. Dihadapinya segala akibat dari perjuangannya. Ia tidak takut mati karena cita-citanya itu. Meskipun jalan yang ditempuhnya tidak benar, malahan bertentangan dengan keadilan, namun ia dapat dihormati karena keberaniannya,” jawab Wanamerta. Kemudian ia melanjutkan, “Sedang ada orang lain yang mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari perjuangan Lembu Sora itu. Ia bersujud di bawah kakinya selagi kesempatan memungkinkan. Tetapi kalau keadaan menjadi suram, maka ia akan mencoba untuk menghindar, meloncat untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Seperti seekor bunglon yang dapat berwarna hitam kalau ia berada di cabang yang hitam, dan berwarna hijau kalau ia hinggap di atas daun-daun yang segar.”

Sontani benar-benar menjadi gemetar. Sekali dua kali ia menoleh kepada istri dan anaknya, yang memandangi dengan cemas. Tetapi Sontani masih belum berputus asa. Ketika Wanamerta masih tegak berdiri, dan memandang ke arah cahaya terik matahari yang berserak-serak dihalaman, maka tiba-tiba Sontani berkata, “Kiai, entahlah apa yang dibawa oleh istriku. Barangkali Kiai akan dapat menerimanya dengan senang hati, sebagai persembahan seorang kawula yang setia mengabdi diri kepada Kiai.”

Wanamerta tidak sempat menjawab. Sontani dengan terbongkok-bongkok bangkit dan melangkah turun dari pendapa. Ketika ia naik lagi, di tangannya telah tersangkut sebuah bungkusan yang besar.

Kiai…” katanya setelah ia berjongkok kembali di hadapan Wanamerta, “Terimalah tanda kesetiaanku ini.”

Wanamerta memandang Sontani dengan pandangan yang kosong. Ia bersedih hati, ketika ia melihat kenyataan bahwa di Banyubiru ada seseorang yang berjiwa seperti orang yang berjongkok dihadapannya itu. Ia lebih hormat kepada Lembu Sora, kepada Sawung Sariti, yang dengan gigih bekerja keras untuk mencapai tempat yang setinggi-tingginya buat dirinya sendiri, meskipun berdosalah mereka yang mengorbankan orang lain untuk kepentingan dan kesenangan diri.

Wanamerta masih belum berkata apapun ketika Sontani membuka bungkusan itu dengan penuh harapan. Kalau Wanamerta berkenan dihatinya, ia pasti dapat mempengaruhi Arya Salaka. Mungkin ia tidak akan mendapat sesuatu hukuman, bahkan mungkin ia akan tetap berada pada kedudukan yang sekarang, Bahu di Lemah Abang.

Ketika bungkusan itu telah terbuka, Wanamerta melihat beberapa potong kain lurik didalamnya. Bahkan ia melihat sehelai sutera yang bagus dan mahal. Ia melihat sebuah pendok keris dari emas, dan beberapa benda-benda lain yang berharga.

Kiai”, Sontani meminta, “adalah suatu karunia yang tiada taranya kalau Kiai sudi menerima barang-barang yang sama sekali tak berarti ini.

Hati Wanamerta menjadi bertambah suram. Dan kesuraman hatinya itu terbayang di wajahnya.

Sekali lagi ia memandang bungkusan itu. Ketika berkilat cahaya intan dibalik lipatan kain-kain itu, hatinya berdesir. Agaknya Sontani membawa pula timang tretes intan berlian.

Alangkah banyaknya barang-barang yang kau bawa Sontani”, berkata Wanamerta.

Sontani menjadi bergembira mendengar perhatian itu. Apakah artinya barang- barang itu dibanding dengan nyawanya?

Tidak seberapa Kiai. Aku bukanlah orang yang cukup kaya untuk mempersembahkan barang-barang yang cukup bernilai”, jawab Sontani. Harapannya tiba-tiba menjadi tumbuh.

Hampir seluruh umurku aku bekerja keras. Namun aku tak akan mampu mendapatkan barang-barang yang kau bawa itu”, sahut Wanamerta.

Mudah-mudahan lain kali aku dapat menambahnya dengan barang-barang yang tak bernilai lainnya”, jawabnya. Ia mengharap Wanamerta membungkuk dan membuka lipatan-lipatan kain, mengamat-amati pendok emas dan timang tretes intan berlian itu. Tetapi untuk beberapa saat Wanamerta masih tegak seperti tiang- tiang pendapa rumah itu, sehingga akhirnya Sontani menjadi bingung. Bajunya telah basah oleh keringat yang mengalir semakin deras.

Kemudian Sontani menjadi kecewa. Sangat kecewa, ketika Wanamerta berkata, “Sontani, darimanakah kau dapatkan barang-barang itu?”.

Aku telah bekerja keras selama ini Kiai”, jawab Sontani terbata-bata.

Aku juga bekerja keras selama ini. Bantaran juga, Penjawi, Sendang Papat, Jaladri dan orang-orang lain. Tetapi mereka tidak dapat, jangankan benda-benda serupa itu, sebagian kecilpun tak dimilikinya”, berkata Wanamerta. Sontani menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dalam kebingungan itu terdengarlah Wanamerta berkata, “Sontani, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pemberianmu itu”, Wanamerta berhenti sejenak, sedang Sontani menengadahkan wajahnya. Tetapi Wanamerta meneruskan, “Namun sayang, aku tak dapat menerimanya. Serahkanlah barang-barang itu kembali kepada asalnya. Bukankah kau dapat membeli barang-barang itu karena kau menjabat Bahu Lemah Abang. Karena kau memeras rakyat Lemah Abang untuk kepentinganmu dan kepentingan Lembu Sora? Bukankah kau dapatkan barang-barang itu karena rakyatmu kelaparan? Nah Sontani. Kalau kamu ingin menebus kesalahanmu, setidak-tidaknya mengurangi, kembalikan barang-barang itu. Kepada mereka yang berhak. Tidak kepadaku. Tidak kepada cucu Arya Salaka.”

Sontani menjadi semakin bingung. Mulutnya kini benar-benar terkunci. Ia masih berjongkok pada kedua lututnya dengan gemetar, dan Wanamerta masih berdiri dipintu pringgitan.

Sontani”, terdengar kembali suara Wanamerta, “ada seribu jalan yang dapat kau tempuh untuk menyerahkan kembali barang-barangmu itu. Kau dapat membantu mereka dengan alat-alat pertanian. Kau dapat mendirikan untuk mereka gubug-gubug yang lebih baik, banjar-banjar desa dan tempat ibadah yang layak.”

Mendengar kata-kata Wanamerta itu, jantung Sontani serasa membeku dan darahnya serasa berhenti mengalir. Tetapi nafasnya satu-satu berloncatan lewat lubang- lubang hidungnya. Betapa panas udara siang ini, namun rasa-rasanya hembusan nafasnya jauh lebih panas dari panasnya udara.

Tiba-tiba terdorong oleh kegelisahan yang bergelora didalam dadanya ia berkata putus-putus, “Tetapi, tetapi Kiai, bukankah Kiai memerlukan barang-barang ini?

Wanamerta menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak, Sontani.”

Dalam kebingungan Sontani mendesak, “Kiai, bukankah Kiai sendiri berkata bahwa Kiai tidak pernah dapat memiliki barang-barang serupa ini meskipun Kiai bekerja keras dan membanting tulang hampir seumur hidup Kiai. Dan sekarang aku datang untuk mengantarkannya kepada Kiai. Bukankah waktu yang pendek ini akan jauh lebih berharga daripada hampir seumur hidup Kiai?

Wanamerta menarik nafas. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab, “Sontani, kau dan aku mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menjalani hidup ini. Aku merasa berbahagia karena aku tidak akan dapat memiliki benda-benda serupa itu. Sebab dalam kemiskinan, aku akan dapat menikmati kekayaan. Miskin akan benda-benda duniawi, tetapi aku merindukan kekayaan dihari-hari yang abadi. Sebab kekayaan duniawi melulu, tak akan ada artinya di harapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menentukan akan datangnya masa, dimana manusia bertanggungjawab kepada-Nya.

Sedangkan kau agaknya telah terjerumus ke dalam kekuasaan nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah merasa bahagia karenanya. Bahagia yang abadi. Kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pengabdian kepada titah yang dikasihi-Nya, manusia. Dengan demikian hidupmu akan menjadi terasing. Terasing dari rasa kasih. Kasih antara manusia dan kasih yang dilimpahkan Tuhan kepadamu. Karena itulah maka kau semakin dalam membenamkan dirimu ke dalam timbunan benda-benda serupa itu.”

Sontani merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tak dikenalnya. Hitam dan kelam. Tetapi di titik yang sangat jauh tampaklah cahaya yang terang menyorot langsung ke dalam jiwanya. Cahaya itu semakin lama menjadi semakin tenang, bahkan kemudian ia menjadi silau karenanya.

Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki Wanamerta. Kali ini ia benar-benar tak dapat menahan keharuannya. Sontani, yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah Abang, yang pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu, tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dengan keduabelah tangannya ia menutup wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya untuk menyuap Wanamerta.

Wanamerta sadar bahwa kata-katanya tepat menyentuh perasaan Sontani, maka ia meneruskan, “Sontani. Pulanglah. Bawalah benda-benda yang sama sekali tidak berarti bagiku itu. Kembalikan mereka kepada yang berhak dengan bijaksana. Cepatlah sebelum Arya Salaka datang dan melihat caramu yang sama sekali tidak disukainya itu. Ia masih terlalu muda untuk dapat berbuat seperti aku.”

Sontani perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila di hadapan orang tua itu. Anak-istrinya yang gelisah, memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam kepalanya.

Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang kembali, maka hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia menjadi tidak takut lagi kepada Wanamerta, juga kepada Arya Salaka. Tidak takut untuk menerima dendamnya. Di dalam dadanya, kini tersimpanlah suatu tekad untuk menebus nodanya. Meskipun seandainya ia harus digantung di tengah-tengah beringin kurung.

Kiai...” katanya kemudian, “Aku akan pulang ke Lemah Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai Wanamerta. Menyerahkan kembali barang-barang ini kepada yang berhak. Seterusnya, seandainya Anakmas Arya Salaka datang, dan menghendaki hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan membela diri. Apapun yang akan ditimpakan atasku, akan aku jalani dengan ikhlas, meskipun seandainya aku akan dihukum mati.”

Wanamerta menggeleng. Jawabnya, “Percayalah Sontani. Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan pembalasan dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh oleh pedang yang bersarang di dalam dadamu, seandainya kau tetap pada pendirianmu. Tetapi kau telah menemukan jalan kembali. Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”

Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi Wanamerta menahannya, dan dengan ramah ia berkata, “Jangan bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan istrimu, aku akan duduk bersama-sama dengan kalian.”

Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan meninggalkan pendapa itu sebelum Arya Salaka datang seperti yang dinasihatkan oleh Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun segera minta diri beserta anak-istrinya yang sama sekali tidak mengerti persoalan yang bergolak di dada suaminya.

Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran lahir dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani adalah salah satu dari sekitar banyak orang yang kehilangan kepribadiannya. Mungkin masih banyak orang lain yang justru lebih parah daripadanya.

Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit dan meloncat ke pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda lari dengan kencangnya memasuki halaman. Kemudian seorang pengawal meloncat turun dan langsung datang kepadanya. Dengan tergesa-gesa pengawal itu berkata, “Kiai, laskar di perbatasan bergerak mendekati kota.”

Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis, laskar Arya Salaka yang akan membantu mengamankan kota. Karena itu ia bertanya, “Semua…?”

Tidak Kiai,” jawab orang itu. “Hanya sebagian.”

“ Kau tahu, siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.

Entahlah,” jawab orang itu sambil menggeleng.

Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata Wanamerta kemudian.

Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera berangkat melakukan perintah itu.

Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan, seperti pada saat ia melihat laskar Pamingit meninggalkan kota. Apakah yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya, dan atas orang-orang Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam kelaskaran Lembu Sora…?

Ketika ia melewati gardu penjagaan kedua, tiga orang yang bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal berkuda itu tahu bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka, karena mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian pengawal itu menjadi semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya berlari terus. Maka sebelum ia mengambil keputusan, pengawal itu telah sampai di gardu pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di gardu itu, masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.

Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti sejenak. Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata, “Gardu kedua telah kosong.

Kosong?” tanya orang-orang di gardu pertama itu. “Kenapa?

Aku kira mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.

Takut apa?” tanya orang-orang di gardu.

Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga kita semua,” jawabnya.

Tiba-Tiba salah seorang dari mereka berempat itu tertawa. Dengan lantang ia berkata, “Jangan takut. Mereka tidak akan berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah pimpinan Arya Salaka.”

Kau yakin?” tanya pengawal berkuda itu.

Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang Pamingit pun Arya Salaka tidak berbuat sesuatuPimpinan gardu ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka dari Arya Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia akhirnya kembali dengan selamat, justru pada saat kita telah memukul tanda bahaya untuk menangkap anak muda itu.”

Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih ragu-ragu juga. Ia mendatangi orang yang berceritera itu, yang tidak lain adalah Ira, dengan sorot mata yang bertanya-tanya. Sehingga terdengar Ira menjelaskan, “Aku menjadi jaminan bagi kalian. Kalau orang-orang yang ikut serta dalam laskar Arya Salaka itu mendendam kalian, akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan.”

Orang yang bertugas untuk menjemput laskar yang semakin lama semakin dekat itupun menjadi percaya, meskipun hatinya masih gelisah. “Baiklah…” katanya, “Mudah-mudahan katamu benar.

Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke arah kepulan debu putih di depan mereka. Kuda itupun melemparkan debu yang putih pula, yang kemudian lenyap dihembus angin pegunungan.

Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang mendatang, hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia menghentikannya. Kembali ia menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan orang-orang yang berada di dalam barisan itu akan bersama-sama menyerangnya dan beramai-ramai mencincangnya sebagai seorang pengkhianat. Tetapi kalau diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang. Demikianlah ketika barisan yang mendatang itu sudah semakin dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam senjata.

Di ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas punggung kuda mengangkat tangannya pula.

Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir. Ia tidak salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka. Dengan demikian ia menjadi berdebar-debar. Di samping anak muda itu, dilihatnya seorang gadis yang juga duduk di punggung kuda. Tetapi ketika ia melihat seorang yang berjalan dibelakangnya, kembali ia menjadi gelisah. Orang itu adalah Bantaran.

Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah ia turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan dirinya.

Arya memandang orang itu dengan seksama. Ia pun mengangguk pula.

Tuan...” kata pengawal itu dengan hormatnya, “Aku menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput Tuan, dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng Lembu Sora.”

Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Haruskah aku pergi ke Pamingit?” Pengawal itu menjadi heran, jawabnya, “Tidak Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di Banyubiru.

Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di Banyubiru?” tanya Arya.

Ada Tuan, di sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia menjadi bingung oleh pertanyaan Arya.

 “Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu Sora,” jawab Arya.

Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu ditelinganya. Benar, rumah itu memang milik rumah Ki Ageng Gajah Sora. Maka dengan cepatnya ia membetulkan kata-katanya, “Tuan benar. Kiai Wanamerta menunggu Tuan di rumah Tuan sendiri.”

Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya.

Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi itu adalah karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang menganggap bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora. Pengawal itu menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat dingin dari punggungnya. Ternyata dalam keadaan yang sulit itu ia kurang berhati-hati. Ia merasa bahwa ia telah menggali lubang untuk dirinya sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka iapun menjawab, “Ya, Tuan.” Suaranya gemetar. Kini ia tinggal menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak muda itu, atau oleh orang yang berdiri di belakangnya, atau oleh seluruh barisan itu. Mungkin mereka akan melemparinya dengan batu sampai mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda itu dan menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak berteriak di gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan.

Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka masih berdiam diri, ia menjadi semakin tegang dan gelisah. Sekali-kali ia mencuri pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia tidak dapat mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu.

Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang mengejutkan, bahkan hampir tak dipercayainya. “Marilah. Naiklah ke punggung kudamu. Berjalanlah di depan.”

Untuk sesaat ia terpaku. Dengan termangu-manggu ia memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa berkesan kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya. Perlahan-lahan ia mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya. Karena getar kakinya, maka barulah loncatan kedua ia berhasil duduk di punggung kudanya. Kemudian perlahan-lahan pula ia memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya.

Kembali barisan itu berjalan maju mendekati kota. Akhirnya mereka sampai juga di gardu pertama. Keempat penjaganya berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka tidak melarikan diri.

Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan tersenyum ia berkata, “Ira, tidakkah kau ikut Paman Lembu Sora ke Pamingit?

Ira membungkuk hormat, jawabnya, “Tidak Tuan. Aku lebih senang menunggu kedatangan tuan di sini.

Terima kasih,” jawab Arya, “Agaknya Paman Lembu Sora memang tak memerlukan kau.

Aku bersenang hati kalau demikian,” jawab Ira.

Tetapi kau tidak akan bersenang hati kalau itu terjadi kemarin atau lusa,” sahut Arya Salaka.

Ira diam. Memang ia tidak akan bersenang hati. Sebab dengan demikian berarti ia kehilangan mata pencahariannya. Sungguh lucu. Tetapi ia diam saja. Ia tidak berkata apa-apa ketika Arya menjadi bertambah jauh. Ia melihat di belakang Arya Salaka itu seorang yang baginya sangat menakutkan. Bantaran. Mudah-mudahan Bantaran pun tidak mendendamnya.

Akhirnya barisan itu sampai juga di halaman rumah kepala perdikan Banyubiru. Wanamerta menerima mereka dengan perasaan lega. Kalau ada apa-apa kini, ia tidak cemas lagi.

Segera dipersilakannya Arya Salaka naik ke pendapa. Di samping Arya Salaka, duduk dengan wajah yang cerah, putri Kebo Kanigara, Endang Widuri. Ia mendapat izin dari ayahnya untuk mengikuti anak muda itu mengantarkan laskarnya ke Banyubiru. Kemudian Bantaran duduk bersama mereka. Sesudah mereka mengadakan pembicaraan singkat, segera Bantaran membagi pekerjaan kepada laskarnya yang berjumlah 100 orang itu. Mereka disebar di seluruh kota dengan pesan, pekerjaan mereka adalah mengamankan dan melindungi rakyat Banyubiru. Bukan menakut-nakuti. Terhadap laskar Banyubiru yang ditinggalkan oleh Lembu Sora, mereka harus bersikap baik. Dengan demikian mereka harus memberi kesan, bahwa kehadiran mereka benar-benar memberikan suasana baru. Suasana yang tenang, tentram dan damai.

Kalian kali ini adalah tenaga-tenaga suka rela untuk membantu Ki Ageng Lembu Sora menjaga ketentraman tanah ini. Namun kalian harus menunjukkan bahwa kalian mempunyai tanggungjawab atas pekerjaan kalian. Kalian harus membuktikan bahwa jiwa kalian berbeda dengan jiwa laskar Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Junjung tinggi namamu dan nama pemimpinmu.” Arya Salaka menekankan setiap kata kepada laskarnya.

Ketika laskar itu mulai berpencaran, terdengarlah suara riuh hampir di seluruh jalan-jalan di dalam kota. Rakyat Banyubiru menyambut kedatangan laskar itu dengan keriangan yang bergelora. Mereka melihat laskar yang berjalan dalam kelompok-kelompok kecil itu sebagai pelindung mereka.

———-oOo———-

V

Kecuali laskar yang diserahkan kepada Wanamerta, yang dipimpin langsung oleh Bantaran, Arya Salaka telah menugaskan Penjawi dan Jaladri untuk pergi ke Pamingit. Mereka mendapat tugas untuk mengetahui, sampai di mana kekuatan golongan hitam. Mereka harus menyaksikan pertempuran yang terjadi antara laskar Lembu Sora dan laskar hitam, dan kemudian kembali kepada Arya Salaka untuk melaporkan hasilnya.

Malam itu Arya dan Endang Widuri bermalam di rumah Arya yang telah ditinggalkan hampir enam tahun. Banyaklah yang dapat diceriterakan kepada gadis itu tentang rumah ini. Ia dapat menunjukkan di mana ia pada saat itu berhasil membunuh seorang yang akan mengambil pusaka-pusaka simpanan ayahnya, namun ia sendiri terpukul dan pingsan karenanya. Ia dapat menunjukkan pula, ke mana ia melarikan diri ketika tiba-tiba rumah ini diserang oleh laskar yang tak dikenalnya. Ketika ia telah berhasil membunuh salah seorang dari mereka, tiba-tiba ia dikeroyoknya. Untunglah Penjawi datang tepat pada saatnya. Widuri mendengarkan ceritera itu, dengan penuh minat. Ia menjadi terharu mendengarkan ceritera pengalaman yang pernah dijalani oleh Arya Salaka pada umurnya yang masih sangat muda.

“Kalau malam ini mereka datang kembali…” kata Arya Salaka, “Aku tak perlu berlari-lari lagi.”

“Kau telah merasa dirimu tak terkalahkan? sahut Widuri.

“Tidak,” jawab Arya. “Sebab sekarang ada kau. Bukankah kalungmu itu menakutkan orang?”

Widuri mencibirkan bibirnya, katanya kepada Wanamerta yang duduk bersama mereka, “Apakah Eyang takut juga kepada kalungku ini?”

Wanamerta tertawa. Jawabnya, “Aku tidak. Sebab aku tak bermaksud jelek. Entahlah cucu Arya Salaka.”

“Ah…” Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah. Ia tidak tahu apa sebabnya. Sedang Arya pun tiba-tiba menundukkan wajahnya.

Ketika keadaan menjadi sepi, terdengarlah di kejauhan gonggong anjing liar yang berkeliaran di lereng-lereng pegunungan. Dari selatan mengalirlah angin pegunungan membawa udara yang sejuk.

“Cucu Widuri…” kata Wanamerta kepada gadis lincah itu, “Aku persilakan Cucu beristirahat di ruang sebelah. Biarlah aku dan Cucu Arya Salaka berjaga-jaga di sini.”

Widuri memang sudah ngantuk. Karena itu segera iapun berdiri dan masuk ke ruang di dalam rumah itu. Ia sama sekali tidak takut, karena di luar berjaga-jaga Arya Salaka, Wanamerta dan Bantaran. Sedang di halaman belakang pun ada beberapa orang yang mengawal.

Sementara itu di perbatasan, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba dan para pemimpin laskar Banyubiru yang lain sedang sibuk menyalakan api untuk mematangkan kijang hasil buruan mereka.

Tidak jauh dari perapian itu, Rara Wilis bertiduran di atas rumput-rumput kering sambil menganyam angan-angan. Sekali-kali angan-angannya itu membumbung tinggi, membelit di antara bintang-bintang di langit, namun sekali-kali ia terlempar kembali ke dunianya kini. Berbaring di antara batang-batang ilalang. Di antara laskar yang bersiaga penuh untuk bertempur. Entah besok, entah lusa. Kemudian apakah sesudah pertempuran itu berakhir ia masih dapat menikmati gemerlapnya bintang di langit…? Atau kalau Tuhan masih mengurniakan umur panjang kepadanya, apakah ia masih dapat bertemu dengan Mahesa Jenar…?

Rara Wilis tiba-tiba tersentak karena angan-angannya sendiri. Tidak sengaja ia memandang ke perapian. Dilihatnya di antara mereka, seorang yang selama ini mengikat hatinya. Tetapi laki-laki itu tidak menoleh kepadanya. Bahkan ia masih asyik menikmati daging kijang yang kadang-kadang diselingi oleh tertawanya yang riang. Agaknya Ki Dalang Mantingan adalah orang yang cukup jenaka, sehingga mereka tertawa-tawa karena kelucuannya.

Rara Wilis menarik nafas panjang. Sebagai seorang gadis ia kadang-kadang ditakut-takuti oleh umurnya yang bertambah-tambah dari hari ke hari. Apakah ia harus berjalan dari satu padang rumput ke padang rumput yang lain? Dari satu perkelahian ke perkelahian yang lain sepanjang hidupnya…? Tidakkah pada suatu saat ia akan dihadapkan kepada suatu kuwajiban yang seharusnya dijalani oleh setiap wanita…? Rara Wilis pada suatu saat pasti ingin melepaskan pedang dari pinggangnya dan menggantinya dengan pisau dapur yang sederhana. Ia pada suatu saat pasti ingin melepaskan ikat pinggang kulitnya, yang kasar, dimana pedangnya selalu menggantung, dan menggantinya dengan selendang yang halus untuk mengemban bayinya. Ya. Ia rindukan masa yang berbahagia. Masa ia tidak bermain-main dengan nyawanya, tetapi bermain-main dengan anaknya.

Akhirnya, sebagai seorang manusia yang lemah, ia hanya dapat memanjatkan doa kepada Kekuasaan Yang Tertinggi, mudah-mudahan sampailah ia pada saatnya, diperkenankan menikmati hidup ini sebagai manusia biasa, sebagai wanita biasa.

Ketika sekali lagi ia memandang ke perapian, ia masih melihat mereka yang duduk melingkari perapian itu bersenda-gurau. Karena itu iapun terbawa pula oleh suasana yang gembira itu. Sehingga kemudian ketika ia mendengar Ki Dalang Mantingan berjenaka, ia pun tersenyum sendiri.

Di langit, bintang gemintang satu-satu berjalan di dalam garis edarnya. Sedang mega putih yang membayang di selatan, sebagai selimut yang putih, menaburi punggung bukit Telamaya.

Malam itu berjalan setapak demi setapak menjelang pagi. Baik yang berada di Banyubiru maupun yang berserak-serak di perbatasan. Meskipun tidak meninggalkan kewaspadaan, namun mereka dapat menikmati istirahat malam itu dengan baiknya. Mereka sadar bahwa bahaya pasti tidak akan datang. Baik dari laskar Lembu Sora maupun dari laskar golongan hitam. Sebab mereka selambat-lambatnya petang tadi, pasti sudah saling berhadapan. Bahkan mungkin bagian-bagian dari laskar mereka sudah terlibat dalam bentrokan-bentrokan.

Perhitungan mereka itupun benar. Tak ada apapun yang terjadi sampai matahari muncul di timur, diantar oleh kicauan burung-burung liar yang hinggap di cabang-cabang pohon perdu.

Lereng bukit itu seolah-olah disiram oleh kesejukan cahaya pagi yang segar yang merayap turun dari ujung-ujung pepohonan, dan jatuh berserakan di tanah merah.

Ketika Mahesa Jenar membuka matanya, setelah beberapa saat ia tertidur dalam kehangatan perapiannya, ia terkejut melihat sesosok tubuh yang berdiri tidak jauh darinya. Dalam keremangan cahaya pagi, dilihatnya bayangan itu menggeliat dengan nyamannya, kemudian tampaklah dadanya yang segar menggelombang dalam tarikan nafas pagi.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar bangkit. Seperti terpaku ia melihat bayang-bayang yang mengesampingkannya. Ia menjadi heran sendiri. Seperti kisah dalam mimpi, bahwa di tengah-tengah padang ilalang itu, dapat ditemuinya keindahan yang sempurna menurut selera hatinya.

Ketika bayangan itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya, Mahesa Jenar bangkit berdiri. Agaknya bayangan itu mendengar desis kakinya sehingga terputarlah wajahnya, memandang Mahesa Jenar yang berjalan perlahan-lahan mengikutinya.

Bintang pagi masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar dalam nada yang rendah.

Rara Wilis tersenyum. “Tetapi matahari telah meninggalkan peraduannya.

Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya, memandang matahari pagi yang masih kemerah-merahan. Sambil tersenyum pula ia berkata, “Ia akan datang pada saat ia harus datang.

Dan ia akan pergi pada saat ia harus pergi,” sahut Wilis.

Peredaran jinantra alam yang tak terkendalikan oleh kekuatan apapun, selain oleh Maha Penciptanya,” kata Mahesa Jenar.

Karena itu, milikilah yang harus kau miliki,” potong Wilis.

Matahari…?” tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum.

Ya,” jawab Wilis

Matahariku adalah mataharimu,” kata Mahesa Jenar pula.

Keduanya tersenyum. Hanya mereka berdualah yang dapat merasakan betapa indahnya senyum mereka masing-masing. Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari pagi di puncak bukit.

Aku akan mencuci muka di mata air sebelah,” kata Rara Wilis kemudian.

Pergilah. Aku akan menyiapkan api,” jawab Mahesa Jenar.

Rara Wilis berjalan semakin cepat. Di pinggangnya masih tergantung pedang tipisnya. Mahesa Jenar memandangi bayangan itu sampai hilang di balik sebuah batu padas. Disanalah Rara Wilis mendapatkan mata air yang kecil.

Hari itupun tak mereka jumpai persoalan-persoalan yang penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari perbatasan masuk ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput puterinya, sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di Banyubiru.

Seperti malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja. Namun mereka mengharap bahwa hari berikutnya Penjawi dan Jaladri telah dapat datang kembali dengan keterangan-keterangan yang mereka perlukan.

Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin, datanglah orang yang mereka harap-harapkan itu.

Derap dua ekor kuda yang lari dengan kencangnya, memukul-mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke rumah kepala daerah perdikan Banyubiru.

Para pengawal perbatasan segera berloncatan dari gardu mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka melihat Penjawi dan Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu, maka mereka biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki kuda itu seperti tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di dalam dada para pengawal itu. Kabar apakah yang dibawa oleh Penjawi dan Jaladri…?

Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar derap kuda yang semakin dekat. Segera mereka bangkit dari pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah orang-orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga Wanamerta dan Bantaran yang berada di pendapa pun segera bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak mereka harapkan terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali setelah mereka melihat Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman.

Demikian ketika kuda-kuda itu berhenti, berloncatanlah mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah wajah-wajah mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka usap. Sedang di punggung membekaslah keringat mereka yang mengalir deras. Namun demikian tampaklah senyum mereka membayang di bibir mereka.

Wanamerta menerima mereka dengan tergopoh-gopoh. Dipersilahkanlah mereka duduk, dan kepada seorang pelayan, Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka, minum yang hangat.

Terima kasih Kiai,” kata Penjawi di antara desah nafasnya yang mengalir cepat.

Selamatkah kalian?” tanya Wanamerta kemudian.

Baik Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.

Syukurlah,” sambung Wanamerta.

Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa Jenar dan Arya Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di hadapan Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan, bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang berat. Merekapun kemudian menanyakan keselamatan kedua orang itu.

Perjalanan yang menyenangkan.” Namun terdengarlah suara itu amat perlahan-lahan.

Dengan senyum lucu Jaladri memandang Penjawi, sambil menyebut, “Cemasnya yang tak terduga-duga.”

Yang mendengar ikut tersenyum pula.

Kalian tentu punya ceritera yang panjang,” kata Arya Salaka. “Tetapi aku lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena itu, apabila keadaan tidak mendesak, mandilah kalian dahulu. Kemudian setelah makan pagi, biarlah kalian berceritera panjang lebar. Akan aku panggil semua pimpinan laskar Banyubiru, Paman Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan senang pula mendengar ceriteramu.”

Baiklah,” jawab Penjawi. “Kami akan mandi dahulu, makan pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami tidak terlalu banyak tertinggal.

Jaladri tertawa, sambungnya, “Urutan yang bijaksana,”

Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren, Penjawi dan Jaladri segera turun ke mata air di sebelah rumah itu. Mereka mendapat pinjaman beberapa potong pakaian untuk mengganti pakaian yang telah basah oleh keringat, dan kotor oleh debu tebal. Dalam kesempatan itu, Arya Salaka telah memerintahkan untuk menjemput para pemimpin laskar Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan dan Wirasaba.

Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa Banyubiru itupun telah dipenuhi oleh para pemimpin laskar Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat mendengarkan langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah, di pendapa itu hadir juga Sendang Parapat.

Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di samping Arya Salaka. Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.

Nah…” kata Arya Salaka kemudian, “Mulailah dengan kisah cemasmu.”

Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas ia berkata, “Baiklah. Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi baik, sehingga banyaklah yang akan aku ceriterakan kepada kalian.”

Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar apakah yang telah terjadi di Pamingit.

Lusa,” Penjawi mulai, “aku dan Adi Jaladri berangkat ke Pamingit, beberapa saat setelah Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan Banyubiru. Namun demikian, kami masih dapat mendahului laskar Pamingit itu. Kami titipkan kuda kami dirumah paman Derpa, dan mulailah kami dengan pekerjaan kami. Ki Ageng Lembu Sora ternyata benar-benar seorang yang memiliki ketangkasan berpikir. Kami terkejut ketika kami diketahui, bahwa beberapa bagian laskarnya langsung menerobos lewat Randu Putih, dan menduduki Kepandak. Sedang induk pasukannya masih tetap menuju pusat pemerintahan Pamingit, dan setelah terlibat dalam bentrokan tak berarti, induk pasukan itu bermalam di Sumber Panas.

Ini adalah suatu keadaan yang sama sekali tak diduga oleh golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya mereka dapat didesak dari tempat-tempat itu. Tetapi karena itu pulalah maka mereka agaknya menjadi marah. Menjelang pagi, aku dan adi Jaladri melihat-lihat pertempuran yang akan berkobar di Kepandak. Kami berjanji bahwa malam hari kami bertemu di rumah Paman Darpa, setelah kami mendapat gambaran dari kedua garis pertempuran itu. Pekerjaan kamipun menjadi agak sulit, sebab kami tidak mau diketahui oleh kedua belah pihak. Untunglah bahwa aku dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru yang berada di dalam Laskar Lembu Sora, ketika mereka sedang mengambil air untuk keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan Adi Jaladri agak lebih sulit.”

Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri, katanya, “Tidak ada orang yang lebih mengetahui daripada Adi sendiri. Nah ceriterakanlah.”

Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata, “Bukan lebih sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung.” Ia berhenti sebentar lalu meneruskan, “Pagi-pagi buta aku mencoba untuk mencari tempat yang baik. Aku ingin tahu, siapakah yang berada di dalam kedua pasukan yang akan bertempur itu. Tetapi baru saja aku mendapat tempat yang baik menurut pikiranku, tiba-tiba terdengar suara berdesir di belakangku. Aku terkejut, dan aku menjadi berdesir ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri yang pernah aku dengar, seorang tua, bertubuh bongkok dengan wajah yang mengerikan.”

Bugel Kaliki?” potong Wanamerta.

Ya, Bugel Kaliki,” sahut Jaladri. “Dengan mata yang mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, – “Hai kelinci yang malang. Siapakah namamu, dan apakah kerjamu di sini?” – Aku menjadi gemetar. Aku tahu siapakah orang itu. Karena itu tiba-tiba terbayanglah di dalam otakku, gambaran Yamadipati datang untuk menagih janji. Mengambil kembali nyawa yang dititipkan di dalam raga ini.”

Apa yang dikerjakan oleh hantu itu? – bertanya Sendang Papat tidak sabar.

Menakut-nakuti aku,” jawab Jaladri. “Dan aku benar-benar takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya kepadaku pula – Kenalkah kau kepadaku?

Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya. Karena itu aku tidak mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab pertanyaannya, segera aku menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke arah telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di mukaku ini?”

Tetapi kau tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.

Ya. Aku tetap hidup,” sambung Jaladri, “Bukan karena aku sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat melepaskan diri dari tangannya.”

Ya. Lalu kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar, “Apakah kau dibiarkan pergi?

Jaladri tertawa. “Jangan terlalu tergesa-gesa. Dengar urutan ceriteraku. Aku kemudian bangkit, dan dengan tekad yang bulat aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan tenaga yang ada padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika Bugel Kaliki itu dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam kepalaku, terdengar suara di belakangku. “Jangan Kaliki. Jangan mengganggu anak-anak.”

Bugel Kaliki terkejut. Aku juga terkejut. Kalau seseorang dapat hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh Bugel Kaliki, maka aku mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu akan dapat menyelamatkan aku.

“Siapakah orang itu?” tanya Sendang Parapat.

“Aku tidak tahu,” jawab Jaladri.

Hus!” sahut orang yang berada di pendapa itu hampir berbareng. “Jangan teka-teki.”

He…” jawab Jaladri, “Siapa yang berteka-teki? Aku benar-benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.

Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain.

Apa yang dilakukan?” tanya Arya Salaka kemudian.

Jaladri mengingsar duduknya, ia meneruskan, “Bugel Kaliki terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk memecahkan kepalaku. Tetapi segera ia bersiaga untuk menghadapi musuh barunya. ”Jangan ganggu aku” ia berdesis. Tetapi orang yang datang itu tertawa. Suaranya nyaring. ”Aku mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Karena itu akupun kadang-kadang melakukan pekerjaan-pekerjaan tanpa tujuan. Antara lain mengganggumu.”

Bugel Kaliki benar-benar marah. Terdengar suaranya menggeram seperti serigala. Namun orang asing itu masih tertawa-tawa saja. Demikianlah akhirnya keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-kata lain. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menilai pertempuran itu. Mereka bergerak-gerak dengan cepatnya. Kadang-kadang mereka melontarkan diri mereka seperti bintang beralih. Sambar-menyambar. Aku pernah menyaksikan dua ekor elang berkelahi. Gagah benar. Namun itu lebih cepat seperti Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku heran kenapa bongkoknya itu sama sekali tidak menggangguMelihat perkelahian itu aku menjadi malu pada diri sendiri. Apakah yang terjadi seandainya aku yang harus bertempur melawan Bugel Kaliki itu. Namun demikian aku tidak mau lari. Aku akan menunggu sampai pertempuran itu berakhir.Kalau penolongku itu kalah dan binasa, biarlah aku binasa pula. Tetapi kalau ia menang, biarlah aku sempat mengucapkan terima kasih kepadanya.

Tetapi pertempuran itu kemudian terganggu. Aku melihat bayangan lain yang datang di tempat itu pula. Bersamaan dengan kehadiran orang kedua itu, aku lihat Bugel Keliki berteriak nyaring, untuk kemudian melontar mundur dan lenyap di dalam keremangan pagi. Orang yang bertempur melawannya sama sekali tidak mengejarnya. Ia, sekarang berhadapan dengan orang yang datang terakhir. Namun agaknya mereka tidak akan bertempur. Bahkan mereka berdua tampaknya seperti dua orang sahabat yang baru bertemu. Mereka saling mengguncang tangan masing-masing.

Siapakah yang datang kemudian? Juga tidak tahu?” tanya Wanamerta.

Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa. “Kiai…” jawab Jaladri, “Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya. Bahkan kalian juga mengenalnya.”

Ya, siapa? Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.” Sendang Parapat semakin tidak sabar.

Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Jaladri.

Oh….” Terdengar orang-orang yang mendengar bergumam. Mereka menarik nafas lega, seolah-olah merekalah yang terlepas dari ancaman maut.

Jaladri berhenti pula untuk sesaat. Kemudian ia meneruskan, “Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih kepada orang yang tak kukenal itu. Tetapi aku tidak sempat bertanya tentang dirinya sebab kemudian Ki Ageng Sora Dipayana bertanya kepadaku, ”Apa kerjamu di sini Jaladri?”

Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi kepada Ki Ageng Sora Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali mengatakan yang sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, jangan-jangan hal itu tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berkata, ”Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi pertempuran akan dimulai.”

Aku tak dapat membantah. Aku ikuti Ki Ageng kembali ke pasukan Pamingit. Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana berada di dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini dipimpin oleh Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk pasukan yang berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Ketika kami hampir sampai, aku hanya mendengar orang asing itu berkata, ”Kau biarkan anakmu sendiri?”

”Tak ada pilihan lain” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. ”Kalau aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari setan-setan itu datang kemari, seperti apa yang dilakukan oleh Bugel Kaliki itu, maka laskar ini akan habis ludas.”

”Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri mereka untuk melawan anakmu?” jawab orang asing itu.

”Ia membawa laskar lebih banyak. Aku sudah menasehatkan untuk bertempur dalam kelompok-kelompok, untuk menghadapi mereka. Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai panjang. Dan Lembu Sora telah menyiapkan laskar panah sebaik-baiknya.”

”Belum cukup” jawab orang asing itu.

”Untuk sementara, tak ada cara yang lebih baik. Tetapi aku percaya, kalau Lembu Sora berotak cair, maka sedikit demi sedikit ia akan dapat mengatasi keadaan” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Ternyata ia kemudian meneruskan, ”Soalnya terserah kepada nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan kesalahan-kesalahannya.”

”Kalau begitu…” orang asing itu menjawab, ”biarlah aku ikut serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja bersama-sama dengan anakmu.”

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti. ”Kau..”- terdengar suaranya dalam.

Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa. Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menjawab orang itu telah melontarkan dirinya sambil berkata, ”Sebelum pagi, mudah-mudahan aku tidak terlambat.”

Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan terdengar gumamnya, ”Terimakasih, terima kasih.”

Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana terkejut oleh suara kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar orang-orang hitam itu telah mempersiapkan diri mereka.

”Ayolah, sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak kenal perikemanusiaan itu.”

Aku mengikuti di belakang Ki Ageng. Di Kepandak, laskar Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri dengan gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris.

Ketika ia melihat Ki Ageng Sora Dipayana datang, segera ia membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat aku, tampaklah perubahan di wajahnya.

Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya, katanya, ”Jangan hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan mengganggu kalian.”

Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat.

Ketika cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur telah semakin merata, mulailah laskar Pamingit bergerak. Laskar inipun seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, bergerak dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata jarak jauh. Agaknya mereka benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh dari golongan hitam itu, kelompok demi kelompok.

Aku sendiri, yang tidak tergabung dalam laskar itu, hanya selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi. Dan Ki Agengpun sama sekali tidak keberatan.   Bahkan akhirnya Ki Ageng itu memberi aku sebatang tombak sambil berkata, “Kalau kau terpaksa mempertahankan dirimu Jaladri, pergunakan tombak ini. Kerismu terlalu pendek untuk melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka, atau kalau kau bertemu sekali lagi dengan Bugel Kaliki.”

Hatiku jadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Laskar Pamingit dapat melawan mereka dengan kelompok-kelompok mereka. Aku bagaimana?”

Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana memaklumi perasaanku, karena itu terdengar kata-katanya, ”Kaupun harus membentuk kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah orang yang termasuk dalam kelompok kecilmu.”

Aku menundukkan kepalaku, karena malu.

Ki Wulungan membawa laskarnya, melingkar ke Selatan dengan gelar Jinantra Sawur. Lingkaran-lingkaran kecil yang bergerak bersama-sama dalam satu garis yang menebar. Sungguh suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang biasa bertempur perseorangan dan mempunyai kesaktian yang luar biasa seperti tokoh- tokoh golongan hitam.

Ketika terdengar sebuah tengara dari Wulungan, maka dengan kecepatan yang sedang, laskar itu langsung menyerbu kedalam pemusatan laskar-laskar hitam. Dalam sepintas dari laskar hitam yang disediakan untuk melawan mereka. Namun diujung laskar golongan hitam itu aku melihat dua orang yang mengerikan. Seorang yang sudah aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang lagi, aku dengar namanya dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama Nagapasa.

Nagapasa…?” Mahesa Jenar mengulang nama itu.

Ya,” sahut Jaladri. “Melihat mereka berdua Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Wulungan, katanya, ”Wulungan, lawanlah Bugel Kaliki. Bawalah sedikitnya dua kelompok laskar panahmu. Jaga, jangan sampai salah seorang dari kamu mendekat, dan jagalah supaya kau dan kelompokmu tidak kehabisan tenaga. Orang itu mampu bertempur sehari penuh dengan kesegaran yang sama, bahkan berhari-hari.”

Wulungan mengangguk sambil menjawab, ”Baik Ki Ageng, akan aku bawa tiga kelompok terkuat dari anak buahku. Yang lain akan dipimpin oleh adi Gupita, melawan laskar hitam itu.”

”Bagus” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian kepadaku Ki Ageng itu berkata, ”Jaladri. Aku harus melayani musuh yang tak dapat diduga-duga tabiatnya. Ia dapat berlaku lunak, tetapi ia dapat bengis seperti setan. Karena itu lebih baik bagimu untuk memperkuat kelompok-kelompok yang akan dibawa oleh Wulungan melawan musuhmu pagi tadi.”

Aku tak dapat membantah, meskipun aku tahu bahwa Wulungan agak bimbang menerima titipan itu.

Ketika aku berjalan di samping Wulungan menuju kekelompok pertama, aku berkata kepadanya, ”Jangan curigai aku. Aku tak akan mengganggumu. Sebab hidup matiku sekarang berada di dalam kerjasama antara kita dan laskarmu.”

Wulungan tersenyum. Jawabnya, ”Aku mempercayaimu. Aku kira setiap orang didalam laskar Arya Salaka berlaku jantan seperti pimpinan mereka.”

Aku tidak tahu maksudnya. Apakah ia benar-benar memuji, ataukah ia sedang menyindir aku. Tetapi kemudian kami tak sempat berkata-kata lagi. Wulungan memerintahkan beberapa orang untuk memberitahukan tugas-tugas mereka. Tiga kelompok kemudian saling mendekat dan menuju satu sasaran, sedang yang lain masih di tempatnya masing-masing, di bawah pimpinan seorang yang cukup mempunyai wibawa, Gupita.

Laskar hitam itupun kemudian maju menyongsong lawan mereka. Mereka sama sekali tidak mempergunakan gelar perang, atau gelar mereka mirip dengan gelar Gelatik Neba. Namun tampaklah betapa mereka percaya pada diri mereka masing-masing. Terbayanglah diwajah mereka, kebiadaban dan keganasan yang pernah mereka lakukan dan akan mereka lakukan. Didalam mata mereka seolah-olah tampaklah goresan-goresan nama-nama dari korban-korban mereka yang berpuluh-puluh jumlahnya.

Aku pernah mengalami beberapa kali pertempuran. Namun kali ini aku benar-benar berdebar-debar. Disekitarku berjalan orang-orang yang kurang aku kenal, baik tabiatnya maupun cara-cara mereka mempergunakan senjata. Akupun tidak mengetahui apakah mereka menganggap aku lawan mereka atau musuh mereka. Namun demikian akhirnya aku harus melekatkan kepercayaan kepada diri sendiri. Betapapun ringkihnya aku ini, namun aku hanya dapat mengeluh dan menyadarkan diri kepada kepercayaan itu, dilambari oleh pasrah diri kepada pepestan, kepada kuasa tangan Yang Maha Kuasa.

Demikianlah akhirnya kedua laskar ini bertemu. Sesaat sebelum pertempuran berkobar, Wulungan berbisik kepadaku, -Jaladri, kami saat ini akan bertempur di atas tanah persawahan. Batang-batang padi ini sebentar lagi akan hancur terinjak-injak oleh kaki-kaki kami. Namun tanah persawahan ini akan memberikan kesegaran dalam jiwa kami. Karena untuk tanah inilah kami sekarang sedang menyabung nyawa. Meskipun batang-batang padi ini akan hancur, namun besok di atasnya akan dapat kami tanami kembali, dengan batang-batang padi yang lebih segar. Sebab kami tebarkan pupuk di tanah ini dengan darah putra-putra terbaik dari tanah ini.”

Aku terharu mendengar kata-katanya. Sedang dari matanya terpancar ketulusan hatinya serta kesediaannya berkorban untuk tanahnya.

Sesaat kemudian kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan ngeri. Orang-orang hitam itu berloncatan sambil memekik-mekik. Senjata-senjata mereka gemerlapan dalam cahaya pagi. Pada saat yang hampir bersamaan, melontarlah senjata-senjata anak- anak Pamingit. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus anak panah bertebaran diudara. Tetapi orang-orang golongan hitam itu memutar senjata mereka menjadi gulungan perisai yang sangat rapat.

Demikianlah akhirnya pertempuran tak dapat dihindari. Orang-orang Pamingit terpaksa meletakkan busur-busur mereka dan menarik pedang-pedang mereka. Sehingga sesaat kemudian, riuhlah pertempuran itu dengan dentang senjata beradu, pekik yang mengejutkan dari orang-orang golongan hitam itu. Wulungan dengan kelompoknya langsung menyiapkan diri mereka dan memancing Bugel Kaliki untuk melibatkan dirinya. Anak-anak dalam kelompok ini agaknya benar-benar terpilih. Mereka tidak melemparkan panah mereka berlebih-lebihan. Satu-satu saja, mengarah kepada si Bongkok yang mengerikan itu. Akhirnya marahlah Bugel Kaliki. Seperti serigala yang menggeram, kemudian langsung melompat dan menyerbu kedalam laskar Wulungan. Cepat anak buah Wulungan memencar diri. Mereka menyerang dengan panah mereka. Tak berhambur-hamburan, namun cukup memberi perlawanan yang kuat terhadap hantu dari Gunung Cerme itu.

 ———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 21

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar